Rabu, Februari 17, 2010

PERKAWINAN ANTAR BANGSA
DI PURA PEMACEKAN-KARANGANYAR-SOLO

Pengaruh Globalisasi rupanya tidak hanya terjadi pada perekonomian namun juga kepada komunikasi insan manusia hingga meningkat kepada terjadinya ”Perkawinan Antar Bangsa”. Perkawinan (Wiwaha Samskara)” antara dua anak manusia yang berbeda suku bangsa ini, dilangsungkan pada Jumat, 11 Desember 2009 sekitar Jam 07.30 sampai dengan jam 10 wib, di Pura Pemacekan, Karangpandan, Karanganyar, Solo-Jawa Tengah. Penganten lelaki adalah ”Sukamto” seorang umat Hindu etnis Jawa yang berasal dari Sukoharjo Jawa Tengah, sementara yang perempuan seorang wanita asal Hongaria bernama ”Agi”. Pada waktu yang ditentukan fihak keluarga pria yang sebagian besar beragama Islam bersama wakil pihak perempuan (keluarga angkat) umat Jawa setempat, keseluruhannya sekitar 25 orang, berkumpul di Jaba Tengah Pura Pemacekan, hadir juga Pinandita Atmo Sentono, wakil lembaga umat Hindu Karanganyar sebagai catatan sipil yang mengesahkan secara administrasi keumatan. Sarana upakara yang dipergunakan seperti umum di Bali berupa : Banten byekaon, prayascita, ayaban penganten-Semara Ratih, pengulap pengambean, dll. Prosesi Wiwaha Samskara dipimpin oleh ”Jero Mangku Ketut Pasek” Pemangku Pura Pemacekan, diawali penyucian (Byakaon), Ngayab, Purwa daksina, dll untuk kedua penganten dilakukan di Madya Mandala Pura pemacekan (didepan Candi Bentar) dengan Penganten dan keluarga menghadap ke Jeroan Pura. Setelah selesai penyucian diri, mereka kemudian berganti pakaian dan diijinkan masuk ke Utama Mandala (Jeroan Pura) untuk melakukan Sungkem kepada orangtua keduanya dan Puja Bhakti di dalam Petilasan sebagai simbolisasi ”Mrajan” kedua mempelai. Acara berikutnya ”Sudiwadani (upacara menyatakan diri masuk Hindu)” dilakukan di Bale Pawedan Pura Pemacekan, acara ini dirangkai menjadi satu (Wiwaha Samskara dan Sudiwadani) agar lebih effisien dari segi waktu dan biaya. Acara pokok Sudiwadani adalah mengucapkan ”Gayatri Mantram” dipimpin Jero mangku, mantram ini sebagai pintu pembuka memasuki gerbang Hindu sebagai keyakinan mereka, juga pemahaman ”Panca Srada” sebagai lima kepercayaan jika menyebut diri umat Hindu. Acara demi acara berjalan secara berurutan, akhirnya sekitar jam 10 wib semua proses Wiwaha Samskara tuntas dan kedua insan dua bangsa dan dua keyakinan berbeda pada awalnya, kini sudah resmi menjadi pasangan suami istri dibawah payung agama Hindu.

Prospek Hindu Era Globalisasi
Hindu adalah agama dunia atau agama umat manusia, maka sudah sepantasnya kita khususnya Lembaga Umat Hindu mensikapi hal ini dengan pola pembinaan umat yang dinamis. Hindu dan upakaranya bukan lagi hanya Bali dengan tradisi serta budayanya, karena ada etnis diluar bali bahkan diluar indonesia yang siap memasuki gerbang Hindu. Umat mancanegara sudah banyak yang masuk Hindu di Indonesia baik lewat perkawinan atau memang ingin mengerti dan menjadi pengikut Hindu dengan lebih dalam, bahkan sudah ada ”Pandita” dari etnis manca negara seperti Mpu Istri Ratu Bagus – Muncan Karangasem/Bali. Dalam hal Wiwaha Samskara, umat ini sudah tidak lagi mempermasalahkan : Upakaranya dengan banten bali, tempatnya di Petilasan (Pura Pemacekan), Pemangkunya etnis Bali (pengantennya Hindu etnis Jawa) , dan lain-lain, jadi sudah mulai tumbuh pemahaman umat, bahwa tata cara boleh saja berbeda-beda, namun mereka sadar yang dilakoni itu adalah salah satu tradisi upakara yang saripatinya adalah ”Tattwa Hindu”. Dengan pemahaman ini kedepan semoga umat yang menjalin kasih dengan warga negara lain tidak perlu lagi bingung apalagi sampai meninggalkan agamanya sendiri karena umat Hindu Indonesia bisa melaksanakan upakara Wiwaha Samskara walaupun sang Penganten berbeda suku bangsa, yang penting ada ketulusan hati untuk menjadi pemeluk Hindu yang baik bukan saja ketika Sudiwadani tetapi juga sampai pulang menyatu dengan Brahman.

