Rabu, Januari 13, 2010

PENGADILAN HINDU ADALAH HATI NURANI


Ada pengertian yang sangat berbeda ketika kita berbicara Hindu sebagai sebuah keyakinan atau sebuah agama dengan Masyarakat Hindu, Kebudayaan Hindu, dll sebagai suatu aktifitas, komunitas atau lainnya, sehingga sering muncul wacana penegasan akan hal ini seperti pernyataan, bahwa Kasta tidak ada dalam Hindu yang ada pada masyarakat Hindu (mungkin maksudnya masyarakat beragama Hindu), juga ada wacana , bahwa ibarat kembang maka Hindu adalah aroma wanginya dan kebudayaan adalah kembangnya, dan banyak wacana serupa yang menekankan, bahwa Hindu adalah sesuatu yang independent, suci, sakral, yang mempunyai makna tersendiri dan berbeda jika dikaitkan dengan lainnya.

Di era reformasi ini muncul suatu ide untuk mengangkat kembali wacana ”Pengadilan Hindu” untuk memberi wadah bagi permasalahan umat Hindu yang harus menempuh jalur pengadilan, seperti pernikahan/perceraian, masalah adat, dll. termasuk kejadian-kejadian yang bisa jadi pelakunya bukan umat Hindu, seperti pencurian pratima dan barang sakral lainnya, dimana sering hanya dihukum ringan karena hanya dilihat dari sisi fisik saja, bukan nilai sakralnya, dan alasan lainnya. Ide seperti itu boleh saja direalisasikan, asalkan dengan suatu niat yang suci, bahwa Hindu adalah ruhnya. Namun berikut ini mari kita melihat sisi lain dari sebuah ”Pengadilan” dengan memfocuskan kepada Hindu sebagai sebuah keyakinan. Kitab-kitab Hindu terkait dengan hal ini sudah ada, seperti Manawa Darmasastra walaupun lebih tepatnya kitab ini memuat Hukum-hukum Hindu, tetapi belum pernah dewasa ini ada publikasi, bahwa seseorang itu diadili karena melanggar Manawa Darmasastra. Hal ini terjadi karena ajaran Hindu adalah ajaran moral yang bersifat sangat pribadi yang mengatur hubungan antara manusia itu sendiri dengan Hyang Widhi, apakah artinya ini ? Agama Hindu mengajarkan jalan untuk memperoleh kebahagiaan skala niskala baik semasa hidup maupun sesudah mati (Moksartam Jagadhita), sehingga tidak ada dalam Hindu suatu pengadilan kepada pengikutnya seperti pengadilan pidana/perdata yang terjadi dimasyarakat pada umumnya. Jika seorang umat Hindu melanggar ajaran agamanya, katakanlah mencuri, memfitnah, dll. Hindu tidak mengatur untuk menggelar suatu pengadilan untuk mengadili atas kesalahan tersebut, agama Hindu mengandung ajaran Karmapala yang merupakan bagian dari Panca Srada untuk diyakini oleh orang tersebut dan membiarkan orang tersebut mengadili dirinya . Di Bali sering kita mendengar petuah-petuah orang tua yang berbunyi ”Negakkin gedebong biyu, pedidi nawang jitne belus (duduk di gedebog pisang, hanya dirinya sendiri yang tahu pantatnya basah)”. Petuah ini bukan semata-mata merupakan tudingan bagi orang yang menyembunyikan kesalahan dari orang lain, tetapi jika dilanjutkan pengertiannya, maka terkandung makna hanya dialah yang bisa mengetahui dirinya bersalah dan bisa mengadili dirinya sendiri. Jika setiap orang sudah menjadikan hati nuraninya sebagai pengadilan dan bertekad untuk tidak melakukan kesalahan lagi, masih perlukah Pengadilan Hindu ? Jawaban yang diperoleh akan bervariasi, ada yang berpendapat perlu ada, karena tidak semua orang sadar dengan kesalahannya atau ada yang sadar tetapi tidak mau memperbaiki kesalahannya mungkin karena terlanjut nikmat dengan kesalahannya, seperti para koruptor yang sudah merasakan nikmatnya harta, juga para pemburu prestise yang buta hatinya yang banyak akibat salah kaprah Kasta, dan banyak contoh lainnya. Ada juga yang menjadikan jaman Kaliyuga sebagai jaman kebingungan sebagai alasannya, sehingga banyak orang yang menyimpang dari ajaran agama dan tercebur pada lumpur dosa. Pendapat diatas adalah didasarkan pada ”fakta”, bahwa masyarakat sekarang ini sudah perlu diberi wadah Pengadilan Hindu, dan pola berpikir seperti ini tidak salah. Namun pada tulisan ini kita coba melihat kedepan dengani suatu pandangan yang optimis, bahwa nanti itu akan lebih baik dari sekarang, sehingga yang perlu ditegakkan pada setiap orang adalah menjadikan ”Hati Nurani sebagai pengadilan atas dirinya”. Mulailah dari diri sendiri dengan repleksi diri atau merenung seperti yang biasa dilakukan pada Hr.Nyepi, ber-japa, meditasi, dll. walaupun alamiah, bahwa manusia lebih cendrung untuk tidak mengakui kesalahannya apalagi mengadili dirinya, tetapi khan ini sendirian tidak ada orang lain yang tahu, kita hanya perlu membiarkan kesalahan yang kita lakukan itu muncul dalam hati kita dan mengakui kesalahan-kesalahan itu kepada diri kita sendiri, sehingga diharapkan akan muncul suatu kesadaran untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Ketika Bima diutus untuk mencari Tirta Amerta didasar samudra, yang dia lihat adalah dirinya sendiri, walaupun akhirnya disadari, itu adalah Dewa Ruci sebagai perwujudan Hyang Widhi, maka ketika kita mencoba melihat kesalahan sendiri, siapa tahu justru kita menemukan Hyang Widhi dalam diri kita, maka berbahagialah kita yang memperoleh anugrah itu.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-07-2006
KEMBALI PADA ”AJARAN WEDA”

Pola penerapan ajaran-ajaran Weda kepada masyarakat Hindu di Bali jaman dulu telah menyisakan suatu pemahaman yang kurang jernih dalam aplikasinya, apakah hal ini kesalahan para Sulinggih atau pemimpin agama jaman dulu penulis tidak tahu, tetapi fenomena yang bisa kita lihat dimasyarakat akan menjawab hal itu. Fenomena masyarakat Hindu secara umum (awam) di Bali banyak terjadi, bahwa masyarakat ini berani mengeluarkan uang yang besar untuk suatu upacara atau jika harus Ngelinggihang /Stana Hyang Widhi berupa Kemulan atau Stana Leluhur berupa Meru (untuk Kawitan), Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang. Kebutuhan akan hal ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, termasuk bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia), sehingga terkesan pola kehidupan ini sangat pribadi bahkan cendrung egois. Tetapi itulah cara mereka menunjukkan bhaktinya pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Fenomena lainnya yang tidak kalah serunya adalah pemanfaatan Balian Metuunang sebagai tempat bertanya tentang keleluhuran atau jika mereka menghadapi masalah baik ekonomi atau kesehatan. Apakah ini pengejawantahan dari ketidak percayaan mereka pada tokoh agama atau Sulinggih atau karena mereka mencari jalan pintas akibat tidak tahan menghadapi kehidupan yang semakin sulit ? faktanya sebagian besar masyarakat ini melakukannya. Secara umum hasil metuunang ini akan mengatakan suatu hal, bahwa terjadi ”kesalahan”, sehingga keturunannya (Damuh) ikut panas di Mayapada (Dunia) yang berakibat ekonomi seret, sakit-sakitan, ribut dikeluarga atau tetangga, sehingga sering muncul kalimat ”Irage kesalahang Hyang Kompyang/Kawitan (Kita dihukum Leluhur), Untuk mengatasi hal itu banyak yang kemudian mengikuti petunjuk Sang Balian untuk membuat Banten tertentu atau bagi yang belum Ngelinggihang Stana Leluhur biasanya diminta Ngelinggihang, dimana semua itu mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk minta ampura kepada Hyang Kompyang. Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah Hyang Kompyang itu begitu kejam, sehingga keturunannya sampai dihukum seperti itu ? ini perlu dijelaskan baik oleh tokoh agama maupun para Sulinggih.

