Selasa, Desember 01, 2009

POSISI SULINGGIH DIMATA UMAT


Sulinggih adalah orang yang sangat dihormati dan disucikan oleh umat (Para Walaka). Setelah di Dwi Jati, beliau telah lahir kembali untuk kedua kali dari Brahman, karena setelah “Mati Raga” beliau hidup kembali melalui pelantunan Mantra-mantra suci Weda. Seorang Sulinggih sudah tidak terikat lagi dengan asal-usul keluarga atau Wangsa (Mepamit), sehingga seorang Sulinggih adalah “Lintas Golongan”. Hal-hal seperti ini harus dimengerti oleh Para Walaka.

Fenomena yang ada dimasyarakat, pemahaman umat terhadap seorang Sulinggih masih tidak sama. Sulinggih satu dengan yang lain masih dilihat secara berbeda, Asal-usul Wangsa seorang Sulinggih masih menjadi perhatian, sehingga nama/gelar dari Sulinggih justru menjadi point utama jika umat ingin mengundang beliau untuk “Muput”. Bahkan ada ke-fanatikan terhadap Sulinggihnya. Seorang Ida Bagus akan mengatakan “Pedanda Anu” Sulinggih saya, seorang Pasek akan mengatakan “Mpu Anu” Sulinggih saya, seorang Anak Agung mengatakan “Bhagawan Anu” Sulinggih saya, seorang Gusti mengatakan “Rsi Anu” Sulinggih saya, dst.dst. Yang lebih aneh lagi masing-masing mengatakan Sulinggih-nya yang terbaik, ini ibarat penggemar bola yang membanggakan kesebelasannya. Umat belum sampai pada pengertian, bahwa “Sulinggih-Sulinggih diatas adalah sama, yaitu sama-sama Brahmana yang tugas utama adalah membimbing umat kejalan yang benar sesuai ajaran Weda”. Kedepan akan sangat membahagiakan sekali jika terjadi Fenomena seorang Ida Bagus berani membanggakan “Mpu”, seorang Pasek berani membanggakan “Bhagawan”, seorang Anak Agung berani membanggakan “Rsi” dan seorang Gusti berani membanggakan “Pedanda” dan pada akhirnya “Umat bangga dan hormat dengan semua Sulinggih”. Dalam hal per-guruan, maka akan sangat baik jika terjadi seorang Bhagawan Nabenya Mpu, seorang Pedanda Nabenya Rsi, seorang Mpu Nabenya Pedanda, dst.dst. Jadi seorang Ida Bagus jangan sungkan belajar pada Mpu, seorang Anak Agung jangan sungkan belajar pada Rsi, seorang Pasek jangan sungkan belajar pada Bhagawan, dan seorang Gusti jangan sungkan belajar pada Pedanda. Lama kelamaan akan terjadi “Kristalisasi” terhadap Sulinggih itu sendiri dan pandangan kita satu focus, bahwa “Rohaniawan kita yang mampu Muput dan memberi kita yang haus akan ajaran Weda adalah “Sulinggih/ Pandita”. Jika ini terjadi berarti umat Hindu khususnya di Bali dan khususnya Para Walaka, sudah meningkat pemahamannya tentang “Shadaka”.

Per-detik ini, penulis belum melihat hal itu secara menyeluruh, hanya beberapa gelintir Walaka yang sudah sampai pada Tataran itu. Ada contoh yang terkini yaitu kebanggan umat terhadap seorang Sulinggih, kawan-kawan yang merasa memiliki Sulinggih ini dengan sangat berapi-api menceritrakan kemampuan beliau, bangga bukan karena kemampuan beliau, tetapi bangga karena kefanatikan buta. Pen-Darma Wacana yang baik bukan hanya Ida Pedanda Made Gunung, tetapi juga sebut saja, “Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha” (Seririt), “Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi” , dan beberapa yang lainnya. Masing-masing memiliki gaya tersendiri. Ida Pedanda Gde Made Gunung memang memiliki kemampuan untuk mengambil gaya/acting yang banyak diselingi humor, contoh-contoh sederhana dan keseharian yang digeluti masyarakat sehingga gampang dicerna oleh masyarakat awam. Sementara Pen-Darma Wacana yang lain dengan gaya yang berbeda, yang bisa dinikmati oleh tingkat pemahaman umat tertentu. Jadi masing-masing punya lahan atau sasaran umat sendiri-sendiri. Masalah gaya adalah masalah pribadi masing-masing Sulinggih dan itu tidak problem, yang penting adalah apapun gayanya sasaran akhir yang perlu dijadikan focus adalah “Adanya peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran Weda pada masyarakat”, jangan sampai saking asiknya ber-acting lupa dengan focus sehingga umat bukan menyimak Darma Wacana tetapi menonton Dagelan, ini berarti tidak terjadi plus point pada Darma Wacana tersebut. Para Walaka khususnya yang terkait dengan penyiaran, jangan mempolitisir atau membedakan para Sulinggih, karena niat tidak baik pada Sulinggih adalah suatu “Dosa”. Yang ingin ditekankan disini, adalah Para Walaka harus bangga dan hormat dengan siapapun Sulinggih yang memberikan Darma Wacana karena mereka adalah Sulinggih kita semua. Penulis masih memaklumi jika Para Walaka bangga atau fanatik dengan Sulinggihnya karena mereka adalah manusia-manusia yang rohaninya dibawah Sulinggih. Tetapi akan tidak habis mengerti jika yang “Mengkotak-kan diri” adalah Sulinggih itu sendiri. Penulis akan sangat bersyukur jika seorang Sulinggih mampu menempatkan dirinya dengan benar dan memberi contoh yang baik pada Para Walaka, seorang Sulinggih sebaiknya menarik diri dari organisasi umat yang bertentangan dan mengambil peran ‘Perdamaian”, Para Sulinggih sebaiknya sering dilihat umat berkumpul bersama baik dalam Pemujaan maupun acara-acara tertentu, seperti : Dharma Shanti, dll.. Jika Sulinggih sering ber-Dharma Wacana, jangan lupa juga, bahwa penggemarnya adalah dari berbagai kalangan, ada Ida Bagus, ada Pasek, ada Anak Agung, ada Gusti, dll. sehingga berilah contoh pada mereka tentang keselarasan hubungan antar-manusia, sebab jika mereka dikecewakan, maka mereka tidak akan mau lagi mendengar Dharma Wacana berikutnya, seperti yang terjadi di umat agama lain . Berarti, apa-apa yang telah diberikan sebelumnya akan sirna ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari.

Terakhir, melalui tulisan ini penulis mohon maaf kepada Para Sulinggih atas keberanian menulis artikel ini, sebab penulis menyadari dosa besar jika berbuat tidak baik pada Sulinggih. Penulis melakukan hal ini semata-mata kecintaan pada umat manusia, yang sering lupa, bahwa mereka sebanarnya adalah sama dimata Ida Sanghyang Widhi Wasa.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
24-09-2003.
PERLU KEJUJURAN PENGUNGKAPAN
SEJARAH PARA LELUHUR

Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Para Pendahulunya, kalimat tersebut sering kita dengar sebagai bentuk penghargaan kepada para pendahulu karena banyak pelajaran yang berharga yang bisa dipetik daripadanya dan dijadikan pengalaman sekaligus ditiru hal-hal yang positif dan meninggalkan yang negatif. Pada tulisan kali ini penulis mencoba menggugah sekaligus mengajak kita untuk sama-sama berani mengungkap, menyampaikan, dan mengambil hikmah akan kehidupan para leluhur orang bali jaman dahulu agar kita bisa memperoleh menfaat daripadanya.

Sejarah para leluhur jaman dahulu oleh beberapa penulis dimasukkan pada kategori Babad atau apalah namanya ditinjau dari segi penulisan sejarah, namun penulis tidak ingin mempermasalahkan hal itu karena yang penting adalah adanya catatan-catatan atau peninggalan-peninggalan yang bisa menjelaskan kehidupan para leluhur kita itu. Banyak penulis yang sudah berhasil menulis kembali dari peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa lontar, batu bertulis, prasasti-prasasti dan lain sebagainya sehingga kita menjadi tahu kehidupan para leluhur kita dahulu. Kita jadi tahu kehidupan Rsi Markandya, Rsi Agastya, Panca Tirta khususnya Mpu Kuturan, Kisah Airlangga dan Anak Wungsu, Kisah Dalem, Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh), Raja-Raja setelah runtuhnya Dalem, Ibunda Presiden Sukarno, dan banyak kisah lainnya yang sudah berhasil dijadilkan buku, untuk itu kita harus bersyukur karena kalau tidak atas jasa-jasa dari para penulis atau peneliti sejarah baik lembaga atau perorangan, maka kita tidak akan tahu apa yang terjadi dahulu. Mungkin kalau tidak ada yang mencatat kita akan lupa kapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu dikumandangkan. Dari membaca itu juga kita jadi tahu ternyata Airlangga itu orang Bali, juga untung Suropati, dan Ibunda Presiden Sukarno. Kita jadi tahu ternyata ada hubungan persaudaran antara orang Bali dan Jawa khususnya jawa timur dari membaca sejarah para leluhur, dan banyak manfaat lainnya. Tapi ada satu hal yang tidak pernah kita ketahui, apakah sejarah para leluhur yang ditulis itu dan sudah banyak dijadikan buku itu, benar adanya ? kalau lebih spesifik lagi sudah jujurkah para penulis itu mengungkap dan menyampaikan sejarah para leluhur itu ?. Kejujuran ini adalah sesuatu yang sangat luas yang mengandung makna : menulis sebagai Jnana Punia, menulis tanpa prasangka dan kebencian, menulis tanpa tujuan politis atau melindungi kepentingan tertenu, menulis tidak memutar balikkan fakta, dan lain-lainnya, jadi intinya menulis dengan dilandasi oleh niat yang suci untuk menyampaikan sejarah para leluhur dengan benar sesuai dengan kemampuan yang ada dan sumber-sumber yang diperoleh. Untuk melihat hal ini, mari kita sama-sama mencoba melihat fenomena tulisan-tulisan yang ada dimasyarakat, misalnya saja tentang Panca Tirta, sebagian dari kita mungkin sudah tahu, bahwa kedatangan mereka ke Bali atas undangan Raja Udayana Warmadewa dan Gunapriya darmapatni pada abad XI dan hal ini adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan kehidupan di Bali dikemudian waktu, tapi belum pernah ada yang mengungkap keberadaan Panca Tirta ini secara lengkap mungkin karena keterbatasan sumber data atau faktor lainnya. Yang sering dimuat hanya tentang Mpu Kuturan walaupun ini juga masih ada beberapa kekeliruan, misalnya saja tentang pembangunan pura-pura yang banyak terjadi pada jaman beliau, contohnya saja Pura Ponjok Batu dan Pura Uluwatu, jelas-jelas itu dibuat oleh Mpu Kuturan tetapi sekarang ini banyak yang menganggap itu bukan dibuat beliau (Pura Uluwatu disebutkan ditemukan Danghyang Nirarta). Contoh lain adalah Jaman Keemasan Bali yang dikatakan terjadi pada Jaman Dalem Waturenggong dengan Purohita waktu itu Danghyang Nirarta, masih terngiang tulisan dari Kembar Kerepun yang mengatakan ”Apakah benar jaman Dalem Waturenggong itu Bali mencapai jaman keemasan ?”. Orang sekaliber beliau tentu tidak sembarangan memberi pernyataan seperti itu, sayangnya beliau sudah meninggal. Ada lagi penulis yang menyampaikan, bahwa jaman kerajaan di Bali pernah terjadi penjualan budak-budak keluar Bali sehingga di Jakarta sekarang ada Kampung Bali. Tentang Presiden Sukarno juga ada pengertian yang berbeda tentang asal-usul beliau sampai sesepuh keluarga Baleagung Buleleng, perlu meng-klarifikasi dan menyampaikan kebenaran asal-usul beliau itu, dan masih banyak mungkin hal-hal yang tidak benar yang bisa jadi tidak kita ketahui.

Dalam situasi seperti ini kita hanya memerlukan penulis sejarah para leluhur yang ”Jujur”, disamping tentunya memiliki sumber-sumber yang akurat dan dapat dipercaya, tapi kejujuran menjadi hal yang pokok disini. Penulis sengaja tidak menggunakan kata ”Profesional” karena dengan ”kejujuran” ini akan sangat membantu penulisan sejarah para leluhur, kenapa begitu ? Penulis meyakini, bahwa mengungkap keberadaan para leluhur jaman dahulu tidak akan bisa lepas dengan hal-hal yang berbau Niskala. Bagi yang meyakini maka penulis sangat percaya akan banyak bantuan spiritual yang diperoleh sehingga kita bisa melakukan peran itu dengan benar, Itulah sebabnya beberapa penulis sejarah leluhur justru bukan orang yang sengaja mendalami sejarah dibangku pendidikan formal tetapi adalah orang biasa yang bersih hatinya, sehingga memperoleh ”Panugraha” untuk menyampaikan sejarah para leluhur. Mungkin dikemudian waktu akan ada diantara kita yang diberi tugas untuk mengungkap dan menyampaikan dengan jujur keberadaan leluhur jaman dahulu agar kita bisa mengambil suri tauladan dari hal-hal yang positif dan membuang yang negatif. Mutiara tetaplah mutiara walaupun ada didalam lumpur, dan kebenaran pastilah akan muncul kepermukaan. Sebagai akhir kata masih dalam suasana ”Galungan & Kuningan” penulis ingin menyampaikan ”Satyam Evam Jayate” .