Mengamati fenomena kawin-cerai dimasyarakat dewasa ini, maka ajaran Hindu menyebutkan :
”Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik daripada menggali seratus sumur, melakukan Yadnya itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga, mempunya seorang putra (anak utama) itu lebih berguna daripada melakukan seratus yadnya, dan... menjadi manusia setia itu jauh lebih tinggi mutu dan gunanya daripada mempunyai seratus putra”.

Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 13-12-2009
MENCERMATI ORGANISASI KEAGAMAAN HINDU

”Permasalahan membuat kita dewasa dan timbulnya ide-ide baru”, kalimat itu kelihatannya sangat pantas buat sebuah organisasi keagamaan yang namanya PHDI. Dualisme PHDI Bali yang menjadi pembicaraan yang tidak memberi kebanggaan apapun walau bisa dijadikan pelajaran berharga. Hindu itu skupnya Nusantara bahkan dunia bukan hanya dianut oleh orang Bali semata, namun ada Suku Jawa, Dayak Kaharingan, Sulawesi, bahkan juga pada tingkat dunia yang mungkin tidak paham apa sebenarnya yang diperebutkan di Bali. Pada tulisan ini jika prolognya masalah dualisme PHDI Bali, bukan berarti ikut meramaikan wacana yang lalu terkait dengan hal itu, tetapi karena topik yang dibicarakan diatas adalah ”Organisasi Keagamaan Hindu”, dimana kita menjadi bertanya apa perlu Organisasi keagamaan Hindu dan bagaimana sebenarnya kiprah organisasi tersebut dalam memajukan Hindu di Nusantara ini bahkan ketika berhubungan dengan penganut Hindu di Negara lain, seperti : India, Malaysia, dll.

Munculnya organisasi keagamaan Hindu sangat dibutuhkan karena semakin banyak muncul organisasi serupa ini akan banyak permasalahan umat Hindu yang bisa diatasi yang tidak mungkin bisa dilakukan sendiri oleh PHDI ataupun Dirjen Agama Hindu. Jadi munculnya Organisasi Keagamaan Hindu harus dilihat dari sisi yang positif. Yang penting adalah kehadiran sebuah organisasi itu memang punya niat yang mulia, tidak asal diada-adakan atau hanya asal berbeda, apalagi jika karena egoisme atau sikap tidak mau kalah anggotanya, maka ini tidak baik bagi perkembangan Hindu ditanah air. Jika kita menoleh kebelakang Organisasi keagamaan Hindu pasca tenggelamnya Raja-Raja Hindu (Majapahit Abad XV) sampai kepada jaman Republik, boleh dikatakan hampir tidak ada. Kalaupun pada sekitar tahun 1920 ada Perkumpulan Surya Kanta juga Bali Adnyana di Singaraja, itu lebih bersifat organisasi pembaharuan yang terkait dengan pembedaan hak-hak dan previlese yang waktu itu terbelah menjadi Tri Wangsa dan Jaba/diluar Puri (Sebutan yang sering dipakai oleh Surya kanta), walaupun akhirnya dua perkumpulan ini sama-sama tenggelam. Di era reformasi ini istilah Tri Wangsa dan Jaba sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman masyarakat Bali akan hakekat manusia menurut Weda juga pemahaman sejarah para leluhurnya yang masih satu keluarga. Organisasi Keagamaan yang jelas wujudnya adalah PHDI yang berdiri pada 23 Februari 1959. Organisasi Keagamaan ini sangat berperan besar dalam diplomasi sampai Hindu muncul dipermukaan sebagai salah satu agama di Indonesia. Sayangnya di abad XX ini kita mendapatkan kemunduran dengan terpecahnya PHDI Bali versi Campuan dan Besakih. Perbedaan yang pokok adalah Ketua Umum yang satu menginginkan Sulinggih (Versi Campuan) yang satu lagi Walaka, dimana Sulinggih di Sabha Pandita (Versi Besakih/ Ketetapan PHDI Pusat). Perbedaan lain tentu ada tetapi tidak perlu disampaikan karena kita tidak membahas itu.

