Jumat, Agustus 28, 2009

SANG PROKLAMATOR

Pada bulan Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-64 ini, kita diingatkan kembali oleh seorang Proklamator Kemerdekaan RI yang secara kebetulan punya darah Bali, beliau adalah SUKARNO. Apa dan siapa beliau yang ditulis oleh beberapa penulis banyak yang tidak benar, sampai pada tahun 1970 Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra dari Geria Taman Agung Wilaya Asrama, Baleagung Desa adat Buleleng yang secara kekerabatan adalah sepupu Mindon Megawati Sukarno Putri, perlu meluruskan hal itu kepada masyarakat. Atas informasi yang disampaikan kepada penulis bahkan diberikan oleh beliau silsilah keluarga Baleagung Buleleng, maka pada kesempatan ini mari kita luruskan dan jelaskan keberadaan Sang Proklamator ini.

Sukarno adalah buah kasih sayang antara R.Sukemi Sosrodihardjo dengan Ni Nyoman Rai Srimben. Nama ”Ida Ayu” didepan nama Nyoman Rai Srimben adalah anugrah dari Presiden Sukarno pada tahun 1958 di Tampaksiring Bali dihadapan para pejabat-pejabat pemerintah Republik Indonesia, pejabat tinggi negara sahabat, dan diundang juga keluarga Baleagung-Buleleng. Jadi nama Ida Ayu adalah ”Anugrah sang Proklamator kepada Ibundanya”. Pertemuan R.Sukemi Sosrodihardjo dengan Nyoman Rai adalah karena R.Sukemi Sosrodihardjo kebetulan adalah Guru SD di Br.Paketan-Liligundi Buleleng-Singaraja, jadi secara jarak sangat dekat dengan Baleagung. Nyoman Rai adalah seorang gadis yang secara niskala ditunjuk oleh Ida Bhatara yang disungsung di Pura di Baleagung sehingga selalu terlibat dalam kegiatan religius di Pura itu. Ayah Nyoman Rai bernama ”I Nyoman Pasek” dan leluhurnya selalu menjadi Pemangku/Pinandita di Pura tersebut dan ada yang disebut Jero Mangku Lingsir. Nyoman Rai Srimben dan teman-temannya sering menarikan tari Rejang di Pura yang merupakan tari sakral, saat itulah dilihat oleh R.Sukemi Sosrodihardjo sehingga timbul rasa suka yang akhirnya terjadi komunikasi yang semakin dekat. Karena agama yang berbeda dimana R.Sukemi Sosrodihardjo beragama Islam sedang Nyoman Rai beragama Hindu, maka hubungan ini tidak mendapat restu awal mulanya sehingga karena rasa cinta yang dalam dari keduanya perkawinan dilakukan dengan ”Ngarorod” (kawin lari). Mereka sempat berlindung dirumah salah seorang Polisi, bahkan sempat diajukan ke Pengadilan, namun karena keduanya saling mencintai akhirnya perkawinan dikabulkan dan R.Sukemi Sosrodihardjo hanya dikenakan denda oleh Pengadilan. Setelah menetap di Blitar Jawa Timur tempat asal R.Sukemi Sosrodihardjo, maka dari Perkawinan kedua insan ini, lahirlah 2(dua) orang putra-putri, yaitu Nyonya Wardoyo (Perempuan) dan Sukarno. Kembali kepada leluhur Nyoman Rai yang adalah Pemangku di Pura Desa Baleagung, maka secara garis keturunan/trah, beliau adalah ”Trah Pasek Tatar Baleagung Buleleng”, jadi masih damuh/trah/keturunan dari Mpu Wiradnyana salah seorang dari Sapta Pandita (Sanak Pitu). Sapta Pandita adalah putra dari Mpu Gnijaya yang parhyangannya ada di Lempuyang Madya.- Karangasem.

Mpu Wiradnyana ber-asrama di Daha-Kediri Jawa Timur dari perkawinannya dengan putri dari Mpu Penataran berputra Mpu Wiranatha. Mpu Wiranatha dari perkawinannya dengan Dewi Amertha Manggali, berputra Mpu Purwanatha, Ni Ayu Wetan, dan Ni Ayu Tirtha. Selanjutnya Mpu Purwanatha menurunkan ”Mpu Purwa” dan ”Ken Dedes” dimana Ken Dedes selanjutnya menurunkan raja-raja Jawa seperti : Paku Bhuwono di Surakarta dan Hamengku Bhuwono di Jogjakarta. Mpu Purwa dan Ken Dedes diajak pindah oleh ayahndanya Mpu Purwanatha ke Desa Panawijen dibawah kekuasaan Tumapel - Kediri. Di Panawijen Mpu Purwa dari perkawinan dengan Putri Arya Tatar kemudian menurunkan De Pasek Tatar yang selanjutnya ke Bali dan menjadi Amancabhumi di Gelgel Klungkung dengan gelar I Gusti Lurah Pasek Tatar pada pemerintahan Cri Gajah Waktra /Sri Gajah Wahana pada tahun Saka 1246 (1324 Masehi). Keturunan I Gusti Lurah Pasek Tatar di Bali kemudian dikenal dikenal dengan : Pasek Tatar-Pidpid, Pasek Tatar Telengan, Pasek Tatar Mangku Baleagung Bukit Gumang/Bukit Cemeng, Pasek Tatar Baleagung Buleleng, Pasek Tatar Penataran-Buleleng, Pasek Tatar Gunaksa, Pasek Tatar Sidembunut Cempaga Bangli.

Dengan penjelasan diatas, semoga menjadi jelas keberadaan Sang Proklamator ini sekaligus mengkoreksi atas penjelasan atau tulisan yang terkait dengan Sukarno baik oleh penulis lokal, nasional, dan internasional. Akhirnya orang tidak dilihat pada siapa leluhurnya tetapi apa yang dilakukannya untuk kebaikan umat manusia, seperti Sukarno walaupun beliau trah Mpu Gnijaya Sang Brahmanajati tetapi atas nama dirinya sendiri Sukarno sudah membuat dirinya menjadi dikenang sepanjang jaman sebagai ”Sang Proklamator”.


Ditulis oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
(Warih Pasek Tatar-Mangku Baleagung Bukit Cemeng)
17-08-2009
PIODALAN PURA BHUWANA AGUNG SARASWATI
SOLO – JAWA TENGAH

Pura Bhuawana Agung Sraswati, sesuai dengan namanya terletak dilingkungan umat yang sedang melaksanakan Brahmacari atau mencari ilmu pengetahuan, yaitu tempatnya dilingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah. Dilingkungan Pura ini juga di Stanakan Dewi Sraswati sebagai Ibu ilmu Pengetahuan, dan Piodalannya juga dilakukan pada Hari Raya Saraswati, jadi suatu konsep yang sangat baik dari para pendiri Pura ini. Pada 10 Nopember 2007 lalu, yaitu tepatnya pada Sabtu Umanis, Watugunung dilangsungkan Piodalan Pura Bhuawana Agung Saraswati yang dihadiri oleh umat Hindu di Solo dan sekitarnya. Prosesi Piodalan dilaksanakan pada sore hari mulai sekitar pukul 17 dengan dipimpin oleh Jro Mangku Ketut Pasek didampingi Jro mangku Murti (Pinandita Pura BA Saraswati), serta dibantu Pinandita lainnya baik dari umat Bali maupun Jawa dari Solo Kota, Boyolali, Sragen, dan daerah lain yang ingin ”Ngayah”, karena semakin banyak keterlibatan Pinandita akan lebih baik karena semakin banyak mantra serta doa suci yang bisa dikumandangkan. ”Puja Stawa Piodalan” dilaksanakan dengan khidmat sekitar 2 jam memohon kepada Hyang Widhi agar beliau hadir dan memberi anugrah kerahayuan kepada umat semua. Sebelum persembahyangan bersama dilakukan, maka dipersembahkan tarian ”Panyembrama” yang dibawakan oleh Mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia/ dulu ASTI) dimana ada 2 mahasiswi asing yang sedang kuliah di ISI ikut menari dengan luwesnya. Acara berikutnya adalah sambutan-sambutan darii Ketua Banjar Solo Timur Made Suastika (Lokasi Pura di Solo bagian Timur), sambutan Ketua PHDI Solo Dr. Made Setiamika, dan dilanjutkan Pembacaan Sloka Weda dipimpin Ketut Saba seorang Dosen ISI yang sudah sering mewakili Jawa Tengah untuk Pembacaan Sloka atau Palawakya. Akhirnya puncak persembahyangan bersama dilantunkan Puja Tri Sandhya dipimpin Pinandita Jatmiko dan Kramaning Sembah dipandu Mangku Murti dan Mangku Pasek. Umat yang jumlahnya ratusan dari Solo sekitarnya tampak sangat mantap mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta sampai akhirnya Nuwur Tirta yang disiratkan oleh para Pinandita. Acara terakhir adalah Darmawacana namun kali ini disampaikan lewat ”Pagelaran Wayang Kulit (Bali)” dibawakan oleh Nyoman Suendi. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 22 wib, umat pulang dengan perasaan tenang semoga mendapat anugrah dari Dewi Saraswati, Dewi ilmu pengetahuan berupa ”Pengetahuan suci dan Kesadaran Batin” akan hakekat kebesaran Hyang Widhi sehingga umat tunduk merendah dihadapan beliau.

