Senin, November 02, 2009

DARMAWACANA SEBUAH KESEMPATAN

Ketika Bangsa Indonesia butuh kemerdekaan, maka lahir Sukarno Sang Proklamator, yang kebetulan Ibunya Nyoman Rai Srimben adalah orang Bali dari keluarga Pasek Tatar Baleagung Buleleng. Ketika umat Hindu suku Bali mulai sadar perlunya bhakti pada leluhur khususnya yang belum kenal ”Wit /asal-usulnya” sebagai wujud bhakti pada Ibu-Bapak, maka lahir seorang Ketut Soebandi yang meluruskan benang kusut keleluhuran ini, dan banyak contoh lainnya yang membuktikan kepada kita, akan kasih sayang Hyang Widhi kepada umat manusia seperti dipertegas dalam ajaran Awatara. Ini juga memperjelas, bahwa sesungguhnya setiap manusia yang lahir ini mempunyai peran masing-masing sesuai dengan bakat (guna) dan aktifitas/perbuatannya (karma), artinya setiap orang punya ”kesempatan” untuk melakukan sesuatu yang baik.

Darmawacana, adalah satu kesempatan yang diberikan kepada kita untuk melakukan hal yang baik yaitu mewacanakan kebenaran/kebaikan. Darmawacana ini disamping berbicara dihadapan umum seperti yang kita kenal, juga meliputi : Men-Dalang, Kidung/Pengawi, dan menulis. Khusus mengenai berbicara dihadapan publik (cq. Darmawacana), maka ada sesuatu yang perlu kita lihat lebih jauh. Kita mengenal banyak pen-darmawacana di lingkungan umat Hindu atau di umat beragama lain, di umat Islam kita mengenal Zainudin MZ, AA Gym, yang ceramah agamanya begitu ditunggu-tunggu masyarakat. Dilingkungan umat Hindu kita mengenal Pedanda Gunung, Pandita Mpu Dwija Kerta (Seririt), Bhagawan Dwija, Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, dan di Jawa (Surabaya) ada Nyoman Putra, yang juga sangat disukai masyarakat, walaupun perbedaan AA Gym dan Pendarma Wacana kita skalanya lebih luas artinya ceramah AA Gym bisa dinikmati oleh umat lain (non muslim) sementara kita belum setingkat itu hanya terbatas dilingkungan umat Hindu, bahkan lokal /daerah, walau kita tetap harus bersyukur punya Pendarma Wacana yang disenangi masyarakat sehingga dapat memberi arahan yang benar kepada umat Hindu khususnya. Yang menjadi pertanyaan kenapa begitu banyaknya pen-darmawacana namun hanya sedikit sekali yang bisa mengena dihati masyarakat atau menjadi idola ? Apakah beliau-beliau yang dikanal masyarakat ini memang sangat mampu dibidangnya ? Jawabannya tentu Ya, tetapi apakah yang lainnya tidak punya kemampuan?. Pedanda Gunung misalnya banyak dinanti-nanti darma-wacana beliau di Bali TV atau diundang disuatu acara, walau banyak yang menilai materinya biasa saja artinya orang lain juga materinya sama bahkan lebih baik tetapi toh Pedanda Gunung lebih disukai masyarakat. Pendapat lain mungkin karena beliau pintar menyelingi dengan lelucon seperti dilakukan oleh AA Gym dan Zainudin MZ, tetapi orang lain juga banyak yang lucu, lalu apa bedanya ? Hal yang sama juga bisa diamati pada Bhagawan Dwija, dan idola masyarakat lainnya. Atas fenomena adanya ”perbedaan” ini, tentu ada hal yang menarik sekaligus menjadi pertanyaan kita, kenapa ada perbedaan ini ?. Tanpa bermaksud Ajewere atau mendahului kehendak Hyang Widhi, maka ada sesuatu yang lain yang dimiliki oleh orang-orang tersebut dan merupakan ”Anugrah” Hyang Widhi, ini yang disebut dengan ”Karisma”. atau ”Pamor”, orang jawa mengatakan memperoleh ”Pulung”. Orang-orang yang punya karisma ini lebih mempunyai magnet dibandingkan yang lainnya ketika berbicara dihadapan publik, tetapi sekali lagi ini adalah Anugrah yang tentunya Hyang Widhi punya maksud lain atas anugrah ini. Ini juga menandakan orang yang punya karisma ini punya kesempatan yang lebih besar untuk melakukan sesuatu kebaikan kepada umat manusia dibandingkan yang lain dan kesempatan ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Jika baik membawa anugrah ini, maka sepanjang jaman akan dikenal dan harum namanya walau orangnya telah tiada, tetapi sebagai imbangannya godaan ketenaran juga sangat kuat ibarat pohon yang semakin tinggi akan semakin kencang tertimpa angin. Godaan-godaan bisa membuat gagal mengemban anugrah ini, seperti jika tergoda oleh wanita, harta, atau memanfaatkan ketenaran untuk kepentingan golongan/kelompok/clan/soroh, maka waktu akan membuktikan, bahwa cepat sekali karisma atau pamor itu akan menyusut bahkan tidak berkilau lagi. Contoh nyata akan hal ini bisa kita lihat bersama, maka hati-hatilah mengemban anugrah ini. Bagaimana dengan ”Penulis” ? Banyak penulis yang berkarya dengan tulisannya namun sedikit yang dikenal oleh masyarakat, inipun terkait dengan anugrah dan kesempatan disamping kemampuan penulis tersebut. Menulis adalah suatu kesempatan, jadi ini juga agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Penulis disamping menyampaikan pesan-pesan kebenaran juga bertugas ”meluruskan” sesuatu yang belum lurus sehingga perlu keberanian dan kejujuran untuk melakukan hal ini. Dampaknya bisa mendapat perlawanan atau debat khususnya dari fihak yang diluruskan. Semangat yang perlu ada adalah ”jadikan kejujuran, kasih sayang, dan keberanian” sebagai pegangan. Penulis juga bisa tergoda/terjerumus, yaitu ketika memanfaatkan tulisan untuk menyerang fihak lain, bukan yang sifatnya meluruskan apalagi menyampaikan kebenaran dan kedamaiaan. Pada situasi seperti ini, maka nafsu atau pembalasan akan menunggangi dan kalimat yang keluar kepermukaan menjadi kasar, tidak sopan, bahkan menyakitkan.

Ketika Yudistira (Darmawangsa) diberi kesempatan oleh Hyang Widhi untuk memilih salah satu dari ke-empat adiknya yang meninggal didekat telaga untuk hidup, maka Yudistira memilih Nakula si-kembar yang beda ibu, tujuannya agar ada ”keadilan” . Karena kebijaksanaan Yudistira, akhirnya keempat adiknya hidup kembali. Semoga dengan bercermin pada kisah Pandawa ini, kita yang diberi anugrah oleh Hyang Widhi, dapat menggunakan dengan baik ”kesempatan dan anugrah” ini.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2007
MERENUNGI MAKNA ”PAREKAN SEKEN”

Pada kesempatan Darmawacana oleh Pandita Mpu dalam suatu Piodalan, sempat terlontar kata-kata agar para Damuh (Pratisentana Bhatara Kawitan) jangan menjadi ”Parekan Seken” yang merupakan kepanjangan ”Pasek”. Apa yang disampaikan oleh beliau sebagai seorang sulinggih, saya rasakan tidak ada maksud untuk menghina para damuh atau mem-provokasi, namun mengajak meningkatkan diri secara mental agar berada pada tataran yang sama, sederajat, tidak lebih tinggi juga tidak lebih rendah. Kenapa sampai ada lontaran Parekan Seken ni tentu ada sebabnya.

Seperti kita ketahui karena perkembangan jaman, maka Pratisentana Mpu Gnijaya sebagai leluhur Sapta Pandita yang keturunannya dikenal dengan ”Pasek” mengalami kemerosotan status atau akses politik. Mpu Gnijaya yang semula menjadi panutan Panca Tirta lainnya karena tertua, juga Sapta Pandita yang dulunya selalu memimpin persembahyangan di Besakih, setelah tahun berganti tahun beralih kepada Pandita lainnya, seperti Danghyang Nirarta dan keturunannya yang merupakan Pedanda-Pedanda. Juga perjalanan dari Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang menjadi raja di Bali pada abad XIII atas restu Mpu Semeru (salah seorang Panca Tirta) akhirnya kemudian beralih kepada ”Dalem Kresna Kepakisan” sebagai senapati/wakil raja di Jawa, setelah pemerintahan di Jawa Timur dibawah Majapahit. Selanjutnya setelah berakhirnya dinasti Dalem di Bali, menurut Kembar Kerepun dalam bukunya ”Benang Kusut Nama Gelar di Bali” , Belanda perlu menghidupkan kembali bekas-bekas raja-raja dulu, maka muncullah Anak Agung dan Cokorda. Perkembangan fase demi fase itu telah semakin melemahkan akses Pratisentana Sapta Pandita. Jika ada yang menjadi Rohaniawan maka biasanya disebut Dukuh namun berbeda sekali perannya dibandingkan dengan, misalnya : Ki Dukuh Blatung (Mertua Ida Manik Angkeran- leluhur Wang Bang Sidemen/Singarsa, Pinatih dan Arya Dauh), juga Ki Dukuh Suladri (Mertua Sri Angga Tirta Ksatrya Tirtha Arum dan Dalem Gelgel Dimadya). Jadi hanya rohaniaan biasa tidak punya akses ke Raja/Dalem. Keturunan Kyayi I Gusti Ageng Pasek Gelgel dan Pasek lainnya juga menurun statusnya, paling tinggi hanya jadi Patih, berbeda dengan jamannya Ki Bendesa Mas (Salah seorang mertua Danghyang Nirarta) status sosial itu masih kuat. Walaupun demikian sejarah membuktikan banyak dari Pasek ini menjadi ”Tameng Wijang” kerajaan Gelgel. Lama kelamaan status Pratisentana Sapta Pandita semakin jauh merosot, banyak kemudian mereka menjadi Petani, bahkan Abdi/Parekan. Mereka kemudian menjadi orang diluar lingkungan kerajaan (Puri), jadilah mereka ”Jaba” (diluar Puri), muncullah istilah Tri Wangsa dan Jaba. Jaba ini kemudian disetarakan dengan Sudra yang jelas menyimpang dengan ajaran Catur Varna. Banyak dari mereka yang sangat setia (seken), bahkan sampai melupakan jatidiri mereka sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi, bahkan tidak ingat lagi dengan swadarma Bhatara Kawitan mereka yang sangat mendalami ajaran ke-rohanian. Sampai dijaman yang sudah merdeka dan moderen ini masih ada yang menempatkan dirinya sebagai Parekan (Abdi) karena faktor-faktor, misalnya : dari dulu keluarganya mengabdi di Puri. Yang mengherankan lagi adalah, mereka yang sudah tidak ada ikatan dengan abdi-mengabdi masih bermental seperti itu, bisa dilihat dari perlakuan yang istimewa terutama dalam berbahasa kepada yang dikenal dengan Tri Wangsa itu, inilah bentuk keberhasilan pengelompokkan manusia jaman dulu yang masih terbawa sampai sekarang. Khusus untuk semeton Pasek yang terbesar jumlahnya di Bali, maka atas mereka yang masih bermental seperti itu muncullah istilah ”Parekan Seken” (Abdi Setia).