Perbedaan ini berlanjut, sampai beberapa waktu lalu PHDI versi Campuan mengganti nama menjadi PDHB (Parisadha Dharma Hindu Bali) pada LokasabhaV di Pura Samuan Tiga Minggu 28 Januari 2007. Kata Samuan Tiga mengingatkan kita pada Mpu Kuturan yang atas permintaan Raja Udayana Warmadewa/ Gunapriya Darmapatni pada abad XI, datang bersama saudaranya Panca Tirta (kecuali Mpu Bharadah) dan mempersatukan 6 sekte Hindu di Bali, perwakilan Budha, dan Jawa (oleh Mpu Kuturan sendiri) sehingga Bali Dwipa aman, semoga kiprah para leluhur tersebut menjadi inspirasi para umat sekarang untuk mengutamakan persatuan dalam kedamaian. Organisasi keagamaan baru atau lama tapi nama baru silahkan saja yang penting apakah sudah benar mengambil perannya mengisi relung-relung permasalahan umat, sebaiknya kita belajar dan melihat Organisasi keumatan yang lain, misalnya saja yang banyak berkiprah pemudanya, seperti : FIFMD, WHYO (World Hindu Youth Organization), juga Peradah (Pemudanya PHDI) dan lainnya yang kiprahnya jelas untuk kemajuan Hindu. Juga apakah organisasi yang ada sudah benar saripatinya adalah Hindu yang bersumber pada Weda, baik Sruti berupa Mantra, Brahmana, Upanisad, dst, maupun Smerti berupa Wedangga, Upaweda, dst. Termasuk Bhagawadgita. Hal ini perlu dicermati. PDHB salah satu piagamnya menyebutkan: Identitas Agama Hindu Bali yang dilaksanakan dengan ciri-ciri menggunakan ”lontar” yang harinya diisi dari Sruti, Smrti, Darsana, Tantra dan unsur kearifan lokal. Dasar lontar tentu sesuatu yang aneh ditelinga kita megingat Weda dengan Sruti dan Smertinya juga Bhagawadgita sudah ada dalam bentuk Buku, namun biarlah jika PDHB memakai dasar itu dengan segala argumentasinya. Jika PDHB ini dilihat sebagai sebuah organisasi keagamaan Hindu, maka tidak perlu terlalu dipermasalahkan apalagi menjadikan polemik karena dasarnya pastilah Hindu, tentang apakah itu lontar, sebutan sulinggih, dan lainnya, yang perlu menjadi pegangan masyarakat adalah kewenangan PHDI Pusat dengan Paruman Sulinggihnya (Sabha Pandita). Jika kita menjadikan ini polemik, maka khawatir bisa muncul pikiran-pikiran yang ditunggangi oleh praduga atau analisa yang tidak jernih, misalnya : soliditas Sulinggih, padahal penulis sering tangkil (menghadap) ke Sulinggih Mpu maupun Pedanda dari mereka yang penulis dapatkan banyak justru ajaran kerohanian dan kehidupan, jadi jangan-jangan walaka ini yang terlalu jauh analisanya, atau seolah ada dikotomi antara Pedanda dan Non Pedanda, padahal di PHDI Pusat juga PHDI Bali (Besakih) ada Pedanda, Mpu, Bhagawan,Rsi. Lalu ketika ada kejadian katakan saja pemukulan di Pura yang notabene adalah oknum tidak perlu dikembangkan ke Soroh/Clan, juga praduga lainnya yang mungkin muncul misal seolah ada usaha dari ”Menak sebelum Majapahit / sebelum abad XIII” (Pasek, Pande, Bujangga) ingin mengambil alih ”Menak Pasca Majapahit” (Tri Wangsa), dan bentuk analisis lainnya, yang sebenarnya bisa disederhanakan, bahwa organisasi yang muncul baik itu PDHB atau organisasi lainnya bahkan yang akan muncul kemudian adalah terdiri dari orang atau kelompok orang yang sepaham yang tidak perlu dikaitkan menjadi kelompok, dikotomi soroh, dikotomi Sulinggih, dan sebagainya, sehingga organisasi itu perlu disambut secara positif. Umat Hindu di Bali khususnya yang diperantauan sudah banyak tahu sejarah para leluhur juga kebenaran masa lalu yang kadang ditutupi sehingga perlu diluruskan, namun sebagai informasi perlu juga dicermati keberadaan sebuah organisasi keagamaan Hindu, dengan cara : Yakini bahwa organisasi keagamaan itu membawa perbaikan skala-niskala, jika mendengar kata Ajeg baik Ajeg Bali/Hindu cermati apa yang di Ajegkan, jangan-jangan banten yang mahal (padahal Weda menyebut cukup Air,Api,Bunga,Buah) atau adat-adat yang tidak benar, cermati apa bersedia Muput dengan sesama Sulinggih yang berbeda asal sorohnya, cermati apa masih membedakan manusia (Hindu mengenal Tat Twam Asi), cermati apa ada tujuan Politik/ Money Politic, dan lain sebagainya. Terhadap organisasi keagamaan Hindu katakan PHDI, terlalu jauhlah kalau kita mencoba membandingkan dengan NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhamadiyah di Umat Islam. NU dan Muhamadiyah intinya tetap adalah Islam / Quran, walau NU masih menerima tradisi dalam kesehariannya, seperti Tahlilan 7 hari/40 hr, sementara Muhamadiyah tidak Tahlilan walau tetap ada Doa secara Islam, Bagaimana dengan Hindu, apa kita juga latah dan ingin ada perbedaan dari organisasi keagamaan kita. Apa kita senang kalau Nyepi ada 2 kali karena tokoh umatnya ingin berbeda, walaupun di India juga Nyepi dilaksanakan 3 kali, bagi penganut Kalender Candra, Surya-Candra, dan Pemerintah (21 Maret), tetapi tentu akan lebih baik jika merayakan sama-sama pada hari yang sama dengan : akur, Adung, Guyub (bahasa Jawa). Kata orang bijak : ”Vas Bunga yang berisi bunga yang berwarna warni akan terlihat Indah”, namun bagi kita tetap lebih indah kalau bunga yang berbeda-beda itu menjadikan dirinya menyatu dalam persembahan kepada Sang Pencipta.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-02-2007.
SOROH (CLAN) DI BALI TERKOTAK , DILUAR BALI BERSATU