Hal lain adalah ”Piteket (pesan)” yang telah dibawa sejak dulu sehingga menjadi kebiasaan dan sudah tidak diketahui asal-usul serta akurasi Piteket tersebut, dimana masyarakat sekarang tidak berani melanggarnya. Seperti contoh tulisan pada sebuah Majalah Kebudayaan Bali yang beralamat di Nitimandala Renon Denpasar, tulisan tersebut dimulai ketika Danghyang Nirarta (Pedanda Sakti Wawu Rauh) menjadi Purohita Kerajaan Gelgel sekitar abad XV dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong (Dalem ini setingkat Adipati-karena Rajanya di Majapahit). Ada kalimat pada tulisan tersebut berbunyi ”Hanya segelintir dari Keturunan Pasek yang memperdalam, sehingga (mohon maaf) ketika itu ajaran Sang Sapta Resi (Leluhur Pasek) yang merupakan ajaran Kemoksan dan Kedharman menjadi semakin surut dan luntur, sehingga situasinya menjadi gamang atau kurang mantap” dilanjutkan dalam tulisan tersebut - kemudian ketika Danghyang Nirarta datang, intinya beliau menyegarkan kembali ajaran Dharma dan me-Diksa kelima putranya menjadi Pedanda dan masyarakat diminta belajar dari mereka sehingga seterusnya terjadi hubungan ”Siwa dan Sisya”. Hubungan ini kemudian menjadi hubungan Ida Bagus dan I Pasek yang berkembang secara feodal menjadi hubungan ”Yang dihormati dan Parekan”, walaupun Ida Bagus tidak melanjutkan Ke-Panditaan. Ketika jaman berkembang dan I Pasek mulai mengenal ajaran kebenaran karena banyak Pandita (bukan Pandita resmi kerajaan jaman itu) yang tinggal di Pedukuhan dengan sebutan Jero Dukuh dan meneruskan ajaran ke-Panditaan secara terbatas sehingga sebagian I Pasek mulai mengerti hakekat manusia yang sama dan banyak lahir Pandita dari I Pasek bergelar Pandita Mpu yang karena ketentuan (Sesana) harus punya Nabe (yang melahirkan) maka mengambil Nabe Pedanda, namun pola hubungan Surya & Sisya bagi walaka (bukan Pandita) itu tetap berlanjut, disebutkan lagi sbb : ”Namun saat ini kedua belah pihak telah terkungkung dan terjebak dalam sebuah budaya feodal yang diwariskan secara turun temurun. Disatu fihak Ida Bagus tidak akan rela meninggalkan posisi sebagai Siwa sedangkan I Pasek tak berani meninggalkan posisi sebagai sisya karena takut terkena hukuman dari leluhur”. Dan seterusnya.

Dengan beberapa contoh diatas terlihat jelas, bahwa ada kegamangan dalam masyarakat dan ketakutan yang tidak beralasan akan sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan. Balian Metuunang dan Piteket yang sudah menjadi kebiasaan menjadi lebih kuat dari kebenaran dari ajaran Weda. Fenomena ini tidak begitu mudah untuk dirubah seperti membalikkan telapak tangan. Peran Sulinggih serta tokoh agama sangat diperlukan disini. Dimulai dengan ajaran Bhakti dengan contoh yang gampang melalui Bhakti pada ayah ibu karena beliau adalah leluhur yang terdekat. Jika kita bhakti pada ayah ibu dengan harapan agar diberikan uang atau imbalan materiil lainnya, itu bukan bhakti yang sejati. Bhakti yang benar adalah berupa kepasrahan yang utuh kepada ayah-ibu juga leluhur tanpa mengharapkan imbalan bahkan mendoakan agar ayah-ibu juga leluhur memperoleh ketenangan. Tindakan ini akan menyebabkan kita lega, lapang dada, tenang sehingga bisa berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan sehingga muncul ide-ide yang baik dan benar bagaimana menghadapi kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, dan sebagainya. Sradha (kepercayaan) juga ajaran Hindu yang penting, salah satunya ajaran ”Karma” bahwa kebaikan akan membuahkan kebaikan, jadi dengan kita mewujudkan : Bhakti pada Hyang Widhi, Pitra Puja bagi leluhur, dan lainnya maka pasrahkan dan tidak perlu bertanya pada Balian Metuunang karena hukum Karma bersifat pasti. Dalam kaitan dengan ”Piteket (Pesan) biasanya leluhur kita banyak melakukan pendidikan moral lewat ”Bhisama (Pesan Sakral)”, sehingga jika diteliti Bhisama dari para Mpu leluhur Pasek, yang tidak diijinkan adalah : Melupakan Catur Parhyangan (Parhyangan Panca Tirta : di Lempuyang Madya, Gelgel Dasar Bhuana, Besakih Catur Lawa, dan Silayukti-Padangbae), juga kalimat ”Aywe pegat purusantha sembahen (Jangan lupa saling menghormati sesama Purusa Pasek), dan jangan menganggap saudara Pasek lainnya lebih jauh dari sepupu. Inilah hal-hal yang jika dilanggar oleh I Pasek merupakan pelanggaran kepada leluhur. Inti dari semua diatas adalah : ”Kembalilah pada ajaran Weda”



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
07-05-2009
ARTI SEBUAH KETERBUKAAN


Beberapa waktu yang lalu salah seorang mentri kabinet Gotong Royong I ditanya oleh wartawan TV , mengenai mengapa dia menyatakan akan mundur pada pemerintahaan sebelumnya karena tidak setuju sesuatu hal. Jawabannya kalau saya coba simpulkan , bahwa : Karena ia tidak sependapat dan yang paling penting jawabannya adalah mengatakan dirinya orang akademis bukan politisi, yang akan berbicara secara akademis atau professional bukan politis. Jadi hal yang penting disini, ada perbedaan pertimbangan “Politis” dengan “Professional (cq.Terbuka)“. Dijaman orde baru setiap tanggal 30 September malam di TV selalu ditayangkan Film Pemberontakan G30-S PKI yang banyak menimbulkan polemik dimasyarakat karena dianggap tidak fair atau berfihak pada kepentingan orang tertentu padahal sutradara film tersebut adalah juga ahli sejarah. Cuma sayangnya tidak ada orang yang berani memunculkan versi lain yang dianggap benar, sehingga mungkin banyak masyarakat awam yang sudah menganggap tayangan di TV itu adalah kebenaran, akan sangat berbeda jika ada yang menyampaikan dengan versi lain yang juga punya dasar yang kuat. Yang perlu digaris-bawahi disini adalah : Ada keinginan masyarakat baik yang menaruh perhatian terhadap sesuatu hal maupun mereka yang hanya menonton saja atau sekedar membaca, untuk memperoleh sesutu yang benar atas suatu fakta terhadap ceritra atau sejarah yang disampaikan. Tanggung jawab ini ada pada fihak-fihak yang tahu akan hal itu, sehingga digugah untuk berbicara.