Pada kesempatan ini coba direnungkan, pantaskah menempatkan diri menjadi ”Parekan Seken” ?. Kesetiaan , tahu balas budi, dan penghormatan kepada orang lain, memang sangat diperlukan dalam keseharian kita, tetapi harus dalam koridor ”kesetaraan” sebagai mahluk ciptaan Hyang Widhi yang berarti bahan bakunya sama. Bahkan ada klakar yang menyebutkan orang Bali itu sama-sama berasal dari ”Jambuldwipaha” (Plesetan dari Jambu Dwipa / India). Kalau begitu kanapa kita harus merasa berbeda ?. Baiklah kalau karena alasan balas budi, tetapi bukankah kewajiban kita untuk saling tolong menolong tanpa pamrih, biarlah Hyang Widhi yang membalas. Jangan bantuan yang diberikan menjadi mengikat hingga menodai jati diri manusia yang sama tadi. Bagi yang memberikan bantuan jangan karena suatu kepentingan tertentu, misalnya karena memanfaatkan mental parekan tersebut. Seharusnya Pasek itu dimaknai ”Patitis Sesana Kawitan” yang mengajarkan semeton Pasek untuk meniru prilaku Bhatara Kawitan, seperti : Mpu Gnijaya atau Sapta Pandita yang mengamalkan ajaran kerohanian. Juga prilaku Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sangat dihormati seantero jagat Bali sehingga ketika Kresna Kepakisan menjadi Dalem dan rakyat Bali berontak, beliau tetap berjiwa besar dengan ikut terjun ke kantong-kantong rakyat Bali agar menerima kepemimpinan Dalem Kresna Kepakisan. Meniru sesana yang baik dari Bhatara Kawitan berarti kita telah bhakti pada leluhur dan telah memanfaatkan hidup ini dengan baik.

Seperti disebutkan Sarasamuccaya Sloka 4 ;
iyam hi yonih prathama yonih prapya jagatipate, atmanam sakyate tratum karmabhih subhalaksanaih  Menjelma sebagai manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
UPAKARA YADNYA ANTARA SASTRA DAN DRESTHA


Disamping masalah Catur Warna yang kemudian menjadi Catur Wangsa bahkan disalah kaprahkan menjadi Kasta, rupanya umat Hindu di Bali masih banyak melakukan kekeliruan yang sudah men-tradisi untuk kurun waktu yang cukup lama sehingga menganggap apa yang dilakukan itu sudah benar adanya. Salah satu yang perlu disampaikan kepada umat adalah masalah Upakara Yadnya.

Menurut Ida Pandita Mpu Daksa Jaya Dhyana, dari Pasraman Wanagiri, Br.Baledan, Kec.Nusa Penida, Klungkung, yang menceritrakan kepada penulis ketika beliau hadir di Karanganyar, menyampaikan, bahwa di Bali masih banyak masyarakat mempersiapkan Upakara Yadnya dengan mengikuti Drestha/ Care (Kebiasaan setempat) yang merupakan warisan pendahulunya dimana belum tentu memiliki dasar Sastra Weda. Karena kuatnya Drestha ini, maka sering masyarakat ”Memengkung (Membandel)” ketika diarahkan kepada yang benar. Contohnya saja ketika melaksanakan Pitra Yadnya, masih ada masyarakat yang perlu membawa tanah Setra (Tanah Kuburan) dari sang Sawe kerumah bahkan ke Mrajan, ini tentu saja ”Leteh” baik bagi Mrajan atau rumah yang bersangkutan juga desa. Ada juga umat yang membekali sang Atma dengan pakain bagus-bagus lalu dibakar padahal sehari-harinya keluarga ini memakai pakaian biasa-biasa saja. Yang berlebihan lagi ada yang sampai membakar emas, bahkan mobil untuk bekal kepada Sang Atma, padahal beliau tidak perlu perhiasan emas apalagi nyetir mobil tentu tidak bisa. Yang diperlukan disini adalah ”Ketulusan hati dan doa serta sujud bakti keturunan atau keluarganya”, biarlah harta benda yang mungkin hasil karya dari beliau semasih hidup dipergunakan untuk anak keturunannya dan itu pasti membanggakan beliau karena masih bisa memelihara keturunannya, lagipula karena umat Hindu percaya Punarbhawa (Reinkarnasi) maka bisa jadi beliau menitis kembali, maka harta benda itu bisa untuk dipergunakan memelihara beliau yang menitis lagi. Kekeliruan lain adalah pengertian tentang ”Rsi Ghana”, sebagai bentuk Pecaruan Agung, masih banyak umat yang melihat atau lebih fokus pada eteh-eteh atau pelengkap atau sarana dari Caru Rsi Ghana ini seperti binatang-binatang serta bebantenannya. Inti dari Caru Rsi Ghana ini adalah pada ”Banten Ghana” yang hanya satu tanding saja, namun isinya sangat lengkap, yang paling penting lagi harus dipuput oleh Pandita (Brahmana/Sulinggih) karena tingkatan upakaranya yang belum boleh dilakukan oleh Pemangku/Pinandita, jadi Pecaruan Rsi Ghana juga bisa dengan biaya murah. Contoh-contoh kekeliruan dimasyarakat ini sangat banyak jika diungkapkan, itulah sebabnya masyarakat Hindu di Bali menjadi terkuras harta-bendanya hanya untuk kebutuhan Yadnya saja, sehingga hanya akan membuat miskin Sang Yajamana (yang punya kerja) dan membuat kaya tukang banten. Kebutuhan akan Yadnya yang keliru ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti : Pendidikan, kesehatan, juga bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia/Dana Paramitha). Untuk itu para tokoh umat atau Pandita/Brahmana/Sulinggih perlu meluruskan hal ini dimasyarakat bukan membiarkan apalagi mengambil keuntungan atas kekeliruan ini, termasuk pendapat pada Raditya edisi Agustus 2006 tentang Mati Ulah pati yang menyebutkan banten Triwangsa lebih besar dari Jaba, apa ada dasar Sastra Weda ? dan masih relevankah Istilah Triwangsa dan Jaba yang merupakan produk kolonial Belanda diaplikasikan dijaman sekarang ? Belanda melegalkan Kasta pada abad XVI, setelah menghidupkan kembali bekas kerajaan yang tenggelam karena saling serang ketika runtuhnya Majapahit Hindu. Sesudah Majapahit Hindu runtuh, maka Raja di Bali yang ditempatkan Majapahit otomatis tidak mendapat pimpinan dari induknya di Jawa, Belanda sudah hengkang sangat lama dari Nusantara tetapi sistim pemecah belahnya masih terasa sampai sekarang di Bali, siapa yang bodoh disini ?

Kembali kepada permasalahan Yadnya, seperti diketahui, bahwa dasar-dasar Yadnya yang benar adalah ”Sastra” karena ini sumbernya dari Weda. Sastra yang dimaksud adalah : Untuk Dewa Yadnya Sundarigama, Pitra Yadnya Yama Purana Tattwa, Manusa Yadnya Widhi Castra, Bhuta Yadnya  Bhama Kerti dan Glagah Puwun. Sastra-sastra ini harusnya dijadikan pegangan bagi para Brahmana, Pinandita, atau sang Amuput Karya dalam mengantarkan Yadnya umat, sehingga tidak keliru, lebih effisien, dan effektif. Pola-pola yang hanya berdasarkan kepada Mule Keto atau lontar-lontar yang tidak jelas rujukannya seharusnya mulai dipertanyakan keabsahannya untuk dasar Yadnya. Sekarang ini Hindu di Indonesia sudah bukan dianut oleh orang Bali saja tetapi juga oleh etnis lain, seperti Jawa, Dayak Kaharingan (Kalimantan), Sulawesi, Batak Karo (Sumatra), dan lain-lain, bahkan etnis Bali yang tinggal diluar Bali juga sangat kritis menyikapi kekeliruan-kekeliruan di Bali sehingga perlu diambil tindakan yang bijaksana agar umat ini tidak terpuruk ekonominya hanya karena tidak memperoleh pendidikan yang benar akan hakekat Yadnya. Untuk itu bisa dilakukan dari dua arah , yang pertama adalah dari Desa setempat melalui tokoh desa dan yang kedua dari atas melalui birokrat di PHDI, Departemen Agama, atau tokoh masyarakat lewat Darmawacana dimedia atau terjun langsung dengan niat untuk meluruskan kekeliruan, bukan sibuk meng-Ajegkan kekeliruan atau prestise yang semu, yang pada hakekatnya adalah pembodohan. Kembalilah kepada ajaran Hindu yang benar yang bersumber dari Weda dalam setiap kehidupan masyarakat.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
21-08-2006
DERAJAT MANUSIA