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-10-2005.
MERENUNGI WEJANGAN PARA PANDITA MPU

Sejak kecil penulis menyukai mendengarkan orang tua yang sedang berceritra atau berdiskusi hal-hal yang bersifat kebenaran/susila. Sesudah dewasa sering tanpa sengaja penulis bertemu dengan rohaniawan baik dari umat Jawa atau Bali, yang mana dari mereka banyak hal-hal positif yang bisa diambil untuk pegangan hidup. Kesempatan yang sangat langka adalah ketika penulis dapat bertatap muka dengan beberapa Pandita Mpu, menjadi pendengar, kadang aktif bertanya hal-hal kehidupan dan sosial masyarakat. Ada wejangan yang terkait dengan “Keselarasan Hubungan Antar Manusia” yang penulis ingin sampaikan disini.

Diawali oleh kegundahan penulis melihat fenomena dimasyarakat tentang kurang baiknya pemahaman tentang keselarasan hubungan antar manusia yang merupakan ajaran “Tri Hita Karana”. Begitu dihadapkan pada masalah Wangsa di Bali, maka ajaran Weda ini menjadi tidak ampuh lagi. Ada umat yang masih membedakan dirinya dengan yang lain, ada Rohaniawan yang larut dalam pengkotakan diri. Ada Abdi Negara yang sebenarnya merupakan tangan-tangan untuk terciptanya keselarasan hubungan antar manusia membiarkan organisasi umat terbelah dua, membedakan Sulinggih dalam Persembahyangan. Untuk hal-hal seperti ini pionir-pionir keselarasan hubungan antar manusia ini telah tidak tepat menilai porsi riil dimasyarakat dan mesti banyak belajar sejarah leluhurnya khususnya sejak abad 10 – 16 Masehi..

Kegundahan-kegundahan seperti ini adalah sesuatu yang wajar, dan hal seperti ini akan bisa muncul pada diri siapa saja yang ingin menghayati dirinya . Namun…apa yang penulis rasakan dengan apa yang penulis peroleh berupa wejangan dari Para Pandita Mpu, adalah ibarat orang yang kehausan dipadang tandus dan mendapat suguhan air yang bening dan sejuk. Para Pandita Mpu memberi wejangan :

Jadilah kamu “Paling Pasek” (PASEK = Patitis Sesana Kawitan ) atau Meneladani Prilaku Leluhur dengan sangat baik,. Jangan menjadi “Pasek Paling” atau Pasek yang bingung, yang tidak pernah sujud bakti pada leluhur, tidak mengenal diri. Sapta Pandita dan ayahndanya, Mpu Gnijaya (yang tertua dari Panca Tirta) selalu mengajarkan agar keturunannya menjadi orang yang bakti pada leluhur, tidak melupakan saudara dan menjalankan swadarma leluhur yang sangat taat menjalankan ajaran agama. Terhadap sesama Trah Panca Tirta agar tetap menjaga persaudaraan walaupun mungkin mereka tidak menganggap kamu saudara, itu tidak apa-apa. (Trah Panca Tirta yang lain adalah : Mpu Bharada/terkecil – keturunannya : Soroh Ida Bagus, Anak Agung, Arya Pinatih,Arya Sidemen, dll dan Trah Mpu Semeru-keturunanya Suputra/Anak angkat adalah : Soroh Kayu Selem, Pelinggih Mpu Semeru ada di Pura Catur Lawa Besakih dengan Meru Tumpang Pitu.) .Nasihat beliau lagi, …..kamu harus bangga jika saudaramu bisa Muja di lokasi Bom Bali (Penulis : walaupun Mpu tidak diajak) karena itu untuk keselamatan umat manusia dan kamu memujalah di tempatmu masing-masing, kamu juga harus bangga jika saudaramu bisa tampil dengan President Amerika, seperti bangganya seorang kakak pada adiknya. Sebagai yang lebih tua (Mpu Gnijaya-tertua) memang harus siap menderita dan membuka jalan untuk kesuksesan seorang adik.

Mendengar wejangan seperti itu, hati penulis tersentuh dan menjadi sangat simpati dan kagum akan kebijaksanaan beliau-beliau itu. Wejangan-wejangan yang keluar sangat menjejukkan hati, kadang-kadang tegas dan keras tapi masih dalam koridor kebenaran. Dalam penjabaran Dharma Para Pandita Mpu bersifat “Low Profile” walaupun banyak bukti nyata yang dihasilkan, seperti : Pembangunan beberapa Pura di Tanah Jawa yang kadang-kadang bergandengan dengan Para Pedanda yang lain. Dengan fenomena seperti itu penulis seperti memperoleh gambaran akan keberadaan Sang Sapta Pandita dan Mpu Gnijaya dalam diri Para Pandita Mpu. Ternyata…… banyak dari beliau yang “Patitis” menjalankan Sesana leluhurnya. Dilain fihak dengan pengalaman seperti itu penulis malah telah banyak meluruskan pandangan dari beberapa kawan yang menganggap Trah Sapta Pandita hanya membicarakan tinggi rendah dan menganggap diri lebih tinggi, karena bagi Trah Sapta Pandita tidak ada prestise yang hilang atau dihilangkan, malah telah membuka wawasan bhakti yang sebenarnya pada leluhur, yaitu dengan “Meniru sesana leluhur yang baik”.

Terakhir, penulis perlu menyampaikan, bahwa sudah sepantasnya kita menata kembali bangunan simakrama dengan siapa saja asalkan dapat menghasilkan kebaikan pada sesama, sebab jalan ini adalah jalan kebenaran . Semakin besar keinginan kita untuk meraih keduniawian, seperti harta, sanjungan, dll. apalagi dengan cara yang tidak benar , akan semakin menjauhkan kita dari kehidupan rohani padahal pada kehidupan/prilaku rohani itu justru sangat dekat dengan “kebahagiaan”.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-12-2003.
MELURUSKAN PEMAKAIAN KATA ”RATU – AJI”

Sebagai orang Bali yang tinggal diluar Bali (Jawa), maka kedatangan di Bali walaupun hanya dalam rangka liburan tentu menjadi hal yang sangat berharga dan tidak untuk disia-siakan, apalagi ketika menonton siaran TV daerah dimana acaranya bernuansa Bali sungguh sangat menyenangkan. Acara seperti itu tidak bisa penulis dapatkan diluar Bali. Hari itu penulis nonton acara ”Pabiblagan” sejenis acara interaktif dimana pemirsa bisa ikut terlibat. Yang dibahas masalah ”Cafe” dan pembawa acaranya Ida Bagus, narasumbernya Anak Agung sayang keduanya penulis lupa nama lengkapnya. Seorang lagi wanita sebagai narasumber bidang hukum. Waktu itu ada juga dua pasang teruna-teruni Bali dan tamu lainnya. Pemaparan demi pemaparan dilakukan dengan sangat baiknya karena memang masalah Cafe ini sudah meresahkan di Bali karena sudah menjangkau kampung dan pedesaan sehingga dikhawatirkan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Suasana pembahasan sangat mengasyikkan bagi penulis karena disampaikan dengan bahasa Bali halus kadang ada bahasa indonesianya, benar-benar senang mengikutinya. Akhirnya sampailah pada sessi tanya-jawab dimana penanyanya adalah pemirsa dirumah melalui sambungan telepon. Para penanya juga tidak kalah menariknya, wawasan mereka cukup baik dan cara menyampaikannya juga jelas, sopan dan banyak juga yang memakai bahasa bali halus. Yang paling penting lagi mereka adalah orang-orang yang berani dan peduli terhadap lingkungan. Keasyikan penulis menyaksikan acara tersebut sedikit terganggu ketika sebagian dari penanya memakai kata ”Atu” dan ada memakai kata ”Ratu Aji”. Disebelah penulis kebetulan ikut menonton kawan yang sering dipercaya sebagai juru bicara kalau ada orang menikah, dll., penulis bertanya ; apa Ratu Aji itu kata-kata bali halus untuk penghargaan kepada seorang tamu (dalam hal ini Narasumber) ? jawaban kawan dengan polos ; tidak, itu karena narasumbernya orang ”Menak” (maksudnya Triwangsa, seperti yang masih dikenal di masyarakat). Sebagai orang yang tinggal diluar Bali, maka ibaratnya berada diluar aquarium, maka sangat cepat menangkap adanya suatu keanehan dengan kata Ratu Aji tersebut, yang tidak akan terasa aneh bagi kawan penulis yang sudah menyatu dengan kebiasaan di Bali. Penulis menangkap ada bentuk perbedaan manusia satu dengan lainnya, jadi apa yang selama ini sering dikemukakan tentang penyimpangan Catur Varna penulis lihat sendiri. Kejadian diatas menarik minat untuk menyampaikan suatu gagasan/ ide dengan tidak menghilangkan kata-kata yang sudah mendarah daging tersebut, tetapi bersifat meluruskan penggunaannya agar menjadi benar, tidak menyimpang dengan kesetaraan sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi.

Penggunaan kata ”Ratu Aji” perlu diulas sedikit. ”Ratu” atau Raja adalah pemimpin yang mampu mensejahtraan umat, sementara narasumber atau pembawa acara bukanlah Raja. Selanjutnya ”Aji” yang berarti Ayah atau orang yang dituakan, jangan-jangan sipenanya mungkin usianya lebih tua dari narasumber atau pembawa acara. Dengan demikian sipenanya memperlakukan narasumber dan pembawa acara begitu tingginya yang sekaligus berarti juga merendahkan dirinya atau jangan-jangan sipenanya tidak merasa telah merendahkan dirinya. Sementara yang disebut Ratu Aji juga tenang-tenang saja tanpa berusaha meluruskan kepada penanya agar kata itu jangan diucapkan. Jika kita tanya orang yang disebut Ratu Aji itu, maka jawabannya pasti ; dia tidak meminta untuk dipanggil seperti itu, walaupun semestinya bisa meluruskan dengan dasar kesetaraan manusia dimata Hyang Widhi. Untuk sipenanya sangat penulis sayangkan, dibalik pertanyaan-pertanyaan yang begitu baiknya, sopan, berwawasan, berani, dan peduli lingkungan, justru ada ganjalan yaitu menodai penghargaan pada dirinya, tapi itulah fakta yang masih ada dimasyarakat. Hal itu sesungguhnya bisa diluruskan jika ada ”kerjasama” antara yang dipanggil Ratu Aji dengan yang menyebut hal itu, jangan justru menikmati sebutan itu dan membiarkan saudara kita merendahkan dirinya. Lalu apa ”solusinya” ?. Menurut penulis sebutan ”Ratu Aji” jangan dihilangkan karena itu sudah mengakar dimasyarakat dan suatu bentuk penghormatan kepada orang lain, namun diluruskan menjadi ”bentuk penghormatan tanpa merendahkan harga diri”, apa maksudnya ?. Jadikan kata Ratu Aji itu sebutan untuk semua tamu atau orang yang ingin kita hormati tetap dalam koridor tanpa merendahkan diri, misalnya : Narasumber seperti contoh diatas, pejabat negara yang datang mengunjungi desa, dll. sehingga jika kebetulan narasumbernya adalah Prof Gede A, maka boleh saja disebut Ratu Aji, bukankah kita masih ingin menjaga tata-krama sebagai orang timur, lagipula didalam bahasa Indonesia kita juga memakai kata Tuan, Bapak, jadi padanannya dalam bahasa bali halus adalah ”Ratu Aji” itu. Dengan demikian perbendaharaan bahasa bali juga akan bertambah. Memang ada yang berpendapat menjadi celaka bahasa bali menganut perbedaan/ tingkatan halus dan tidak, tidak seperti bahasa inggris katanya. Namun dalam kasus ini sangat sulit merubah bahasa yang sudah menjadi bagian kehidupan orang bali, yang bisa dilakukan adalah ’meluruskan penggunaannya agar tidak menyimpang dari koridor agama Hindu”. Tanpa bermaksud menghina para narasumber atau pembawa acara tersebut, maka penulis berharap mereka bisa menjadi pelopor agar penggunaan bahasa bali sesuai dengan porsinya dan ikut meluruskan kekeliruan-kekeliruan atau penyimpangan ajaran Weda. Apalagi berada dilingkungan Media TV yang punya akses besar dan langsung kemasyarakat, jika niatnya ada maka hal itu sangat effektif untuk terjadinya perbaikan dimasyarakat, seperti keinginan untuk meluruskan keberadaan Cafe di Bali.