Masih hal yang serupa adalah ketika penulis membaca tulisan disebuah website yang menceritrakan tentang kesuksesan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta / Pedanda Sakti Wawu Rauh, yang dianggap oleh penulis tersebut sangat berjasa terhadap kemajuan Bali jaman itu dan mempunyai toleransi beragama yang tinggi. Terlihat penulis ini ingin menunjukkan sisi positifnya karena mungkin pertimbangannya agar kita mencontoh, atau menghormati leluhur jaman dulu tersebut dan itu benar. Namun kalau kita simak lagi, maka disini sebenarnya sudah ada unsur “Politis” atau belum terbuka karena menyampaikan sesuatu hanya dari satu sisi. Untuk orang yang sama sangat jarang bisa menyampaikan sesuatu itu dari dua sisi secara berimbang., maka penulis ingin mencoba menyampaikan sisi yang lain yang lebih bersifat menggugah kepada yang lebih tahu akan sesuatu kebenaran/ fakta. Misalnya kisah Mpu Kuturan, penulis sangat yakin, beliau sangat berjasa terhadap baiknya tatanan kehidupan bermasyarakat dan beragama orang Bali abad XI karena masyarakat yang menganut Sad Paksa (Enam sekte agama) yang waktu itu selalu terjadi perselisihan, bisa dipersatukan dengan adanya pertemuan di Samuan Tiga. Mpu Kuturan juga banyak sekali mendirikan Pura-Pura termasuk Uluwatu yang belakangan diklaim sebagai penyungsungan warga tertentu. Secara logika kehadiran Catur Sanak (Empat dari Panca Tirta) tentunya menimbulkan masalah di Bali misalnya dari Masyarakat Bali Mula yang awalnya mungkin tidak setuju , walaupun Mpu Semeru (salah seorang Catur Sanak) mengangkat Putra Darma dari Masyarakat Bali Mula yang diberi nama Mpu Dryakah (Leluhur Kayu Selem). Kita tidak pernah tahu apakah waktu itu ada pertentangan dengan masuknya Sang Catur Sanak karena penulis belum pernah menemukan ceritra atau prasastinya, tetapi yang jelas jasa-jasa yang luhur dari mereka bisa kita lihat dan rasakan dalam kehidupan beragama dijaman ini dan tidak merasakan sesuatu yang salah dari ajaran Weda. Lain lagi dengan Danghyang Nirarta, pada jaman Dalem Waturenggong dan beliau menjadi Purohita kerajaan pada abad XV disebutkan oleh penulis tersebut diatas terjadi jaman keemasan masyarakat Bali. Pendapat itu benar disatu sisi, tetapi coba lihat dari sisi lain. Dengan melakukan pembagian porsi masyarakat menjadi empat kelompok inilah sebenarnya langkah politis yang dilakukan dijaman itu agar lebih mudah mengatur segala kepentingan (ide/rencana) agar terwujud, seperti halnya pendekatan keamanan yang merupakan langkah politis dijaman orde baru. Mari kita lihat bedanya era Sang Catur Sanak dengan Era Danghyang Nirarta. Pada jaman Mpu Kuturan masyarakat yang tadinya terpecah disatukan melalui Memuja dipelinggih yang sama yaitu Kemulan/Rong Tiga (Memuja Tri Murti) sehingga masyarakat menjadi tenang. Keberadaan Pelinggih Kemulan itu terbawa sampai sekarang walaupun dijaman kemudian (mungkin abad XV) pemahaman sebagian masyarakat menjadi berbeda dengan ada yang mengartikan Kemulan adalah Pemujaan leluhur. Jadi dampak kedamaiaan dan kesejahtraan terasa dari strategi yang dipakai Sang Catur Sanak. Tetapi strategi yang dipakai Danghyang Nirarta dan Dalem Watutenggong, dampaknya terasa dikemudian waktu sampai juga sekarang ini, kita menjadi sadar, ternyata ada yang keliru berupa penyimpangan Ajaran Weda (Catur Warna dan Tat Twam Asi) yang dimanfaatkan oleh penjajah abad XVI untuk memecah kita, penyimpangan ini masyarakat banyak yang sudah tahu. Inilah bedanya. Nah.. itulah sebanya kita perlu menyampaikan sesuatu hal dari dua sisi secara fair, sehingga masyarakat diberi kejelasan dan bisa memutuskan sendiri pandangannya tidak perlu diatur-atur atau diarahkan karena kebenaran itu pasti akan muncul juga. Sudah tidak waktunya lagi ber-politis dalam hal keagamaan, keleluhuran, sejarah Pura, dll. tetapi kalau kenegaraan silahkan saja.

Maka melalui ini, penulis menghimbau agar kita berlomba-lomba menyampaikan kebenaran pada masyarakat tentunya dengan dasar yang kuat dan bisa dipertanggung-jawabkan. Jangan apriori jika ada orang atau penulis menyampaikan sisi miring dalam suatu sejarah keleluhuran bahkan menyangkut nama orang kalau dahulu itu memang keliru. Bagi kita sebagai Damuh atau trah para leluhur, yang harus dilakukan adalah menjaga nama nama baik leluhur sebagai bentuk bakti dan hormat juga dengan cara meniru hal-hal yang positif, dan membuang yang negatif bukan malah ngotot membela atau menutupinya. Jadi mulailah menjadi benar dari diri sendiri, maka dikemudian hari anda akan dihormati oleh sanak keturunan sebagai pratisentana dari leluhur yang mulia dan hebat.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
10-11-2004.
MENGENAL ”PELINGGIH”

Sehubungan tidak semua umat mampu melakukan kosentrasi yang baik dalam pemujaan kepada Hyang Widhi, maka para Rsi yang bijaksana menciptakan ”Pelinggih” yang berwujud fisik yang diistilahkan ”Niyasa”. Sejarah orang bali yang leluhurnya sebagian besar berasal dari Jawa, maka pengaruh Jawa banyak mempengaruhi bali, seperti adanya ”Meru” yang berasal dari Mahameru, dimana tumpangnya selalu ganjil (1-11) yang merupakan simbul Aksara Suci, seperti Meru Tumpang Tiga simbul Tri Aksara atau Tri Purusa (Siwa,Sadasiwa,Parasiwa). Lama kelamaan Meru itu menjadi dua macam, yaitu sebagai Dewa Pratistha (Stana Dewa) dan Atma Pratistha (Stana Roh Suci/Leluhur) perbedaannya hanya pada sikut (ukurannya) sesuai Astha kosala-Kosali. Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, Bali, maka kita akan menjumpai Pelinggih berupa Meru Tumpang Telu yang merupakan tempat pemujaan “Ratu Pasek” beliau adalah Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari “Panca Tirta” yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah (Catatan : Catur Sanak/Empat dari Panca Tirta kecuali Mpu Bharadah datang ke Bali pada sekitar tahun 1000 Masehi, atas permintaan Raja Udayana untuk menata Bali). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan (Putra Kresna Kepakisan) yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. Selanjutnya di Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai Pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu, yang juga tempat memuja “Ratu Pasek”, beliau adalah “Mpu Semeru” yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Jadi Meru disini berfungsi sebagai “Atma Pratista”.

”Mpu Kuturan” yang keempat dari Panca Tirta, beliau adalah Arsitek desa Pakraman dengan Pura Desa, Puseh, dan Dalem, dan untuk dirumah tangga hanya dibuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan ”Tri Murti’ (Brahma,Wisnu,Siwa), inilah Pelinggih yang diwariskan oleh leluhur kita. Pada perkembangan berikutnya umat mulai dibingungkan dengan Rong Tiga sebagai Warisan Mpu Kuturan dengan Rong Tiga yang diartikan oleh sebagian orang sebagai ”Pemujaan Leluhur”, walaupun yang dimaksudkan disini sebenarnya intinya sama : yang sudah lebur badan kasar (Stula Sarira/Panca Maha Bhuta) dengan Ngaben, sudah Lebur ”badan eterik/astral (badan halus/suksme sarira)” dengan Memukur/Nyekah (Atma Wedana) dan tinggal atma yang merupakan bagian dari Paramaatma sehingga dilinggihang di Kemulan sebagai Dewa Hyang yang berarti juga Widhi, jadi jangan dikaburkan akan hal ini. Pada kedatangan Danghyang Nirarta, maka diciptakan ”Padmasana” yang sekarang juga dikaburkan dengan Pelinggih Surya. Dalam pengertian ini Padmasana sebagai Pelinggih dengan atap terbuka memang tidak membatasi Ista Dewata dibandingkan Kemulan yang jelas Ista Dewatanya ”Tri Murti”, jadi Padmasana diartikan sebagai Stana Dewa Surya juga tidak salah. Dalam setiap pemujaan atau upacara, Surya dan Tirta Surya sebagai ”upasaksi” selalu ada, walaupun di banyak tempat tidak ngelinggihang Surya, maka saat upacara dibuatkan Sanggar Surya yang sifatnya tidak permanen. Dalam sastra, ada ketentuan jika disuatu Pura sudah ada minimal 11 Pelinggih, baru diijinkan untuk mendirikan Padmasana, namun sekarang Padmasana menjadi pilihan terutama diluar Bali karena dianggap praktis, namun konsep Mpu Kuturan dengan Rong Tiga jangan dilupakan, artinya minimal dalam keluarga kecil ngelinggihang ”Kemulan Rong Tiga”, seperti halnya setiap awal mantram yang diawali ”AUM (Ang=Brahma, Ung=Wisnu, Mang=Siwa). Di beberapa desa di Jawa juga ada dijumpai pemujaan Tri Murti ini, hanya bentuknya 3 buah batu secara terpisah.