Ketika sedang melaksanakan ”Berata Penyepian” di Pura, kami kedatangan petugas dari pemerintah Kabupaten Karanganyar-Jateng dan stasiun TV daerah yang ingin meliput pelaksanaan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka 1930. Salah seorang pegawai pemerintah ini membuka pembicaraan dengan sebuah pengalaman, bahwa mereka baru datang dari Bali karena diundang oleh tokoh penting dari Bali dalam rangka persiapan Perayaan Hari Raya Saraswati di Karanganyar-Jateng. Salah satu kalimat yang akhirnya justru menjadi pembicaraan yang panjang adalah ketika beliau menyatakan ”tokoh yang mengundang adalah dari Kasta tertinggi”. Dengan nada bergurau seorang kawan menjawab, bahwa dia lebih tinggi kalau berada di Gunung Lawu, salah seorang pegawai pemerintah yang lain ikut nimbrung dengan mengatakan dia lebih tinggi lagi kalau sedang naik pesawat terbang. Sambung menyambung ini membuat suasana semakin ramai dengan gurauan namun penuh makna. Pegawai pencetus diskusi ini kelihatan bingung dengan apa yang terjadi, dan agar tidak semakin bingung, dan agar suasana terkendali apalagi ini dalam suasana Berata Penyepian, maka penulis mengalihkan pembicaraan lebih serius dengan kalimat, bahwa ”Derajat Manusia tinggi atau rendah itu, karena prilakunya, bukan karena kelahirannya”. Jika dilihat dari sudut kelahirannya, maka orang Bali itu banyak berasal dari leluhur yang sama. Mereka pada umumnya merupakan tokoh-tokoh penting pada jamannya, seperti : Pandita (Mpu, Rsi), Pemimpin masyarakat (Kyayi, Dalem, Bendesa), kesatrya tangguh yang wira mandiri, dan lain-lain, tetapi kata penulis dengan nada menekankan, ”Itu Dulu !!”, sekarang ini ya kami-kami ini yang bukan Pandita, bukan Raja, tetapi kami mencoba mengikuti jejak leluhur kami khususnya prilakunya yang baik agar bisa menjadi pegangan dalam kehidupan kedepan. Pegawai ini nampak mulai tidak bingung, lalu cerita kami lanjutkan dengan mengatakan kami juga berasal dari Jawa dan kami ini sedang pulang kampung. Rombongan ini nampak semakin antusias, bahkan staff TV lokal ini yang rencananya meliput Perayaan Nyepi malah menjadi meliput ceritra tentang ”Sejarah Keleluhuran” terkait dengan keberadaan Petilasan di Karanganyar Jawa tengah ini.

Dengan tetap mengesankan, bahwa kami orang Bali adalah saudara, maka ceritra kami awali dengan menunjukkan lima buah Patung di Gapura sebagai simbolis dari ”Panca Tirta”, yaitu Lima bersaudara yang Pandita (Brahmana) semua, dimana empat (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan) diminta ke Bali atas permintaan Raja Udayana. Lima patung tersebut berurutan atas kebawah, dimana yang paling atas justru adalah yang terkecil dari Panca Tirta, yaitu : Mpu Bharadah leluhur dari Ida Bagus, Anak Agung, dan lain-lain, sementara dibawahnya adalah kakak-kakaknya dan yang terbawah adalah yang tertua (Mpu Gni Jaya) yang merupakan leluhur Pasek, Bendesa, Tangkas. Jadi penempatan patung ini mengandung pendidikan moral, bahwa yang lebih tua wajib mendukung atau mengayomi yang lebih kecil. Tamu dari pemerintah daerah Karanganyar dan TV lokal ini nampak faham karena pesan moral dalam keseharian seperti halnya ”sungkem” itu banyak dilakukan oleh orang Jawa. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan justru dari para tamu ini dengan menanyakan apa hubungannya Panca Tirta dengan Petilasan ini ?. Penulis melanjutkan, Yang tertua (Mpu Gnijaya) menurunkan ”Sapta Pandita (Tujuh Pandita) yang jaman dulu selalu menjadi rohaniawan di Jawa Timur (Singosari, Daha, Kediri) sampai kepada Raja Dandang Gendis, dan dibuatkan Meru Tumpang Tujuh di Petilasan ini. Yang tertua dari Sapta Pandita (Mpu Ketek) adalah leluhur dari yang distanakan di Petilasan ini. Salah seorang tamu bertanya lagi, kenapa ada tanda-tangan Paku Bhuwono XII (Raja Surakarta Hadiningrat) pada Prasasti ? Sapta Pandita yang ke-tiga adalah ”Mpu Wiradnyana”, keturunan beliau beberapa tingkat adalah Kakak beradik ”Mpu Purwa dan Ken Dedes” dimana Ken Dedes menurunkan Raja-Raja Jawa seperti : Paku Bhuwono dan Mangku Negaran di Solo, Hamengku Bhuwono dan Paku Alam di Jogja, dan lain-lain. Jadi pantas sekali kalau Sri Sasuhunan Paku Bhuwono XII (Almarhum) menanda-tangani prasasti yang waktu itu (September 2002) diiringi putra-putri dan menantunya. Selanjutnya Mpu Purwa keturunannya ada yang ke Bali dan menurunkan keturunan dimana salah satunya ”Nyoman Rai Srimben” dari Banjar Bale Agung-Singaraja (Bali) adalah ibunda Presiden Soekarno. Diskusi berikutnya masih berkisar keleluhuran dan kekaguman mereka, bahwa begitu tingginya bakti orang bali pada leluhurnya sampai mengejar ke Jawa yang kalau bukan karena kehendak beliau tidak mungkin bisa dijumpai. Salah seorang dari tamu yang kelihatannya banyak faham situasi di Bali menyampaikan pendapat, bahwa tidak semua orang Bali tujuannya bhakti pada leluhur karena ada yang mengeluarkan banyak dana untuk sebuah pertunjukkan yang bernama ’prestise”, alangkah baiknya pak kalau dana itu bisa untuk membantu orang miskin katanya, disambut tanda setuju dari semua yang hadir. Tetapi kata penulis, manusia itu tidak sama pemikirannya, namun semua akan memperoleh imbalannya. Bagi yang mengejar bhakti sejati pada leluhur dan Hyang Widhi, maka akan mendapat restu kerahayuan serta kebahagiaan, bagi yang mencari prestise, maka juga akan memperoleh hal itu khususnya dari orang-orang yang tidak tahu kebenaran sejati, atau dari orang yang memang memanfaatkan hal itu untuk keuntungan sendiri, yaitu memperoleh manfaat finansial. Bagi kedua belah fihak hal itu tidak masalah karena sama-sama menguntungkan, maka secara hukum ekonomi karena ada pembeli dan penjual maka terjadi transaksi. Diskusi demi diskusi semakin jauh dan semakin dalam karena diantara mereka ada yang sudah sangat faham dengan keadaan di Bali dan melihat ketimpangan, sehingga diskusi kami jaga secara moral dengan tetap menekankan, bahwa kami di Bali adalah bersaudara, jika ada yang keliru dalam penerapan hubungan persaudaraan ini, karena mereka itu belum faham dan kami yang sudah tahu wajib memberitahu.

Tanpa terasa dari pagi berdiskusi sampai kepada siang hari, dan mereka pamit dengan suatu kesadaran baru. Sebagai bukti keseriusannya kami mendengar, bahwa pada malam harinya wawancara seputar Petilasan dan Keleluhuran dimuat di TV Lokal (TA TV Solo) dalam liputan bahasa Jawa. Semoga dengan informasi ini kami sudah melakukan bhakti pada leluhur dengan memberitakan keberadaan beliau agar diketahui oleh para damuh /keturunannya, bahwa beliau pernah ada di jawa dan sekarang akan tetap menjaga serta menyatukan keturunannya satu sama lain dan menjadi panutan agar kita menjadi manusia yang ”Berderajat Tinggi” karena Prilaku yang baik.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-04-2008.
MARI REBUT BHATARA KAWITAN


Seorang kawan menyampaikan pendapat agar kita berhati-hati jangan sampai disebut merebut Kawitan entah apa maksudnya. Sesepuh kami (Almarhum) juga pernah berceritra langsung pada penulis adanya tudingan merebut Pura Kawitan hanya karena semakin banyak umat yang bersembahyang ke Pura Kawitan tersebut, bahkan ada Media Umat juga dengan terang-terangan menjadikan kulit sampul majalahnya dengan judul serupa itu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengajak kita berpikir lagi akan arti ”Merebut Pura Kawitan” ini.