Sebagai akhir kata penulis kutip ”Sarasamuccaya Sloka 98” yang berbunyi sebai berikut :
”Atmopamastu bhutesu yo bhavediha purusah, tyaktadando jitakrodhah sa pretya sukhamedhate” (Artinya : Orang yang berhati sabar, berpendapat sekalian mahluk hidup itu tiada beda dengan dirinya sendiri, orang yang dapat melaksanakan itu, itulah merupakan sumber atau asal mula kesenangan dan kepuasan hati, sebab sekarang ia mendapat kebahagiaan pun didunia lain diperolehnya pula)




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
MENYATUNYA UMAT HINDU JAWA-BALI

Pada jaman dahulu Mpu Sidhimantra sampai perlu memisahkan pulau Jawa dan Bali dan membiarkan putranya Ida Manik Angkeran untuk tetap di Bali karena ketika di Jawa sangat senang berjudi. Pemisahan pulau Jawa dan Bali ini bisa saja merupakan perumpamaan tetapi bukti-bukti keberadaan Manik Angkeran bisa ditelusuri di Bali. Beliau akhirnya menjadi Pemangku di Besakih dan distanakan di Pura Batumadeg Besakih. Dari perkawinannya dengan Ni Luh Pasek Prateka/Warsiki putri Ki Dukuh Blatung keturunan dari Mpu Prateka, akhirnya menurunkan keturunan yang di Bali dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Dauh, dan Arya Pinatih. Dijaman sekarang ini keadaan berbalik yaitu terjadinya penyatuan Bali dan Jawa, tentunya bukan pulau Bali dan Pulau Jawa yang bersatu tetapi mengalirnya umat Hindu suku Bali ke Jawa karena tugas atau faktor lain dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa. Ketika Islam menguasai majapahit sekitar abad XIV Hindu yang ketika itu lebih dikenal dengan Sekte/Mazab, seperti : sekte Siwa, Sekte Brahma, Bhairawa, Indra, dan seterusnya, telah menyebabkan Hindu yang dulu satu kepercayaan menjadi terpecah-pecah, ada yang berkembang di Bali, di beberapa tempat di Jawa, dan daerah lain di Indonesia secara sendiri-sendiri sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dalam pelaksanaannya. Hubungan dengan India sebagai sumbernya Agama hindu menjadi terputus. Keadaan seperti itu berjalan sekitar 500 tahun sejak abad XIV. Keruntuhan Majapahit Hindu itu dimuat dalam sebuah buku yang disebut ”Darmagandul” yang masih dijadikan pegangan oleh Suku Jawa baik yang Hindu maupun yang sudah beralih agama, tetapi peredaran buku ini sangat tertutup karena ada kekhawatiran akan bermasalah dengan umat Agama Baru yang menguasai Majapahit. Dijaman moderen ini seharusnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan walau kenyataannya buku ini belum terdapat di toko-toko Buku. Sekarang Hindu sudah berkembang walau dihiasi dengan budaya lokal, seperti : budaya Bali, Jawa, Dayak, Sulawesi, dll. Hindu dengan budaya lokal ini saling bertemu ibarat ranting-ranting yang mengarah kepada batangnya dan akhirnya akan terpusat pada akarnya sebagai filosofi Hindu yang tunggal. Umat Hindu suku Bali bertemu dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa dan lain-lain suku di Nusantara, bahkan bertemu dengan umat Hindu India melalui Sampradya (Garis perguruan/Aguron-Guron). Pertemuan ranting-ranting ini pasti menimbulkan pergesekan tetapi kedepan hal ini akan bisa menemukan titik temu karena pergaulan budaya adalah sebuah proses dan akan menjadi bentuk apa dikemudian hari tidak perlu dipikirkan, biarlah itu berjalan dengan sendirinya yang penting semuanya dijiwai oleh Inti yang sama yaitu : Ajaran Hindu.

Dibeberapa pedesaan di Jawa yang umatnya masih mempertahankan ageman leluhur yaitu Hindu, sudah bisa bersembahyang atau berintraksi dengan umat Hindu asal Bali. Jika sedang melakukan persembahyangan bersama maka kita mendengar Puja Mantra Pinandita termasuk Puja Tri Sandhya yang sama dengan yang biasa dilakukan di Bali. Pinanditanya juga dari Umat Jawa kadang bersama dengan Pinandita dari Bali. Sarana persembahyangan seperti Banten memang sulit untuk diterima oleh umat Jawa karena kesulitan membuatnya, tetapi yang paling mudah seperti ”Canang” sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Jawa ketika mereka bersembahyang. Ada yang memakai sesaji secara Jawa tetapi tidak banyak yang ditemukan karena sudah ratusan tahun Hindu tenggelam di tanah Jawa, semoga saja ada umat yang bisa meng-inventarisir Sesaji Jawa dan dikupas makna Tattwa Wedanya. Lagipula banten bali juga warisan leluhur Jawa yang menetap di Bali. Umat Hindu asal Bali juga tidak mempermasalahkan jika umat Jawa mempersembahkan ”Tumpengan” atau bentuk sesaji Jawa lainnya, karena Sesaji/banten hanyalah sarana menunjukkan rasa Bhakti pada Hyang Widhi jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umat Hindu suku Jawa juga mengenal bhakti pada leluhur seperti halnya umat Hindu suku Bali, karena ”Lelintihan/ Silsilah” mereka tidak selengkap di Bali, biasanya Petilasan/ Makan orang dituakan sering disebut sebagai cikal-bakal yang pada hakekatnya adalah Kawitan. Kadang ada yang menyebutnya ”Danghyang” yang bagi umat Jawa adalah juga asal-usul (Wit) yang tidak lain adalah Hyang Widhi. Perkawinan antar suku Jawa dan Bali juga sudah banyak terjadi dan acara perkawinan sering dilakukan dalam dua Budaya, termasuk tarian juga kidung yang diperdengarkan. Umat India juga ikut meramaikan pencarian Spiritual umat ini dengan adanya Hare Krisna, Sai Baba, Ganesha Pooja, dan lain-lainnya. Kembali disampaikan, bahwa kedepan akan terjadi budaya baru bagi mereka yang sudah berbaur ini yang bentuknya seperti apa tidak perlu menjadi pikiran kita karena hal ini akan berjalan seiring waktu dan berproses terus menerus. Yang penting bagi kita adalah ”Ruh” dari semua diatas tetap adalah Hindu. Jadi sesungguhnya ”Hindu Nusantara” itu sudah ada dan sudah terbetuk, jika kita tidak melihatnya itu karena kita melihat dari luarnya yaitu cara mereka melakukan kontak dengan Sang pencipta dengan berbagai budayanya. Tetapi jika kita melihat dari spiritualnya, maka Hindu sudah menjadi Ageman mereka, baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.

Jika kemudian muncul suatu pemikiran untuk mengkotak-kotakan lagi umat hindu ini, maka itu tidak ubahnya seperti abad XIV ketika Islam menguasai Majapahit dan umat Hindu terpecah menjadi Hindu Bali, Hindu Jawa, dan lainnya, itu berarti Hindu akan tenggelam lagi dan itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikannya. Jika ada yang ingin mengkotak-kotakkan Hindu ini, maka jelas karena orientasinya adalah budaya, misalnya agar Budaya Bali tetap Ajeg. Kita boleh berhitung jika akibat meng-Ajeg-kan Bali kemudian mengakibatkan Hindu ini menjadi terpecah-pecah lagi, maka tidak sepadan antara hasil yang diperoleh dengan pengorbanan yaitu : mundurnya bahkan punahnya Hindu dari Nusantara, jadi Ajeg-kan Hindu. Pemikiran lainnya adalah apakah kita masih mampu tetap meng-Ajeg-kan Bali di-era Globalisasi ini, walaupun bukan berarti kita membiarkan budaya-budaya yang tidak cocok dengan kepribadian kita untuk berkembang di Nusantara ini, tetapi setidak-tidaknya dengan fokus pada intinya yaitu Ajaran Hindu, maka kita bisa selamat menjalani kehidupan Globalisasi ini karena kita kuat ke-Hinduannya sementara budaya itu akan berubah dan ber-proses terus menerus, dimana Ajaran Agama akan selalu bisa menyesuaikan tanpa kehilangan sarinya. Marilah satukan Hindu, jangan pecah-pecah lagi, yang dapat merugikan umat Hindu sendiri, jangan pisahkan lagi umat Hindu Jawa dan Bali yang sudah menyatu dalam nuansa ke Hinduan yang sudah semakin membaik.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-11-2006
TIRTAYATRA KE PURA BUANA AGUNG MAHENDRA JATI
DUKUH DEMPING-KARANGANYAR

Untuk menjalin komunikasi dengan umat Hindu di lereng Gunung Lawu dan sekitarnya, maka sebagai kegiatan rutin tiga-bulanan, maka pada Minggu 10 Desember 2006 Banjar Solo-Timur melakukan lagi Tirtayatra yang kali ini dipilih ke Pura Buana Agung Mahendra Jati, Dukuh Demping, Dusun Anggrasmanis, kec. Jenawi, Kab.Karanganyar, Jateng. Perjalanan ke Dukuh Demping ini berjarak sekitar 60 km itupun dipilih lewat jalur Sragen dari arah Solo dan berbelok kekanan menuju ke Kec.jenawi. Jika ditempuh dari Karanganyar jaraknya lebih dekat tetapi medannya lebih sulit karena Dukuh Demping ini tempatnya diketinggian walau lebih rendah dari Candi Ceto. Perjalanan melalui Sragen jalannya bagus dan cukup datar tetapi mendekati tujuan jalan mulai menanjak dan yang terberat ketika akan memasuki Dukuh Demping dengan tanjakan yang cukup tinggi, tetapi syukur dengan semangat yang tinggi rombongan bisa sampai dengan selamat. Perjalanan sempat melewati kantong umat Hindu penyungsung Pura Buana Agung Lingga Bhuana dan juga Pura Kalisodo, yang masih berada di Kec.Jenawi, dimana total Pura di Kec Jenawi saja ada 13 buah., Sampai ditujuan rombongan langsung menuju ke areal Pura dengan melalui jalan setapak lebar sekitar satu meter dan berupa tangga semen sampai kepuncak atau Lokasi Pura. Ternyata areal Pura ini tidak besar luasnya sekitar 18M x 9M, dan berada di Ketinggian sehingga dapat melihat pemandangan dibawah dengan baik. Kami diterima umat Hindu disana dan oleh Pemangku Pura Mahendra Jati, yaitu : Pinandita Djito dan Pinandita Widodo. Setelah melepaskan lelah sebentar, maka sekitar pukul 11. rombongan melakukan persembahyangan bersama dipandu Pinandita Djito dan Mangku Pasek. Sementara Pinandita melakukan Puja Stawa juga Ngarga Tirta, maka umat melantunkan kidung pujian memuja kebesaran Hyang Widhi. Kidung Asmorondono yang dilantunkan umat membuat suasana yang sejuk dan tenang menjadi lebih khusuk dan menimbulkan aura religi yang tinggi dan membuat umat semakin larut dalam pemujaan akan kebesaran Hyang Widhi. Sekitar satu jam persembahyangan selesai dilanjutkan dengan ramah tamah dan sambutan-sambutan dipandu oleh Supardi dari PHDI Jenawi. Sambutan dari tuan rumah dilakukan oleh Pinandita Djito dan juga sejarah keberadaan umat disampaikan oleh Sukiman dilengkapi oleh Pinandita Djito. Dari umat Solo Timur disampaikan sambutan Ketua banjar Made Suastika, darmawacana oleh Nyoman Suendi, dan Darmatula dipandu oleh Nyoman Chaya. Serah terima sekedar bantuan dana serta sedikit buku-buku diserahkan oleh Pengurus Banjar kepada Pinandita Djito. Sebelum pamitan, maka umat menikmati suguhan dari tuan rumah. Dengan wajah-wajah cerah walau sedikit capai, rombongan kembali kerumah masing-masing setelah mengucapkan Parama Santih.

Sejarah Keberadaan Pura Buana Agung Mahendra jati
Seperti yang dipaparkan oleh Sukiman dan dilengkapi Pinandita Djito, Pada tahun 1985 umat Dukuh Demping sedianya menjadikan Pura Giriloka di Dukuh Temuireng sebagai tempat sembahyang, namun muncul ide untuk membuat Pura dimasing-masing tempat.yang bisa lebih dekat dan memudahkan pembinaan umat. Waktu terus berjalan dan Pura belum berdiri sampai pada tahun 1991 umat mendapat petunjuk spiritual, yang akhirnya berdiri pertama justru Pura Buana Agung Lingga Buana. yang maish di Kec. Jenawi. Petunjuk sunia kembali diperolah umat tertentu, bahwa Pura BA Lingga Buana mempunyai “pasangan” dan diyakini tempatnya di Dukuh demping. Bukti yang pertama adalah dengan Hibah tanah 6M x 9M oleh Cilik seorang warga Demping, yang dilanjutkan dengan hibah kedua dari Wiryo sehingga luas tanah Pura menjadi 18M x 9M, cukup untuk sarana pemujaan umat Dukuh Demping yang berjumlah 49KK, walau sayang sekali 2 kk sudah beralih ke agama lain, yaitu satu Islam, satu Kristen. Hal ini perlu mendapat perhatian para tokoh umat. Sebagai Pelinggih awal distanakan Hyang Ismaya dimana setelah keterlibatan umat dari Bali dan berdiri Padmasana, Pelinggih Hyang Ismaya ini ingin di pralina tetapi tidak jadi karena Pemangku setempat Kerauhan (trance) dan ada yang sakit, sehingga sampai sekarang Pelinggih ini masih ada walau bentuknya sederhana. Ngenteg Linggih Pura BA Mahendra Jati dilakukan pada 18 Mei 2000 Purnama Sidhi Caka 1922 (1933 Saka jawa), dengan Manggala Upacara Ida Pedanda Gde Putra Sidemen. Di Dukuh Demping juga ada 3 sendang (mata air/telaga) yang diyakini punya aura spiritual, yaitu : Sendang Batu belah, yang dipercaya merupakan Tirta Dasamala, Sendang Ananta Bhoga yang mengeluarkan Tirta Panguripan dan ada pohon Kantil/Cempaka berbunga dua warna,, dan yang ketiga Sendang Banyu Kuwum yang merupakan Tirta Amertha Buana. Persembahyangan di Pura BA Mahendra Jati dilakukan dua kali yaitu : Jumat Kliwon dan Sabtu Kliwon, yang biasanya dilakukan juga pembinaan umat oleh Pinandita Djito. Piodalan pada Kamis Wage Watugunung (Purnama Kasa). Sesuai penuturan Supardi, umat di Demping khususnya dan Jenawi pada umumnya tidak lepas dari masalah. Yang pokok adalah social ekonomi yang rendah, sehingga tidak cukup dana untuk membuat Pura yang bagus bahkan jalan setapak (tangga ke Pura) sebagian belum disemen. Guru agama Hindu di Jenawi dulu 80% sekarang tinggal 10%, dan umat Hindu yang dulunya sekitar 19.000 orang, sekarang tinggal sekitar 2000 orang. Penurunan ini bukan lagi pada masalah KTP atau pembuatan Akte Perkawinan seperti dulu-dulu, tetapi pada “Bargaining/daya tawar” yang intinya lemahnya Sradha/keyakinan akan KeHinduannya . Umat terutama pemudanya sekarang mengikuti fihak perempuan atau laki mempelai ketika terjadi perkawinan beda agama, yang perlu menjadi perhatian para tokoh umat dimanapun berada. Tetapi ada optimisme dari tokoh umat setempat yang menarik yaitu : “Jika dulu kita tinggi kuantitas tetapi rendah kualitas, maka sekarng ini walau rendah kuantitas tetapi tinggi kualitas”.