Sekarang mari kita melihat bagaimana perkembangan Pelinggih di Pura dan Mrajan pribadi apakah ada perbedaan atau perkembangan ?. Di Bugbug kita melihat ada Pelinggih Meru tumpang tiga (Ratu Pasek), sekarang setiap Pasek umumnya punya Pelinggih Meru Tumpang Tiga, padahal jika mengacu, bahwa itu adalah Mpu Ghana (salah seorang Panca Tirta) maka Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, boleh memuja leluhur lewat Meru Tumpang Tiga, karena Pasek keturunan Mpu Gni Jaya (tertua) dan Ida bagus, Anak Agung, I dewa, keturunan Manik Angkeran, dll adalah keturunan Mpu Bharadah (terkecil). Di Bugbug juga ada Pelinggih Menjangan Saka Luang berupa ”Saka” yang ditopang oleh Menjangan, itu adalah Pemujaan kepada Mpu Kuturan. Juga ada Pelinggih ”Bethara Bagus Bebotoh” itu adalah Danghyang Manik Angkeran (masih keturunan Mpu Bharadah) yang dari perkawinannya dengan putri Ki Dukuh Blatung yang bernama Ni Luh Pasek Prateka/ Warsiki, keturunannya dikenal dengan : Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, Arya Sidemen. Di Bugbug juga mestinya ada wangsa lain selain keturunan Panca Tirta, seperti : Arya Kuta Waringin keturunan dari putra Airlangga juga Arya Kebon Tubuh, dll. Kalau kita menegok kerumah, maka Pelinggih asli adalah ”Bale Lantang”. Jika diteliti disitu ada dua hal, yaitu satu ada Rong Tiga yang kemungkinan Kemulan, ada juga Rong Pitu. Untuk Rong Pitu jika itu Sapta Rsi (Sapta Pandita-Putra Mpu Gni Jaya di Lempuyang Madya) leluhur Pasek, itu mungkin saja karena jaman itu keturunan Sapta Pandita selalu menjadi Purohita di Bali dan Jawa Timur (Daha,Kediri, dll). Terbukti juga di Bugbug ada ”Pedukuhan” dimana Jro Dukuh adalah Purohita/Brahmana dari keturunan Sapta Pandita tempat warga Me-Siwa, hanya ketika Danghyang Nirarta dipercaya oleh Dalem Waturenggong menjadi Purohita maka beliau mengangkat 5 putranya menjadi Pedanda dan umat diminta Me-Siwa kepada mereka, disini peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bujangga Wesnawa dialihkan kepada Danghyang Nirarta, namun secara informal peran Dukuh dan Bujangga tetap ada. Kemungkinan yang lebih mengena atas Rong Pitu ini adalah ”Sapta Hyang”, yaitu Putra-putri Hyang Pasupati di Jawa Timur yang diutus ke Bali menjaga keseimbangan Bali dan ber-parhyangan di : Besakih (Bhatara Hyang Putranjaya), Lempuyang Luhur (Bhatara Hyang Gnijaya), Hulun Danu Batur (Bhatari Hyang Dewi Danuh), Batukaru (Bhatara Hyang Tumuwuh), Gn Beratan (Bhatara Hyang Manik Gumawang), Pejeng (Bhatara Hyang Manik Galang), Gn Andakasa (Bhatara Hyang Tugu) Catatan : Hyang Gnijaya adalah Leluhur Panca Tirta. Masing-masing beliau adalah Bhatara (Bhatr=yang melindungi) dan memuja Ista Dewata, seperti : Dewi danuh sebagai pengabeh Dewa Wisnu, dll. Sekarang ini banyak terjadi penambahan Pelinggih di Bugbug, seperti : Pelinggih Kawitan, Surya, Kemulan, juga Kembar, walaupun ini tidak salah tetapi telah berubah dari konsep awal warisan Mpu Kuturan. Munculnya Pelinggih Kawitan karena memang jaman dulu ada istilah ”Nyineb Wangsa” yaitu menghilangkan asal-usul mungkin karena menyembunyikan diri, ada juga ”Petite Wangsa” yaitu dihilangkan asal usul oleh penguasa karena kesalahan, untuk di Bugbug mungkin Petite Wangsa dengan kesadaran bersama agar berfokus pada Bendesa sebagai pengikat desa. Sekarang ketika orang ingin mengenal dan bhakti pada leluhurnya yang sejati (mulai sekitar tahun 1960-an), maka itu bukan kesalahan. Pelinggih Kembar kemungkinan muncul lebih baru yaitu mungkin setelah Era Airlangga, yaitu Era Majapahit dan Dalem sebagai Adipati (wakil raja) di Bali, atau mungkin pada masa runtuhnya Majapahit dan di Bali muncul Raja-Raja lokal di sembilan kabupaten pada antara abad XV – XVI (abad XVI penjajah masuk dengan konsep Tri Wangsa dan Jaba). Pada fase ini ada istilah Manak Salah dimana jika Penguasa yang melahirkan kembar buncing dianggap anugrah sedangkan jika rakyat dianggap petaka. Penghormatan yang tinggi kepada Kembar Buncing ini bisa dianalogkan dengan penghormatan kepada kembar biasa (bukan buncing), ini hanya analisa sebaiknya kedepan diteliti lebih jauh karena dengan konsep ”Dewa Hyang”, maka sesungguhnya semua yang sudah lebur Panca Maha Bhuta (stula sarira) dan lebur Astral/badan halus (Suksme Sarira) dilinggihang di Kemulan merage Dewa Hyang.

Fenomena sekarang dimana ”Warga Bugbug” karena mengenal ajaran Bhakti pada leluhur sehingga banyak yang mulai mencari jati diri leluhurnya, perlu disikapi dengan bijaksana karena sekali lagi Bhakti pada Leluhur adalah tindakan yang benar sesuai ajaran Hindu. Bagi yang tahu dirinya Pasek silahkan jika mau bergabung dengan MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi), bagi Pande silahkan kalau bergabung dengan ”Maha Semaya Warga Pande”, Trah dalem silahkan ada ”Para Sentanan Dalem Tarukan”, para Arya keturunan Manik Angkeran silahkan ada ”Sentana Wang Bang”, dan lain-lainnya, tetapi ada hal yang sangat penting, bahwa leluhur kita sudah ratusan tahun menetap di Bugbug dan melepaskan identitasnya, kita sekarang boleh saja tetap mengerti identitas/jati diri kita, tetapi kesadaran yang paling utama adalah, kita semua adalah ”Warga Bugbug” dan mari bersama-sama bersatu sebagai orang bugbug.

Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-06-2009.
SISI LAIN MEMAKNAI KEGIATAN KEUMATAN


Sebagai masyarakat social, maka keseharian kita tidak akan terlepas dari kegiatan kemasyarakat mulai dari tingkat banjar sampai kepada tingkat nasional. Apalagi masyarakat Hindu di Bali atau yang sudah merantau, akan selalu mengalami kegiatan keumatan, misalnya saja “Perayaan Nyepi/ Tahun Baru Saka” yang baru kita lewati. Kegiatan ini adalah termasuk kegiatan suci sehingga perlu didasari oleh kesadaran-kesadaran hati para fihak yang terlibat sehingga menghasilkan kesuksesan bersama skala-niskala.

Untuk memaknai kegiatan keumatan ini, ada sebuah lagu rakyat yang biasa dinyanyikan oleh para orang tua di Bali Utara daerah kelahiran penulis, tidak tahu apakah didaerah lain di Bali juga ada lagu ini. Bait lagunya seperti berikut :
Bibi Anu lamun payu luas mandus
Antenge tekekang yatnain ngabe mesui
Tiyuk puntul bawang anggen sesikepan.

Bait-bait lagu diatas pasti banyak dari kita yang sudah pernah mendengarnya, biasanya dinyanyikan oleh para ibu ketika menggendong anaknya, tetapi lagu ini menjadi tidak biasa ketika dinyanyikan dan diterjemahkan oleh Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra ketika penulis hadir di Geria beliau Taman Wilaya Asrama-Baleagung, Buleleng. Nyanyian tersebut memberi nasihat kepada kita yang akan melaksanakan kegiatan suci (Mandus = mandi), bahwa perlu kewaspadaan (Antenge tekekang=kencangkan ikat pinggang), yang paling penting adalah menjaga mulut/perkataan dan juga sikap agar tidak menyinggung orang lain (simbolisasi Mesui dan Tiyuk puntul/pisau tumpul), jika hal ini bisa dilakukan, maka akan menjadi berwibawalah acara tersebut (bawang = bawa/wibawa).

Hal lain yang perlu juga direnungkan adalah, bahwa dalam setiap kegiatan keumatan Ajaran Catur Warna tercermin didalamnya. Catur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna“ dan „karma“ dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Tentang Catur Warna ini termuat pada : Yajur Veda, Bhagawadgita, Manawa Dharmasastra, Sarasamuscaya, dan juga Kitab Mahabharata. Bhagawadgita IV.13 dan XVIII.41 , menyebutkan : Varna seseorang didadasarkan pada guna dan karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan Varna seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Kita coba lihat Catur Warna ini dalam kegiatan keumatan. Masyarakat yang terlibat didalamnya akan terlihat Guna dan Karmanya masing-masing. Ada yang mampu dengan Ide-idenya (Brahmana), Kepemimpinan lapangan (Ksatrya), Yang mengurusi keuangan atau konsumsi (Wesya), dan yang berkarma dengan tenaganya (Sudra). Walaupun guna dan karmanya berbeda tetapi merupakan suatu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling melengkapi serta tidak ada yang lebih tinggi. Setiap pelaku kegiatan keumatan akan ada yang guna-karmanya dominant dan menjadi lengkap setelah bergabung dengan guna-karma lainnya. Bayangkan saja jika hanya ada Ide saja tetapi tidak ada yang memimpin realisasinya atau tidak ada yang terjun bekerja, maka tujuan dari kegiatan tersebut tidak akan tercapai. Tidak ada yang bisa mengklaim, bahwa keberhasilan kegiatan ini karena satu guna-karma, misalnya hanya karena kepemimpinan lapangan saja, guna-karma yang satu tidak bisa mengabaikan guna-karma yang lain apalagi mencemoh, misalnya terhadap yang hanya mampu mengeluarkan ide saja tidak bisa di-cap hanya bisa ngomomg saja karena itulah anugrah Hyang Widhi kepada orang tersebut. Sehubungan Guna-Karma ini adalah suatu kesatuan, maka tidak boleh ada yang berpendapat : Jika bukan karena kepemimpinanku maka kegiatan ini tidak akan jalan, atau kalau bukan karena sumbangan dana-ku, maka kegiatan ini tidak berjalan. Pendapat-pendapat seperti itu adalah bentuk ketidak-tahuan akan hakekat dari guna-karma seseorang, dan bisa juga berarti bentuk ego seseorang yang ingin mempopulerkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Jika sikap seperti ini ada pada pelaku-pelaku kegiatan kemasyarakatan, maka ini adalah tanda-tanda kegagalan. Walaupun suatu aktifitas berhasil dijalankan tetapi tidak membuahkan kepuasan kepada semua fihak jadi keberhasilan yang semu.

Intisari dari hal diatas adalah sudah waktunya kita kembali mengingat ajaran-ajaran para orang tua atau leluhur yang sering terlihat sederhana tetapi ternyata mengandung makna yang dalam yang sering kita abaikan karena larut pada kehidupan moderen atau manajemen moderen yang tidak selalu cocok dengan kehidupan masyarakat kita. Disamping itu sudah waktunya kita menerapkan ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari termasuk Ajaran Catur Warna yang begitu menghargai profesionalisme dimana oleh Manajemen Moderen disebut dengan The Right Man on the right place. Dan sudah waktunya juga kita melihat diri sendiri supaya bisa mengenal orang lain. Selamat menghayati Guna & Karma masing-masing.



Penulis,


Nyoman Sukadana 13-03-2005
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
PERLUKAH KREMATORIUM
BAGI UMAT HINDU NON ETNIS BALI

Bali diakui sebagai tempat Hindu di Nusantara ini dipertahankan sehingga sekarang ini sudah bangkit kembali kesadaran ke-Hinduan bagi umat non etnis Bali yang disamping atas kehendak Hyang Widhi, maka bukti nyata adalah lewat keterlibatan orang Bali yang, yang umumnya karena merantau keluar Bali. Sebagai ibunya umat Hindu di Nusantara, maka ternyata Bali juga menyimpan permasalahan adat yang berpengaruh terhadap pelaksanaan upacara Yadnya, salah satunya adalah Pitra Yadnya atau Upacara Kematian menyangkut proses penguburannya atau kremasinya dengan sarana ”Krematorium”. Hal yang berkembang atau setidaknya aplikasi Hindu moderen, adalah saat dimana umat Hindu di Jawa sedang menggali peninggalan ”Acara Pitra Yadnya” yang disebut ”Entas-Entas (di Jawa Timur) atau ”Entas Pitulus (di Jawa tengah)”, malah bali sudah sampai kepada bentuk kremasi dengan sarana Krematorium. Jangan-jangan kebiasaan ini akan terbawa ke Jawa seperti ketika orang Bali begitu bangganya melaksanakan Pancawalikrama di Candi Ceto dengan tradisi Bali bahkan diliput berbagai Media Masa, maka mungkinkah hal yang sama akan ditularkan kepada umat Jawa dalam hal krematorium ini. Kalau itu terjadi, maka perlu dicermati lebih dalam ”perlukah krematorium bagi umat Hindu non etnis Bali”, karena Pitra Yadnya yang dilaksanakan di Bali sekarang saja sedang mendapat penyempurnaan dan penyederhanaan seperti : Ngaben gotong royong misalnya, lalau sekarang muncul krematorium pada saat kita rindu melihat Hindu itu di tanah Jawa yang murni dengan tradisi Jawa. Pelaksanaan Entas Pitulus adalah salah satu upacara Hindu yang perlu diangkat agar kita dapat melihat kembali Hindu yang pernah jaya di tanah jawa ini. Pelaksanaan upacara kematian dan Pitra Yadnya umat Hindu diluar bali lainnya seperti : Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, juga perlu diangkat agar kita semakin melihat benang merah pelaksanaan upacara Hindu antar masing-masing daerah.