Kita memang harus merebut Bhatara Kawitan dengan jalan mendekatkan diri, rajin mengunjungi Parahyangan beliau, dan taat meniru sesana yang baik dari beliau pada saat menjadi manusia, karena dengan cara ini kita telah melakukan bhakti yang diharuskan oleh ajaran Agama. Bila perlu kita juga merebut Kawitan orang lain kalau kita yakini itu perlu dilakukan, karena semakin banyak kita bhakti semakin tebal aura spiritual yang bisa kita miliki. Kita juga perlu mendorong atau membantu pembangunan Parahyangan Bhatara Kawitan agar semakin banyak orang yang mendapat tempat untuk merebut Bhatara Kawitan. Apakah tindakan ini menyimpang ? atau ini adalah Leluhur Sentris sehingga pada saat meninggal akan masuk kealam leluhur seperti yang tersurat pada ajaran agama, tidak bisa dipastikan, karena tidak ada yang tahu pada saat seseorang bhakti pada leluhur bisa juga pada saat itu dia memuja Hyang Widhi. Puja Mantram yang dilantunkan baik oleh umat secara pribadi atau jika dipimpin Pinandita atau Sulinggih di Pura Kawitan juga ada mantram memuja Hyang Whidi . Bukankah juga ada keyakinan, bahwa beliau yang sudah meninggal setelah dilakukan Pitra Yadnya maka sudah menjadi Dewa Hyang yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi dan di-linggihang di Kemulan. Jadi tidak ada yang keliru pada tindakan-tindakan seperti ini. Wacana yang terjadi seperti pada pembukaan tulisan ini, menurut pengamatan penulis hanya bersifat Skala, politis, Superior, dan tidak ingin warga lain menjadi besar, padahal dengan banyaknya umat yang mulai bhakti pada leluhurnya baik dengan membuat Parahyangan atau hanya tempat pemujaan keluarga justru harus disyukuri karena berarti semakin banyak umat yang menuju kejalan yang benar, atau bisa saja mereka baru sadar, bahwa selama ini bhakti pada leluhurnya ternyata kurang baik sehingga tidak bisa merebut Bhatara Kawitan. Jika saya punya kekuasaan atas Parahyangan Bhatara Kawitan, maka atas wacana yang berkembang ini saya akan serahkan Parahyangan tersebut kepada mereka. Dengan cara itu, maka mereka akan perlu merawat Parahyangan tersebut, untuk merawatnya lalu dibuatlah proposal kemana-mana untuk memperoleh sumbangan, setelah Parahyangan berdiri megah maka segera bekerja-sama atau didatangkan pejabat pemerintah, stasiun TV, wiraswasta dengan iklan-iklannya, dan terpampanglah dengan jelas Parahyangan sekalian dengan foto-foto pengurusnya atau pengemponnya. Setiap Piodalan di puput Sulinggih yang diinginkan lengkap dengan sarana persembahyangan/ bebantenan yang mewah (utama) sehingga pantas diliput oleh Stasiun TV tingkat nasional. Jika perlu diundang Umat Hindu dari Manca Negara seperti India, Malaysia, dll. Benar-benar terpublikasi Parahyangan Bhatara Kawitan ini. Pertanyaannya adalah, Apakah Bhatara Kawitan menghendaki hal ini, dan apa sebenarnya yang diperoleh dengan tindakan seperti ini ? yang diperoleh adalah ”kepuasaan duniawi, berujud kemasyuran yang semu”, jadi yang diperoleh hanyalah wujud fisik dari Bhatara Kawitan, padahal penulis meyakini, bahwa Bhatara Kawitan tidak perlu kemasyuran seperti itu, yang memerlukan itu sebenarnya manusianya. Maka melalui tulisan ini penulis mengajak mari berhenti mengikuti kekuatan pikiran tapi ikuti hati nurani karena disana letak kebenaran yang hakiki, jangan mempermasalahkan orang yang berbakti atau bersembahyang, tetapi permasalahkan umat yang belum bhakti apalagi yang berpindah keyakinannya, mari kita bantu umat Hindu non Suku Bali yang saat ini perlu pembinaan melalui darmawacana, darmatula, atau memberikan buku-buku Hindu, jangan jadikan media umat menjadi media menyerang umat lain tetapi meluruskan, jangan jadikan lembaga pendidikan Hindu untuk kebutuhan usaha/busines semata tetapi jadikan ladang Jnana Punia bagi personal yang ada didalamnya, jadikan media seminar-seminar sebagai media pencerahan bukan sebagai ladang usaha seperti konsultan suasta umumnya, jadikan station TV atau Radio sebagai media penyampaian ajaran Weda yang adiluhung bukan sebagai sarana mempertahankan prestise yang semu, jadikan apapun yang kita ingin lakukan semata-mata untuk kebaikan sesama baik itu umat Hindu maupun umat manusia pada umumnya, maka dengan cara demikian Bhatara Kawitan akan selalu bersama kita dan kita boleh bangga, karena ”Kita sudah merebut Bhatara Kawitan”.

Sebagai akhir kata, penulis mengajak kita untuk sama-sama merebut Bhatara Kawitan dengan berani dan bangga mengakui beliau walaupun hanya sebatas ucapan atau tulisan namanya, pelajari kehidupan beliau dalam membina kesejahtraan umat, dan jadikan itu bagian dari prilaku kita sehari-hari jika kita mampu, maka ibarat seorang anak yang ingin merebut hati orang tuanya, seorang pemuda kepada pemudinya, seorang karyawan pada majikannya, maka ”Kita akan memperolehnya”.






Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
03-05-2005.
PEMERINTAHAN DI BALI SEBELUM ERA MAJAPAHIT

Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya adalah yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi ini merupakan penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah punya kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga, dengan bahasanya Melayu-Polinesia. Mereka pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja, untuk itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakatnya disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing dan diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali berupa orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem. Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya. Pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa tengah lalu ketimur sampai ke Gunung Raung Jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Pertama datang dengan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro dan diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa yang pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Panditanya selalu menjadi Purohita Kerajaan.

Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Setelah Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. dari perkawinannya berputra : Airlangga dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja Daha di Jawa pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Jayabhaya dan Jayasabha. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta, dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah (Mpu Bharadah tetap di Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Di Jawa, putra Mpu Gnijaya yaitu Sapta Rsi dan keturunannya selalu menjadi Purohita di kerajaan di Jawa (Daha sampai Kediri). Ada suatu kisah pada pemerintahan Raja Kerta Jaya (Dandanggendis) yang berkuasa di Kediri pada Saka 1116-1144 (1194-1222M), beliau mengundang para Mpu untuk diuji kesaktiannya apakah bisa berdiri diujung tombak seperti yang dilakukan Raja Kerja Jaya. Karena seorang Brahmana (Pandita) tidak pantas memamerkan kesaktian, maka penghinaan Raja Kerta Jaya agar para Mpu menyembah beliau dijawab dengan kutukan kepada Raja Kerta Jaya dan mereka meninggalkan kerajaan Kediri menyebar kebeberapa daerah. Salah seorang keturunan Mpu Wiradnyana (ke-tiga dari Sapta Pandita) yaitu Mpu Purwanatha tetap di Panawijen bersama putra-putrinya yaitu Mpu Purwa dan Ken Dedes dimana dikemudian hari Ken Dedes menurunkan raja-raja Mataram (Paku Bhuwono & Mangku Negaran di Solo, dan Hamengku Bhuwono & Paku Alam di Jogja).

Sesudah Udayana lalu Anak Wungsu, terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya Majapahit berkuasa Jawa Timur dan Bali juga dikuasai, sekaligus ini sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343–1350 M). Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Kresna Kepakisan putra Mpu Soma Kepakisan keturunan Mpu Bharadah menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel diminta untuk hadir oleh Kresna Kepakisan guna menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada beliau. Setelah itu amanlah Bali dan Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Selanjutnya Dinasti Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem” (Sekarang keturunannya dikenal dengan Anak Agung dan I Dewa). Pada masa Dalem Waturenggong yang berkuasa pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi), datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong (Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah). Pada masa Danghyang Nirartha, maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Leluhur Pasek&Bendesa) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan atas persetujuan Dalem membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Keturunan Dalem mendapat porsi Ksatrya, para Mantri - Wesya dan lainnya Sudra.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah dan bermunculan raja-raja kecil di 9 Kabupaten baik keturunan Dalem (Anak Agung) maupun lainnya (Cokorde), dan saling meluaskan kekuasaan (saling serang) yang akhirnya tenggelam semua. Ketika Penjajah masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
12-08-2008
TIRTAYATRA KE PURA KALISODO
DUSUN BABAR-KARANGANYAR

Di lereng Gunung Lawu dan sekitarnya banyak umat Hindu yang perlu mendapat dukungan, untuk itu dengan memanfaatkan kegiatan rutin tiga-bulanan, pada 23 September 2007 Banjar Solo-Timur kembali melakukan Tirtayatra yang kali ini dipilih ke Pura Kalisodo, Dusun Babar, Desa Anggrasmanis, kec. Jenawi, Kab.Karanganyar, Jateng. Pura Kalisodo ini berdekatan dengan Pura Buana Agung Mahendrajati di Dukuh Demping sehingga kadang umatnya saling berkunjung bersembahyang. Perjalanan ke Pura Kalisodo bisa ditempuh dari 2 arah, yaitu lewat jalur Sragen dari arah Solo dan berbelok kekanan menuju ke Kec.jenawi jaraknya sekitar 60 km, perjalanan ini akan meliwati Pura Lingga Bhuwana juga Pura Mahendra Jati Demping, Jenawi. Cara lain adalah dari Karanganyar Kota menuju arah ke Tawangmangu dan sampai di Karangpandan ambil arah ke Candi Ceto. Perjalanan ini agak berat medannya karena menanjak, sampai di Terminal Ngargoyoso dilanjutkan kearah Candi Ceto tetapi sebelum di puncak Candi Ceto ada jalan kekiri dan ada tulisan Pura Kalisodo. Jalannya kecil dan belum diaspal semuanya, hanya disemen pada posisi roda mobil saja, mobil tidak bisa berpapasan syukur saat kami melewati jalan itu tidak terjadi papasan karena kalau ada mobil didepan, salah satu mobil harus mundur dan ini sangat susah. Setelah sekitar 1 ½ jam perjalanan atau sekitar Jam 10 rombongan sampai di Pelataran Pura kalisodo, kami yang kali ini menumpang Bis kecil 3 buah sampai dengan perasaan lega setelah melewati medan yang berat. Tampak sebuah Pura yang belum selesai dengan utuh karena baru ada “Utama Mandala”. Gapura Pura (Kori Agung) terlihat arsitektur yang kami sudah kenal, dimana perpaduan Bali-Jawa sebagai ciri khas. Ciri arsitektur seperti ini adalah keterlibatan tangan trampil Romo Maming (Pandita Broto Sejati) yang selalu terjun mengerjakan langsung. Arsitektur seperti ini banyak kita jumpai di Pura yang dikunjungi beliau di Jawa dan Lampung. Rombongan akhirnya sudah berkumpul di Utama Mandala Pura dan persembahyangan dimulai sekitar pukul 10 lebih dengan dipimpin Jro Mangku Ketut Pasek dan Pinandita Pura Kalisodo, yaitu “Pinandita Sumarto”. Sekitar pukul 11 persembahyangan selesai dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari : Kepala Desa Anggrasmanis yang juga penduduk Dusun Babar, Jayadi, Ketua Banjar Solo Timur – Made Suastika, Wakil PHDI Jenawi-Sukiman, dilanjutkan dengan Darmawacana oleh Nyoman Suendi, penyerahan sumbangan dari Banjar Solo Timur diwakili Ida Bagus Arnawa, dan ramah tamah. Sekitar pukul 13 kami meninggalkan Pura Kalisodo dengan perasaan senang.