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-12-2006.
LOKA SABHA PHDI KARANGANYAR-JATENG

Pada minggu, 06 Juli 2008 bertempat di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan-Karanganyar, telah dilangsungkan suatu kejadian penting berupa Loka Sabha PHDI Kab. Karanganyar-Jateng. Ditempat yang sama juga pernah terpilih melalui Loka Sabha Pengurus PHDI periode sebelumnya yang merupakan Pengurus PHDI pertama tingkat Kabupaten, jadi Pengurus terpilih periode ini adalah Kepengurusan ke-dua.

Keberadaan PHDI Kab. Karanganyar menjadi sangat penting mengingat Kab.Karanganyar, tepatnya Kec.Jenawi,Ngargoyoso,Kemuning,Kawasan Ceto,dll merupakan kantong Hindu dengan umat Hindu suku Jawa yang jumlahnya cukup besar dan tersebar dibeberapa desa, apalagi Karanganyar banyak menyimpan peninggalan Hindu seperti : Candi Ceto, Candi Sukuh, dan banyak tempat bernuansa spiritual lainnya sehingga Pemda Karanganyar menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wiisata Budaya dan Spiritual bahkan telah bergandengan dengan Pemda Bali (Gianyar) melalui kegiatan wisata dan perjalanan rohani (persembahyangan). Semua hal ini sebenarnya merupakan hal positif yang seharusnya bisa dimanfaatkan kearah pengembangan umat Hindu khususnya di wilayah Karanganyar. Kedatangan umat dari daerah lain yang tertarik dengan keindahan alam Karanganyar, kedatangan umat dari Bali yang umumnya untuk melakukan persembahyangan karena sejak leluhur dulu sudah ada ikatan batin dengan Candi Ceto misalnya, akan menggerakkan Pemda Karanganyar untuk lebih memperhatikan sarana-sarana yang ada, utamanya peninggalan Hindu. Umat Hindu suku Jawa juga bisa berinteraksi dengan umat dari Bali sehingga terjadi saling memahami cara masing-masing dalam melakukan bhakti kepada Hyang Widhi, sehingga umat Jawa tidak perlu lagi tertutup dalam melakukan kegiatan ritual apalagi sudah dipayungi oleh Lembaga Umat Hindu (PHDI). Ada catatan-catatan kecil tetepi mengandung makna penting khususnya kepada semeton dari Bali yang sudah mulai banyak dan sering mengunjungi Karanganyar (Candi Ceto). Jangan lupa, bahwa wilayah Karanganyar adalah tempat bermukim umat Hindu suku Jawa yang memiliki balutan budaya Jawa dalam meng-interpretasikan bhaktinya pada Yang Maha Kuasa, sehingga ”Warna Budaya Jawa” harus menjadi ciri utama setiap kegiatan ritual yang dilaksanakan di Karanganyar karena Candi Ceto atau Candi Sukuh bukan Pura Besakih atau Pura Lempuyang. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan Pura di Desa-desa di Karanganyar banyak terjadi lewat keterlibatan umat dari Bali sehingga bentuk Pelinggih yang ada seperti yang umumnya di Bali seperti Padmasana, Penglurah, atau Candi Gelung (Gapura). Seperti dimaklumi karena sudah ratusan tahun umat Jawa ini tidak mengenal lagi ajaran nenek moyangnya dan kedatangan umat Hindu dari Bali ibarat mengingatkan kembali ajaran leluhurnya namun sifatnya hanya sebagai pemicu, pendorong dan Tut Wuri Handayani. Umat dari Bali lebih baik membantu pengembangan umat Hindu Jawa seperti : pembangunan atau menyempurnakan Pelinggih-Pelinggih, bantuan Buku-buku/ Majalah Hindu, Darmawacana/Darmatula, dan bentuk Punia lainnya, dibandingkan mendirikan Patung Saraswati yang hanya menjadi objek Pariwisata dibandingkan Spiritual. Jadi Karanganyar tidak perlu lagi dibangun Pelinggih umum lainnya karena sudah memiliki Candi Ceto, Candi Sukuh, dan lainnya yang merupakan peninggalan leluhur yang punya makna philosofis yang tinggi. Para Pandita atau cendekiawan Hindu bisa membantu mencari relevansi budaya Jawa dengan ajaran Weda sehingga semua yang dilakukan jelas landasan tattwa-nya. Jika kita bisa membantu umat Jawa menghidupkan kembali Budaya leluhurnya yang bernuansa Hindu dan bisa tampil di Candi Ceto, maka kita seperti melihat kembali masyarakat Majapahit, Singosari, Daha, Kediri, Mataram Hindu, yang sedang mengadakan ritual pemujaan kepada Hyang Agung, hal ini akan dapat menggetarkan umat lainnya di Tataran Tanah Jawi apalagi jika sempat diliput oleh media TV atau majalah/surat kabar. Umat Hindu dari Bali bukan tidak boleh mengadakan kegiatan persembahyangan, silahkan saja bahkan jika perlu membawa Pandita dan bebantenan lengkap, tetapi sifatnya adalah tamu yang ingin bersembahyang, jangan sampai mengibarkan ”Warna Budaya Bali” dalam kegiatan persembahyangan di Ceto seperti pernah dilakukan sebelumnya, bahkan dengan dimuat berbagai media, hal itu hanya memperlihatkan dominasi Bali ketanah Jawa yang tidak berdampak baik bagi umat setempat khususnya bagi perkembangan Hindu kedepan. Partisifasi umat dari Bali untuk pengembangan Hindu di Jawa, bisa dilakukan di Pura lainnya seperti : di Semeru dan Gunung Salak. Seperti diketahui di areal Pura di Gunung Salak disana ada tempat beryoga semadi tokoh Hindu Ayahnda Prabu Siliwangi (Sri Baduga) yang sangat dihormati di Tanah Sunda, sehingga jika kita bisa kembalikan kejayaan Tanah Pasundan dengan menghidupkan seni budaya jaman dahulu termasuk arsitekturnya, ini sangat positif bagi perkembangan Hindu. Hal yang sama bisa dilakukan untuk Pura di Gunung Semeru dan Pura Umum peninggalan leluhur lainnya di Tanah Jawa. Kembali kepada Karanganyar, maka peran PHDI Kab Karanganyar yang baru terbentuk ini harus memahami, bahwa keberadaannya adalah untuk mengayomi umat Hindu di Karanganyar yang berlatar belakang budaya Jawa sehingga langkahnya adalah ”Menjadikan umat Hindu berkembang baik dengan budaya lokal (local genius)”. Semoga kepengurusan PHDI Kab Karanganyar periode ini bisa melakukan fungsinya dengan baik dan didukung oleh umat serta memperoleh wara nugraha Hyang Widhi.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-07-2008.
LOKASABHA KE-2 PERADAH KABUPATEN KARANGANYAR JAWA TENGAH

Pada tanggal 15 Januari 2006 bertempat di Bale Banjar (Balairung) Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, dilaksanakan Lokasabha ke-2 Peradah tingkat Kabupaten Karanganyar. Lokasabha yang dimulai pukul 10 wib dan berakhir pukul 18.wib ini berjalan sangat tertib dengan mengikuti Tatib-Tatib yang ada dibawah komando pimpinan sidang Pardi,S.Ag. Lokasabha kali ini intinya adalah melaksanakan Pemilihan Pengurus DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Perlu diketahui, bahwa Pengurus DPK Peradah sebelumnya yang dibentuk pada Lokasabha ke-1 pada 11 Maret 1984 di Gedung Golkar Karanganyar, sampai dengan Lokasabha ke-2 ini sudah berusia 21 tahun. Menurut Ketua Peradah hasil Lokasabha ke-1 Cipto Martono, S.Ag. kesulitan mencari Kader pemimpin, kesulitan konsolidasi, dan juga masalah dana mengakibatkan Lokasabha ke-2 baru bisa dilaksanakan setelah 21 tahun, walaupun demikian selama waktu itu kegiatan Peradah tetap berjalan dengan kemampuan yang ada, bahkan sering dengan dana pribadi, semua itu karena dedikasi Pengurus agar Peradah tetap bisa berjalan mengingat Karanganyar merupakan daerah yang umat Hindu asal Jawa cukup banyak, berbaur dengan umat Hindu asal Bali, Lombok dan Lampung.

Sebelum Lokasabha ke-2 dimulai, para peserta melakukan sembahyang bersama di Utama Mandala Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita dengan dipimpin oleh Jro Mangku Ketut Pasek. Para peserta yang terdiri dari dari umat Hindu yang berasal dari Bali, Jawa dan lainnya, berbaur dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi. Sampai akhirnya Ketua Panitia Lokasabha ke-2 Sumarno S.Ag, memulai sidang pada pukul 10 wib. Lokasabha ke-2 ini dihadiri oleh Undangan, yaitu : Ketua DPD II KNPI Karanganyar Drs. Drajad Sri Widodo (dalam hal ini diwakili H.Suparmi), Ketua DPP Peradah Jateng Pande Putu Indra Widiyana,ST, Ketua PHDI Karanganyar Sujarwo, Ketua PHDI Kec. Mojogedang Suwinto- Kec.Jenawi Sukiman – Kec.Ngargoyoso Sularto – Kec.Jaten Sugito, juga dihadiri unsur Organisasi umat Hindu seperti : FORHIN Ngargoyoso Joko Supriyanto, dan Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid Yoko Toh Jiwo. Keseluruhan peserta yang hadir sekitar 50 orang. Urutan Pokok Acara Lokasabha ke-2 ini adalah : Sidang Pleno Pertanggung Jawaban Pengurus Peradah hasil Lokasabha ke-1 disampaikan ketua Cipto Martono, S.Ag. dan diterima oleh peserta sidang, dilanjutkan oleh Sidang Komisi yang membahas Program Kerja, dan puncaknya adalah Sidang Pleno Pemilihan Ketua DPK Peradah Kab.Karanganyar Masa Bhakti 2006-2009. Pada sessi Pemilihan Ketua DPK Peradah, pada tahap awal terjaring 4 kandidat selanjutnya menjadi 3 Kandidat dengan urutan suara terbanyak : Yoko Toh Jiwo, Eko Sulardi dan Atma Jatiningati. Yoko Toh Jiwo yang pada pemilihan awal telah menyampaikan penolakan untuk dicalonkan sebagai calon Ketua karena sedang menjabat sebagai Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid , oleh peserta sidang tetap diminta untuk maju. Juga ketika sessi penyampaian Visi & Misi oleh 3 kandidat Yoko Toh Jiwo tidak menyampaikan Visi & Misi nya karena pertimbangan diatas. Pemilihan Ketua DPK Peradah akhirnya berakhir dengan Eko Sulardi memperoleh suara terbanyak yaitu 14 suara, disusul Atma Jatiningati 12 suara, dan Yoko Toh Jiwo dengan 9 suara pada pukul 15.50 wib. Dengan demikian Eko Sulardi terpilih sebagai Ketua DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Acara dilanjutkan dengan Pembentukan Pengurus dan seksi-seksi melalui Formatur sebanyak 9 orang dimana 3 kandidat ikut didalamnya. Selengkapnya Susunan Pengurus DPK Peradah Kab.Karanganyar masa bhakti 2006-2009, adalah : Ketua : Eko Sulardi, Wakil Ketua : Sumarno, S.Ag., Sekretaris I : Atma Jatiningati, Sekretaris II : Sartono, S.Ag., Bendahara I : I Gede Yopi Saputra, Bendahara II : Dyah Ayu Retno Widiastuti. Akhir Acara adalah : Pelantikan Pengurus dan Seksi-Seksi oleh Ketua DPP Peradah Jateng, sambutan Ketua DPK Peradah terpilih, sambutan dan pesan Ketua DPP Peradah jateng, dan Penutupan Lokasabha ke-2 DPK Peradah Kab.Karanganyar dengan Parama Shanti.


Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-01-2006
PELANTIKAN PENGURUS PHDI JATEN
KARANGANYAR - JATENG

Karanganyar adalah sebuah Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan salah satu kantong Hindu yang sebagian besar adalah umat Jawa. Disini juga banyak peninggalan Hindu seperti Candi Ceto dan Candi Sukuh yang dapat menggambarkan sebuah peradaban adiluhung yang berintikan Hindu, juga Gunung Lawu yang punya kaitan erat dengan umat Hindu didaerah ini termasuk dengan Majapahit Jawa Timur. Hubungan umat Hindu disini dengan dari Bali sangat baik sehingga sering dilakukan event-event yang bernuansa spiritual seperti Persembahyangan di Candi Ceto, di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, dan di Pura-Pura kantong Hindu ini dimana umat Hindu Jawa dan Bali berbaur dalam suasana kekeluargaan yang baik. Birokrasi di Karanganyar juga sangat mendukung seperti Bupati dan Dinas Pariwisata karena Karanganyar memang cocok untuk Pariwisata Spiritual dan Pariwisata Budaya. Yang sangat penting adalah sudah terbentuknya PHDI Kabupaten Karanganyar sekitar 5 tahun yang lalu dilaksanakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan Karangpandan Karanganyar. Selanjutnya disusul dengan terbentuk PHDI – PHDI Kecamatan, bahkan ditempat yang sama pada 4 Februari 2006 juga dilantik Pengurus PERADAH Karanganyar pergantian dari pengurus lama yang dipegang selama 20 tahun karena kesulitan Kaderisasi.

Kecamatan Jaten adalah salah satu dari Kecamatan di Karanganyar yang boleh dibilang terlambat dibandingkan kecamatan lainnya dalam pembentukan PHDI padahal Jaten punya nilai strategis dan juga unik, dimana lokasinya berbatasan dengan Solo (Surakarta) dan umat Hindu etnis Bali banyak tinggal ditempat ini. Atas desakan yang tidak pernah henti-hentinya dari Sesepuh umat Hindu Jawa – Supanggih kepada umat Hindu di Jaten, maka akhirnya berhasil dibentuk PHDI Jaten yang pelantikannya dilakukan pada Hari Minggu, 17 Juni 2007 di Aula Kecamatan Jaten – Karanganyar. Pelantikan dilakukan oleh Sudjarwo Adipuro Ketua PHDI Karanganyar, dan dihadiri oleh Pengurus PHDI Jenawi, dan umat Hindu Ngargoyoso, Mojogedang serta Karangpandan dan Jaten. Acara juga dihadiri Tri Muspika Kecamatan Jaten. Prosesi acara cukup meriah dengan diawali Tari Sekarjagat dan Pembacaan Sastra Suci Weda. Sambutan diberikan oleh Wakil dari Camat Jaten, Ketua PHDI Karanganyar, juga Sesepuh Hindu Supanggih.

Susunan selengkapnya Personalia PHDI Jaten Masa Bhakti 2007 -2012 adalah :

Paruman Pandita : JM Katut Pasek, JM Made Murti, JM Nyoman Sukadana , Pndt Mudiarso,.
Paruman Walaka : Nyoman Murtana, IB Putu Santika, Kd Pardila, Ketut Pariarta, Dewa Gd Sutirta, Sugito, Ketut Yasa.
Pengurus Harian :
Ketua : Nyoman Suendi
Wakil Ketua : IB Arnawa
Sekretaris : Nyoman Chaya , Nyoman Sukirna
Bendahara : Gede Yopi Saputra, Made Suastika
Seksi-Seksi :
Sie Sosial Budaya : Kt Saba, Wy Sadra, Sulistyo Haryanti, Made Widani.
Sie Pend.Generasi Muda : Sumarno, Atmajatiningati, AA Sugiyanto, IB Alit Putra.
Sie Humas : Nengah Surata, Dewa Gd Wirantika


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007

Senin, November 02, 2009

DARMAWACANA SEBUAH KESEMPATAN

Ketika Bangsa Indonesia butuh kemerdekaan, maka lahir Sukarno Sang Proklamator, yang kebetulan Ibunya Nyoman Rai Srimben adalah orang Bali dari keluarga Pasek Tatar Baleagung Buleleng. Ketika umat Hindu suku Bali mulai sadar perlunya bhakti pada leluhur khususnya yang belum kenal ”Wit /asal-usulnya” sebagai wujud bhakti pada Ibu-Bapak, maka lahir seorang Ketut Soebandi yang meluruskan benang kusut keleluhuran ini, dan banyak contoh lainnya yang membuktikan kepada kita, akan kasih sayang Hyang Widhi kepada umat manusia seperti dipertegas dalam ajaran Awatara. Ini juga memperjelas, bahwa sesungguhnya setiap manusia yang lahir ini mempunyai peran masing-masing sesuai dengan bakat (guna) dan aktifitas/perbuatannya (karma), artinya setiap orang punya ”kesempatan” untuk melakukan sesuatu yang baik.

Darmawacana, adalah satu kesempatan yang diberikan kepada kita untuk melakukan hal yang baik yaitu mewacanakan kebenaran/kebaikan. Darmawacana ini disamping berbicara dihadapan umum seperti yang kita kenal, juga meliputi : Men-Dalang, Kidung/Pengawi, dan menulis. Khusus mengenai berbicara dihadapan publik (cq. Darmawacana), maka ada sesuatu yang perlu kita lihat lebih jauh. Kita mengenal banyak pen-darmawacana di lingkungan umat Hindu atau di umat beragama lain, di umat Islam kita mengenal Zainudin MZ, AA Gym, yang ceramah agamanya begitu ditunggu-tunggu masyarakat. Dilingkungan umat Hindu kita mengenal Pedanda Gunung, Pandita Mpu Dwija Kerta (Seririt), Bhagawan Dwija, Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, dan di Jawa (Surabaya) ada Nyoman Putra, yang juga sangat disukai masyarakat, walaupun perbedaan AA Gym dan Pendarma Wacana kita skalanya lebih luas artinya ceramah AA Gym bisa dinikmati oleh umat lain (non muslim) sementara kita belum setingkat itu hanya terbatas dilingkungan umat Hindu, bahkan lokal /daerah, walau kita tetap harus bersyukur punya Pendarma Wacana yang disenangi masyarakat sehingga dapat memberi arahan yang benar kepada umat Hindu khususnya. Yang menjadi pertanyaan kenapa begitu banyaknya pen-darmawacana namun hanya sedikit sekali yang bisa mengena dihati masyarakat atau menjadi idola ? Apakah beliau-beliau yang dikanal masyarakat ini memang sangat mampu dibidangnya ? Jawabannya tentu Ya, tetapi apakah yang lainnya tidak punya kemampuan?. Pedanda Gunung misalnya banyak dinanti-nanti darma-wacana beliau di Bali TV atau diundang disuatu acara, walau banyak yang menilai materinya biasa saja artinya orang lain juga materinya sama bahkan lebih baik tetapi toh Pedanda Gunung lebih disukai masyarakat. Pendapat lain mungkin karena beliau pintar menyelingi dengan lelucon seperti dilakukan oleh AA Gym dan Zainudin MZ, tetapi orang lain juga banyak yang lucu, lalu apa bedanya ? Hal yang sama juga bisa diamati pada Bhagawan Dwija, dan idola masyarakat lainnya. Atas fenomena adanya ”perbedaan” ini, tentu ada hal yang menarik sekaligus menjadi pertanyaan kita, kenapa ada perbedaan ini ?. Tanpa bermaksud Ajewere atau mendahului kehendak Hyang Widhi, maka ada sesuatu yang lain yang dimiliki oleh orang-orang tersebut dan merupakan ”Anugrah” Hyang Widhi, ini yang disebut dengan ”Karisma”. atau ”Pamor”, orang jawa mengatakan memperoleh ”Pulung”. Orang-orang yang punya karisma ini lebih mempunyai magnet dibandingkan yang lainnya ketika berbicara dihadapan publik, tetapi sekali lagi ini adalah Anugrah yang tentunya Hyang Widhi punya maksud lain atas anugrah ini. Ini juga menandakan orang yang punya karisma ini punya kesempatan yang lebih besar untuk melakukan sesuatu kebaikan kepada umat manusia dibandingkan yang lain dan kesempatan ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Jika baik membawa anugrah ini, maka sepanjang jaman akan dikenal dan harum namanya walau orangnya telah tiada, tetapi sebagai imbangannya godaan ketenaran juga sangat kuat ibarat pohon yang semakin tinggi akan semakin kencang tertimpa angin. Godaan-godaan bisa membuat gagal mengemban anugrah ini, seperti jika tergoda oleh wanita, harta, atau memanfaatkan ketenaran untuk kepentingan golongan/kelompok/clan/soroh, maka waktu akan membuktikan, bahwa cepat sekali karisma atau pamor itu akan menyusut bahkan tidak berkilau lagi. Contoh nyata akan hal ini bisa kita lihat bersama, maka hati-hatilah mengemban anugrah ini. Bagaimana dengan ”Penulis” ? Banyak penulis yang berkarya dengan tulisannya namun sedikit yang dikenal oleh masyarakat, inipun terkait dengan anugrah dan kesempatan disamping kemampuan penulis tersebut. Menulis adalah suatu kesempatan, jadi ini juga agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Penulis disamping menyampaikan pesan-pesan kebenaran juga bertugas ”meluruskan” sesuatu yang belum lurus sehingga perlu keberanian dan kejujuran untuk melakukan hal ini. Dampaknya bisa mendapat perlawanan atau debat khususnya dari fihak yang diluruskan. Semangat yang perlu ada adalah ”jadikan kejujuran, kasih sayang, dan keberanian” sebagai pegangan. Penulis juga bisa tergoda/terjerumus, yaitu ketika memanfaatkan tulisan untuk menyerang fihak lain, bukan yang sifatnya meluruskan apalagi menyampaikan kebenaran dan kedamaiaan. Pada situasi seperti ini, maka nafsu atau pembalasan akan menunggangi dan kalimat yang keluar kepermukaan menjadi kasar, tidak sopan, bahkan menyakitkan.

Ketika Yudistira (Darmawangsa) diberi kesempatan oleh Hyang Widhi untuk memilih salah satu dari ke-empat adiknya yang meninggal didekat telaga untuk hidup, maka Yudistira memilih Nakula si-kembar yang beda ibu, tujuannya agar ada ”keadilan” . Karena kebijaksanaan Yudistira, akhirnya keempat adiknya hidup kembali. Semoga dengan bercermin pada kisah Pandawa ini, kita yang diberi anugrah oleh Hyang Widhi, dapat menggunakan dengan baik ”kesempatan dan anugrah” ini.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2007
MERENUNGI MAKNA ”PAREKAN SEKEN”

Pada kesempatan Darmawacana oleh Pandita Mpu dalam suatu Piodalan, sempat terlontar kata-kata agar para Damuh (Pratisentana Bhatara Kawitan) jangan menjadi ”Parekan Seken” yang merupakan kepanjangan ”Pasek”. Apa yang disampaikan oleh beliau sebagai seorang sulinggih, saya rasakan tidak ada maksud untuk menghina para damuh atau mem-provokasi, namun mengajak meningkatkan diri secara mental agar berada pada tataran yang sama, sederajat, tidak lebih tinggi juga tidak lebih rendah. Kenapa sampai ada lontaran Parekan Seken ni tentu ada sebabnya.

Seperti kita ketahui karena perkembangan jaman, maka Pratisentana Mpu Gnijaya sebagai leluhur Sapta Pandita yang keturunannya dikenal dengan ”Pasek” mengalami kemerosotan status atau akses politik. Mpu Gnijaya yang semula menjadi panutan Panca Tirta lainnya karena tertua, juga Sapta Pandita yang dulunya selalu memimpin persembahyangan di Besakih, setelah tahun berganti tahun beralih kepada Pandita lainnya, seperti Danghyang Nirarta dan keturunannya yang merupakan Pedanda-Pedanda. Juga perjalanan dari Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang menjadi raja di Bali pada abad XIII atas restu Mpu Semeru (salah seorang Panca Tirta) akhirnya kemudian beralih kepada ”Dalem Kresna Kepakisan” sebagai senapati/wakil raja di Jawa, setelah pemerintahan di Jawa Timur dibawah Majapahit. Selanjutnya setelah berakhirnya dinasti Dalem di Bali, menurut Kembar Kerepun dalam bukunya ”Benang Kusut Nama Gelar di Bali” , Belanda perlu menghidupkan kembali bekas-bekas raja-raja dulu, maka muncullah Anak Agung dan Cokorda. Perkembangan fase demi fase itu telah semakin melemahkan akses Pratisentana Sapta Pandita. Jika ada yang menjadi Rohaniawan maka biasanya disebut Dukuh namun berbeda sekali perannya dibandingkan dengan, misalnya : Ki Dukuh Blatung (Mertua Ida Manik Angkeran- leluhur Wang Bang Sidemen/Singarsa, Pinatih dan Arya Dauh), juga Ki Dukuh Suladri (Mertua Sri Angga Tirta Ksatrya Tirtha Arum dan Dalem Gelgel Dimadya). Jadi hanya rohaniaan biasa tidak punya akses ke Raja/Dalem. Keturunan Kyayi I Gusti Ageng Pasek Gelgel dan Pasek lainnya juga menurun statusnya, paling tinggi hanya jadi Patih, berbeda dengan jamannya Ki Bendesa Mas (Salah seorang mertua Danghyang Nirarta) status sosial itu masih kuat. Walaupun demikian sejarah membuktikan banyak dari Pasek ini menjadi ”Tameng Wijang” kerajaan Gelgel. Lama kelamaan status Pratisentana Sapta Pandita semakin jauh merosot, banyak kemudian mereka menjadi Petani, bahkan Abdi/Parekan. Mereka kemudian menjadi orang diluar lingkungan kerajaan (Puri), jadilah mereka ”Jaba” (diluar Puri), muncullah istilah Tri Wangsa dan Jaba. Jaba ini kemudian disetarakan dengan Sudra yang jelas menyimpang dengan ajaran Catur Varna. Banyak dari mereka yang sangat setia (seken), bahkan sampai melupakan jatidiri mereka sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi, bahkan tidak ingat lagi dengan swadarma Bhatara Kawitan mereka yang sangat mendalami ajaran ke-rohanian. Sampai dijaman yang sudah merdeka dan moderen ini masih ada yang menempatkan dirinya sebagai Parekan (Abdi) karena faktor-faktor, misalnya : dari dulu keluarganya mengabdi di Puri. Yang mengherankan lagi adalah, mereka yang sudah tidak ada ikatan dengan abdi-mengabdi masih bermental seperti itu, bisa dilihat dari perlakuan yang istimewa terutama dalam berbahasa kepada yang dikenal dengan Tri Wangsa itu, inilah bentuk keberhasilan pengelompokkan manusia jaman dulu yang masih terbawa sampai sekarang. Khusus untuk semeton Pasek yang terbesar jumlahnya di Bali, maka atas mereka yang masih bermental seperti itu muncullah istilah ”Parekan Seken” (Abdi Setia).