Kembali kepada Bali, maka permasalahan adat yang tidak mendukung seharusnya tidak menyebabkan umat kemudian ngambul (ngambek) dan mengeluarkan ide untuk lepas dari keterikatan adat dan melakukan Pitra Yadnya dengan jalan Krematorium sehingga tidak perlu melibatkan masyarakat desa. Dari beberapa tulisan yang ada, banyak yang ingin adat Bali tetap eksis karena itu kekuatan Bali yang adalah juga ajegnya Hindu, kalau memang sepakat, bahwa adat/tradisi bali perlu tetap di jaga kelestariannya, maka tentunya kita sepakat juga untuk sama-sama berusaha apakah itu lewat prajuru adat, Majelis Desa Pakraman, atau lewat LSM Hindu untuk bergerak bersama meluruskan adat yang keliru sehingga upacara Pitra Yadnya atau kematian apakah dengan sarana krematorium atau tetap secara tradisi (dibakar) tetap bisa dilakukan tanpa perlu ngambul, karena jika ada yang berbeda atau keluar dari keterikatan adat sesungguhnya adalah sudah terjadi dis-harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, dan sudah pasti menyimpang dengan ajaran agama. Maka dari itu sebelum bertindak lebih lanjut, maka kembali dulu kepada akar permasalahan dimana kalau adat penyebabnya, maka satukan langkah untuk mengatasi hal itu. Untuk di Jawa atau daerah lainnya, maka biarlah mereka bangkit dulu tradisi pelaksanaan upacara Hindu yang mereka punya, karena banyak tradisi Jawa yang sudah dilaksanakan secara rutin, seperti kembali ke kasus Ceto, dikatakan umat Jawa belum mampu melaksanakan secara tradisi Jawa (Hindu) sehingga umat dari Bali perlu melaksanakan Pancawalikrama secara tradisi Bali, padahal umat Jawa sudah memiliki upacara-upacara, seperti : Ruwatan Bumi, Entas Pitulus, Mondosio, dan sebagainya yang mengandung ajaran Hindu hanya saja karena belum banyak orang seperti Pandita Broto Sejati (Romo Maming) maka belum banyak tradisi Jawa yang bisa dikupas apalagi diangkat kepermukaan. Romo maming, sangat antusias mendukung para sesepuh-sesepuh Jawa yang masih memiliki prasasti atau catatan-catatan, bahkan yang sudah melaksanakan tradisi Jawa ini yang perlu diteliti oleh para Sulinggih dari Jawa, karena tidak akan dipahami oleh orang Bali sendiri walaupun itu Sulinggih. Penulis khawatir akan dipengaruhinya tata cara seperti krematorium ini kepada pelaksanaan Pitra Yadnya di tradisi Jawa, karena Entas Pitulus saja sudah ada umat berpendapat harus dipuput oleh Sulinggih dari Bali. Ini yang selalu dikhawatirkan, bahwa Bali akan mendominasi Jawa bukan memuntun Jawa mendapatkan jati dirinya.

Sebagai akhir kata, mari kembalikan masalah Pitra Yadnya atau Upacara Kematian ini kepada para Sulinggih kita baik asal Bali atau luar bali, karena mereka tentunya lebih bijaksana melihat sesuatu sebab memiliki dasar Sastra Agama yang bisa dijadikan pedoman. Para intelektual Hindu atau para tokoh masyarakat yang terlibat dengan hal ini juga silahkan memberikan masukan, tetapi pada akhirnya yang dijadikan pedoman adalah ”yang bisa disepakati bersama dengan dasar sastra Hindu” bukan berjalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya Bali akan berbeda-beda dalam pelaksanaan ritual yadnya bukan karena demokratis tetapi karena para umat dan tokohnya tidak mau bersatu, dan terkotak-kotak dalam ritual yang tidak ada perekatnya. Bagaimana Bali bisa dipercaya oleh Jawa untuk jadi penuntun ?,


Penulis :

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
18-12-2007
MENYIMAK ERA KEPEMIMPINAN
KYAYI I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

Tidak bermaksud mengungkap feodalisme atau nepotisme dimasa lalu, namun sejarah mencatat, bahwa ”Kepemimpinan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” banyak yang bisa diambil makna positif bagi ikatan pasametonan warga Pasek. Melalui membaca kisah-kisah jaman itu bahkan jaman sebelumnya seperti masa Sang Catur Sanak ke Bali, maka ada satu hal yang perlu disimak dan diteladani, yaitu ”Terjadi hubungan kekerabatan yang baik dan bersatu diantara semeton Pasek”, sebuah bentuk pendidikan hal pasemetonan yang sangat berhasil ditanamkan oleh leluhur kita dijaman itu. Dapat diketahui, bagaimana ketika pada abad XIII (sekitar tahun 1350) ”Dalem Kresna Kepakisan” memimpin Bali sebagai Adipati bawahan Majapahit menggantikan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel, dan terjadi pemberontakan beberapa desa oleh orang Bali Mula, karena Dalem terlalu memaksakan gaya Majapahit ke Bali dan menempatkan petinggi hanya dari para Arya Majapahit, yang akhirnya atas bantuan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel perselisihan dapat dihindari, sehingga suara rakyat Bali bisa di-adopsi. Untuk menghargai jasa Pasek Gelgel dan menjaga keamanan Bali, maka sekali lagi dengan kekerabatan yang baik semeton Pasek menempati pos-pos penting di Bali baik sebagai Bendesa, tameng wijang, bahkan Purohita karena memang demikian sebelumnya. Ahli sejarah menyebut yang dikatakan ”Priyayi” pada era sebelum Majapahit adalah semeton Pasek Pratisentana Mpu Gni Jaya. Dijaman sekarang, saudara kita para Ida Bagus terlihat menggunakan pola yang kurang lebih sama seperti Era Pasek Gelgel, karena dengan kesadaran yang sama sesama Ida Bagus memiliki ikatan persaudaraan dan kesamaan visi yaitu ingin tetap memberi andil kepada umat sehubungan mereka sudah dikenal sebagai Trah Brahmana, ini yang positif karena ingin tetap berguna buat umat manusia. Yang negatif tentunya kalau mereka aktif hanya sebatas mempertahankan statusquo (derajat), ini yang tidak perlu kita tiru. Kembali ahli sejarah menyebutkan Priyayi setelah era Majapahit adalah para ”Tri Wangsa” walaupun hal ini telah dimanfaatkan oleh penjajah yang masuk abad XVI dengan menjadikan Kasta.

Lalu bagaimana Semeton Pasek sekarang ini? Apakah hubungan kekerabatan yang sangat dekat itu masih ada dijaman sekarang? Jawabannya : Kekerabatan ada hanya belum sempurna seperti Era Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel. Memang sekarang sudah terbentuk Ikatan Pasametonan ”MGPSSR” namun ini baru sebatas organisasi saja, masih belum secara hati-nurani. Semeton Pasek sekarang ibarat baru bangun tidur, dimana sempat terlena selama ratusan tahun dan lupa dengan jati dirinya sebagai ”Trah Pandita Jati – Warih Mpu Gnijaya”, sebagian besar masih ada ditataran bawah yang masih belum mengenal dirinya (Pasek Paling) yang sering dimanfaatkan oleh para statusquo untuk menjadi Parekan atau Nyurya tidak pada sesane yang seharusnya. Para intelektual Pasek sering tidak bersatu bahkan saling menganggap diri lebih sehingga justru berdebat dengan sesama Pasek. Yang sangat menyedihkan ditataran Sulinggih juga kadang tidak nyaman, walau bukan dalam pengertian berseteru tetapi lebih pada ”ketersinggungan”. Atas dasar kegundahan ini ”penulis” mohon petunjuk kepada ”Pandita Mpu” lainnya kenapa ini bisa terjadi, kenapa semeton Pasek bahkan Sulinggih kadang belum satu rel, jawaban Pandita Mpu yang penulis renungkan adalah : ”Nanak, mungkin kita ini masih kena Bhisama (belum bersih) karena sudah sekian ratus tahun melupakan jati diri, biarkan waktu berjalan semoga kedepan keadaan akan menjadi lebih baik dan Pratisentana Pasek bisa menyatu seperti jaman para Mpu leluhur kita dulu”. Jawaban ini sedikit memberi ketenangan kepada penulis, sehingga muncul harapan untuk masa depan terciptanya pasemetonan yang baik. Yang perlu juga dijadikan renungan adalah pendapat dari para pejabat kita agar Ikatan Pasemetonan ini tidak menjadikan eklusif sehingga tidak menyatu dengan wangsa/clan lainnya, karena tujuan ikatan ini adalah mengenal jati diri leluhur kita dan meniru sesane yang baik sehingga ada ucapan ”Pasek = Patitis Sesane Kawitan”. Apakah kita perlu bangga dengan leluhur kita, jawabannya ”harus bangga”, tetapi jangan berhenti sampai disitu saja, karena kalau hanya sebatas bangga, maka kita akan pamer dan cendrung akan merendahkan clan lainnya tanpa membawa kemajuan bagi diri kita sendiri, jadi yang diperlukan meniru walau tidak persis sama minimal kita melatih diri untuk berjalan ditataran yang benar sesuai yang digariskan ajaran Hindu dan Bhisama Bhatara Kawitan. Yang patut disayangkan, masih banyak yang belum berani mengakui dirinya Pasek, bagaimana bisa orang yang tidak menghargai dirinya sendiri bisa meniru jati diri leluhurnya. Inilah pekerjaan rumah bagi kita ”Pratisentana Mpu Gnijaya”.