Sejarah Berdirinya Pura Bhuwana Agung Saraswati
Bercerita tentang berdirinya Pura BA Saraswati, maka tidak bisa dilepaskan dengan berdirinya Kampus UNS. Sebelum bernama Universitas Sebelas Maret (UNS), maka dimulai pada 1976 berdiri Universitas Gabungan Surakarta (UGS) yang merupakan gabungan dari IKIP dan lain-lain, pendirinya Haryo Mataram. Pada tahun 1980 diresmikan oleh Dr. Prakoso dengan nama baru yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS) dimana Dr.Prakoso sekaligus menjabat Rektor. UNS sendiri punya kebijakan membangun area untuk persembahyangan umat dari Islam, Kristen/Katolik, Hindu dan Budha. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh umat Hindu saat itu yang ada juga orang dalam (staff UNS) untuk dapat membangun sarana persembahyangan umat dengan difasilitasi oleh Kampus. Beliau yang saat itu bergerak adalah : Made Karna, Nyoman Armada, Nyoman Nasa, dan Nyoman Karya. Mereka ini bergerak sejak 1983 – 1986 sampai akhirnya berdiri sebuah Pura yang diberi nama Pura Bhuwana Agung Saraswati. Setelah selesai sekitar tahun 1986 itu ada sebagian material bangunan dialihkan ke Solo, karena di Mutihan Solo juga dilakukan pembangunan Pura yang kemudian bernama Pura Indraprasta. Nyoman Karna dan Nyoman Nasa bergerak juga kesana bergabung dengan umat di Mutihan Solo, seperti Made Sukadi dan umat Jawa yang sejak awal sudah mengampu pura ini. Kembali ke UNS, maka pada tahun 1990 dilakukan ”Ngenteg Linggih” sampai akhirnya sesudah tahun 1990 mulai terbentuk banjar-banjar di Solo, yaitu 3 (tiga) banjar : Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat. Sekarang Pura BA Saraswati sudah dikelola dengan baik oleh umat di Solo salah satunya dengan kegiatan Piodalan yang rutin dilakukan, apalagi banyak umat disini adalah Dosen ISI sehingga perpaduan Yadnya dengan seni-budaya bisa berjalan dengan baik termasuk budaya Jawa, karena umat Hindu ini juga banyak umat Jawa, Persembahyangan yang dilakukan setiap hari minggu pagi juga menjadi perpaduan budaya jawa dan bali dalam bentuk kidung dan lainnya. Om saraswati namastobhyam, warade kama rupini, Siddha rambham karisyami, siddhir bhawantu me sada




Dilaporkan oleh :

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
15-11-2007

Senin, Agustus 03, 2009

MEMAKNAI SEBUAH RAMALAN

Ketika sedang berlangsung Perang Bharata Yudha di medan Kurusetra, Raja Destarata yang buta meminta bantuan Sanjaya keponakannya anak dari Widura untuk menceritrakan apa yang terjadi di medan peperangan antara Pandawa dan Kurawa itu. Tidak ubahnya seperti reporter TV atau Radio di jaman sekarang, Sanjaya menjelaskan satu demi satu kejadian yang menyedihkan itu kepada Destarata sebagai pemirsa. Ilustrasi diatas memberikan pandangan kepada kita, bahwa kejadian yang kita alami dijaman ini sudah diramalkan lewat Kisah Mahabharata itu, walaupun cara kita menangkap makna Mahabharata itu akan berbeda-beda satu dan yang lainnya, ada yang mengambil makna filosofisnya ada yang mengambil makna etis/etika, ada yang memaknai sebagai bacaan komik semata, dan ada yang memaknai itu sebagai ramalan, hal itu adalah kebebasan pembacanya. Dijaman kerajaan-kerajaan di Nusantara juga dijumpai ramalan-ramalan seperti : Ramalan Joyoboyo yang dikenal dengan Jangka Joyoboyo, bahkan di negeri barat sana ada juga dikenal Ramalan Nastrodamus. Dijaman moderen ini banyak mewarnai kancah ramal-meramal ini oleh orang-orang yang sering dikenal dengan Paranormal. Ramal-meramal ini ada yang dilingkungan terbatas namun ada juga yang terbuka dan dipublikasikan di media masa. Apalagi disaat negara ini sedang menghadapi bencana, contoh saja Meletusnya Gunung Merapi atau Gempa di Jogja dan sekitarnya, maka banyak kemudian muncul ramalan-ramalan dengan berbagai penjelasannya, walaupun sebenarnya semuanya itu adalah kekuasaan Hyang Widhi, sehingga tidak perlu dipublikasi apalagi diperdebatkan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita memaknai sebuah ramalan ?

Mahabharata dan Bharata Yudha adalah Itihasa sehingga merupakan bagian dari Weda sehingga kebenaran akan hal itu adalah mutlak seperti halnya keyakinan kita akan Weda. Ramalan Joyoboyo muncul ketika teknologi belum canggih seperti sekarang, sehingga orang pada jaman itu punya kesempatan bahkan dipaksa oleh situasi untuk meperdalam batinnya, contoh saja dijaman sekarang jika kita ingin menghubungi kawan atau saudara yang jauh, cukup dengan mengangkat telepon atau Hp, maka komunikasi sudah bisa terjadi, tetapi dijaman itu karena kontak antar personal juga sangat diperlukan, maka bisa jadi mereka melakukan olah batin untuk melakukan komunikasi jarak jauh, sehingga tidak sedikit orang yang memiliki Daya Linuih, Ilmu kanuragan, dan ketinggian batin. Dijaman sekarang ketika sarana teknologi yang bersifat material telah menggeser atau ,mengurangi porsi spiritual, tidak banyak orang yang mau mendalami olah batin ini, itulah sebabnya orang-orang yang mendalami olah batin seperti ini sangat langka adanya. Tetapi budaya ramal-meramal ternyata tidak menjadi pudar atau hilang, banyak muncul orang-orang yang tidak segan-segan meramal, umumnya terhadap pribadi seseorang atau pasiennya, bahkan sangat berani meramal keadaan suatu daerah atau keadaan Indonesia dimasa depan. Pada tulisan ini perkembangan pengaruh teknologi yang bersifat material yang mengurangi porsi spiritual, tidak selalu berarti berkurangnya kadar spiritual para peramal tadi, tetapi yang perlu ditekankan adalah mengajak kita untuk bijak menerima atau menyampaikan suatu ramalan. Seorang yang punya kemampuan melihat masa depan seharusnya tidak begitu mudah menyampaikan sesuatu yang diperoleh atau diketahuinya kepada khalayak ramai karena hal itu adalah kekuasaan Hyang Widhi, kalau pengetahuan itu diyakini benar, maka yang perlu dilakukan adalah mengajak umat manusia ini semakin dekat kepada Hyang Widhi dan meninggalkan cara-cara atau sikap-sikap yang keliru selama ini agar memperoleh keselamatan, jadi bijaklah menggunakan kelebihan diri. Bagi umat yang menyukai berkonsultasi atau sekedar mendengar sebuah ramalan, maka ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Jangan menelan mentah-mentah ramalan tersebut, kecuali yang berasal dari Weda, seperti : Itiasa (bagi yang menganggap ramalan), atau Bhavisya Purana, dll. maka hati-hatilah, atau bila perlu jauhkan diri dari ramal-meramal ini dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sehingga tumbuh kepasrahan diri kepada Beliau. Ramalan ini bisa jadi merupakan visualisasi batin dari peramal tersebut yang sangat tergantung kepada tingkat kesucian orang tersebut, sehingga pada kasus yang sama jika ditanyakan kepada peramal yang berbeda-beda, akan memperoleh jawaban yang berbeda tergantung tingkat dan cara orang tersebut menterjemahkan bahasa batin ini. Saya meyakini, bahwa pesan-pesan batin yang diperoleh tidak : utuh, vulgar, jelas, atau terinci, tetapi merupakan visual, simbul, atau bahasa batin yang terbatas, sehingga siperamal tersebut perlu mencerna kembali dan menterjemahkan kedalam bahasa umum yang mudah dicerna, disinilah akan terjadi perbedaan satu dengan lainnya bahkan bisa jadi kerancuan dengan makna sebenarnya. Jika informasi batin ini diinformasikan kepada orang awam mungkin tidak menimbulkan dampak yang luas, tetapi jika informasi (ramalan) ini diterima oleh : tokoh umat, pemimpin masyarakat, bahkan misalnya oleh pemimpin suatu negara, lalu dijadikan pedoman untuk mengambil suatu tindakan, maka itu adalah suatu hal yang berbahaya. Seorang manusia dianugrahkan oleh Hyang Widhi memiliki Wiweka (Logika) dan juga memiliki ketinggian batin yang perlu diasah dengan kebersihan jiwa, maka setiap orang punya peluang yang sama untuk memperoleh info atau berkomunikasi dengan Hyang Widhi dengan kata lain setiap orang pada hakekatnya adalah peramal, maka marilah kita percaya diri dengan cara menyerahkan sepenuhnya batin kita hanya kepada Hyang Widhi, biarlah beliau yang mengarahkan diri kita harus kemana, bukan peramal.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
FENOMENA ”KERAUHAN” DI MASYARAKAT