Soroh / Clan di Bali pada awalnya mempunyai dasar atau alasan yang baik, yaitu agar ”Pasemetonan/persaudaraan” tetap terjaga, itulah sebabnya di Bali banyak dijumpai perkumpulan-perkumpulan satu trah (satu kawitan). Organisasi Clan/soroh kini memang bertebaran di Bali. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat sejalan kesadaran dan keinginan tiap warga yang merasa berasal dari satu wit (asal mula) untuk mempersatukan diri.
Studi mengenai gerakan kewargaan (clan/soroh) di Bali yang disusun I Gde Pitana, guru besar Fakultas Pertanian Unud, menunjukkan hingga tahun 2000 ada 32 organisasi kewargaan di Bali, dari jumlah tersebut, malah ada yang sudah terbentuk sebelum Indonesia merdeka. Itulah Keluarga Besar Bhujangga Waisnawa, terbangun tahun 1930, kemudian direorganisasi tahun 1951 dan 1982. Tahun 1950, berdiri organisasi warga Arya Kenceng Tegeh Kori. Pada 1962, terbentuk ikatan kewargaan Keluarga Besar Arya Kepakisan Dauh Baleagung.
Masyarakat Bali yang tergabung dalam warga Pasek membangun organisasi Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dibentuk pada 17 April 1952. Adapun Maha Gotra Sentanan Dalem Tarukan berdiri tahun 1980. Warga yang bersatu dalam wadah Brahmana Siwa adalah mereka yang merasa dari keturunan Dang Hyang Dwijendra. Kemudian warga yang mengakui Bang Manik Angkeran sebagai leluhurnya, maka akan menyatukan diri dalam ikatan organsasi trah Manik Angkeran, dan banyak organisasi soroh/clan lainnya atau yang mungkin akan terbentuk. Jika kita tarik garis keatas, maka orang Bali sebenarnya banyak berasal dari leluhur yang sama, namun karena perkembangan jaman dan jumlah prati sentana, maka untuk menjamin komunikasi lebih cepat dan effektif, maka kelompok ini menjadi semakin banyak dengan anggota yang lebih terbatas, itulah sebabnya sekarang banyak muncul kelompok-kelompok soroh yang beberapa dari kelompok itu adalah masih satu leluhur. Pada pandangan positif, maka organisasi ini akan membawa suatu kebaikan dimasa mendatang karena niat awalnya baik, seperti : MGPSSR mendasarkan pada Bhisama Leluhur agar para Pratisentana tidak menganggap saudara Pasek lainnya tidak lebih jauh dari sepupu, sehingga rasa persaudaraan yang tinggi sebagai bentuk bhakti pada leluhur. Soroh/clan lainnya tentu mempunyai alasan yang sama. Jika kita evaluasi kenyataan yang ada, maka organisasi soroh ini menjadi ternoda atau keluar dari visi awal dari leluhurnya (kekeluargaan) menjadi kelompok exclusive bahkan kelompok satu merasa lebih tinggi dari lainnya, ini yang tidak baik bagi perkembangan kedepan. Jadi kesimpulannya sosoh/clan di Bali sudah terkotak-kotak dengan kadar kesadaran kebersamaan yang perlu dipertanyakan.