SEJARAH KEBERADAAN PURA KALISODO.
Kalisodo adalah nama tempat yang sebelum berdiri Pura menjadi tempat orang bermeditasi menghubungkan diri kepada Sang Pencipta, sehingga tempat itu disebut “Pertapaan Kalisodo”. Walaupun sudah berdiri Pura Kalisodo namun Pertapaan ini tidak dihilangkan ataupun tidak menjadi satu dengan Pura karena pertapaan tersebut dikunjungi juga oleh umat Non Hindu jadi bentuk penghargaan mereka kepada orang lain yang menjadi pelajaran berharga bagi kami umat dari Bali yang hadir, yaitu suatu “Bentuk penghargaan kepada Budaya setempat dan hak asasi orang lain”. Pura Kalisodo dibangun tahun 1997 diatas tanah 1.300 M2 sumbangan dari Jayadi warga Dusun Babar yang baru terpilih menjadi Kepala Desa Anggrasmanis. Tahun 2000 dibangun Kori Agung, tahun 2003 Penyengker dan tahun 2007 Bale Piyasan (untuk umat). Pelinggih Padmasana sumbangan umat dari Bali disamping dua pelinggih lainnya yang sudah ada berupa “Meru” dan sejenis Taksu (di Bali) yang umumnya memuja Dewi Saraswati. Jadi ada 3 Pelinggih. Sisa areal yang belum dibangun masih banyak, bisa berujud Madya Mandala ataupun Nista Mandala. Untuk itu Pura Kalisodo memerlukan bantuan dari umat yang peduli tetapi “Tanpa pamrih, dan tanpa kepentingan tertentu”, untuk ikut membantu segera lengkapnya sarana persembahyangan umat ini. Berikutnya Kepala Desa Jayadi akan menyumbangkan lagi tanahnya untuk membangun tempat bersih diri (MCK) disebrang jalan tetapi saat ini belum siap dananya, rencana pembangunannya berujud 5 pancuran. Pura ini diemong oleh 30 KK dari Dusun Babar dan saat kami hadir ada info ada beberapa umat yang baru bergabung, ini adalah suatu pertanda baik yang perlu ditangkap oleh umat terutama PHDI untuk lebih intensif membina umat disini terutama dalam Sradha (Iman) dan Bhakti (Taqwa) serta pemahaman ajaran Hindu. Hal yang nyata bisa dilihat adalah dengan terpilihnya Jayadi menjadi Kepala Desa dari umat Hindu dengan mengalahkan saingannya yang Sarjana sementara Jayadi hanya SD saja. Menurut penuturan Jayadi yang sudah lama tidak makan daging, sebelum pemilihan Kepala Desa beliau bersembahyang di Pura Kalisodo pada malam hari dan ada umat yang melihat sinar yang masuk ke Pura dari arah Demping, ini adalah salah satu pertanda alam yang bagi umat Jawa disebut “Wangsit Keprabon”, semoga Kepala Desa Jayadi yang saat ini membawahi 800 KK terbagi dalam 3 Dusun (Dusun Babar, Clagah, Tempel) dimana umat Hindu hanya 30 KK di Dusun Babar, bisa melakukan tugasnya dengan baik. Bagaimana dengan kegiatan umat Hindu ini ? Umat Hindu di Pura Kalisodo melaksanakan kegiatan pada Malam-Kliwon atau 5 hari sekali dengan bersembahyang disertai pendalaman ajaran Hindu, disinilah para tokoh umat harusnya bisa memanfaatkan untuk memberikan Darmawacana atau Darmatula karena mereka masih butuh pembinaan. Saat ini Pinandita Sumarto hanya seorang diri, kedepan akan di tunjuk (Di winten) satu atau dua Pinandita lagi untuk membantu tugas beliau. Semoga kesadaran ke Hindua-an umat di Dusun Babar mendapat petunjuk dari Hyang Widhi.


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-09-2007
DESA PAKRAMAN - DULU dan SEKARANG

Desa Pakraman merupakan wadah yang effektif untuk menerapkan suatu ketentuan di Bali yang biasanya tertuang dalam peraturan adat sehingga bisa mencapa tujuan yang diinginkan untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Banyak ketentuan adat yang masih dilaksanakan di Bali walaupun perlu dilakukan seleksi terus menerus apakah tidak melanggar ajaran Weda, apakah tidak melanggar hak asasi manusia atau ketentuan pidana karena kita di jaman republik yang ada payung hukumnya. Salah satu ketentuan yang diterapkan kepada Desa Pakraman adalah ”Mendem Watang” dalam kaitannya dengan Upacara Panca Bali Krama, ketentuan ini sudah ada sejak dulu dan masih diterapkan sampai sekarang, dimana ada aturan tertentu yang disyaratkan, seperti tidak boleh membakar mayat hanya ditanam/dikubur saja tanpa upakara (mesuluban), atau dikubur pada malam hari secara diam-diam, dan lain-lain. Semua ketentuan ini seharusnya bisa dilakukan lewat Desa Pakraman, namun yang menjadi pertanyaan apakah itu masih effektif? Jangan-jangan banyak warga yang justru mengalami kesulitan dengan ketentuan ini jika diterapkan dijaman sekarang. Sehubungan dengan besarnya peran Desa Pakraman dalam aplikasi ketentuan adat di Bali, maka mari kita buka sedikit saja dan secara garis besar, tentang keberadaan Desa Pakraman ini dijaman dulu sampai sekarang.

Mpu Kuturan boleh dikatakan sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Dilanjutkan lagi pada abad XIV (Tahun 1350 Masehi) ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai Adipati bawahan Majapahit perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa yang masih ada hubungan saudara seperti keluarga Pasek, ini suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Dalam perkembangan berikutnya Desa Pakraman versi Mpu Kuturan dengan Bendesa sebagai pengikatnya mengalami perkembangan sesuai situasi kondisi masing-masing sehingga menjadi suatu daerah yang spesifik walaupun payungnya tetap adalah jiwa yang terkandung dalam makna Desa Pakraman versi Mpu Kuturan ini dengan Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Desa Pakraman kemudian menjadi otoritas sendiri dimana setiap desa di Bali disamping memuja Dewa (Div=Sinar suci Tuhan) berwujud ”Tri Murti” serta para Hyang yang seperti Sapta Hyang, Panca Tirta, Sapta Pandita, dan lainnya, juga punya penyungsungan ditingkat Bhatara (Bhatr=yang mengayomi) secara berbeda-beda dan dominan, seperti di Karangasem Bugbug disungsung Bhatara Gede Gumang, di Nusa Penida di sungsung Ida Bhatara Dalem Ped, dsb.dsb yang mengakibatkan ada perbedaan upakara Yadnya mengenai waktu juga tata-caranya. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, mobilisasi warga desa yang masih meneruskan tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun posisi masyarakat umum ini adalah pada tingkat masyarakat awam (mungkin Parekan/Abdi) yang sangat berbeda dengan masyarakat Puri ini yang cendrung menempatkan diri lebih tinggi, entah disadari atau tidak oleh masyarakat awam ini, bahwa derajat mereka sebetulnya sama dimata Hyang Widhi apalagi terbesar orang Bali adalah satu leluhur jadi bagaimana mungkin bisa dibedakan apalagi lewat produk penjajah yang bernama ”Kasta” dengan Tri Wangsa dan Jaba. Tradisi Yadnya di desa seperti ini bisa melibatkan banyak warga dan punya ciri berbeda dengan lainnya di Bali. Dengan beberapa contoh kecil diatas saja sudah dapat ditarik kesimpulan, bahwa ada hal yang berbeda bahkan spesifik mengenai Desa Pakraman jaman Mpu Kuturan dan jaman sekarang. Dengan faktor seperti ini sudah pasti tidak mudah bagi PHDI Bali untuk merangkul secara sistimatis masyarakat Bali dalam kaitannya dengan Yadnya seperti yang sedang hangat, membuat keseragaman tentang pelaksanaan ketentuan mengenai ”Mendem Watang” disaat ada upacara Panca Bali Krama. Jaman Mpu Kuturan dan sebelum penjajah masuk ke Bali (Abad XVI), ikatan Desa Pakraman masih kuat dan dapat di Manaje oleh para Bendesa dan pimpinan Bali jaman itu, dan lebih penting lagi Bali jaman itu keberadaan Hindu dengan sektenya masih mudah dimobilisasi karena satu faham, tetapi dijaman sekarang Bali sudah sangat berbeda, bukan lagi Desa Pakramannya sudah berbeda, tetapi umat yang tinggal di Pulau Bali sudah berbagai etnis ,suku dan agama, sehingga sudah sulit kalau mengikuti seperti jaman dulu. Apakah kemudian kita jadi pesimis dan membiarkan budaya Bali yang bercirikan Hindu akan tergerus ?, maka selalu diingatkan kepada kita agar ”mengambil hal yang positif dalam situasi terburuk apapun”. Sudah saatnya kita selektif terhadap Desa Pakraman dengan segala awig-awignya, Untuk hal ini PHDI harus lebih cepat dan lebih strategis dengan merangkul Desa Pakraman, PHDI Bali harus merangkul secara sistimatis dan hirarkis Desa Pakraman ini sehingga dapat dijadikan sebagai penerus kebijakan PHDI kepada masyarakat sehingga ada satu komando dan keseragaman pelaksanaan awig-awig dan pelaksanaan yadnya. Elemen-elemen yang ada dan riil dimasyarakat seperti organisasi umat, para Bendesa yang masih meneruskan secara turun temurun kepemimpinan di desanya, juga keberadaan ”Soroh” dalam pengertian positif perlu juga dirangkul, bahkan ”Puri” yang sesungguhnya secara lembaga sudah tidak ada namun karena masyarakat awam masih merasakan tindakan riil Puri itu, maka perlu juga dirangkul agar ada kesatuan bahasa dalam melaksanakan ajaran Hindu. Yang paling penting dalam situasi Bali yang sudah beragam, adalah ”Tattwa” yang merupakan ajaran inti Hindu perlu mulai ditanamkan dalam pemahaman keseharian umat Hindu khususnya di Bali. Dengan demikian Desa Pakraman yang merupakan warisan leluhur, bisa diteruskan oleh para damuh dengan tetap bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa menghilangkan jati diri sebagai : Tempat bernaungnya umat Hindu dengan pemujaan kepada Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) sebagai ciri utamanya.

Akhirnya yang paling penting dari semua diatas adalah: ”Apapun yang dilakukan agar membawa perubahan kearah perbaikan bagi umat, sehingga Yadnya tetap semarak dan didasari Tattwa Weda juga umat dapat menata kehidupan Skala lebih baik seperti pendidikan, kesehatan, dll, agar umat Hindu tidak kalah bersaing dengan umat beragama lain di-era Globalisasi ini”, Astungkara !