Diujung tulisan ini, penulis teringat kembali renungan disuatu malam pada tahun 2003, dimana sambil menulis artikel, penulis menangis tanpa sebab musabab seperti merasakan bagaimana sayangnya Bhatara Kawitan kepada kita semua yang seperti mengetahui, bahwa dikemudian hari kita akan melalaikan kewajiban sebagai warih Pandita Jati dan ratusan tahun akan menurun tingkat keutamaan kita, itulah sebabnya dari awal leluhur meminta untuk membuat silsilah pasemetonan dalam lontar dan diteruskan kepada generasi berikutnya, serta diikat oleh Bhisama seperti ”tidak boleh melupakan Catur Parhyangan” serta ”saling menghormati sesama purusa Pasek”. Roda jaman sudah berputar terus, lewat lahirnya Pandita Mpu tahun 1960-an maka perbaikan keutamaan semeton Pasek sudah dimulai, hanya memang seperti Wejangan diatas, mungkin kita masih belum bersih dari Bhisama, itu tidak apa yang penting mulai sekarang jangan lagi ada perselisihan sesama semeton Pasek, dan ampure kepada Para Sulinggih Mpu, jangan mudah tersinggung, sehingga kedepan kejayaan Warih Mpu Gni Jaya akan bangkit kembali dan setelah bangkit jangan lupa membantu orang lain dengan apa yang kita bisa : Punia, jnana punia, atau apapun.

Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam

Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha

Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
12-10-2009.
TIRTAYATRA KE PURA SEDALEMAN – MUNGGUR – MOJOGEDANG - KARANGANYAR


Didaerah Karanganyar-Jawa Tengah banyak terdapat kantong-kantong Hindu umat asal Suku Jawa, mereka tersebar dibeberapa dukuh dan dusun dimana umumnya masuk kedalam dilereng Gunung Lawu dan agak jauh dari pusat kota Karanganyar. Sesuai Program yang dicanangkan untuk terbinanya komunikasi dengan Umat Hindu dipedesaan ini, maka Umat Hindu yang tergabung dalam Banjar Solo Timur rutin setiap 3 bulan mengadakan Tirtayatra dan pada minggu 30 Juli 2006 Tirtayatra ke Pura Sedalemen, di Dukuh Siwalan, Dusun Munggur, Kec.Mojogedang, Karanganyar yang jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota Karanganyar. Rombongan yang berangkat sekitar pukul 08.30 wib sampai sekitar pukul 09.00 diterima oleh umat Hindu di Dusun Munggur ini dengan ramah. Acara dimulai dengan Persembahyangan bersama dipimpin oleh Jro Mangku Pasek, disertai Jro mangku Made Murti dan Pinandita setempat yaitu Jro Mangku Suminto (73 th) dan Jro Mangku Wayan Puja. Selesai persembahyangan acara ramah tamah dimulai dengan moderator Sekretaris Banjar Solo Timur Nyoman Chaya. Sambutan diawali oleh tuan rumah diwakili oleh Jro Mangku Suminto dan dari Banjar Solo Timur oleh Ketua Banjar Made Suastika. Acara selanjutnya adalah ramah tamah dan berbagi pengalaman dengan diawali oleh Suyitno yang merupakan sesepuh yang menguraikan keberadaan umat Hindu ditempat itu dan sekitarnya serta proses pembangunan Pura Sedaleman. Dari Banjar Solo Timur diwakili oleh Nyoman Sukadana, Jro Mangku Pasek, dan I Gusti Bagus Natapati. Selesai bertukar pengalaman dilakukan serah terima sekedar dana punia umat Banjar Solo Timur. Acara diakhiri dengan Parama Santi dan menyantap makanan yang disediakan umat setempat berbaur dengan makanan yang dibawa sendiri oleh pemedek, dan sekitar pukul 14.00 umat Banjar Solo Timur berpamitan dengan harapan apa yang telah terjadi hari itu dapat membuahkan suatu kebaikan dimasa mendatang.