Kerauhan, kerangsukan, kodal, atau apapun istilahnya merupakan Fenomena di masyarakat yang telah menjadi bagian kehidupan kita. Kerauhan ini juga dikenal di negara-negara lain termasuk di negara barat yang cara berpikirnya sudah ilmiah, bahkan fenomena yang menarik sekarang ini para eksekutif mulai dari pengusaha, pejabat, dan lainnya ada yang memanfaatkan media kerauhan ini untuk kepentingannya. Kerauhan ini bisa dialami oleh setiap orang dan bagi seorang Sulinggih merupakan pantangan untuk Kerauhan, tetapi siapa yang bisa menjelaskan kenapa ?. Dewasa ini juga ada fenomena masyarakat yang menggunakan pesan dalam kerauhan untuk melakukan sesuatu, seperti dari Bali pergi ke Jawa karena konon di Jawa perlu ritual di Semeru (Kepala), Candi Ceto (Badan), dan Gunung Salak (Kaki) walaupun tidak tahu apa makna kepala, badan, dan kaki ini, apakah itu Hyang Widhi atau apa, tidak jelas, namun yang jelas terlihat adalah terjadinya dominasi ritual dari Bali ke Jawa dan kepentingan prestise serta bisnis pariwisata. Kembali ke Kerauhan, sebagian masyarakat memberi ”Konotasi” tentang Kerauhan adalah kehadiran Bhuta Kala, tetapi apakah benar ”Kerauhan” itu pasti kedatangan Bhuta Kala tidak ada yang bisa menjawab secara pasti bahkan juga oleh kita yang melemparkan pendapat itu. Namun sekedar melihat atau mengamati, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan pagangan.

Kerauhan ini umumnya bisa dialami oleh kelompok masyarakat, seperti : Mereka yang mendalami kegiatan spiritual/kebatinan, umumnya dilengkapi dengan kemampuan pengendalian diri ketika kerauhan, mereka yang secara keturunan atau fungsinya mengharuskan kerauhan, seperti : Balian Dasaran, tukang ”Naret” (Menusuk keris/tombak ke badan saat ritual Yadnya), dlll, dan terakhir mereka yang lemah pshykis sehingga mudah kerauhan dan umumnya tidak sadar akan dirinya saat kerauhan. Para praktisi spiritual dan Pinandita ada yang bisa kerauhan. Jika Pinandita menjadi muncul kepekaannya karena kesehariannya menjalankan fungsinya, praktisi spiritual umumnya diawali oleh bantuan guru atau orang yang lebih senior atau karena melakukan laku spiritual misalnya meditasi ke tempat-tempat sakral, puasa, dan lain-lain. Yang paling penting adalah orang tersebut punya bakat (talenta) ini akan mempercepat proses. Berikut adalah pertanyaan : Kerauhan siapa ?, bhuta kala atau apa ?. point ini adalah sesuatu yang abstrak dan bersifat ”keyakinan” sehingga tidak bisa memaksa atau dipaksakan pada setiap orang, bakat/talenta dan tingkat kesucian seseorang sangat besar perannya disini. Beberapa orang yang berbeda bisa kerauhan dengan tingkat alam spiritual yang berbeda. Ada ciri-ciri yang kasat mata bisa dijadikan sedikit pedoman, walaupun tidak sepenuhnya seperti itu karena rahasia alam ini adalah kekuasaan Hyang Widhi dimana tidak semua orang tahu sepenuhnya. Bhutakala /perancangan biasanya menuntut sesuatu kepada kita, seperti : segehan, kadang telor, anak ayam, tuak, dll. gerakan tubuhnya juga biasanya beringas. Jika leluhur biasanya mengandung pesan-pesan . Pertanyaannya mungkinkah getaran ”Dewa” seperti misalkan ”Dewa Wisnu” rauh ke seseorang ?. Seperti disebutkan dalam kitab suci Dewa berasal dari kata ”Dev” yang berarti sinar, jadi ini adalah Hyang Widhi tetapi dalam wujud (murti), sedangkan pada manusia ada Atma yang sama dengan Paramaatma, jadi pada tingkat kesucian seseorang yang baik, sangat mungkin sinar Hyang Widhi menyatu pada orang tersebut, walaupun tidak harus dalam bentuk kerauhan seperti yang biasa kita lihat dengan aktifitas fisik tetapi lebih banyak aktifitas rohani/batin.

Yang perlu digaris bawahi adalah umat sebaiknya tidak menjadikan ”Ngerauhang” sebagai bagian utama ketika akan melaksanakan suatu ritual, misalnya ”Ngaben” karena belum tentu apa yang disampaikan Balian Dasaran itu benar atau belum tentu yang datang itu adalah yang kita inginkan seperti orang tua yang akan di Aben. Lebih banyaklah merujuk kepada Sastra Agama, bahwa mereka yang sudah meninggal sudah berbeda alam dengan kita sementara Ngaben adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan dan dasar sastra agamanya ada sehingga tidak perlu meminta petunjuk Jro balian pun Ngaben itu tetap baik dan harus dilakukan. Masalah biaya ?, banyak Sulinggih yang sudah memberikan jalan dengan biaya murah tetapi tidak menyalahi sastra agama. Bagi praktisi spiritual perlu berhati-hati jika mengalami atau melihat orang kerauhan karena ini hal niskala yang tidak setiap orang mengerti, tanda-tanda yang disebutkan diatas sedikit banyak bisa membantu untuk menilai apakah orang kerauhan itu perlu didengar/diperhatikan atau diabaikan saja.

Sesungguhnya manusia itu tidak ada apa-apanya hanya Hyang Widhi yang kuasa dan punya kemampuan, namun manusia bisa menjadi ”Perantara” baik pada tingkat Bhutakala, leluhur, orang suci, tingkat Bhatara, serta tingkat Dewa, itu semuanya kekuasaan Hyang Widhi. Semoga kedepan kita dapat melihat lebih jernih terhadap ”Kerauhan” itu sendiri dan menjaga kesucian diri melalui pengamalan Tri Kaya Parisudha sehingga Hyang Widhi selalu bisa hadir (Rawuh) kedalam diri kita dan menuntun keseharian kita, bukannya bhutakala yang menjadi komandan, sehingga dengan kesucian kita menjadi orang yang : rendah hati, tenggang rasa, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan rukun dengan prinsif ”Vasudewa Kutumbakham” (semua mahluk dialam semesta ini adalah bersaudara).


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
ARTI SEBUAH KEPERCAYAAN
PADA PENDARMAWACANA


Dikota-kota yang aktifitas kegiatan ekonominya cukup baik tidak terkecuali di kota-kota di Bali seperti : Singaraja dan Denpasar, maka akan menjadi ladang bagi para Pemasar-pemasar untuk menjajakan barangnya apapun caranya. Ada perusahaan pemasar produk-produk kesehatan memakai cara yang sangat simpatik untuk memasarkan produknya yang mirip dengan “Darmawacana” tetapi pasti ada bedanya yang bisa diketahui setelah membaca tulisan ini secara keseluruhan. Pengunjung digugah dengan cendramata jika bersedia hadir mendengarkan presentasi/pemaparan yang dilakukan oleh petugas khusus yang punya keahlian untuk itu. Kemampuan petugas khusus ini menyampaikan makna kesehatan sangat baik, sehingga pengunjung yang datang bisa lebih dari satu kali apalagi setiap kunjungan juga ada hadiahnya. Yang paling penting perlu digaris bawahi disini adalah “Kemampuan dari presenter itu untuk menarik hati pengunjung sehingga bersedia mengikuti keinginannya”. Informasi yang disampaikan mengenai kesehatan sangat baik dan kita perlukan dalam keseharian, tetapi karena motivasinya adalah dagang, maka tujuan utamanya pasti adalah agar pengunjung membeli produk yang ditawarkan, dan ini adalah logis karena mereka jualan. Pengunjung yang sudah percaya sepenuhnya kepada presenter dengan sukarela membeli produk kesehatan yang harganya ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah, sehingga mengalahkan prioritas kebutuhan lainnya yang bisa jadi membawa keributan dirumah tangga. Disini terlihat, bahwa pikiran logis pengunjung sudah tertutup oleh kemampuan/karisma presenter sehingga mau mengikuti keinginan presenter, yaitu :.membeli produk yang dijual. Disinilah letak masalahnya.

Keadaan yang serupa adalah terkait dengan “Kemampuan atau karisma Pendarmawacana”. Kita bisa melihat atau mendengar dari TV, Radio, atau langsung “Pendarmawacana” yang mampu/mumpuni dalam bidangnya sehingga bisa membuat penonton atau pendengar tidak mau pindah dari tempat duduknya. Pendarmawacana adalah juga presenter yang dengan kemampuan yang dimiliki berusaha membuat pendengar mengerti sehingga mengikuti apa yang diinginkan. Jika presenter diatas yang adalalah pe-bisnis, maka produk dagangannya yang ditawarkan, sedang Pendarmawacana, maka susila/etika, dan ajaran agama yang disampaikan. Jika presenter pe-bisnis ‘keuntungan’ menjadi tujuannya, maka Pendarmawacana tujuannya adalah : terjadi peningkatan pemahaman umat akan hakekat ajaran agama sehingga meningkatkan perilaku kebaikan pada kehidupan sehari-hari. Pendarmawacana yang baik akan menjadi “idola” pendengar/penontonnya sehingga akan mengikuti/manut pada apapun yang dikehendaki.