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-04-2009
SEBUTAN JERO APAKAH SUATU PENGHORMATAN


Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, maka Bali juga kaya akan bahasa dan etika pergaulan serta penghormatan kepada fihak lain. Banyak cara dilakukan untuk menunjukkan bentuk penghormatan kepada orang lain, melalui senyuman, salam, dan bentuk bahasa tubuh (body language), serta berbahasa.

Ada salah satu bahasa atau sebutan yang umum kita dengar pada masyarakat Hindu di Bali juga yang dirantauan. yaitu sebutan ”Jero”. Kita biasa melihat jika seorang sudah menjadi Pemangku/Pinandita (Eka Jati), maka didepan namanya selalu dipanggil Jero, sehingga dipanggil ”Jero Mangku”. Mentri kita Jero Wacik juga ada kata Jero didepannya. Adalagi kebiasaan jika ada orang Tri Wangsa (menurut tradisi yang masih hidup di masyarakat), lalu mengambil istri yang bukan Tri Wangsa (Jaba=Luar/luar Puri), maka ada kebiasaan (walaupun tidak selalu) wanita ini akan dipanggil Jero didepan namanya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah makna sebutan ”Jero” ini bagi wanita tersebut ? suatu penghormatankah ? Untuk menjawab hal ini, maka perlu dilihat dari kedua sisi, yaitu sisi yang menyapa dan sisi yang disapa. Ketika kita memanggil seorang Pinandita dengan Jero dalam suasana yang sopan santun, hormat, dan menghargai, maka itulah jawabannya, sedangkan bagi sang Pinandita jika dia merasa dihormati dengan panggilan itu atau biasa saja, maka itu juga jawabannya. Mentri kita ”Jero Wacik” tentu punya arti sendiri atas namanya itu, dan pasti senang dengan nama itu. Dalam contoh lainnya, seorang wanita bukan Tri Wangsa (Tri Wangsa = strata masyarakat yang diciptakan penjajah pada abad XVI) yang dipanggil Jero karena menikah dengan Tri Wangsa, maka penghormatan atau tidak hanya mereka berdua (suami istri) yang tahu, termasuk juga yang memanggilnya, baik itu keluarga atau masyarakat lainnya. Ada pemikiran yang moderat, bahwa atas perkawinan seperti ini, sebaiknya nama si wanita tidak perlu ditambahkan sebutan Jero karena orang-tuanya sudah memberikan nama sejak lahir dan si wanita ini tidak melakukan sesuatu yang luar biasa sehingga perlu diberi tambahan nama, seperti jika dia mendapat gelar Insinyur atau dokror misalnya, dimana gelar itu diperoleh karena usahanya. Di daerah lain, seperti kebiasaan orang Batak, jika wanita kawin dengan pria yang berbeda Marga, maka wanita itu akan mengikuti marga sang suami, ini adalah murni karena wanita ikut marga suami. Jika dibandingkan dengan Jero bagi wanita seperti kebiasaan di Bali, apakah ada bedanya ? tentu ada karena Jero bukan identitas Marga.

Apakah arti sebuah nama ? kalimat itu mungkin benar bagi orang-orang tertentu, tetapi bagi orang kebanyakan termasuk di bali, maka nama itu sangat penting. Jaman dulu orang tua di Bali selalu mengawali nama anaknya dengan ”Su’ karena Su artinya baik (lawannya Dur=tidak baik/jahat). Akhiran namapun diatur agar hurupnya bukan ”Ti” untuk wanita karena bernada keras, maka biasanya akhirannya ”Ni”, seperti Sukreni, Suastini, dan Na untuk laki-laki, seperti Sukirna, Suparna, dll. Ada penelitian yang menyatakan, bahwa gelombang suara yang diterima oleh seseorang ketika dipanggil namanya akan berpengaruh secara psychologis kepada orang tersebut, jadi orang-tua kita dulu sudah maju pemikirannya. Dewasa ini ada perubahan gaya pemberian nama dengan mengambil tokoh panutam, pesan orang tua pada nama, kadang gabungan nama orang tua, juga ada nama ala negeri lain (Eropah,Arab,India,dll) ya itulah perkembangan atau dinamisasi, cermin bahwa sesuatu itu tidak kekal Demikian juga dengan kebiasaan di Bali seharusnya juga melihat perkembangan jaman, tetapi yang lebih penting dari itu ”Hargailah orang lain ketika kita menyebut namanya, karena nama itu sangat berarti bagi pemiliknya”.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-07-2006
2004-AGNIHOTRA
DI PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN


Pada Hari Senin 30 Agustus 2004 tepatnya pada Purnama Katiga diselenggarakan Piodalan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec.Karangpandan, Karanganyar , Solo, Jawa Tengah. Piodalan-piodalan selanjutnya akan tetap dilaksanakan pada Purnama Katiga setahun sekali. Sebelum acara persembahyangan didahului oleh Acara Seremonial dengan dihadiri oleh Pejabat Pemda Karanganyar seperti : Bapak Drs. IA Joko Suyanto,MM dari Dinas Pariwisata (Diparta), Kodim dan Polres, serta camat Karangpandan. Bupati Karanganyar Ibu Hj.Rina Iriani Sri Ratnaningsih,Spd.M.Hum yang dihubungi sebelumnya, tidak bisa hadir karena persiapan kedatangan Ibu Megawati (Presiden RI). Kedatangan Diparta ini karena Petilasan dipersiapkan untuk masuk menjadi salah satu obyek Pariwisata Kab.Karanganyar. Seperti sambutan Ketua Panitia Acara Seremonial, Bapak Drs. Oka Gurnita,MM, bahwa yang dijadikan obyek Pariwisata adalah “Lingkungan Pura” bukan Pura atau Petilasan. Sambutan lain adalah dari Sesepuh Trah Sapta Pandita Bapak Ketut Nedeng yang menguraikan hakekat bakti pada leluhur sehingga Trah Sapta Pandita datang darimana-mana untuk bakti pada leluhurnya. Disamping itu juga dihimbau kepada para peminpin pemerintahan dan masyarakat agar meningkatkan baktinya sehingga dapat memimpin dengan benar.

Sekitar pukul 11.00 wib setelah usai kunjungan tamu undangan keruang Petilasan atau kedalam Pura, maka acara “Pemujaan” dimulai dengan di-puput oleh 5 (lima) Sulinggih/Pandita/Brahmana, yaitu : Pandita Mpu Cri Rastra Giri Bajra dari Gria Ampedan Sraya-Karangasem, Pandita Mpu Dwija Darma Sraya – dari Grokgak-Singaraja, Ida Pandita Mpu Dwija Witaraga Sanyasa, dari Griya Taman Sari Asrama-Kekeran Singaraja, Ida Pandita Mpu Dharma Wijaya Kusuma, dari Griya Dwipa Shanti Paramita-kelurahan Astina-Singaraja, dan Pandita Mpu Daksa Yoga Acala, dari Griya Agung Padang Subadra-Selat Duda Karangasem. Pada piodalan tersebut juga hadir umat Hindu asal Jawa yang tinggal sekitar Karanganyar, seperti Kemoning, Ngargoyoso, Jenawi dan juga dari Masaran Sragen. Umat yang maturan ada juga dalam bentuk kesenian yaitu Tari Topeng yang disumbangkan oleh Bapak Nyoman Caya dari STSI Surakarta, dan juga dari umat Jogja penyungsung Pura Banguntapan berupa Tari Topeng oleh Bapak Made Widiana dan Pimpinan Gamelan Bapak Wayan Senen. Seperti biasa penduduk sekitar juga ikut aktif dengan membuka warung makanan, sedang Karang Taruna mengurusi Parkir.. Acara Penutupan (Nyineb) dilaksanakan pada Senin, 06 September 2004, pagi hari sekitar jam 06.00 dengan dipimpin oleh : Pandita Mpu Jaya Satya Nandha, dari Geriya Uma Santi, Br. Dauh Uma, Bitra, Gianyar.

Yang menarik dari situasi piodalan adalah dengan dilaksanakannya “Homa Yajna (Agnihotra)” pada sore menjelang malam (sekitar pukul 18.00 wib) sehari sebelum piodalan yaitu tanggal 29 Agustus 2004. Agnihotra ini dipimpin oleh “Hotri” Mangku I Wayan Denia dan bertindak sebagai “Hotraka” adalah Sri Bagawan Angga Jaya, dari Gria Satria Tamananyar, Penyaringan-Mendoyo-Negara. Warga yang hadir pada piodalan baik yang dari Bali maupun yang tinggal di Jawa termasuk penulis sebagai (mewakili) Sang Yajamana (Sang punya kerja), ikut berbaur kedalam Upacara Yadnya Agnihotra. Sehubungan dengan banyak peserta baru pertama kali mengikuti Homa Yajna ini maka mereka mengikuti saja kawan-kawan yang sudah tahu tanpa mengurangi kekhusukannya, sehingga waktu demi waktu prosesi Homa Yajna itu berjalan dengan baik dan diikuti dengan tekun oleh peserta. Terlihat masing-masing larut dalam kekhusukannya sehingga pada akhir acara peserta berceritra pengalaman masing-masing. Pengalaman Spiritual yang dialami oleh beberapa peserta diakui oleh Mangku I Wayan Denia termasuk oleh Sri Bagawan Angga Jaya. Mangku I Wayan Denia dalam darmawacananya mengatakan, bahwa : AGNIHOTRA adalah upacara yadnya untuk memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Agni, dan merupakan Maha Yadnya, multifungsi, efisien, serta effektif. Sumber-sumber upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda,Sama Weda,Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Untuk lebih terkosentrasi didalam pelaksanaan Upacara Yadnya Agnihotra, Dewa Agni sekaligus dalam bentuk material api dalam kehidupan manusia memiliki tujuh fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai penerang
2. Sebagai pencuci dan pembasmi kekotoran
3. Sebagai pengusir roh jahat
4. Sebagai penghubung pemuja dan yang dipuja
5. Sebagai saksi upacara
6. Sebagai pendeta pemimpin upacara
7. Sebagai sumber kekuatan atau energi.