Sekilas Sejarah Keberadaan Umat Hindu Dusun Munggur dan Pura Sedaleman

Umat Hindu Dusun Munggur dan umat Hindu disekitar Lawu lainnya adalah orang-orang yang luar biasa. Keyakinan mereka terhadap agama Hindu sangat kuat dan loyalitasnya sangat tinggi. Hal itu bisa dibuktikan kalau kita mengikuti sejarah keberadaan mereka. Sebelum tahun 1968 keberadaan umat Hindu ini masih belum terlihat dipermukaan namun keinginan dari para tokoh waktu itu sangat kuat agar eksistensi mereka bisa terlihat publik. Melalui pertemuan-pertemuan kecil oleh tokoh-tokoh umat di Dusun Munggur dan tokoh umat lainnya dari Dusun lain seperti Jenawi, Ngargoyoso, dll .dengan tokohnya Supanggih, Sudarsono, dan lain-lain, maka pada Tahun 1968 melalui rapat dirumah Sudarsono terbentuklah PHDI Karanganyar. Dengan terbentuknya PHDI ini yang merupakan lembaga tertinggi umat Hindu, maka secara legal umat Hindu di Karanganyar ini sudah memiliki payung. Kembali ke Dusun munggur, maka generasi berikutnya seperti Suparno dan Suyitno pada tahun 1971 ikut melakukan pembinaan-pembinaan kedusun-dusun lainnya, seperti Jenawi dan Kemuning untuk mengobarkan semangat ke Hinduan warga yang memang mendapat banyak tantangan seperti masalah perkawinan, KTP, dan lainnya juga tuduhan tokoh-tokoh ini mengagamakan orang lain. Pada tahun 1980 dengan diawali oleh ketiadaan Guru Agama Hindu anak SD di Dusun Munggur, maka Suyitno dan kawan-kawan mendirikan Yayasan untuk mengadakan Kursus kilat Guru Agama Hindu dan akhirnya keluar Surat Rekomendasi dari Dept.Agama Karanganyar Marzuki, Bupati Waluyo dan Dept.Pendidikan. Atas hal itu, maka dari Pusat yang waktu itu dipimpin Gede Puja mengijinkan untuk menjadi Guru Agama Hindu dan keluar SK dengan siswa pertama sekitar 30 orang. Pada tahun 1980 itu juga berdiri Pura Sedaleman yang melalui perjuangan yang cukup keras, dimana para tokoh sampai perlu mendatangi Bali untuk memperoleh donatur dari Gubernur Bali, dan donatur lainnya, bahkan sampai menghubungi Pejabat orang Hindu di Sekretariat Negara untuk memperoleh gambar karena umat ini belum tahu bentuk bangunan Pelinggih seperti apa, walau akhirnya gambar diperoleh dari Ketut Wiana. Akhirnya lewat Yayasan PGA Hindu Negeri yang diketuai Gede Sura dikirim kebutuhan Pura dari Bali. Untuk keamanan diperjalanan sampai disiapkan Surat Ijin dari Putra Astaman yang waktu itu masih aktif. Pembangunan pagar dilakukan oleh DPU (Dinas pekerjaan Umum) yang memang ketentuan waktu itu sehingga tidak sesuai dengan keinginan umat setempat, selain pagar, maka tangga masuk ke Utama mandala yang justru turun (bukan meninggi) seperti umumnya, walau dicoba diberi penjelasan oleh Wayan Puja sebagai pertanda semakin keatas kita seharusnya semakin rendah hati. Atas restu Hyang Widhi, maka pada tahun 1980 itu berdiri Pura dan diberi nama PURA SEDALEMAN. Nama Sedaleman ini diambil dari nama Hyang Sedaleman yang diakui sebagi cikal-bakal umat disana yang petilasannya masih ada disebelah Pura (sekitar 15 M depan gapura Nista Mandala). Penghormatan kepada Hyang Sedaleman ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur (Kawitan di Bali), karena seperti diketahui jika silsilah keleluhuran di Bali tercatat dengan baik tetapi di Jawa hal itu putus setelah Majapahit masuk Agama Islam dan mereka tersebar kedaerah-daerah terpencil dan tidak meneruskan lagi dokumentasi garis keturunan seperti yang dilakukan leluhur di bali, sehingga yang paling dituakan dianggap sebagai cikal bakal (Kawitan) mereka dan itu adalah tidak keliru. Pada era 1990 banyak terlibat Romo Maming yang selalu terjun kelapangan membantu dengan tangan sendiri dan sebatas kemampuan yang ada sehingga bangunan sekarang ini terlihat kombinasi antara Bali dan Jawa buatan Romo Maming. Sekarang umat Hindu ini berjumlah 73 KK walau yang masih kuat Sradha dan Bhakti hanya 40KK, dimana disamping Sradha tadi maka penurunan terjadi karena perkawinan dengan suami umat non Hindu. Umat Hindu ini tersebar di 6 Dukuh, yaitu : Dk. Nglebak, Ngrau, Siwalan, Kauman, Munggur, Pojok. Persembahyangan biasa diadakan Selasa malam dan kegiatan khusus pada Kemis malam. Kedepan umat Hindu ini masih memerlukan informasi Media-media Hindu baik berupa buku, majalah, juga darmawacana/darmatula. Kebutuhan lainnya adalah perangkat untuk acara Kematian dan gemelan Jawa/Bali.




Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
31-07-2006
PERAYAAN NYEPI SISWA & GURU SD SE-SURAKARTA

Dalam rangkaian Perayaan Nyepi / Tahun Baru Saka 1929, umat Hindu dalam hal ini Guru-Guru SD Se-Surakarta mengadakan Perayaan Nyepi melalui kegiatan yang positif yang diselenggarakan pada 24 Maret 2007 di Pura Indraprasta–Mutihan-Sondakan-Laweyan-Surakarta. Seperti disampaikan oleh Sriyanto salah seorang Guru SD yang juga panitia menyampaikan tujuan perayaan Nyepi ini disamping untuk mempertebal Sradha dan Bhakti siswa, juga untuk mempererat kekeluargaan antar siswa dengan siswa dan dengan guru-guru. Seperti diketahui Guru Agama Hindu di Surakarta ini sangat terbatas jumlahnya dimana satu Guru Agama Hindu SD bisa mengajar di 2 – 5 SD, disamping karena siswa Hindu juga terbatas dimana satu sekolah hanya ada 1 – 3 siswa saja, namun guru-guru ini tetap tegar dan berusaha agar bendera Hindu tetap berkibar di sekolah-sekolah di Surakarta apalagi sekolah juga mendukung keberadaan guru-guru ini sebagai guru resmi. Permasalahan keterbatasan siswa ini juga terjadi pada tingkat SMP , SMA dan Mahasiswa, walaupun demikian karena dorongan orang tua siswa dan juga dukungan sekolah, maka untuk Tk SMP dan SMA siswa diberi pelajaran agama Hindu di Pura dan soal-soal diserahkan ke sekolah saat test siswa. Guru-guru Hindu ini ada yang dari jalur Depag dan Dekdikbud atau resmi tetapi ada yang bukan, khususnya pembelajaran agama Hindu di Pura, yang lebih karena inisiatif orang tua agar proses pembelajaran agama Hindu bisa diperoleh dan anak-anak tidak diberikan pelajaran agama lain di sekolah. Kedepan perlu penataan yang lebih baik dari PHDI dan Depag, untuk tercapainya pembelajaran agama Hindu di sekolah-sekolah dan Kampus dengan lebih baik dan Hindu melalui guru dan Dosen Hindu memperoleh penghargaan di sekolah dan Kampus.

Jalannya Perayaan
Perayaan Nyepi ini diikuti oleh sekitar 30 siswa SD se Surakarta klas I-V dengan 6 orang guru SD yang merangkap Panitia. Guru dan SD tersebut, yaitu : Sriyanto dengan 5 SD, Sugeng dengan 3 SD, Kadarwati 3 SD, Setyaningsih 3 SD, Sus Bastutik 2 SD, dan Sumini dengan 1 SD. Dana untuk acara ini dari bantuan sekolah, swadaya siswa dan tabungan siswa (Dana punia) yang dilakukan setiap pelajaran agama Hindu di sekolah sebesar Rp.1.000 – Rp.5000,- bersifat sukarela. Acara dimulai sekitar pukul 08.30 dengan Persembahyangan Bersama, dilanjutkan Sambutan-sambutan dari : Ketua PHDI Solo (diwakili Sekretaris IB Komang Suarnawa), Ketua Panitia – Sriyanto, dan Sesepuh umat Hindu – Sunarto,Sag. Dilanjutkan Lomba mewarnai Candi/Meru, melukis, dan Tri Sandhya. Setelah makan siang dilanjutkan dengan pembagian hadiah, sembahyang, dan Penutup sekitar pukul 12. Anak-anak siswa SD ini tampak menikmati sekali kegiatan lomba juga guru-guru penuh dedikasi mengemong acara ini sehingga berjalan dengan lancar sampai akhir. Sementara para orang-tua juga ikut berbaur dengan mereka dalam suasana kekeluargaan yang baik karena melalui acara ini mereka jadi saling mengenal umat Hindu lainnya yang memang tersebar di beberapa wilayah Solo dan sekitar seperti : Karanganyar, dan Sukoharjo yang mana umat Hindu dari Bali berkelompok kedalam Banjar Solo Barat, Tengah, dan Timur, jadi kali ini seperti bertemu dengan teman baru. Lomba Mewarnai dan Melukis dikelompokkan menjadi 5 Kelompok yaitu Klas I – V. Hasil Lomba yang diumumkan pada akhir acara serta pembagian hadiah adalah : Mewarnai : Kadek Wahyu Rustiani (Klp I), Ida Ayu Putri Astuti (Klp II), Artha Gendewa Putra (Klp III), Melukis : Pande Putu Dika (Klp IV), Klp V : Juara I – Dewa Ayu Putu Nadya H, Juara II-Kadek Sukma Asrita P, Juara III-Ni Made Gayatri. Tri Sandhya : Juara I-Putu Anom, Juara II-Dewa Ayu Putu Nadya H, Juara III-Wipra Nur Ananda. Hadiah juga diberikan kepada anak-anak yang dianggap berani atau membuat suasana gembira karena tampil Menyanyi, mereka adalah : Komang Srishti Pranisa, Tasya, Yoga, dan Metha.



Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-04-2007