Di luar Bali, misalnya di Jawa, karena orang Bali merasa dirantau, maka semangat persatuan lebih baik, ditambah lagi dengan adanya umat non suku Bali, seperti Suku Jawa, maka memaksa mereka harus bisa bersatu dengan sesama umat Hindu itu dan melapaskan soroh/clan mereka. Walaupun demikian watak exclusive bahkan merasa lebih tinggi tetap masih ada dibeberapa umat Bali khususnya yang pola pikirnya masih ke-Balian dilain fihak ada yang merendahkan dirinya dan cukup bangga bahkan tidak merasa telah menjadi rendah. Secara umum kedepan pola pikir ke-Balian itu akan tergerus oleh perkembangan jaman dan akan dipaksa oleh keadaan untuk meninggalkan pola pikir exclusive tersebut, sebab ini tidak baik bagi perkembangan Hindu kedepan. Media yang bisa membuat ini tercapai adalah di Pura karena Pura punya fungsi horizontal (social function) yang mengikat kekerabatan menjadi sesuatu yang berharga dan prioritas. Salah satu yang mempunyai misi itu adalah „Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita di Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah“. Dari awal para Sesepuh sudah menilai, bahwa Pura ini akan menjadi „Pancer“ penyatuan umat dari berbagai Soroh/Clan, suku, bahkan tidak menutup kemungkinan umat manusia. Karena Pura ini Parhyangan Pasek, mungkin ada umat yang masih risih bahkan mungkin khawatir akan keagungan tempat ini dikemudian hari terutama yang pola pikirnya ‚kebalian“, tapi sejalan dengan perkembangan jaman, maka waktu yang akan membuktikan, bahwa Pura ini adalah Pura Persatuan. Umat dari Mahasiswa, umat Hindu pada umumnya, bahkan umat beragama lain, telah merasakan aura persatuan itu. Pura lainnya seharusnya bisa melakukan hal yang sama.

Lalu, apa hal lain yang bisa dilakukan agar keberadaan suatu Organisasi keumatan yang bernuansa spiritual bisa memberikan dampak positif bagi perkembangan Hindu ? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti :
1. Silahkan bergabung dalam kelompok-kelompok spiritual apapun selama itu untuk kebaikan, karena secara manusiawi manusia akan mencari kelompok yang sejalan dengan visi dalam dirinya. Jadi ini seperti Forum diskusi.
2. Jangan exculusive, tetapi berbaurlah walaupun kita mempunyai kelompok disisi lainnya, karena manusia butuh bermasyarakat.

Penulis,

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo
18-09-2008.
WILUJENG SURO - DI DUKUH PASEKAN

Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, yang lebih dikenal dengan ”Pura Pemacekan” keberadaannya dilingkungan masyarakat yang bukan etnis Bali dan sebagian besar (99%) bukan umat Hindu, namun mereka juga adalah umat yang sejak dulu menjaga bahkan melakukan ritual di Petilasan, sehingga ada ikatan emosional dan psychologis dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan mereka). Hal ini merupakan situasi yang tidak mudah bagi umat Hindu khususnya Pengempon dari sisi komunikasi, dimana hubungan yang baik agar bisa tetap terjaga. Setiap piodalan masyarakat di dukuh Pasekan selalu diikutkan dalam kegiatan kerja-bhakti, juga parkir, dan jualan makanan/minuman, sehingga mereka merasakan manfaat dari keberadaan petilasan. Saat ini penduduk setempat sedang membuat ”Reog Singo Pasek” yang membutuhkan Gamelan dan sarana lainnya. Salah satu yang juga perlu didukung dan dijalin kerja-sama adalah kegiatan ’Tradisi Suran/ Wilujeng Suro” yang bagi umat Jawa tradisionail (yang masih melakukan tradisi) adalah sesuatu yang tidak berani dilanggar untuk tidak dilakukan. Situasi ini merupakan media yang bisa digunakan kedua fihak untuk menjalin komunikasi yang lebih baik.