Dengan demikian, maka Upacara Yadnya Agnihotra (Homa Yajna) ini mempunyai landasan yang kuat sesuai ajaran Hindu dan dalam pelaksanaan oleh Hotri Mangku I Wayan Denia sangat mengadaptasi kebiasaan Yadnya di Bali tanpa menghilangkan makna utama dari Upacara Yadnya Agnihotra. Didalam Atharwa Weda XXVIII.6, dinyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.)





Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
09-09-2004.
2005-PIODALAN SETELAH DUA DASA WARSA
PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN

Pada Purnama Katiga 18 September 2005 lalu, dilaksanakan ”Piodalan” Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Piodalan dipuput oleh 4 (Empat) Sulinggih, yaitu : Pandita Mpu Nabe Pemuteran-Renon Denpasar, Pandita Mpu Rastra Giri-Ampedan Tabanan, Pandita Mpu Dhaksa Merta Yoga-Braban Denpasar, Pandita Mpu Dhaksa Dharma Samyoga-Penatahan Tabanan. Selesai Piodalan dilakukan Me Jaya-Jaya dan Pawintenan Pengurus MGPSSR Kodya Denpasar, dilanjutkan kemudian dengan Sambutan dari Ketua Pengempon Petilasan I Nyoman Nasa, Sambutan MGPSSR Pusat diwakili Ketua VII yang membidangi Upakara Made Mulya. Acara berikut Darma Wacana oleh I Nyoman Putra,SAg,Msi Pendarmawacana dari Surabaya. Sebagai akhir acara adalah Persembahyangan bersama dipimpin Pandita Mpu Daksa Merta Yoga dimana saat Tri Sandhya semua Pinandita yang hadir baik dari Bali maupun Jawa secara bersama-sama melantunkan Genta/Bajra sehingga menambah kekhusukan acara Piodalan. Sehari sebelum Piodalan dilakukan Mendak Tirta di Candi Ceto dipimpin oleh : Pandita Mpu Rastra Giri dan diikuti beberapa umat. Piodalan dihadiri oleh umat dari Bali, umat Bali yang tinggal disekitar Solo,Karanganyar,Sragen,Semarang, Jogja, dan lain-lain, juga dihadiri umat Hindu asal Jawa yang ada di Karanganyar dan sekitarnya. Piodalan menjadi meriah juga karena bunyi Gamelan yang dibawakan oleh saudara-saudara dari STSI Surakarta. Untuk memberi kesempatan kepada umat yang belum sempat sembahyang pada hari itu atau karena pertimbangan jarak, dan lain-lain, maka dilakukan ”Nyejer” 7 hari.

Sejak 11 Februari 2005 Petilasan ini secara resmi dibawah naungan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Pusat dan dalam operasionalnya membentuk ”Pengempon” yang anggotanya Semeton Hindu (dari Bali) di Solo-Karanganyar juga umat Hindu asal Jawa, maka Piodalan kali ini dilaksanakan oleh Pengempon Petilasan sebagai Panitianya. Sarana Upacara (Bebantenan) dikoordinir dari Bali yang kali ini kebagian adalah MGPSSR Kodya Denpasar. Pengempon sendiri membantu sarana banten yang sederhana, seperti : Canang-canang, daksina, dll. Umat Hindu di Solo-Karanganyar termasuk Semeton Pasek, cukup banyak jumlahnya untuk ukuran mengelola Piodalan, namun belum banyak yang bisa terlibat dengan pertimbangan masing-masing, yang tetap harus dihormati. Itulah sebabnya belum bisa menerima tugas pembuatan bebantenan secara utuh. Kedepan ada harapan dari Sulinggih, sesepuh, dan juga MGPSSR agar Bebantenan bisa disiapkan seutuhnya dari Solo-Karanganyar secara sederhana saja asal tidak menyimpang dari Tattwa, sehingga umat dari Bali hanya Dharmayatra. Untuk hal ini kita kembalikan kepada umat Hindu di Solo-Karanganyar sendiri.

DUA DASA WARSA PETILASAN
Sejak ditemukannya Petilasan pada 10 Maret 1984 melalui Pewisik sebelumnya yang diterima Jro Mangku Gde Ketut Subandi, dan didalamnya ikut juga memastikan/meneliti Pandita Mpu Sinuhun-Bongkasa (Almarhum), Pandita Mpu Nabe Pemuteran, Merta Suteja, Ketut Nedeng, Ledang, dan semeton Bali lainnya, juga proses pembangunan besar-besaran tahun 1996 – 2000 dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran, Ketut Nedeng, dan semeton dari Bali dan Solo-Karanganyar, maka proses itu sampai sekarang sudah 21 tahun lamanya. Waktu dua dasa warsa itu tentu banyak suka-dukanya. Untuk membangun Petilasan sebesar itu tidak gampang mengingat umat Hindu belum tinggi kesadarannya untuk ber-dana punia pembangunan Pura atau Petilasan. Itulah sebabnya perlu keahlian beliau-beliau seperti Pandita Mpu Nabe Pemuteran dan Ketut Nedeng, akibatnya tergeraklah umat-umat yang mau menyumbangkan sebagian dananya untuk Petilasan ini. Hal berikutnya adalah Pemeliharaan Petilasan. Memelihara itu lebih susah daripada membangun, karena sudah ada Pengempon, maka Pengempon ini memiliki tanggung jawab yang berat. Itulah sebabnya Pengempon ini juga harus punya keahlian disamping didukung oleh umat yang ada baik sekitar Solo-Karanganya maupun dari daerah lain di Jawa juga luar Jawa, Bali, dll. Salah satunya adalah bisa berkomunikasi dengan Pemda Karanganyar mengingat Petilasan ini sudah dicanangkan oleh Dikparta sebagai tujuan wisata. Masalah lain adalah ”kesadaran” umat untuk bersembahyang. Walaupun ini masalah hak azazi orang tersebut. Keberadaan Petilasan ini sangat terkait dengan ”Pasek”, itu tidak bisa dipungkiri, satu fakta saja bisa disebutkan tempat Petilasan ini dari dulu sudah ratusan tahun bernama ”Dusun Pasekan”. Karena semeton Pasek sangat taat Bhisama (Pesan Sakral) Leluhur/Kawitan, maka akan banyak yang mengunjungi Petilasan ini. Umat lain bisa melihat Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dari sudut lain, yaitu sebagai Dewa Hyang yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi bukan sebagai leluhur Pasek lagi sehingga tidak perlu lagi punya ide untuk memisahkan Petilasan dengan Pura, karena setelah Petilasan dipisahkan apakah Parhyangan Sapta Pandita juga mau dipisahkan karena itu Leluhur Pasek, yang penting adalah apakah mau bersembahyang ? . Tidak perlu lagi ada istilah Merebut Kawitan Orang lain, karena umat Jawa sendiri tidak perduli apakah itu : Trah Pasek, Trah Ida Bagus, Trah Anak Agung, dll, bagi mereka : orang atau leluhur yang dianggap suci atau mumpuni akan mereka hormati disuatu tempat yang disebut Punden atau Petilasan, terbukti walaupun sudah dikelola MGPSSR umat Jawa masih mau sembahyang ke Petilasan dan itu tidak ada larangan. Jadi masalah-masalah klasik ini jangan menjadi ganjalan untuk melakukan Puja Bhakti, datang saja lakukan Pemujaan. Kedepan yang perlu dipikirkan disamping masalah bhakti adalah bagaimana tempat ini menjadi bermanfaat bagi orang banyak bukan secara Niskala saja tetapi juga secara Skala, seperti : munculnya Pedagang makanan, barang kerajinan, parkir, dan lain-lain dari penduduk sekitar, sehingga keberadaan ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita” bisa memberi kemakmuran kepada semuanya.




Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
19-9-2005.
2006-PIODALAN PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN & PARHYANGAN SAPTA PANDITA
KARANGPANDAN-KARANGANYAR-JAWA TENGAH

Piodalan ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga 7 September 2006 atau setiap setahun sekali. Piodalan ini adalah yang kedua kalinya sejak Pura ini memiliki Pengempon dibawah struktur MGPSSR Pusat. Tanggung jawab Bebantenan (Sarana Yadnya) kali ini dibawah koordinasi MGPSSR Kab.Badung dengan komandannya I Made Mulia. Pengempon di Jawa (Karanganyar&Solo) menjadi Panitia dan mempersiapkan bebantenan sederhana, seperti : Pejati, dan Banten Penganyaran (harian). Seperti biasa Panitia terdiri dari umat Hindu pratisentana Pasek, non Pasek, umat Hindu suku Jawa dan yang paling penting melibatkan umat disekitar Pura yang berbeda agama, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu. Prosesi diawali dengan ”Mendak Tirta” sore hari 6 September 2006 ke Candi Ceto dipimpin Jro Mangku Pasek dan Jro Mangku Murti. Puncak acara Piodalan pada 7 September 2006, dimulai sekitar pukul 07 dengan Puja dipimpin oleh tiga Sulinggih, yaitu : Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga-Griya Agung Cemagi Mengwi-Badung, Ida Pandita Mpu Perama Daksa Manik Mas Semara Natha-Griya Njung Tegalsari-Tegalsaat-Kapal-Mengwi-Badung, Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Griya Kutuh-Kuta-Badung. Prosesi dengan Banten yang sederhana diaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita Mpu. Setelah Puja Piodalan selesai, umat yang terdiri dari umat Hindu dari Bali dibawah Koord. MGPSSR Kab Badung berjumlah sekitar 100 orang, juga umat dari Bali diluar itu, berbaur dengan umat Hindu suku Bali dari Karanganyar/Solo sekitar dan umat Hindu Jawa sekitar 100 orang dari : Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Masaran (Sragen), khusuk melakukan Puja Bhakti dipimpin Pandita Mpu. Selesai persembahyangan sekitar pukul 09, disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Ketut Landra dan Ketua Pengempon-Nyoman Nasa. Sambil menikmati makanan yang disediakan Panitia, umat dihibur oleh Tari Legong Kraton anak-anak asuhan Nyoman Chaya diiringi Gamelan dari ISI Surakarta. Yang sangat menarik adalah penampilan Topeng Keras, Topeng Penasar, Topeng Monyer, Topeng Dalem dan Topeng Sidakarya , yang disuguhkan oleh : I Made Mulia, I Ketut Satem, I Wayan Korsi, AA Raka Suryaningrat, dan lainnya, mampu memberi hiburan sekaligus memberikan Darmawacana kepada umat yang hadir. Sekitar pukul 12 acara Piodalan selesai dan umat kembali keasal masing-masing termasuk semeton dari Bali yang akan disusul oleh umat dari Bali lainnya untuk tahap ke-2. Para Pandita Mpu juga kembali dan akan disusul oleh Pandita lainnya sampai hari ketiga. Persembahyangan terakhir bagi umat Pengampu Yadnya dari Bali dilakukan pada 10 September 2006 pagi sekitar jam 07 dengan dipimpin oleh : 7 Pandita Mpu