Dari kedua situasi diatas, maka bisa disimpulkan, bahwa kemampuan seorang presenter atau pendarmawacana yang baik bisa mempengaruhi penonton/pendengar untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki. Bagi pe-bisnis jelas agar membeli produk yang ditawarkan, tetapi yang penulis ingin tekankan adalah : Jika Pendarmawacana punya tujuan lain, yaitu ingin memanfaatkan kepercayaan umat untuk kepentingan sang Pendarmawacana atau kelompoknya atau untuk ajegnya kekeliruan-kekeliruan masa lalu yang ingin tetap dipertahankan sampai sekarang. Jika seseorang apakah dia Sulinggih atau tokoh masyarakat memanfaatkan kemampuan Darmawacana untuk menarik simpati umat agar kemudian bisa diarahkan, maka perlu diingatkan disini, bahwa kemampuan itu adalah Anugrah dari Hyang Widhi yang perlu diarahkan kejalan kebaikan, sebab hal itu adalah kharisma atau Pulung bagi orang Jawa yang menurut penulis sifatnya terbatas atau ada jangka waktunya. Pada suatu saat nanti akan diambil kembali oleh Hyang Widhi sehingga apa yang disampaikan tidak akan ada yang mendengar, maka pada akhir hidupnya menjadi orang yang tidak berguna atau tidak dikenang kebaikannya. Contoh seperti itu sudah bisa dilihat pada umat beragama lain. Jro Mangku Gde Ketut Subandi adalah tokoh yang menurut penulis memperoleh anugrah Hyang Widhi yang sangat professional meluruskan benang kusut keleluhuran apapun soroh seseorang, sehingga diakhir hayatnya beliau tetap dihormati. Seorang Sulinggih seharusnya (maaf) tidak dipolitisir oleh Para Walaka dan sebaliknya seorang Walaka akan berdosa besar jika mempolitisir seorang Sulinggih. Jika dilakukan pembodohan kepada umat untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau kedudukan, maka jangan berharap akan bisa hidup tenang karena pikiran ini akan terus diganggu oleh keinginan-keinginan prestise, kedudukan, dan mungkin godaan material.

Khusus kepada umat atau siapapun yang berada difihak pendengar/penonton bagi presenter dan pendarwacana, maka ada hal yang perlu penulis sampaikan dan ingatkan, bahwa manusia adalah mahluk independent (mandiri). Manusia berasal dari kata “Manu = Kebijaksanaan, dan Sya=mempunyai”. Oleh Hyang Maha Kuasa anda dianugrahi kebijaksanaan yang tidak dimiliki oleh dua ciptaan Tuhan yang lainnya (Binatang dan Tumbuhan) sehingga manusia disebut yang paling baik dari ketiga ciptaan Tuhan. Untuk itu maka gunakan kebijaksanaan ini, gunakan wiweka/akal sehat/ logika, jangan menelan mentah-mentah apa yang anda dengarkan walaupun itu dari Sulinggih sekalipun atau tokoh masyarakat yang sangat dipercaya, karena mereka juga manusia yang punya kelemahan atau tidak sempurna, kita harus tetap menjadi diri sendiri fihak lain sifatnya hanya membantu mendorong hal positif yang ada pada diri kita dan menekan hal-hal negative. Jadilah diri-sendiri yang benar (Be Yourself)



Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
MAKNA KEBERADAAN
PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN-KARANGANYAR-SOLO


Menyambut Piodalan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang kali ini jatuh pada tanggal 10 September 2003, atau pada Purnama Katiga, ada hal penting yang mengetuk hati penulis untuk mengungkap makna keberadaan petilasan ini dari sisi “Bhakti pada Leluhur”.

Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sejak diterimanya petunjuk oleh Jro Gede Ketut Subandi (Almarhum) pada 9 Maret 1984, yang diceritakan pada penulis dan pengembangan selanjutnya yang dipelopori Pandita Mpu Nabe Pemuteran dan Bapak I Ketut Nedeng (Dipugar secara besar th.2000, pemugaran sederhana 1986), menimbulkan bermacam-macam pertanyaan akan keberadaannya.

Petilasan ini sendiri berada di Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec.Karangpandan, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah . sebuah desa kecil dilereng Gunung Lawu. Nama “Pasekan” adalah nama Dukuh ini yang sudah dipakai sejak dulu. Nama ini relevan dengan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sendiri yang merupakan “Trah Mpu Ketek” yang merupakan yang tertua dari “Sang Sapta Pandita”. Sapta Pandita ini sanak keturunannya dikenal dengan “Warga Pasek “ (Pasek, Bendesa,Tangkas). Pemilik tanah tempat Petilasan ini berada beberapa kali menolak orang yang ingin memugar petilasan ini karena beliau mendapat petunjuk untuk menunggu “Trah” beliau dari Bali yang akan menata tempat ini. Diceritakan oleh Jro Gede Ketut Soebandi, bahwa Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dulu adalah “Purohita/Rohaniawan” kerajaan Surakarta. Paku Bhuwono XII adalah juga yang menanda-tangani Prasasti Petilasan ini pada bulan September 2002. Kata “Pasek” sendiri berarti “Paku/Pacek”. Keterlibatan terhadap keberadaan Petilasan ini adalah juga dari fihak Mangkunegaran (sekitar tahun 1986) , dibuktikan oleh adanya pengalaman spiritual yang dialami oleh salah seorang keluarga Mangkunegaran seperti yang diceritakan oleh Bapak I Ketut Nedeng yang mengalami sendiri hal itu. Keterlibatan Paku Bhuwono dan Mangkunegaran, masih bisa dikaitkan dengan Sang Sapta Pandita. “Mpu Wiradnyana” (Saudara ke-tiga dari Sapta Pandita) keturunannya beberapa tingkat adalah “ Mpu Purwa dan saudara perempuannya “Ken Dedes”. Mpu Purwa kemudian menurunkan warga Pasek di Bali yang dikenal dengan “Pasek Tatar”. (Ir. Soekarno/Presiden I RI adalah Trah Pasek Tatar). Sedangkan Ken Dedes kemudian menurunkan Raja-Raja dan keturunannya di tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangkunegaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam.

Jika kita berbalik kebelakang pada masa “Sang Panca Tirta” (Mpu Gnijaya, Mpu Ghana, Mpu Semeru,Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah), dimana kecuali Mpu Bharadah, keempat beliau ini ke Bali menjadi Purohita pada pemerintahan “Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa (988-1011 Masehi). Keturunan Mpu Gnijaya (Tertua dari Panca Tirta), adalah Sang Sapta Pandita. Beliau ini memiliki wawasan yang jauh kedepan dalam rentang kurun waktu ratusan tahun. Ini dibuktikan oleh apa yang dilakukan beliau-beliau terhadap sanak keturunannya dimana mempunyai makna “Penyiapan diri untuk bhakti pada leluhur sesuai dengan jati-diri trah Sapta Pandita”.

Penyiapan diri yang juga mengandung kewaspadaan terhadap sanak keturunannya bisa disampaikan sebagai berikut.

Untuk mengikat sanak-keturunannya, maka dikeluarkan “Bhisama” (Pesan sakral dari leluhur) yang intisarinya :
• Keturunan Sapta Pandita tidak boleh menganggap satu sama-lain lebih jauh dari sepupu.
• Keturunan Sapta Pandita wajib bhakti pada Leluhur dan merawat “Parhyangan” leluhurnya dimanapun berada.

Jika sanak keturunannya melanggar hal itu, maka akan membawa sengsara dalam kehidupan, baik dari sisi ekonomi dan keharmonisan rumah-tangga, ada juga yang tidak sadar akan dirinya dan bangga menyebut diri “Parekan (Abdi)” padahal mereka adalah Trah Mpu Gnijaya Sang Brahmana-Jati. Tetapi sebaliknya jika bhakti pada leluhur akan memperoleh keharmonisan di keluarga dan dimasyarakat. Budaya “Sungkem” ini juga dilakukan di masyarakat Jawa. Untuk tidak menghilangkan jati diri sanak keturunannya, maka keturunan Sapta Pandita dididik untuk menuliskan dalam rontal secara terus menerus, sambung menyambung dan menurunkan serta membuat lagi untuk sanak-keturunannya yang lain. Jika dijaman sekarang ini dalam IT (information Tecnology) dengan media Computer, beliau sudah mengaplikasikan “Program Visio”. Sehingga dibeberapa keluarga besar Warga Sapta Pandita memiliki Prasasti (Rontal) yang isinya sama tentang keleluhuran dengan Warga Sapta Pandita yang lain.