Pada kesempatan ini coba direnungkan, pantaskah menempatkan diri menjadi ”Parekan Seken” ?. Kesetiaan , tahu balas budi, dan penghormatan kepada orang lain, memang sangat diperlukan dalam keseharian kita, tetapi harus dalam koridor ”kesetaraan” sebagai mahluk ciptaan Hyang Widhi yang berarti bahan bakunya sama. Bahkan ada klakar yang menyebutkan orang Bali itu sama-sama berasal dari ”Jambuldwipaha” (Plesetan dari Jambu Dwipa / India). Kalau begitu kanapa kita harus merasa berbeda ?. Baiklah kalau karena alasan balas budi, tetapi bukankah kewajiban kita untuk saling tolong menolong tanpa pamrih, biarlah Hyang Widhi yang membalas. Jangan bantuan yang diberikan menjadi mengikat hingga menodai jati diri manusia yang sama tadi. Bagi yang memberikan bantuan jangan karena suatu kepentingan tertentu, misalnya karena memanfaatkan mental parekan tersebut. Seharusnya Pasek itu dimaknai ”Patitis Sesana Kawitan” yang mengajarkan semeton Pasek untuk meniru prilaku Bhatara Kawitan, seperti : Mpu Gnijaya atau Sapta Pandita yang mengamalkan ajaran kerohanian. Juga prilaku Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sangat dihormati seantero jagat Bali sehingga ketika Kresna Kepakisan menjadi Dalem dan rakyat Bali berontak, beliau tetap berjiwa besar dengan ikut terjun ke kantong-kantong rakyat Bali agar menerima kepemimpinan Dalem Kresna Kepakisan. Meniru sesana yang baik dari Bhatara Kawitan berarti kita telah bhakti pada leluhur dan telah memanfaatkan hidup ini dengan baik.

Seperti disebutkan Sarasamuccaya Sloka 4 ;
iyam hi yonih prathama yonih prapya jagatipate, atmanam sakyate tratum karmabhih subhalaksanaih  Menjelma sebagai manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
UPAKARA YADNYA ANTARA SASTRA DAN DRESTHA


Disamping masalah Catur Warna yang kemudian menjadi Catur Wangsa bahkan disalah kaprahkan menjadi Kasta, rupanya umat Hindu di Bali masih banyak melakukan kekeliruan yang sudah men-tradisi untuk kurun waktu yang cukup lama sehingga menganggap apa yang dilakukan itu sudah benar adanya. Salah satu yang perlu disampaikan kepada umat adalah masalah Upakara Yadnya.

Menurut Ida Pandita Mpu Daksa Jaya Dhyana, dari Pasraman Wanagiri, Br.Baledan, Kec.Nusa Penida, Klungkung, yang menceritrakan kepada penulis ketika beliau hadir di Karanganyar, menyampaikan, bahwa di Bali masih banyak masyarakat mempersiapkan Upakara Yadnya dengan mengikuti Drestha/ Care (Kebiasaan setempat) yang merupakan warisan pendahulunya dimana belum tentu memiliki dasar Sastra Weda. Karena kuatnya Drestha ini, maka sering masyarakat ”Memengkung (Membandel)” ketika diarahkan kepada yang benar. Contohnya saja ketika melaksanakan Pitra Yadnya, masih ada masyarakat yang perlu membawa tanah Setra (Tanah Kuburan) dari sang Sawe kerumah bahkan ke Mrajan, ini tentu saja ”Leteh” baik bagi Mrajan atau rumah yang bersangkutan juga desa. Ada juga umat yang membekali sang Atma dengan pakain bagus-bagus lalu dibakar padahal sehari-harinya keluarga ini memakai pakaian biasa-biasa saja. Yang berlebihan lagi ada yang sampai membakar emas, bahkan mobil untuk bekal kepada Sang Atma, padahal beliau tidak perlu perhiasan emas apalagi nyetir mobil tentu tidak bisa. Yang diperlukan disini adalah ”Ketulusan hati dan doa serta sujud bakti keturunan atau keluarganya”, biarlah harta benda yang mungkin hasil karya dari beliau semasih hidup dipergunakan untuk anak keturunannya dan itu pasti membanggakan beliau karena masih bisa memelihara keturunannya, lagipula karena umat Hindu percaya Punarbhawa (Reinkarnasi) maka bisa jadi beliau menitis kembali, maka harta benda itu bisa untuk dipergunakan memelihara beliau yang menitis lagi. Kekeliruan lain adalah pengertian tentang ”Rsi Ghana”, sebagai bentuk Pecaruan Agung, masih banyak umat yang melihat atau lebih fokus pada eteh-eteh atau pelengkap atau sarana dari Caru Rsi Ghana ini seperti binatang-binatang serta bebantenannya. Inti dari Caru Rsi Ghana ini adalah pada ”Banten Ghana” yang hanya satu tanding saja, namun isinya sangat lengkap, yang paling penting lagi harus dipuput oleh Pandita (Brahmana/Sulinggih) karena tingkatan upakaranya yang belum boleh dilakukan oleh Pemangku/Pinandita, jadi Pecaruan Rsi Ghana juga bisa dengan biaya murah. Contoh-contoh kekeliruan dimasyarakat ini sangat banyak jika diungkapkan, itulah sebabnya masyarakat Hindu di Bali menjadi terkuras harta-bendanya hanya untuk kebutuhan Yadnya saja, sehingga hanya akan membuat miskin Sang Yajamana (yang punya kerja) dan membuat kaya tukang banten. Kebutuhan akan Yadnya yang keliru ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti : Pendidikan, kesehatan, juga bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia/Dana Paramitha). Untuk itu para tokoh umat atau Pandita/Brahmana/Sulinggih perlu meluruskan hal ini dimasyarakat bukan membiarkan apalagi mengambil keuntungan atas kekeliruan ini, termasuk pendapat pada Raditya edisi Agustus 2006 tentang Mati Ulah pati yang menyebutkan banten Triwangsa lebih besar dari Jaba, apa ada dasar Sastra Weda ? dan masih relevankah Istilah Triwangsa dan Jaba yang merupakan produk kolonial Belanda diaplikasikan dijaman sekarang ? Belanda melegalkan Kasta pada abad XVI, setelah menghidupkan kembali bekas kerajaan yang tenggelam karena saling serang ketika runtuhnya Majapahit Hindu. Sesudah Majapahit Hindu runtuh, maka Raja di Bali yang ditempatkan Majapahit otomatis tidak mendapat pimpinan dari induknya di Jawa, Belanda sudah hengkang sangat lama dari Nusantara tetapi sistim pemecah belahnya masih terasa sampai sekarang di Bali, siapa yang bodoh disini ?

Kembali kepada permasalahan Yadnya, seperti diketahui, bahwa dasar-dasar Yadnya yang benar adalah ”Sastra” karena ini sumbernya dari Weda. Sastra yang dimaksud adalah : Untuk Dewa Yadnya Sundarigama, Pitra Yadnya Yama Purana Tattwa, Manusa Yadnya Widhi Castra, Bhuta Yadnya  Bhama Kerti dan Glagah Puwun. Sastra-sastra ini harusnya dijadikan pegangan bagi para Brahmana, Pinandita, atau sang Amuput Karya dalam mengantarkan Yadnya umat, sehingga tidak keliru, lebih effisien, dan effektif. Pola-pola yang hanya berdasarkan kepada Mule Keto atau lontar-lontar yang tidak jelas rujukannya seharusnya mulai dipertanyakan keabsahannya untuk dasar Yadnya. Sekarang ini Hindu di Indonesia sudah bukan dianut oleh orang Bali saja tetapi juga oleh etnis lain, seperti Jawa, Dayak Kaharingan (Kalimantan), Sulawesi, Batak Karo (Sumatra), dan lain-lain, bahkan etnis Bali yang tinggal diluar Bali juga sangat kritis menyikapi kekeliruan-kekeliruan di Bali sehingga perlu diambil tindakan yang bijaksana agar umat ini tidak terpuruk ekonominya hanya karena tidak memperoleh pendidikan yang benar akan hakekat Yadnya. Untuk itu bisa dilakukan dari dua arah , yang pertama adalah dari Desa setempat melalui tokoh desa dan yang kedua dari atas melalui birokrat di PHDI, Departemen Agama, atau tokoh masyarakat lewat Darmawacana dimedia atau terjun langsung dengan niat untuk meluruskan kekeliruan, bukan sibuk meng-Ajegkan kekeliruan atau prestise yang semu, yang pada hakekatnya adalah pembodohan. Kembalilah kepada ajaran Hindu yang benar yang bersumber dari Weda dalam setiap kehidupan masyarakat.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
21-08-2006
DERAJAT MANUSIA

Ketika sedang melaksanakan ”Berata Penyepian” di Pura, kami kedatangan petugas dari pemerintah Kabupaten Karanganyar-Jateng dan stasiun TV daerah yang ingin meliput pelaksanaan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka 1930. Salah seorang pegawai pemerintah ini membuka pembicaraan dengan sebuah pengalaman, bahwa mereka baru datang dari Bali karena diundang oleh tokoh penting dari Bali dalam rangka persiapan Perayaan Hari Raya Saraswati di Karanganyar-Jateng. Salah satu kalimat yang akhirnya justru menjadi pembicaraan yang panjang adalah ketika beliau menyatakan ”tokoh yang mengundang adalah dari Kasta tertinggi”. Dengan nada bergurau seorang kawan menjawab, bahwa dia lebih tinggi kalau berada di Gunung Lawu, salah seorang pegawai pemerintah yang lain ikut nimbrung dengan mengatakan dia lebih tinggi lagi kalau sedang naik pesawat terbang. Sambung menyambung ini membuat suasana semakin ramai dengan gurauan namun penuh makna. Pegawai pencetus diskusi ini kelihatan bingung dengan apa yang terjadi, dan agar tidak semakin bingung, dan agar suasana terkendali apalagi ini dalam suasana Berata Penyepian, maka penulis mengalihkan pembicaraan lebih serius dengan kalimat, bahwa ”Derajat Manusia tinggi atau rendah itu, karena prilakunya, bukan karena kelahirannya”. Jika dilihat dari sudut kelahirannya, maka orang Bali itu banyak berasal dari leluhur yang sama. Mereka pada umumnya merupakan tokoh-tokoh penting pada jamannya, seperti : Pandita (Mpu, Rsi), Pemimpin masyarakat (Kyayi, Dalem, Bendesa), kesatrya tangguh yang wira mandiri, dan lain-lain, tetapi kata penulis dengan nada menekankan, ”Itu Dulu !!”, sekarang ini ya kami-kami ini yang bukan Pandita, bukan Raja, tetapi kami mencoba mengikuti jejak leluhur kami khususnya prilakunya yang baik agar bisa menjadi pegangan dalam kehidupan kedepan. Pegawai ini nampak mulai tidak bingung, lalu cerita kami lanjutkan dengan mengatakan kami juga berasal dari Jawa dan kami ini sedang pulang kampung. Rombongan ini nampak semakin antusias, bahkan staff TV lokal ini yang rencananya meliput Perayaan Nyepi malah menjadi meliput ceritra tentang ”Sejarah Keleluhuran” terkait dengan keberadaan Petilasan di Karanganyar Jawa tengah ini.