Dalam rangka ”Memetri/memperingati” tradisi leluhur yang sudah berlangsung turun temurun, berupa ”Tradisi Suran /Wilujeng Suro”, maka RW 05 Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 24 Desember 2009. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW 5 Dusun Keprabon, dan bagi Pengempon ini adalah keterlibatan yang kesekian kali sejak pertama pada Januari 2007 dan merupakan terakhir bagi Pengempon Generasi Pertama ini yang akan berakhir Februari 2010 (masa bhakti 5 tahun). Kehadiran Pengempon dan juga secara kebetulan Pimpinan MGPSSR Pusat bidang Ke-Sulinggihan-Sunasdyana dan Bidang Tata upacara-Mangku Wayan Sujana, serta umat yang tidak asing bagi Warga Dukuh Pasekan yaitu : Gede Oka Gurnita dan Putu Netre bersama rombongan, bisa berbaur dalam ritual ”Suran/Wilujeng Suro” menjadikan lengkapnya perpaduan umat Jawa, Pengempon, dan umat dari Bali. Pimpinan MGPSSR ini hadir ke Jawa dalam rangka ”Matur suksme” atas suksesnya Piodalan di Lempuyang Madya sehingga tangkil ke Pura-Pura penting di Jawa termasuk ke Pura Pemacekan. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, dengan filosofi Durgo Mendak – Kolo Sedo, yang pada intinya menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro yang diadakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan secara rutin ini, memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Pasek menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya mendukung umat yang menjalankan bakti ini.
(Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, yang ikut melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan pada tahun 1973. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Berikutnya banyak kemudian yang terlibat seperti : Ketut Nedeng, Ledang, Merta Suteja,Gede Oka Gurnita, Putu Netre, Gede Suma, semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya. Juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Dwi Tantra, khususnya Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran dengan cucunya Mpu Daksa Jaya Dhyana (Nusa Penida) , yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Tahun 1998-1999 persiapan & pembangunan sederhana, dan Fase 2000-2002 pembangunan besar dengan tambahan Pelinggih baru : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Pengempon generasi I pada 11 Februari 2005 masa bhakti 5 tahun). Mbah Wiryo Rejo mantan RT Dukuh Pasekan adalah ”Sesepuh masyarakat” yang sejak 1959 mengurus Petilasan Eyang Putro Rsi Pitu, walaupun tanah sekitar Petilasan dimiliki oleh Tarjo Almarhum, sehingga pada Wilujeng Suro ini beliau kembali yang dipercaya warga memimpin persembahan.

Jalannya Prosesi Wilujeng Suro
Rangkaian ”Prosesi Wilujeng Suro” ini sudah mulai dilaksanakan pada 18 Desember 2009 (tepat 1 Muharam/ 1 suro) dengan ”Mauludan” yang bermakna ”Bersih Desa”. Acara berikutnya pada 24 Desember 2009 (Kamis Malam). Prosesi berjalan dengan tradisi Jawa. Sesaji Jawa berujud ”Bubur Rampe Sajangkepe” dimana disamping wujud persembahan kepada Sang Pencipta juga ada yang bermakna Tolak Bala dalam istilah sekarang yang tidak beda dengan ”Caru” yang berarti manis/harmonis sebagaimana makna Caru agar terjadi keseimbangan atau keharmonisan manusia, alam, dan Sang Pencipta (Tri Hita Karana). Sekitar Pukul 20 wib Iring-iringan warga datang dengan membawa Sesaji Jawa diiringi dengan kidung Jawa dengan heningnya. Acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo salah seorang Tetua/sesepuh Dukuh Pasekan dan didampingi oleh Jero Mangku Pasek serta Pengempon dan umat lainnya dari Bali dan Solo/Karanganyar sekitarnya, untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Sementara itu di Bale Banjar Ketua RW 05 Purwanto membacakan doa secara Jawa yang sekilas seperti ”Puja Mantra Pembersihan/Prayascita Alam” karena ada sebutan seperti ”Ong Wilaheng Prayoga ........ Purwo warna Petak/putih, dst.dst . Juga Mantra ”Ong Sudayamam Swaha .... (menyebut Dewa Hindu) ......dst dst. Sebagai bukti, bahwa yang mereka teruskan walau terbungkus budaya adalah tradisi jawa yang berbau Hindu. Selesai prosesi di Petilasan, maka warga yang berjumlah lebih dari 50 orang, berkumpul kembali di Balai Banjar, namun sebelumnya dilakukan penanaman Kepala Kambing di depan kanan Gapura (Jabaan) yang bermakna mohon keselamatan masyarakat. Acara selanjutnya adalah ”Sarasehan” dilakukan di Bale Banjar sambil menikmati hidangan. Diawali dengan sambutan Ketua RW 5 Purwanto dilanjutkan Bayan/Kepala Dusun Keprabon Suroso, Lurah Karangpandan Tamlika, Ketua Pengempon Nyoman Nasa, dilanjutkan dari Bali Gede Oka Gurnita.