Hal yang diwaspadai oleh Sang Sapta Pandita terbukti, beberapa ratus tahun kemudian yaitu sekitar abad 14-15 Masehi dan sudah mulai sebelumnya, terjadi cobaan terhadap Trah Sapta Pandita. “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” yang menjadi Raja Bali (Gelgel-Klungkung) , akhirnya tidak bisa meneruskan Tampuk kerajaan pada keturunannya, bahkan dengan 6 (enam) putranya yang masih kecil beliau kemudian meninggalkan kerajaan Gelgel. Dikemudian hari 6 (enam) putranya ini tersebar di enam tempat, seperti : Mandwang, Sangkanbuana, Songan, Pegatepan, dll. selanjutnya menurunkan Warga Pasek Gelgel dan Bendesa . Pasek Gelgel sendiri merupakan keturunan dari “Mpu Withadarma” (saudara ke-empat dari Sapta Pandita). Sesudah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel meninggalkan kerajaan, maka mulainya Era “Dalem” yang memimpin kerajaan Gelgel. Cobaan lainnya adalah dengan banyak dimusnahkannya prasasti sebagai lelintihan Trah Sapta Pandita, tapi seperti cerita Sesepuh Warga Sapta Pandita, dibakar satu kranjang masih ada dua kranjang, ini semua karena “Kewaspadaan” Sang Sapta Pandita” pada sanak keturunannya, dan ini adalah bukti cinta-kasihnya pada sanak keturunannya.

Ada persiapan lainnya dari Sang Sapta Pandita untuk sanak-keturunannya khususnya yang ada di Tanah Jawa. Seperti diketahui jika “Sang Panca Tirta” (kecuali Mpu Bharadah) menetap di Bali, Sang Sapta Pandita justru di Jawa, yaitu di “Kuntuliku Desa” (diperkirakan sekitar Malang atau Kediri). Walaupun pada jamannya beliau sering pulang-pergi Jawa-Bali untuk bhakti pada parahyangan leluhurnya yang berada di Bali. Kenapa beliau menetap di Jawa , apa sebenarnya yang ingin beliau persiapkan terhadap sanak-keturunannya ?. Jika kita kembali ke Jaman Runtuhnya Kerajaan Majapahit. Raja terakhir Majapahit (Brawijaya) meninggalkan kerajaan dan pergi kesekitar Gunung Lawu – Karanganyar Jawa Tengah, karena putra beliau sebagai penerus kerajaan, telah dididik dengan faham lain di Sumatra. Prabu Brawijaya terakhir, kemudian dikenal dengan “Sunan Lawu”. Mahapatih Majapahit yang setia, Sabdapalon-Nayagenggong, kemudian melaksanakan “Upacara Agnihotra” dan bersumpah, bahwa kejayaan Majapahit akan kembali 500 tahun kemudian. Sekarang adalah saat dimana kejayaan itu kembali, yaitu “kembali ke jatidiri / kembali ke rohani”, Hal ini bukan berarti terjadinya penggantian faham secara besar-besaran, karena sesungguhnya semua agama adalah mengajarkan kebaikan, tetapi setiap penganutnya akan diuji kemapanannya akan keyakinan dirinya seperti yang terjadi pada jaman runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada saat seperti sekarang dimana manusia sudah jauh dari ajaran agamanya yang berarti jauh dari hati nurani sehingga sudah tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, bahkan tidak merasa berdosa menghilangkan nyawa orang lain. Pada saat seperti ini, maka perlu peran “Rohaniawan” untuk meluruskan hal itu agar manusia kembali ke jati-dirinya. Apa bentuk Bhakti Leluhur yang dipersiapkan oleh Sang Sapta Pandita apakah semua keturunannya harus jadi Pendeta ?. Rohaniawan adalah menjadikan rohani sebagai dasar perjuangannya apapun profesinya karena rohani akan mengajarkan “kebenaran”. Bagi sanak-keturunan yang bhakti pada leluhur, maka akan dilibatkan dalam meluruskan yang salah untuk kesejahtraan umat manusia. Sebagai Trah Sapta Pandita, maka mempunyai cirri-ciri : Cocok menjalani kehidupan rohani, tetapi juga pendebat yang keras. Untuk itu “Sangat penting untuk terlibat dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat secara benar, sesuai dengan kemampuannya, sebagai tanda bakti pada leluhur”.

Penulis,

Nyoman Sukadana
(Pasek Tatar-Sapta Pandita)
Jaten,Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
09-09-2003.
PERJALANAN ”GURU PIDUKA”

Ajaran Hindu banyak memuat petuah akan pentingnya bakti pada orang tua atau Leluhur, itulah sebabnya umat Hindu khususnya di Bali banyak melakukan suatu upacara yang terkait dengan bhakti pada orang tua (leluhur) seperti Pitra Yadnya dan perayaan lainnya yang kadang lebih marak dibandingkan Dewa Yadnya apalagi Rsi Yadnya. Salah satu perjalanan bhakti pada leluhur adalah ”Guru Piduka” yang mempunyai makna ”Permohonan maaf pada Leluhur”. Faktor masa lalu banyak berperan terhadap maraknya umat melakukan Guru Piduka ini. Pada masa lalu dimana di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan seperti Wangsa Warmadewa berkuasa yang berakhir sekitar abad XIII, juga setelah Majapahit berkuasa di Jawa Timur sehingga ditempatkannya Adipati (wakil Raja) di Bali yang bergelar Dalem, yang pertama pada Tahun 1350 Masehi. Pada masa-masa itu dan sesudahnya hubungan kekerabatan, penghormatan pada orang tua, juga kebanggaan akan keluarga atau wangsanya, sangat tinggi. Ada suatu keadaan yang disebut ”Petita Wangsa/dihilangkan asal usulnya” oleh penguasa atau ”Nyineb Wangsa/menyembunyikan asal usulnya”. Pada masa itu Gelar Kebangsawanan seperti ”Kyayi” (bukan Kyai di-jaman sekarang), yang statusnya adalah Pembesar Kerajaan, Mantri Kerajaan, atau Amancha Bhumi, bisa saja karena sesuatu hal dicabut oleh penguasa misalnya karena melakukan kesalahan. Ada juga yang tidak ingin diketahui asal-usulnya sehingga menyembunyikannya (nyineb wangsa) bahkan ada tindakan pembakaran prasasti/lontar, atau mengganti prasasti disuatu tempat dengan yang baru yang tujuan politisnya agar tidak diketahui dengan benar asal-usulnya. Hal-hal seperti ini dikemudian hari menimbulkan masalah karena banyak kemudian yang tidak tahu asal-usulnya atau ada yang salah-sulur. Bagi yang ingin bhakti pada leluhurnya, baik yang karena dasarnya benar sesuai ajaran agama atau yang dasarnya salah dimana mengatakan ”Kesalahang Kawitan (disalahkan leluhur)” atau ”Pidukain Guru (dimarahi orang tua), akan melakukan suatu Perjalanan Suci (Dharma Yatra) yang tujuannya meminta maaf pada leluhur atau Me-Guru Piduka.

Bagi Damuh yang melakukan Perjalanan Guru Piduka ini, tentu sebelumnya atas petunjuk dari orang yang dipercaya apakah itu Pandita, Pinandita, rohaniawan, ahli babad, atau juga Balian Pipis berupa ”metuunang”, walaupun hal terakhir ini perlu hati-hati karena tidak selalu benar. Umumnya petunjuk yang diberikan adalah agar melakukan persembahyangan ke Parhyangan Sang Catur Sanak (Empat dari Panca Tirta) dilanjutkan dengan ke Mrajan Agung atau Pura Kawitan mereka. Sarana yang dibawa adalah ”Banten Guru Piduka”. Prosesi Perjalanan Guru Piduka diawali dengan sembahyang dirumah (Kemulan Rong Tiga) untuk mohon petunjuk akan melakukan perjalanan Guru Piduka agar berjalan lancar. Fase berikutnya ke Parhyangan Catur Sanak yang merupakan leluhur sebagian besar orang Bali, baik itu Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dll. Urutannya mengikuti urutan kedatangan Catur Sanak ini ke Bali atas permintaan Raja suami-istri ”Udayana Warmadewa & Gunapriya Dharmapatni” pada sekitar abad X, yaitu : Pertama ke Parhyangan Mpu Semeru (Mpu Mahameru), Parhyangan beliau di Besakih sekarang disebut “Pura Ratu Pasek (Pura Catur Lawa). Beliau pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi), menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem. Kedua ke Parhyangan Mpu Ghana Parhyangan beliau di Gelgel Klungkung, dan sekarang disebut dengan nama “Pura Dasar Bhuwana”. Beliau penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Parhyangan beliau berupa Meru Tumpang Tiga yang juga disebut Ratu Pasek. Ketiga ke Parhyangan Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padangbai, hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali) dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam. Ditempat Parhyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti. Ke-empat ke Parhyangan Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parhyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyang Madya”.

Setelah perjalanan ke Parhyangan Sang Catur Sanak, Damuh lalu melakukan Persembahyangan Guru Piduka ke Pura Kawitan masing-masing (Mrajan Agung, Dadya Agung). Sesudah itu umumnya dilanjutkan dengan Ngelinggihang Bhatara Kawitan dirumah masing-masing.