Dengan tetap mengesankan, bahwa kami orang Bali adalah saudara, maka ceritra kami awali dengan menunjukkan lima buah Patung di Gapura sebagai simbolis dari ”Panca Tirta”, yaitu Lima bersaudara yang Pandita (Brahmana) semua, dimana empat (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan) diminta ke Bali atas permintaan Raja Udayana. Lima patung tersebut berurutan atas kebawah, dimana yang paling atas justru adalah yang terkecil dari Panca Tirta, yaitu : Mpu Bharadah leluhur dari Ida Bagus, Anak Agung, dan lain-lain, sementara dibawahnya adalah kakak-kakaknya dan yang terbawah adalah yang tertua (Mpu Gni Jaya) yang merupakan leluhur Pasek, Bendesa, Tangkas. Jadi penempatan patung ini mengandung pendidikan moral, bahwa yang lebih tua wajib mendukung atau mengayomi yang lebih kecil. Tamu dari pemerintah daerah Karanganyar dan TV lokal ini nampak faham karena pesan moral dalam keseharian seperti halnya ”sungkem” itu banyak dilakukan oleh orang Jawa. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan justru dari para tamu ini dengan menanyakan apa hubungannya Panca Tirta dengan Petilasan ini ?. Penulis melanjutkan, Yang tertua (Mpu Gnijaya) menurunkan ”Sapta Pandita (Tujuh Pandita) yang jaman dulu selalu menjadi rohaniawan di Jawa Timur (Singosari, Daha, Kediri) sampai kepada Raja Dandang Gendis, dan dibuatkan Meru Tumpang Tujuh di Petilasan ini. Yang tertua dari Sapta Pandita (Mpu Ketek) adalah leluhur dari yang distanakan di Petilasan ini. Salah seorang tamu bertanya lagi, kenapa ada tanda-tangan Paku Bhuwono XII (Raja Surakarta Hadiningrat) pada Prasasti ? Sapta Pandita yang ke-tiga adalah ”Mpu Wiradnyana”, keturunan beliau beberapa tingkat adalah Kakak beradik ”Mpu Purwa dan Ken Dedes” dimana Ken Dedes menurunkan Raja-Raja Jawa seperti : Paku Bhuwono dan Mangku Negaran di Solo, Hamengku Bhuwono dan Paku Alam di Jogja, dan lain-lain. Jadi pantas sekali kalau Sri Sasuhunan Paku Bhuwono XII (Almarhum) menanda-tangani prasasti yang waktu itu (September 2002) diiringi putra-putri dan menantunya. Selanjutnya Mpu Purwa keturunannya ada yang ke Bali dan menurunkan keturunan dimana salah satunya ”Nyoman Rai Srimben” dari Banjar Bale Agung-Singaraja (Bali) adalah ibunda Presiden Soekarno. Diskusi berikutnya masih berkisar keleluhuran dan kekaguman mereka, bahwa begitu tingginya bakti orang bali pada leluhurnya sampai mengejar ke Jawa yang kalau bukan karena kehendak beliau tidak mungkin bisa dijumpai. Salah seorang dari tamu yang kelihatannya banyak faham situasi di Bali menyampaikan pendapat, bahwa tidak semua orang Bali tujuannya bhakti pada leluhur karena ada yang mengeluarkan banyak dana untuk sebuah pertunjukkan yang bernama ’prestise”, alangkah baiknya pak kalau dana itu bisa untuk membantu orang miskin katanya, disambut tanda setuju dari semua yang hadir. Tetapi kata penulis, manusia itu tidak sama pemikirannya, namun semua akan memperoleh imbalannya. Bagi yang mengejar bhakti sejati pada leluhur dan Hyang Widhi, maka akan mendapat restu kerahayuan serta kebahagiaan, bagi yang mencari prestise, maka juga akan memperoleh hal itu khususnya dari orang-orang yang tidak tahu kebenaran sejati, atau dari orang yang memang memanfaatkan hal itu untuk keuntungan sendiri, yaitu memperoleh manfaat finansial. Bagi kedua belah fihak hal itu tidak masalah karena sama-sama menguntungkan, maka secara hukum ekonomi karena ada pembeli dan penjual maka terjadi transaksi. Diskusi demi diskusi semakin jauh dan semakin dalam karena diantara mereka ada yang sudah sangat faham dengan keadaan di Bali dan melihat ketimpangan, sehingga diskusi kami jaga secara moral dengan tetap menekankan, bahwa kami di Bali adalah bersaudara, jika ada yang keliru dalam penerapan hubungan persaudaraan ini, karena mereka itu belum faham dan kami yang sudah tahu wajib memberitahu.

Tanpa terasa dari pagi berdiskusi sampai kepada siang hari, dan mereka pamit dengan suatu kesadaran baru. Sebagai bukti keseriusannya kami mendengar, bahwa pada malam harinya wawancara seputar Petilasan dan Keleluhuran dimuat di TV Lokal (TA TV Solo) dalam liputan bahasa Jawa. Semoga dengan informasi ini kami sudah melakukan bhakti pada leluhur dengan memberitakan keberadaan beliau agar diketahui oleh para damuh /keturunannya, bahwa beliau pernah ada di jawa dan sekarang akan tetap menjaga serta menyatukan keturunannya satu sama lain dan menjadi panutan agar kita menjadi manusia yang ”Berderajat Tinggi” karena Prilaku yang baik.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-04-2008.
MARI REBUT BHATARA KAWITAN


Seorang kawan menyampaikan pendapat agar kita berhati-hati jangan sampai disebut merebut Kawitan entah apa maksudnya. Sesepuh kami (Almarhum) juga pernah berceritra langsung pada penulis adanya tudingan merebut Pura Kawitan hanya karena semakin banyak umat yang bersembahyang ke Pura Kawitan tersebut, bahkan ada Media Umat juga dengan terang-terangan menjadikan kulit sampul majalahnya dengan judul serupa itu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengajak kita berpikir lagi akan arti ”Merebut Pura Kawitan” ini.

Kita memang harus merebut Bhatara Kawitan dengan jalan mendekatkan diri, rajin mengunjungi Parahyangan beliau, dan taat meniru sesana yang baik dari beliau pada saat menjadi manusia, karena dengan cara ini kita telah melakukan bhakti yang diharuskan oleh ajaran Agama. Bila perlu kita juga merebut Kawitan orang lain kalau kita yakini itu perlu dilakukan, karena semakin banyak kita bhakti semakin tebal aura spiritual yang bisa kita miliki. Kita juga perlu mendorong atau membantu pembangunan Parahyangan Bhatara Kawitan agar semakin banyak orang yang mendapat tempat untuk merebut Bhatara Kawitan. Apakah tindakan ini menyimpang ? atau ini adalah Leluhur Sentris sehingga pada saat meninggal akan masuk kealam leluhur seperti yang tersurat pada ajaran agama, tidak bisa dipastikan, karena tidak ada yang tahu pada saat seseorang bhakti pada leluhur bisa juga pada saat itu dia memuja Hyang Widhi. Puja Mantram yang dilantunkan baik oleh umat secara pribadi atau jika dipimpin Pinandita atau Sulinggih di Pura Kawitan juga ada mantram memuja Hyang Whidi . Bukankah juga ada keyakinan, bahwa beliau yang sudah meninggal setelah dilakukan Pitra Yadnya maka sudah menjadi Dewa Hyang yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi dan di-linggihang di Kemulan. Jadi tidak ada yang keliru pada tindakan-tindakan seperti ini. Wacana yang terjadi seperti pada pembukaan tulisan ini, menurut pengamatan penulis hanya bersifat Skala, politis, Superior, dan tidak ingin warga lain menjadi besar, padahal dengan banyaknya umat yang mulai bhakti pada leluhurnya baik dengan membuat Parahyangan atau hanya tempat pemujaan keluarga justru harus disyukuri karena berarti semakin banyak umat yang menuju kejalan yang benar, atau bisa saja mereka baru sadar, bahwa selama ini bhakti pada leluhurnya ternyata kurang baik sehingga tidak bisa merebut Bhatara Kawitan. Jika saya punya kekuasaan atas Parahyangan Bhatara Kawitan, maka atas wacana yang berkembang ini saya akan serahkan Parahyangan tersebut kepada mereka. Dengan cara itu, maka mereka akan perlu merawat Parahyangan tersebut, untuk merawatnya lalu dibuatlah proposal kemana-mana untuk memperoleh sumbangan, setelah Parahyangan berdiri megah maka segera bekerja-sama atau didatangkan pejabat pemerintah, stasiun TV, wiraswasta dengan iklan-iklannya, dan terpampanglah dengan jelas Parahyangan sekalian dengan foto-foto pengurusnya atau pengemponnya. Setiap Piodalan di puput Sulinggih yang diinginkan lengkap dengan sarana persembahyangan/ bebantenan yang mewah (utama) sehingga pantas diliput oleh Stasiun TV tingkat nasional. Jika perlu diundang Umat Hindu dari Manca Negara seperti India, Malaysia, dll. Benar-benar terpublikasi Parahyangan Bhatara Kawitan ini. Pertanyaannya adalah, Apakah Bhatara Kawitan menghendaki hal ini, dan apa sebenarnya yang diperoleh dengan tindakan seperti ini ? yang diperoleh adalah ”kepuasaan duniawi, berujud kemasyuran yang semu”, jadi yang diperoleh hanyalah wujud fisik dari Bhatara Kawitan, padahal penulis meyakini, bahwa Bhatara Kawitan tidak perlu kemasyuran seperti itu, yang memerlukan itu sebenarnya manusianya. Maka melalui tulisan ini penulis mengajak mari berhenti mengikuti kekuatan pikiran tapi ikuti hati nurani karena disana letak kebenaran yang hakiki, jangan mempermasalahkan orang yang berbakti atau bersembahyang, tetapi permasalahkan umat yang belum bhakti apalagi yang berpindah keyakinannya, mari kita bantu umat Hindu non Suku Bali yang saat ini perlu pembinaan melalui darmawacana, darmatula, atau memberikan buku-buku Hindu, jangan jadikan media umat menjadi media menyerang umat lain tetapi meluruskan, jangan jadikan lembaga pendidikan Hindu untuk kebutuhan usaha/busines semata tetapi jadikan ladang Jnana Punia bagi personal yang ada didalamnya, jadikan media seminar-seminar sebagai media pencerahan bukan sebagai ladang usaha seperti konsultan suasta umumnya, jadikan station TV atau Radio sebagai media penyampaian ajaran Weda yang adiluhung bukan sebagai sarana mempertahankan prestise yang semu, jadikan apapun yang kita ingin lakukan semata-mata untuk kebaikan sesama baik itu umat Hindu maupun umat manusia pada umumnya, maka dengan cara demikian Bhatara Kawitan akan selalu bersama kita dan kita boleh bangga, karena ”Kita sudah merebut Bhatara Kawitan”.

Sebagai akhir kata, penulis mengajak kita untuk sama-sama merebut Bhatara Kawitan dengan berani dan bangga mengakui beliau walaupun hanya sebatas ucapan atau tulisan namanya, pelajari kehidupan beliau dalam membina kesejahtraan umat, dan jadikan itu bagian dari prilaku kita sehari-hari jika kita mampu, maka ibarat seorang anak yang ingin merebut hati orang tuanya, seorang pemuda kepada pemudinya, seorang karyawan pada majikannya, maka ”Kita akan memperolehnya”.






Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
03-05-2005.
PEMERINTAHAN DI BALI SEBELUM ERA MAJAPAHIT

Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya adalah yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi ini merupakan penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah punya kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga, dengan bahasanya Melayu-Polinesia. Mereka pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja, untuk itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakatnya disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing dan diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali berupa orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem. Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya. Pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa tengah lalu ketimur sampai ke Gunung Raung Jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Pertama datang dengan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro dan diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa yang pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Panditanya selalu menjadi Purohita Kerajaan.

Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Setelah Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. dari perkawinannya berputra : Airlangga dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja Daha di Jawa pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Jayabhaya dan Jayasabha. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta, dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah (Mpu Bharadah tetap di Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Di Jawa, putra Mpu Gnijaya yaitu Sapta Rsi dan keturunannya selalu menjadi Purohita di kerajaan di Jawa (Daha sampai Kediri). Ada suatu kisah pada pemerintahan Raja Kerta Jaya (Dandanggendis) yang berkuasa di Kediri pada Saka 1116-1144 (1194-1222M), beliau mengundang para Mpu untuk diuji kesaktiannya apakah bisa berdiri diujung tombak seperti yang dilakukan Raja Kerja Jaya. Karena seorang Brahmana (Pandita) tidak pantas memamerkan kesaktian, maka penghinaan Raja Kerta Jaya agar para Mpu menyembah beliau dijawab dengan kutukan kepada Raja Kerta Jaya dan mereka meninggalkan kerajaan Kediri menyebar kebeberapa daerah. Salah seorang keturunan Mpu Wiradnyana (ke-tiga dari Sapta Pandita) yaitu Mpu Purwanatha tetap di Panawijen bersama putra-putrinya yaitu Mpu Purwa dan Ken Dedes dimana dikemudian hari Ken Dedes menurunkan raja-raja Mataram (Paku Bhuwono & Mangku Negaran di Solo, dan Hamengku Bhuwono & Paku Alam di Jogja).