Beberapa Catatan Penting selama Piodalan
Beberapa hal yang menarik pada Piodalan kali ini adalah : Metode pengalokasian umat yang medek dibawah koordinasi I Made Mulia. Umat yang medek dibagi dalam tiga tahap kedatangan, sehingga setiap hari piodalan tetap meriah karena selalu ada umat yang hadir dalam jumlah banyak untuk melakukan Puja Bhakti. Pada hari H hadir sekitar 100 orang, hari kedua sekitar 200 orang, hari ketiga sekitar 200 orang yang sebagian berlanjut sampai besoknya (10 Sept.2006) dan pada siang hari umat pamit yang berarti selesai tugas MGPSSR Kab.Badung. Pandita yang datang juga sambung menyambung, sejak 6-9 Sept 2006.,hadir 17 Pandita Mpu dari berbagai daerah. Denpasar : Pandita Mpu Nabe Pemuteran, Ida Pandita Mpu Sidyana Samyoga, Ida Pandita Mpu Perama Daksa Manik Mas Semara Natha, Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Ida Pandita Mpu Darma Niasa, Ida Pandita Mpu Reka Darmika Saniasa, Ida Pandita Mpu Darmika Sandi Kerta Yoga, Ida Mpu Nabe Jaya Tanaya, Mpu Wiswa Rupa Biru Daksa, Mpu Daksa Mertha Yoga, Mpu Dharmika Tenaya, Ida Pandita Mpu Daksa Manik Mas, Sri Mpu Dwi Yoga Daksa Merta, Ida Pandita Mpu Jaya Wasistha Nanda Tabanan : Pandita Mpu Cri Rastra Giri Bajra, Pandita Mpu Dukuh Jaya Prateka , Singaraja : Ida Pandita Mpu Dharma Yoga. Hal yang menarik lainnya adalah ”Pementasan Topeng” oleh I Ketut Satem dan kawan-kawan. Topeng ini banyak memakai bahasa Indonesia karena banyak umat Jawa yang hadir, Tokoh ”Dalem” kali ini diambil figur ”Dalem Solo” tapi Dalem dalam pengertian ”Raja/Pemimpin”, sedangkan Piodalan diartikan sebagai kegiatan penduduk dibawah naungan Dalem Solo, jadi pementasan Topeng ini tetap pada Pakem tetapi juga luwes (dinamis) hal ini perlu menjadi pemikiran para pemain Topeng lainnya. Tidak ketinggalan figur ”Provokator” yang selalu ada menjadi ”penggoda” bagi umat yang sedang melakukan Bhakti ditampilkan dengan gaya humor yang baik. Kedepan semoga Pura ini bisa menjadi ”Pemersatu” umat Hindu dari suku dan soroh yang berbeda, seperti yang disampaikan pada pemaparan Sekretaris Pengempon, bahwa : PASEK (Patitis Sesana Kawitan) agar menirukan Sesana (Prilaku) leluhurnya seperti Mpu Gnijaya (tertua dari Panca Tirta) dengan menjadi : Pengemong umat dari berbagai suku, soroh, bahkan umat manusia kearah Bhakti pada Hyang Widhi/ Tuhan YME dan Bhatara Kawitan. Disamping itu sebagai yang tertua, maka harus : Sabar, melindungi, dan memberi petunjuk yang benar kepada yang lebih muda yaitu kepada pratisentana dari adik-adik Mpu Gnijaya.




Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 12-09-2006
2007-PIODALAN PARHYANGAN SAPTA PANDITA
KARANGANYAR – JAWA TENGAH

Di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, pada 27 Agustus 2007 kembali dilaksanakan Piodalan yang diadakan setiap tahun pada Purnama Katiga. Piodalan kali ini berlangsung (Nyejer) 3 hari. Seperti biasa setiap Piodalan dibentuk Panitia walaupun sudah ada Pengempon sejak 11 Februari 2005. Panitia yang terdiri dari umat Hindu dari Bali dan Jawa juga lintas Soroh/Wangsa/Clan, mempersiapkan diluar Banten Utama karena sementara ini banten masih disiapkan dari Bali, dihaturkan juga sesaji Jawa yang merupakan kebiasaan umat setempat. Saat kerja-bhakti juga per-parkiran, termasuk penginapan umat dari Bali dan Warung-warung makan/minum sudah tersedia dari swadaya penduduk setempat. Panitia lebih banyak pada pengaturan acaranya, mobilisasi umat, konsumsi, dan komunikasi dengan instansi setempat. Pada puncak acara (27 Agustus 2007) Piodalan dipuput oleh 4 (empat) Pandita Mpu dari Bali, sebelum persembahyangan dilakukan acara seremonial diantarkan oleh MC Dyah Ayu Retno dan Atma Jatiningati. Diawali oleh sambutan Ketua Panitia Nengah Rawi, Pengempon (Wakil) Ketut Landra, Pemaparan keberadaan Parhyangan oleh Nyoman Sukadana, Sambutan Ketua MGPSSR Ketut Wita, Sesepuh umat Ketut Nedeng, dan diakhiri Darmawacana oleh Ida Bawati Miarta. Selanjutnya dilakukan Persembahyangan bersama. Umat yang jumlahnya ratusan dimana sebagian besar adalah umat Solo Karanganyar baik umat Jawa, Bali, juga umat yang datang dari Bali berbaur dengan khusuk memuja kebesaran Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Selesai persembahyangan ditampilkan Topeng Sidakarya oleh Wayan Senen dan kawan dari Jogjakarta serta Tarian, diiringi penabuh dari ISI Surakarta. Acara persembahyangan berakhir sekitar pukul 13 wib. Hari berikutnya secara bergilir Sulinggih (Pandita Mpu) juga umat yang belum sempat bhakti datang kehadapan beliau, dan akhir acara Piodalan dengan Nyineb pada 30 Agustus 2007 oleh Pandita Mpu.

Pada sore hari tanggal 27 Agustus 2007 Umat dari Bali melaksanakan Upacara Agnihotra dengan Hotri Wartawan dan Hotraka Pandita Mpu Ananda Paramadaksa, sedangkan Yajamana (Tuan Rumah) diwakili Mangku Ketut Pasek dan Pengempon Ketut Landra. Upacara Agnihotra ini memang masih pro dan kontra karena prosesinya yang ke-Indiaan walaupun banyak yang sudah berusaha menyesuaikan dengan kebiasaan setempat (local Genius). Namun Agnihotra sendiri dasar sastranya jelas. Upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda,Sama Weda,Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dalam Atharwa Weda XXVIII.6, dinyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis/pimpinan masyarakat bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.

Sekilas Keberadaan Parhyangan Sapta Pandita
Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan diketahui atas pewisik Niskala yang diperoleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi dan ditemukan pada 10 Maret 1984. Berikutnya ditindaklanjuti oleh para Sulinggih juga tokoh umat seperti Merta Suteja. Petilasan itu sendiri berupa 2 gundukan batu yang oleh penduduk setempat dihormati sebagai tempat orang suci, pengelolaannya oleh Mbah Wiryo Rejo penduduk setempat. Orang Suci tersebut adalah Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan hijrah dari Jawa Timur ke Karanganyar/Surakarta pada Era runtuhnya Majapahit, menetap di Dukuh Pasekan/Dusun Keprabon, dan jadi rohaniawan kerajaan Surakarta. Walaupun banyak yang mau memugar Petilasan ini tetapi Tarjo (Almarhum) yang memiliki tempat ini mendapat petunjuk Niskala, bahwa akan ada Trah beliau dari Bali yang akan memugar tempat ini. Pemugaran sederhana dilakukan pada tahun 1986-1988. Pada 9 Nopember 1990 dihadiri oleh Bupati Karanganyar, Camat dan Lurah Karangpandan, fihak Mangkunegaran, dan umat dari Bali, dilakukan Pitra Yadnya dan Yadnya lainnya, walaupun menurut rohaniawan beliau Moksa. Renovasi besar-besaran dilakukan pada sekitar tahun 2000 dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran , Ketut Nedeng, dan semeton dari Bali serta Karanganyar/Solo. Pelinggih yang baru adalah : Padmasana, Sapta Pertala, Bale Piasan/Pepelik, Bale Kulkul, Bale Pawedan, Candi Bentar, Candi Gelung, Peristirahatan Umat & Sulinggih (Bale Banjar), dan khususnya Meru Tumpang Pitu yang merupakan „Parhyangan Sapta Pandita“ karena Sapta Pandita itu memang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa sekitar Malang/Kediri. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan adalah Trah Sapta Pandita yang pertama (Mpu Ketek). Ngenteg Linggih pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) dipuput Mpu dan Pedanda, serta Penanda-tanganan Prasasti oleh Raja Solo ”Sinuhun Paku Bhuwono XII (Almarhum). Parhyangan ini bisa dijadikan ”Pura Persatuan /Pancer/Pusat” karena di Candi Gelung dilinggihang juga Patung ”Panca Tirta” (Mpu Gnijaya,Mpu Semeru,Mpu Ghana,Mpu Kuturan,Mpu Bharadah) yang merupakan leluhur sebagian besar orang Bali, seperti Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan bisa jadi umat Jawa juga, apalagi umat Jawa sudah sejak awal mendatangi Petilasan ini. Mengunjungi Parhyangan orang suci diserahkan kepada pemahaman para umat yang datang, jika dilihat sebagai atman yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi, maka sesungguhnya kita sudah memuja Hyang Widhi.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
05-09-2007