Demikian perjalanan Sang Damuh dalam rangka memohon maaf kepada Leluhurnya yang sesungguhnya lebih tepat karena Damuh ingin melakukan ajaran agama dengan baik yang tertuang dalam Ajaran Catur Guru, Tri Rnam, dan Panca Yadnya. Semoga niat baik ini memberikan kedamaian bagi Damuh, keluarga, serta keturunannya..


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-08-2007
APAKAH ”HYANG KOMPYANG” BEGITU KEJAM

Pola penerapan ajaran-ajaran Weda kepada masyarakat Hindu di Bali jaman dulu telah menyisakan suatu pemahaman yang belum jernih dalam aplikasinya dewasa ini, apakah hal ini kelalaian para Sulinggih atau pemimpin agama jaman dulu dan jaman sekarang penulis tidak tahu, tetapi fenomena yang bisa kita lihat dimasyarakat akan menjawab hal itu. Dalam tulisan ini kita coba melihat fenomena ”Bhakti pada Leluhur” masyarakat Hindu di Bali. Masyarakat Hindu secara umum mengikuti dengan baik apa yang diterimanya dari fihak yang dianggap lebih tahu atau yang dipercaya sebagai panutan, apakah itu Pandita (Brahmana/Sulinggih) seperti : Pedanda, Mpu, Bhagawan, Rsi, Bujangga, Dukuh, atau Pinandita (Jero Mangku), tokoh agama/tokoh adat, atau penglingsir, sehingga mereka menurut saja ketika harus membeli seperangkat banten yang mahal-mahal untuk keperluan Ngaben atau melakukan ritual tertentu jika menghadapi masalah, seperti : Nawur Sesangi, me-baya (Istilah Jawa : Ruwatan), mengadakan pertunjukan wayang, dan bentuk laku lainnya yang harapannya agar terjadi perbaikan dirinya dan keluarga skala-niskala sesudah diadakan acara tersebut. Suatu pemandangan yang umum terjadi, bahwa masyarakat ini berani mengeluarkan uang yang besar untuk suatu upacara atau jika harus Ngelinggihang Hyang Widhi berupa Kemulan atau Stana Leluhur berupa Meru (untuk Kawitan/Atma pratista), Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang. Kebutuhan akan hal ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, Asuransi termasuk bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia), sehingga terkesan pola kehidupan ini sangat pribadi bahkan cendrung egois. Tetapi itulah cara mereka menunjukkan bhaktinya pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, apakah hal ini dibenarkan ajaran Weda, mari kita cermati bersama-sama.

Fenomena lainnya yang tidak kalah serunya adalah : Pemanfaatan Balian Kodal, metuunang, me-peluasan, sebagai tempat bertanya tentang keleluhuran atau jika mereka menghadapi masalah baik ekonomi atau kesehatan. Apakah ini pengejawantahan dari ketidak percayaan mereka pada tokoh agama atau Sulinggih atau karena mereka mencari jalan pintas akibat tidak tahan menghadapi kehidupan yang semakin sulit ? hal ini menjadi tidak jelas, namun faktanya sebagian besar masyarakat ini melakukannya. Secara umum hasil metuunang ini akan mengatakan, bahwa : Leluhur kepanesan, masih terikat (Nu Metegul di-kedituan), belum dapat tempat (Konden maan tongos), dan bentuk penjelasan lainnya yang menyatakan Hyang Kompyang masih bermasalah, sehingga keturunannya (Damuh) ikut panas di Mayapada (Dunia) yang berakibat ekonomi seret, sakit-sakitan, ribut dikeluarga atau ribut dengan tetangga, sehingga sering muncul kalimat ”Irage kesalahang Hyang Kompyang atau kesalahang Kawitan (Kita dihukum Leluhur)”, dan untuk mengatasi hal itu banyak yang kemudian mengikuti petunjuk Jero Balian untuk membuat Banten tertentu atau bagi yang belum Ngelinggihang atau membuat Stana Leluhur biasanya diminta merealisasikannya, dimana semua itu mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk minta ampura kepada Hyang Kompyang. Yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah Hyang Kompyang itu begitu kejam, sehingga keturunannya sampai dihukum seperti itu ? apakah leluhur itu yang sudah merage Dewa Hyang mempunyai sifat pemarah atau pendendam? ini perlu dijelaskan baik oleh tokoh agama maupun para Sulinggih.

Atas pemaparan diatas, jika kita mencoba mencari penjelasan logis (dengan Wiweka) atau penjelasan atas dasar Weda, atas permasalahan diatas, maka ada point-point yang bisa diambil, seperti : kenapa mereka datang ke Balian Metuunang, kenapa mereka berpaling ke Hyang Kompyang (Leluhur) jika ada masalah ekonomi atau kesehatan, dan kenapa mereka mengeluarkan uang yang besar untuk banten ? ini karena mereka belum menghayati pengertian ”Bhakti” yang merupakan bagian dari ajaran Catur Marga atau pengertian ”Putra” yang berasal dari Pum dan Trayate atau ”Penyebrang Dosa Orang Tua”. “Bhakti” adalah bentuk kepasrahan sejati kehadapan Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan tanpa mengharapkan balasan apapun atau tanpa pamrih, sehingga orang tersebut pantas disebut dengan “Bhakta”. Walaupun masyarakat Hindu di Bali dikenal oleh orang luar sangat Bhakti pada Hyang Widhi dan Leluhur, tetapi bhakti seperti apa yang telah dilakukan, jangan-jangan baru pada tingkat “Me-bhakti” atau hanya baru pada tingkat melaksanakan belum sampai penghayatan dari hati yang terdalam. Apakah setiap ada masalah lalu datang ke Hyang Kompyang membuat banten dan berharap setelah itu hutangnya lunas, sakitnya sembuh, atau kehidupannya tenang ? bukankah itu ”pamrih” namanya. Contoh yang gampang untuk mengenal bhakti seperti ini adalah Bhakti pada ayah ibu karena beliau adalah leluhur yang terdekat. Jika kita bhakti pada ayah ibu dengan harapan agar diberikan uang atau imbalan materiil lainnya, itu bukan bhakti yang sejati. Bhakti yang benar adalah berupa kepasrahan yang utuh kepada ayah-ibu juga leluhur tanpa mengharapkan imbalan bahkan mendoakan agar ayah-ibu juga leluhur memperoleh ketenangan, bukan malah meminta leluhur memberikan sesuatu ketika kita mengalami kesulitan, namun mohonlah tuntunan pada Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan karena kepada beliau kita dibenarkan memohon dan itupun jika perlu, karena tidak setiap bhakti harus disertai permohonan. Tindakan ini akan menyebabkan kita lega, lapang dada, tenang sehingga bisa berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan sehingga muncul ide-ide yang baik dan benar bagaimana menghadapi kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, dan sebagainya. Itu contoh Bhakti, lalu bagaimana jika Logika (wiweka) yang kita pergunakan ? Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi kemudian kita membuat banten yang besar-besar, membuat Pelinggih yang megah, apa yang terjadi ? uang kita semakin terkuras dan bisa jadi hutang bertambah, jangan-jangan sesudah itu Hyang Kompyang lagi yang disalahkan jadi penyebabnya lalu datang lagi ke Balian Metuunang disuruh buat banten lagi, maka semakin susah hidup ini. Seharusnya yang pertama dilakukan dalam situasi seperti ini adalah ”Ngelinggihang di hati”. Puja terus Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan hingga Melinggih di dalam hati kita, jika dikemudian hari keuangan cukup lakukan Bhakti dengan membuat Pelinggih beliau berupa : Meru, Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang sehingga keluarga besar bisa melakukan Puja Bhakti dengan lebih baik. Bagaimana dengan peran “Putra” (sentana atau anak keturunan) ? Putra adalah penyebrang dosa orang tua, maka anak yang berbhakti atau anak yang su-putra akan menjadi penyebrang dosa orang tua atau leluhur, demikian sebaliknya terhadap anak yang durhaka akan berakibat buruk pada leluhur atau orang tua, ini jelas disebutkan dalam ajaran Weda. Jadi … kesimpulan dari semua itu ada pada “Karma” sesuai ajaran Karma-Phala, jika kita melakukan kebaikan dalam kehidupan ini, maka pahala kebahagiaan akan kita peroleh semasih hidup (Jagadhita) atau sesudah mati (Moksartam), maka jadilah orang yang menganut ajaran Tri Kaya Parisudha dan hindari mendakwa leluhur itu sebagai penyebab masalah kita apalagi karena atas petunjuk Jero Balian.