Sesudah Udayana lalu Anak Wungsu, terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya Majapahit berkuasa Jawa Timur dan Bali juga dikuasai, sekaligus ini sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343–1350 M). Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Kresna Kepakisan putra Mpu Soma Kepakisan keturunan Mpu Bharadah menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel diminta untuk hadir oleh Kresna Kepakisan guna menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada beliau. Setelah itu amanlah Bali dan Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Selanjutnya Dinasti Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem” (Sekarang keturunannya dikenal dengan Anak Agung dan I Dewa). Pada masa Dalem Waturenggong yang berkuasa pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi), datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong (Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah). Pada masa Danghyang Nirartha, maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Leluhur Pasek&Bendesa) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan atas persetujuan Dalem membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Keturunan Dalem mendapat porsi Ksatrya, para Mantri - Wesya dan lainnya Sudra.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah dan bermunculan raja-raja kecil di 9 Kabupaten baik keturunan Dalem (Anak Agung) maupun lainnya (Cokorde), dan saling meluaskan kekuasaan (saling serang) yang akhirnya tenggelam semua. Ketika Penjajah masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
12-08-2008
TIRTAYATRA KE PURA KALISODO
DUSUN BABAR-KARANGANYAR

Di lereng Gunung Lawu dan sekitarnya banyak umat Hindu yang perlu mendapat dukungan, untuk itu dengan memanfaatkan kegiatan rutin tiga-bulanan, pada 23 September 2007 Banjar Solo-Timur kembali melakukan Tirtayatra yang kali ini dipilih ke Pura Kalisodo, Dusun Babar, Desa Anggrasmanis, kec. Jenawi, Kab.Karanganyar, Jateng. Pura Kalisodo ini berdekatan dengan Pura Buana Agung Mahendrajati di Dukuh Demping sehingga kadang umatnya saling berkunjung bersembahyang. Perjalanan ke Pura Kalisodo bisa ditempuh dari 2 arah, yaitu lewat jalur Sragen dari arah Solo dan berbelok kekanan menuju ke Kec.jenawi jaraknya sekitar 60 km, perjalanan ini akan meliwati Pura Lingga Bhuwana juga Pura Mahendra Jati Demping, Jenawi. Cara lain adalah dari Karanganyar Kota menuju arah ke Tawangmangu dan sampai di Karangpandan ambil arah ke Candi Ceto. Perjalanan ini agak berat medannya karena menanjak, sampai di Terminal Ngargoyoso dilanjutkan kearah Candi Ceto tetapi sebelum di puncak Candi Ceto ada jalan kekiri dan ada tulisan Pura Kalisodo. Jalannya kecil dan belum diaspal semuanya, hanya disemen pada posisi roda mobil saja, mobil tidak bisa berpapasan syukur saat kami melewati jalan itu tidak terjadi papasan karena kalau ada mobil didepan, salah satu mobil harus mundur dan ini sangat susah. Setelah sekitar 1 ½ jam perjalanan atau sekitar Jam 10 rombongan sampai di Pelataran Pura kalisodo, kami yang kali ini menumpang Bis kecil 3 buah sampai dengan perasaan lega setelah melewati medan yang berat. Tampak sebuah Pura yang belum selesai dengan utuh karena baru ada “Utama Mandala”. Gapura Pura (Kori Agung) terlihat arsitektur yang kami sudah kenal, dimana perpaduan Bali-Jawa sebagai ciri khas. Ciri arsitektur seperti ini adalah keterlibatan tangan trampil Romo Maming (Pandita Broto Sejati) yang selalu terjun mengerjakan langsung. Arsitektur seperti ini banyak kita jumpai di Pura yang dikunjungi beliau di Jawa dan Lampung. Rombongan akhirnya sudah berkumpul di Utama Mandala Pura dan persembahyangan dimulai sekitar pukul 10 lebih dengan dipimpin Jro Mangku Ketut Pasek dan Pinandita Pura Kalisodo, yaitu “Pinandita Sumarto”. Sekitar pukul 11 persembahyangan selesai dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari : Kepala Desa Anggrasmanis yang juga penduduk Dusun Babar, Jayadi, Ketua Banjar Solo Timur – Made Suastika, Wakil PHDI Jenawi-Sukiman, dilanjutkan dengan Darmawacana oleh Nyoman Suendi, penyerahan sumbangan dari Banjar Solo Timur diwakili Ida Bagus Arnawa, dan ramah tamah. Sekitar pukul 13 kami meninggalkan Pura Kalisodo dengan perasaan senang.

SEJARAH KEBERADAAN PURA KALISODO.
Kalisodo adalah nama tempat yang sebelum berdiri Pura menjadi tempat orang bermeditasi menghubungkan diri kepada Sang Pencipta, sehingga tempat itu disebut “Pertapaan Kalisodo”. Walaupun sudah berdiri Pura Kalisodo namun Pertapaan ini tidak dihilangkan ataupun tidak menjadi satu dengan Pura karena pertapaan tersebut dikunjungi juga oleh umat Non Hindu jadi bentuk penghargaan mereka kepada orang lain yang menjadi pelajaran berharga bagi kami umat dari Bali yang hadir, yaitu suatu “Bentuk penghargaan kepada Budaya setempat dan hak asasi orang lain”. Pura Kalisodo dibangun tahun 1997 diatas tanah 1.300 M2 sumbangan dari Jayadi warga Dusun Babar yang baru terpilih menjadi Kepala Desa Anggrasmanis. Tahun 2000 dibangun Kori Agung, tahun 2003 Penyengker dan tahun 2007 Bale Piyasan (untuk umat). Pelinggih Padmasana sumbangan umat dari Bali disamping dua pelinggih lainnya yang sudah ada berupa “Meru” dan sejenis Taksu (di Bali) yang umumnya memuja Dewi Saraswati. Jadi ada 3 Pelinggih. Sisa areal yang belum dibangun masih banyak, bisa berujud Madya Mandala ataupun Nista Mandala. Untuk itu Pura Kalisodo memerlukan bantuan dari umat yang peduli tetapi “Tanpa pamrih, dan tanpa kepentingan tertentu”, untuk ikut membantu segera lengkapnya sarana persembahyangan umat ini. Berikutnya Kepala Desa Jayadi akan menyumbangkan lagi tanahnya untuk membangun tempat bersih diri (MCK) disebrang jalan tetapi saat ini belum siap dananya, rencana pembangunannya berujud 5 pancuran. Pura ini diemong oleh 30 KK dari Dusun Babar dan saat kami hadir ada info ada beberapa umat yang baru bergabung, ini adalah suatu pertanda baik yang perlu ditangkap oleh umat terutama PHDI untuk lebih intensif membina umat disini terutama dalam Sradha (Iman) dan Bhakti (Taqwa) serta pemahaman ajaran Hindu. Hal yang nyata bisa dilihat adalah dengan terpilihnya Jayadi menjadi Kepala Desa dari umat Hindu dengan mengalahkan saingannya yang Sarjana sementara Jayadi hanya SD saja. Menurut penuturan Jayadi yang sudah lama tidak makan daging, sebelum pemilihan Kepala Desa beliau bersembahyang di Pura Kalisodo pada malam hari dan ada umat yang melihat sinar yang masuk ke Pura dari arah Demping, ini adalah salah satu pertanda alam yang bagi umat Jawa disebut “Wangsit Keprabon”, semoga Kepala Desa Jayadi yang saat ini membawahi 800 KK terbagi dalam 3 Dusun (Dusun Babar, Clagah, Tempel) dimana umat Hindu hanya 30 KK di Dusun Babar, bisa melakukan tugasnya dengan baik. Bagaimana dengan kegiatan umat Hindu ini ? Umat Hindu di Pura Kalisodo melaksanakan kegiatan pada Malam-Kliwon atau 5 hari sekali dengan bersembahyang disertai pendalaman ajaran Hindu, disinilah para tokoh umat harusnya bisa memanfaatkan untuk memberikan Darmawacana atau Darmatula karena mereka masih butuh pembinaan. Saat ini Pinandita Sumarto hanya seorang diri, kedepan akan di tunjuk (Di winten) satu atau dua Pinandita lagi untuk membantu tugas beliau. Semoga kesadaran ke Hindua-an umat di Dusun Babar mendapat petunjuk dari Hyang Widhi.


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-09-2007
DESA PAKRAMAN - DULU dan SEKARANG

Desa Pakraman merupakan wadah yang effektif untuk menerapkan suatu ketentuan di Bali yang biasanya tertuang dalam peraturan adat sehingga bisa mencapa tujuan yang diinginkan untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Banyak ketentuan adat yang masih dilaksanakan di Bali walaupun perlu dilakukan seleksi terus menerus apakah tidak melanggar ajaran Weda, apakah tidak melanggar hak asasi manusia atau ketentuan pidana karena kita di jaman republik yang ada payung hukumnya. Salah satu ketentuan yang diterapkan kepada Desa Pakraman adalah ”Mendem Watang” dalam kaitannya dengan Upacara Panca Bali Krama, ketentuan ini sudah ada sejak dulu dan masih diterapkan sampai sekarang, dimana ada aturan tertentu yang disyaratkan, seperti tidak boleh membakar mayat hanya ditanam/dikubur saja tanpa upakara (mesuluban), atau dikubur pada malam hari secara diam-diam, dan lain-lain. Semua ketentuan ini seharusnya bisa dilakukan lewat Desa Pakraman, namun yang menjadi pertanyaan apakah itu masih effektif? Jangan-jangan banyak warga yang justru mengalami kesulitan dengan ketentuan ini jika diterapkan dijaman sekarang. Sehubungan dengan besarnya peran Desa Pakraman dalam aplikasi ketentuan adat di Bali, maka mari kita buka sedikit saja dan secara garis besar, tentang keberadaan Desa Pakraman ini dijaman dulu sampai sekarang.

Mpu Kuturan boleh dikatakan sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Dilanjutkan lagi pada abad XIV (Tahun 1350 Masehi) ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai Adipati bawahan Majapahit perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa yang masih ada hubungan saudara seperti keluarga Pasek, ini suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Dalam perkembangan berikutnya Desa Pakraman versi Mpu Kuturan dengan Bendesa sebagai pengikatnya mengalami perkembangan sesuai situasi kondisi masing-masing sehingga menjadi suatu daerah yang spesifik walaupun payungnya tetap adalah jiwa yang terkandung dalam makna Desa Pakraman versi Mpu Kuturan ini dengan Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Desa Pakraman kemudian menjadi otoritas sendiri dimana setiap desa di Bali disamping memuja Dewa (Div=Sinar suci Tuhan) berwujud ”Tri Murti” serta para Hyang yang seperti Sapta Hyang, Panca Tirta, Sapta Pandita, dan lainnya, juga punya penyungsungan ditingkat Bhatara (Bhatr=yang mengayomi) secara berbeda-beda dan dominan, seperti di Karangasem Bugbug disungsung Bhatara Gede Gumang, di Nusa Penida di sungsung Ida Bhatara Dalem Ped, dsb.dsb yang mengakibatkan ada perbedaan upakara Yadnya mengenai waktu juga tata-caranya. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, mobilisasi warga desa yang masih meneruskan tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun posisi masyarakat umum ini adalah pada tingkat masyarakat awam (mungkin Parekan/Abdi) yang sangat berbeda dengan masyarakat Puri ini yang cendrung menempatkan diri lebih tinggi, entah disadari atau tidak oleh masyarakat awam ini, bahwa derajat mereka sebetulnya sama dimata Hyang Widhi apalagi terbesar orang Bali adalah satu leluhur jadi bagaimana mungkin bisa dibedakan apalagi lewat produk penjajah yang bernama ”Kasta” dengan Tri Wangsa dan Jaba. Tradisi Yadnya di desa seperti ini bisa melibatkan banyak warga dan punya ciri berbeda dengan lainnya di Bali. Dengan beberapa contoh kecil diatas saja sudah dapat ditarik kesimpulan, bahwa ada hal yang berbeda bahkan spesifik mengenai Desa Pakraman jaman Mpu Kuturan dan jaman sekarang. Dengan faktor seperti ini sudah pasti tidak mudah bagi PHDI Bali untuk merangkul secara sistimatis masyarakat Bali dalam kaitannya dengan Yadnya seperti yang sedang hangat, membuat keseragaman tentang pelaksanaan ketentuan mengenai ”Mendem Watang” disaat ada upacara Panca Bali Krama. Jaman Mpu Kuturan dan sebelum penjajah masuk ke Bali (Abad XVI), ikatan Desa Pakraman masih kuat dan dapat di Manaje oleh para Bendesa dan pimpinan Bali jaman itu, dan lebih penting lagi Bali jaman itu keberadaan Hindu dengan sektenya masih mudah dimobilisasi karena satu faham, tetapi dijaman sekarang Bali sudah sangat berbeda, bukan lagi Desa Pakramannya sudah berbeda, tetapi umat yang tinggal di Pulau Bali sudah berbagai etnis ,suku dan agama, sehingga sudah sulit kalau mengikuti seperti jaman dulu. Apakah kemudian kita jadi pesimis dan membiarkan budaya Bali yang bercirikan Hindu akan tergerus ?, maka selalu diingatkan kepada kita agar ”mengambil hal yang positif dalam situasi terburuk apapun”. Sudah saatnya kita selektif terhadap Desa Pakraman dengan segala awig-awignya, Untuk hal ini PHDI harus lebih cepat dan lebih strategis dengan merangkul Desa Pakraman, PHDI Bali harus merangkul secara sistimatis dan hirarkis Desa Pakraman ini sehingga dapat dijadikan sebagai penerus kebijakan PHDI kepada masyarakat sehingga ada satu komando dan keseragaman pelaksanaan awig-awig dan pelaksanaan yadnya. Elemen-elemen yang ada dan riil dimasyarakat seperti organisasi umat, para Bendesa yang masih meneruskan secara turun temurun kepemimpinan di desanya, juga keberadaan ”Soroh” dalam pengertian positif perlu juga dirangkul, bahkan ”Puri” yang sesungguhnya secara lembaga sudah tidak ada namun karena masyarakat awam masih merasakan tindakan riil Puri itu, maka perlu juga dirangkul agar ada kesatuan bahasa dalam melaksanakan ajaran Hindu. Yang paling penting dalam situasi Bali yang sudah beragam, adalah ”Tattwa” yang merupakan ajaran inti Hindu perlu mulai ditanamkan dalam pemahaman keseharian umat Hindu khususnya di Bali. Dengan demikian Desa Pakraman yang merupakan warisan leluhur, bisa diteruskan oleh para damuh dengan tetap bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa menghilangkan jati diri sebagai : Tempat bernaungnya umat Hindu dengan pemujaan kepada Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) sebagai ciri utamanya.

Akhirnya yang paling penting dari semua diatas adalah: ”Apapun yang dilakukan agar membawa perubahan kearah perbaikan bagi umat, sehingga Yadnya tetap semarak dan didasari Tattwa Weda juga umat dapat menata kehidupan Skala lebih baik seperti pendidikan, kesehatan, dll, agar umat Hindu tidak kalah bersaing dengan umat beragama lain di-era Globalisasi ini”, Astungkara !



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-04-2009