Karena Wilujeng Suro ini dihadiri oleh berbagai kalangan usia, maka Wilujeng yang seharusnya diisi dengan Topo, Broto, kemudian ditutup sekitar pukul 23.00. Dengan wajah bahagia hadirin lalu berpisah dengan pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan khususnya bagi semeton dari Bali, bahkan para sesepuh sepakat untuk melanjutkan Wilujeng Suro ini pada kesempatan-kesempatan lainnya. Disadari juga tentunya ada keterlibatan Bhatara Kawitan, sehingga bagi kami yang berbeda keyakinan berada pada koridor Agama kita akan terkotak, tetapi berbicara masalah hati nurani adalah tanpa pembatas, karena sesungguhnya semua manusia itu adalah satu keluarga besar (Vasudewa Kutumbhakam).



Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
28-12-2009.
PASRAMAN SISWA SD SE- KAB.KARANGANYAR
DI PURA PASEKAN – KARANGPANDAN - KARANGANYAR


Dalam rangka meningkatkan sradha Agama Hindu dan juga mengisi waktu-waktu luang bagi siswa Hindu pada bulan puasa bagi siswa muslim, maka Guru-guru agama Hindu Karanganyar yang terdiri dari : Guru SD 34 orang,SMP 6 orang,SMA 2 orang (Guru Tidak Tetap/GTT) yang tergabung dalam KKG-MGMP (Kelompok Kerja Guru - Masyarakat Guru agama Mata Pelajaran) Pendidikan Agama Hindu Kabupaten Karanganyar, sepakat untuk mengadakan ”Pasraman” bagi siswa-siswi SD se Kabupaten Karanganyar. Kegiatan Pasraman ini merupakan yang kedua kalinya dilakukan dimana sebelumnya dilakukan tahun 2003 di Pasraman Pinandita Tawangmangu yang diikuti 150 orang siswa SD/SMP/SMA dan 30 guru. Kegiatan Pasraman yang kedua ini dilakukan di ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Karangpandan, Karanganyar pada 14-15 Oktober 2006. Kegiatan kali ini dibatasi hanya tingkat SD saja itupun tidak semua siswa SD yang diikut sertakan walaupun mereka sebenarnya sangat antusias ingin mengikuti kegiatan ini. Pembatasan ini semata-mata karena waktu persiapan yang pendek yang dikhawatirkan kesulitan manajerialnya, mengingat jumlah siswa Hindu di Karanganyar cukup banyak, ada sekitar 350 Siswa dimana SD 200 orang,SMP 100 orang, SMA 50 orang. Yang menarik pada kegiatan ini adalah dana yang dikeluarkan merupakan ”Swadaya” murni guru-guru dengan mengeluarkan dana Rp. 25.000,- per-orang. Siswa yang ikut juga dipungut Rp.5.000,-/siswa tetapi dibayarkan oleh sekolah masing-masing, disamping menyiapkan transportasi dan alat-alat tulis sendiri-sendiri. Semangat seperti ini pantas diteladani dan didukung oleh para orang-tua, tokoh umat dan lembaga terkait untuk keterlibatannya, baik melalui sumbangan dana, materi seperti buku-buku, serta kebutuhan lainnya.
Susunan Panitia selengkapnya adalah :
• Pelindung : Kepala Dinas P&K Kabupaten Karanganyar
Kepala Kandepag Kab.Karanganyar
• Penasehat : PHDI Kabupaten Karanganyar
• Ketua : Dewa Ketut Segening,S.Ag.
• Sekretaris : Sartono, S.Ag.
• Bendahara : Endang Sulistyowati,Ama dan Warsiti,Ama
• Serta didukung oleh :
Sumarno,S.Ag,Sukarno,Ama., Sukiman,S.Ag, Kasiyo,S.Ag, Made Sabaryasa,S.Ag., Suyatno,Ama., Ngatmi,Ama.,Rusmini,Ama.,Ida Ketut Pidada Sunu,S.Ag.,Ramin,Ama.