Untuk renungan, mari kita melihat bagaimana bhaktinya Sang Dasarata - Raja Ayodya (Ayah Kresna) seorang tokoh panutan disegala jaman yang sangat menghormati leluhurnya. Disebutkan pada sebait Kekawin Ramayana sbb :

Gunamanta Sang Dasarata, Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh

Raja Ayodhya itu adalah ahli Weda, seorang bhakta (pemuja Tuhan yang taat), tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana, “Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma“.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
MENGENAL UMAT HINDU DI TANAH JAWA

Umat Hindu di Tanah Jawa yang asli suku Jawa, adalah orang-orang pilihan, keyakinan mereka terhadap “Warisan Leluhur (Agama Hindu)” sangat kuat. Pada umumnya di Bali masyarakat menjadi Hindu terutama karena mereka berada dilingkungan Hindu, bapak-ibu mereka Hindu, tetangga Hindu, dan keseharian mereka adalah Hindu yang tertuang dalam bentuk seni-budaya, dll. Namun umat Hindu di Jawa berada pada keadaan yang praktis berbeda dengan umat Hindu di Bali. Pada tulisan ini penulis menyoroti Umat Hindu di sekitar lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Keberadaan mereka ditempat sekarang adalah banyak terkait dengan masa lalu, dimana demi mempertahankan keyakinan mereka terhadap Ajaran Leluhur, maka memilih untuk tinggal ditempat-tempat yang untuk ukuran masa lalu sangat tersembunyi, sebab di jaman sekarangpun dimana jalan-jalan sudah ada dan diaspal, tetap bisa dilihat, bahwa tempat mereka masuk kepelosok. Secara turun-temurunn orang-tua selalu mengajarkan anaknya untuk melaksanakan bentuk bakti yang berupa persembahyangan. Si anak-keturunan taat menjalankan petunjuk orang tuanya, namun lama kelamaan mereka tidak tahu ajaran apa / agama apa yang mereka lakukan itu, karena yang mereka tahu hanyalah menjalankan pesan bapak/ibu, kakek/nenek, dan leluhurnya. Sampai akhirnya masuknya orang Bali ke Tanah Jawa yang mungkin karena sudah kehendak Yang Maha Kuasa, menjadi jelaslah , bahwa yang mereka lakukan selama ini secara turun temurun adalah “Bhakti” yang merupakan ajaran Agama Hindu, sehingga klop sudah mereka untuk menyandang sebutan “Umat Hindu”. Penulis punya keyakinan, bahwa orang-orang pilihan ini yang tersebar di beberapa tempat di Tanah Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, mempunyai latar belakang dan suratan takdir yang sama, bahwa mereka adalah “yang terpilih sebagai penerus ajaran leluhur”. Walaupun penulis tidak sampai berinteraksi dengan umat Hindu di seluruh Jawa, namun yakin ada benang merah antara umat-umat ini dan itu hanya beliau Yang Maha Kuasa yang tahu.

Kedepan, umat Hindu dari Bali yang datang ke Jawa harus bisa memahami kejiwaan dan tradisi mereka. Umat Hindu dari Bali jangan membawa cara Bali ke Jawa (maksudnya Bebantenan), demikian kata orang Bali yang sebenarnya punya niat baik menasehati kawan-kawannya. Tetapi tanpa disadari justru tindakan itu menjadikan “dikotomi Jawa-Bali”, karena akan muncul Banten Jawa dan Banten Bali. Umat Jawa sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan banten Bali karena banten Jawa-pun banyak dari mereka tidak tahu, kalaupun ada yang membuat atau ada perayaan tertentu, seperti “Mondosio (Medangsie)” masih perlu dicari landasan Weda-nya. Lalu,supaya kita tidak berkutat ke masalah upakara dan maju menuju ke Filosofi Weda (Tattwa dan Etika), ada suatu gambaran tentang Banten Bali yang dibawa ke Jawa, sbb : “ Orang Bali yang ke Jawa dengan membawa Banten Bali, adalah mengembalikan warisan leluhur jaman dahulu dari Jawa yang tetap dipelihara di Bali, cuma tahun demi tahun mengalami perkembangan sesuai dengan seni-budaya orang Bali, sementara orang Jawa sendiri sudah beranak-pinak ratusan tahun jelas tidak mengenal lagi warisan leluhur (Banten) yang dibawa oleh orang Bali kembali ke Jawa”.

Penulis tidak bermaksud menjadikan Umat Jawa menjadi Orang Bali dengan segala tata upacaranya, bahkan penulis telah menasehati umat Jawa yang menyukai tentang upacara tradisionil Jawa untuk melakukan dokumentasi terhadap setiap tata upakara secara Jawa, selanjutnya kita bawa ke “Sulinggih” untuk di test atau diberi dasar Weda. Penulis ingin mengajak semua, mari kita masuk ke “Tingkat Rohani” tentunya melalui pemahaman Ajaran Weda, maka akan terasa kesamaan kita, tidak ada lagi Hindu Jawa, Hindu Bali, yang ada adalah Umat Hindu. Bebantenan biarlah menjadi seni-budayanya karena Hindu sangat dekat dengan budaya, tentunya banten jangan berlebihan yang memberatkan umat. Mengenai penyederhanaan ini Para Sulinggih terutama Para Mpu sudah memberi contoh akan hal itu. Jadi jangan diperdebatkan hal itu,sebab membuat bingung umat Hindu asal Jawa, belum lagi adanya aliran dari India seperti Sai Baba di Jawa. Sudah tatacara leluhur (banten tradisionil Jawa) tidak banyak dikenal, banten bali susah mengikutinya, ditambah lagi tata-cara dari India diperkenalkan, maka semakin membuat bingung umat di tataran yang sedang mencari bentuk ini, karena tingkatan pemahaman umat itu berbeda-beda.

Umat yang mencintai Ajaran Hindu, apapun cara yang dianut termasuk tata-cara India, cobalah memberi contoh pada umat Hindu lainnya. Berbicaralah pada Tingkat Rohani, sehingga umat tidak salah pengertian dengan menganggap ada Ajaran Hindu, Ajaran Sai Baba, Ajaran Hare Krishna, dll. seharusnya umat yang datang kepada Sai Baba atau orang suci lainnya sama pengertiannya kalau kita mendatangi “Sulinggih”, yaitu untuk memperoleh siraman rohani, jadi umat ini mengerti, bahwa Agama Hindu itu hanya satu saja. Kata “AUM” itu adalah diucapkan oleh seluruh umat Hindu didunia ini, baik yang ada di Bali,Jawa, Kalimantan, Sumatra, India, dll. jadi “kita merasa ada persamaan”.

Maka, hanya ada satu jalan, bagi yang tidak sependapat dengan penulis atau yang masih berada di tataran upakara, coba kali ini ikuti dulu ajakan penulis : “Bawalah diri anda ke tingkat Rohani, melalui sering berdialog dengan diri sendiri, meditasi atau merenung, mengenal umat Hindu lainnya, membaca kitab suci, sering mengambil hikmah dari suatu kejadian, iklas ber-danapunia……….… , lakukan ini dengan benar, beberapa waktu kedepan nanti, coba lagi kilas balik pada pola berpikir anda masa lampau, penulis yakin anda akan sadar, bahwa dulu anda tidak tepat menempatkan diri, Selamat mencoba dan sampai bertemu pada pemahaman yang sama.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
PERJALANAN KE GOA WISNU
MOJOKERTO – JAWA TIMUR


Mojokerto Jawa Timur tercatat sebagai daerah yang menyimpan kebesaran Majapahit jaman dahulu yang sekarang ini hanya bisa dilihat dari puing-puing peninggalannya. Perjalanan kami mengiringi Sulinggih dan praktisi spiritual bersama beberapa kawan bulan April 2004 lalu, memberi kesan yang dalam dilubuk hati masing-masing. Puing-puing dan sisa-sisa bangunan yang ada seperti memanggil kami dan berceritra akan masa-lalu disaat Majapahit masih jaya. Adalah R.Heriyanti Thatit Widoro Werti yang dengan bangga memperkenalkan “Srikandi Majapahit” sebagai panggilan kebanggaannya dan ada papan nama didepan rumahnya bertuliskan Mangku Majapahit. Dia adalah seorang wanita yang sendiri dengan komitment penuh menjaga peninggalan Majapahit ini walaupun secara administratif dibawah pengawasan pemerintah tentu ada sedikit bantuan biaya perawatan, namun semangat untuk membaktikan dirinya untuk menjaga warisan leluhur tidak bisa dinilai dengan uang. Perjalanan kami hari itu mengambil tempat menginap di Desa Klinter Rejo yang masih memiliki bangunan peninggalan Majapahit. Apa yang kami lakukan adalah semata-mata ingin beradaptasi dengan alam Majapahit memenuhi panggilan hati. Perjalanan utama kami adalah “Ngelinggihang Patung Wisnu dan Dewi Sri di Goa Wisnu.

Anggas Wesi Goa Wisnu, demikian orang menyebutnya tepatnya berada di Desa Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kab.Mojokerto. Dari desa Jabung ke Goa Wisnu hanya bisa dilewati dengan jalan kaki kepinggiran desa yang memakan waktu sekitar 1 jam. Tempatnya terpencil dan arealnya juga tidak begitu besar Tempat itu dirawat oleh Bp. Darmaji yang berasal dari Boyolali tetapi dengan senang hati menetap di Goa Wisnu karena disana dia memperoleh kebebasan dan ketenangan katanya dengan tulus. Bp. Darmaji juga berperan melayani orang-orang yang menginap di Goa Wisnu dengan membuat sekedar makanan dan minuman dengan memperoleh sekedar uang padahal di tempatnya di Boyolali dia bisa memperoleh penghasilan yang lebih. Untuk kedua kalinya setelah R. Heriyanti kami melihat suatu komitment yang begitu tinggi dari seseorang yang bernama Bp. Darmaji terhadap peninggalan leluhur. Lalu apa komitment kita terhadap hal-hal seperti ini ?