Siswa-siswi yang hadir berjumlah 94 orang (Laki = 48 orang,Perempuan = 46 orang) dari kelas IV - VI, lebih dari 90% merupakan umat Hindu Suku Jawa, yang berasal dari berbagai SD di Wilayah Karanganyar, yaitu : KEC.JENAWI : SDN 02 menjing,SDN 01 dan 02 Sidomukti,SDN 01 dan 02 Anggrasmani, SDN 02 Trengguli, SDN 02 Munggur, SDN 02 dan 03 Balong, SDN 03 Gumeng, SDN 01 Gunung. KEC.NGARGOYOSO : SDN 01 dan 02 Ngargoyoso, SDN 03 dan 05 Kemuning. KEC.MOJOGEDANG : SDN 02 Ngadirejo KEC.JATEN : SDN 03 Jaten KARANGANYAR (KOTA) : SDN 01 karanganyar,SDN 02 Jongke, SDN 03 Cangakan.

Acara Pasraman diawali oleh Sambutan-sambutan oleh Ketua Panitia, dilanjutkan Sambutan dari Instansi Pemerintah yaitu : Drs.Surono - Kasubdin Pend.Agama Dinas P&K Kab.Karanganyar, D.Ma”ruf-Kasi PP Agama Dept.P&K Kab.Karanganyar, Rajino,S.Ag.-Penyuluh Agama Hindu DEPAG Kab.Karanganyar, dan Marwan – mewakili Kepala DEPAG Kab.Karanganyar. Setelah sambutan-sambutan selesai, maka kegiatan Pasraman dimulai sekitar jam 12 dengan Puja Tri Sandhya dipimpin Jero Mangku Pasek. Acara pemahaman Ajaran Hindu yang merupakan tujuan utama Pasraman di jadikan materi Pasraman meliputi : pemahaman akan Panca Sradha, Tat Twam Asi, Catur Guru, belajar menulis huruf Dewanagari, yang disampaikan: Rajino S.Ag.,Sumarni S.Ag.,Sutardiyanto,Ama., Pardi S.Ag., dan Sumarno,Ama. Selesai siswa beristirahat sore, Pasraman dimulai lagi sekitar pukul 18.00 dengan diawali Puja Tri Sandhya dan materi baru yang tidak kalah menarik, yaitu : Pengantar Dharma Wacana anak serta Sejarah Agama Hindu, sampai sekitar pukul 21.00 yang berarti session pertama ditutup dan siswa-siswi istirahat. Keesokan harinya kegiatan Pasraman dimulai pada pukul 06.00 dengan Puja Tri Sandhya dan Yoga dipimpin Sukiman S.Ag., dilanjutkan makan pagi, orientasi Tempat Suci, dan Evaluasi oleh Panitia. Sekitar pukul 9.30 Kegiatan Pasraman ditutup oleh Ketua Panitia dan pembacaan Doa Penutup dipimpin Jero mangku Pasek. Selesai doa siswa-siswi berpamitan dengan Guru-guru serta lainnya. Dengan wajah ceria para generasi muda Hindu ini pulang dijemput orang tua atau rombongan dengan Truck dengan memperoleh bekal pengalaman Pasraman selama 2 hari, semoga apa-pa yang diperoleh dapat memperkuat Sradha dan Bhakti anak-anak ini untuk kemajuan Hindu di Nusantara khususnya di Karanganyar. Diharapkan juga oleh panitia kedepan Kegiatan Pasraman bisa dilangsungkan kembali dengan pengemasan yang lebih baik. Sampai jumpa anak-anak jadilah umat Hindu yang teguh dalam Sradha dan Bhakti.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
15-10-2006