Rombongan kami, Pandita Mpu Jaya Kerta Tanaya, Bapak I Ketut Nedeng, dan kawan-kawan lainnya, memang merencanakan Ngelinggihang Patung Wisnu dan Dewi Sri di Goa Wisnu. Kami berangkat pagi hari sekitar jam 06. Mobil diparkir di dekat rumah penduduk di Jatirejo dan melanjutkan dengan jalan kaki menyusuri semak-semak dan hutan kayu. Sampai ditujuan rombongan sempat membersihkan diri disuatu empang/ kali kecil yang airnya tidak begitu bersih tapi tidak menghambat kawan-kawan untuk mandi sebelum acara ngelinggihang dimulai. Tempat ini memiliki aura spiritual yang tinggi yang mungkin saja dahulu menjadi tempat Meditasi atau laku spiritual memuja kebesaran Tuhan oleh penduduk jaman itu. Patung Wisnu dan dewi Sri berujud 2 buah patung yang tingginya kurang dari setengah meter dan ditempatkan di dua goa yang berbeda. Upacara ini dipimpin oleh Pandita Mpu Jaya Kerta Tanaya. Dengan dipuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri ditempat ini semoga memberi aura kesucian kepada umat yang datang dan daerah sekelilingnya. Karena Goa Wisnu masih berada diareal Majapahit semoga membuka tabir kebesaran Majapahit jaman dahulu sehingga membawa kedamaian kepada setiap insan khususnya penduduk sekitar. Menurut Ibu Heriyanti yang membantu memandu perjalanan kami, sudah dua kali pernah ada umat yang merencanakan membuat Pura disekitar lokasi Majapahit tetapi selalu gagal, mungkin yang perlu dibuat adalah Pura didalam diri dan semoga Goa Wisnu bisa menyediakan tempat untuk itu. Kebetulan saat kami ngelinggihang ada beberapa penduduk yang beragama lain datang ketempat itu tetapi kami bisa berdiskusi dengan sangat akrab dari hati kehati. Inilah bentuk kesadaran rohani yang diharapkan dimana manusia merasa sama dimata Tuhan.

Kami meninggalkan Goa Wisnu siang hari. Perjalanan pulang kami ini, membawa suatu kesan yang mendalam akan keberadaan kami di Lokasi Peninggalan Majapahit dan Goa Wisnu, karena penghayatan kepada setiap tempat yang kami kunjungi. Pandita Mpu Jaya Kerta Tanaya sampai memerlukan 4 (empat) lembar menuliskan kesannya lewat surat yang dikirimkan kepada penulis setelah beliau tiba di Bali, yang intinya : Beliau merasa terharu melihat peninggalan Majapahit yang kurang terawat dan juga kagum dengan komitment Ibu Heriyanti dan Bp. Darmaji serta fihak-fihak lainnya yang sudah dengan tulus hati mau memperhatikan peninggalan leluhur jaman Majapahit.

Kedepan dibutuhkan orang-orang yang punya kesiapan mental yang tinggi serta kebersihan jiwa untuk bisa mengibarkan nilai-nilai luhur yang tertuang dalam setiap ornamen-ornamen peninggalan Majapahit. Tidak keliru rasanya jika diawali dari Goa Wisnu sebagai titik awal melangkah kedepan dengan rohani / ketulusan jiwa sebagai panglimanya bukan kepentingan-kepentingan yang sifatnya duniawi. Semoga leluhur-leluhur di Tanah Jawa khususnya para tetua Majapahit ikut membimbing umat yang punya ketulusan jiwa untuk mampu berbuat kebaikan bagi sesama melalui menjaga kebesaran dan kesucian peninggalan leluhur. Semoga.







Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
SERINGLAH BERDIALOG DENGAN HATI NURANI

Kekuatan Pikiran dan kekuatan Rohani adalah dua hal yang harus seimbang dimiliki oleh manusia. Sengaja kata “Kekuatan” yang dijadikan awalan dua hal penting diatas supaya manusia merasa punya sesuatu yang diandalkan, namun yang ingin dijelaskan disini adalah bagaimana menyeimbangkan Pikiran dan Rohani agar memberi manfaat buat diri sendiri dan orang lain.

Penulis sangat mementingkan keharmonisan hubungan antar manusia dilihat dari “manusianya” bukan dari keluarga mana dia, apa agamanya, apa statusnya dalam masyarakat, dll. sangat terasa keindahan hubungan antar manusia itu ketika tinggal di Jakarta/Bekasi, beberapa kawan yang dari berbagai agama, seperti Islam, Kristen,Katolik, Budha, dan juga Hindu, bisa ber-interaksi dengan baik, bahkan selalu menemukan titik temu jika berdiskusi masalah keyakinan, karena titik tolak kita adalah “hati nurani”. Penulis sangat bisa merasakan , bahwa apa-apa yang tertuang dalam ajaran agama yang merupakan Wahyu Tuhan dan tertuang dalam berbagai Kitab Suci dapat diperoleh kalau kita sering berdialog dengan hati nurani. Ajaran Catur Warna (yang pernah diselewengkan menjadi Kasta) perlu diluruskan. Seperti di India sana dulu masih dijumpai larangan bagi umat yang bukan Brahmana untuk membaca Weda. Jadi hanya Brahmana yang boleh membaca Weda. Menurut penulis pengertiannya bukan demikian. Jika manusia ingin memperoleh ajaran Weda, maka berlakulah seperti Brahmana yaitu dengan mengasah kekuatan Rohani. Pada saatnya nanti, maka kita akan memperoleh “Password” untuk memperoleh Weda didalam hati nurani. Hal ini bukan berarti kita mengabaikan untuk membaca Kitab Suci Weda (Sruti dan Smerti). Pemahaman tentang Weda melalui buku tetap harus dilakukan karena tidak semua umat mampu masuk kealam rohani sehingga penyampaian ke umat tetap harus ada landasannya atau referensi Kitab suci Weda.

Diatas disampaikan, bahwa penulis memperoleh kenikmatan hubungan antar-manusia dengan memandang manusianya, tetapi ketika masuk ke agama penulis sendiri (Agama Hindu) yang sangat kuat pengaruh adatnya, masih ada kebodohan mengenai kasta, masih ada sifat mengagungkan diri, terlihat ada kekuatan yang melebihi kekuatan Rohani, yaitu “Kekuatan Pikiran”. Kekuatan pikiran ini mendorong manusia mengikuti hawa nafsu jika tidak diimbangi atau dikendalikan kekuatan rohani. Banyak umat yang mengangap dirinya atau kelompoknya merupakan keturunan ter-mulia yang sesungguhnya ketidak tahuan dan kebodohan mereka, karena kekuatan pikirannya (Ego) melebihi kekuatan rohani. Ada “Pandita” yang menyebut diri Brahmana karena sudah memakai gelar, salah menempatkan dirinya. Seorang Pandita adalah lintas golongan, karena dengan “Dwijati” sudah lahir yang kedua dari Brahman sehingga disebut Brahmana Tetapi yang terjadi adalah masih masuk kedalam organisasi umat dan mengelompokkan diri. Penulis sempat berbeda pendapat dengan kawan tentang seorang Pandita yang ngetop di Bali karena pintar dan punya selera humor tinggi yang katanya punya wawasan jauh, orang pintar bicara itu banyak, politikus kita banyak yang pintar bicara, bahkan tukang obat juga pintar bicara, jika beliau berbicara masalah ajaran agama, kita bisa baca sendiri, tetapi yang penting buat adalah “bagaimana rohaninya ?”, apakah beliau sudah bisa menempatkan dirinya sebagai “Sulinggih” dimana harus mampu mengayomi umat secara keseluruhan, bukan malah meng-kotakkan umat dan mempertahankan statusquo. Penulis sangat menghormati beliau Ida Pedanda Oka Puniaatmaja ketika mendampingi beliau sebentar ketika beliau ada di Solo bersama-sama dengan Para Mpu, penulis menghormati Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, karena beliau sangat mengerti arti “Manusia” dimata Ida Sanghyang Widi Wasa. Beliau menanda-tangani Bhisama tentang Pemurnian ajaran Catur Warna”, Beliau-beliau ini yang menurut penulis sudah memiliki “Pasword” untuk masuk ke hati nurani sehingga setiap langkahnya akan dituntun oleh ajaran Weda yang ada di hati nurani beliau.

Sesungguhnya tidak menyenangkan masuk kewilayah pembicaraan ini karena penulis menitik-beratkan pada hubungan antar manusia, tetapi karena ini terlihat pada masyarakat penulis sendiri (Bali) dan melihat juga hal ini ditempat lainnya, sehingga ada kerikil-kerikil yang harus disingkirkan agar terjadi “Keharmonisan hubungan antar manusia”. Apalagi umat Bali yang berada di Jawa, tidak seharusnya membawa hal itu dari Bali, karena banyak PR kita untuk pengembangan umat di Jawa yang sangat membutuhkan peran aktif kita. Sebagai akhir kata penulis mengajak “Mari berdialog dengan hati nurani karena disana ada kedamaian”.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Jeten, Karanganyar-S o l o

13-08-2003