Senin, Juni 07, 2010

MEMIMPIN DIRI SENDIRI

”Pemimpin” dalam masyarakat sangat diperlukan agar tata kehidupan masyarakat menjadi tertib, dan dapat mencapai kesejahtraan bersama. Pemimpin ibaratnya dapat merubah batu menjadi permata dan sebaliknya dapat merubah permata menjadi debu, sehingga berhati-hatilah memilih pemimpin dan berhati-hati pula menjadi pemimpin. Fenomena yang bisa kita lihat adalah begitu besarnya keinginan untuk memimpin orang lain (diluar dirinya/eksternal) dalam bentuk pimpinan partai, pejabat pemerintah, atau dilingkungan sosial kemasyarakatan/pempimpin umat, dimana keinginan ini telah mendominasi pemikiran para umat ini. Berbagai upaya dilakukan, seperti penggalangan massa, menarik simpati masyarakat, memanfaatkan prestise masa lalu, dan lain-lain, dimana kadang memerlukan dana yang tidak sedikit, bahkan melakukan segala cara untuk mencapai tujuan itu, ada yang benar kadang ada yang salah. Alasan moral juga bermacam-macam, ada yang memang panggilan jiwa namun ada juga guna kepentingan kekuasaan karena dengan berkuasa banyak hal yang bisa dilakukan. Rasa ingin memimpin orang lain secara hakekat manusia adalah lumrah dan manusiawi karena memang ada sifat superior pada manusia yang jika dominan akan mendorong untuk melakukan upaya apapun untuk memenuhinya. Para bijaksana mengatakan, sebelum kita memimpin orang lain, maka seharusnya dimulai dengan memimpin diri sendiri terlebih dahulu.

Kenapa kita harus memulai ”Memimpin diri sendiri” sebelum kita memimpin fihak lain? Karena memimpin itu sesungguhnya tidak mudah dan banyak syarat-syarat yang harus kita penuhi sehingga kita bisa memimpin dengan benar, bijak, adil, dan memberi kesejahtraan pada yang dipimpin (masyarakat). Jaman dulu seorang pemimpin masyarakat, sering disebut ”Ratu” dimana ratu ini bermakna ”dapat memberi kesejahtraan pada masyarakat”, jika tidak mampu memenuhi fungsi itu, maka tidak pantas disebut dengan ratu. Intinya adalah seorang pemimpin harus menempa diri dulu dengan ajaran-ajaran kepemimpinan sebelum memimpin orang lain. Untuk tujuan itu dalam ajaran Hindu ada ”Asta Brata Nateng Prabu” atau singkatnya ”Asta Brata”, dimana delapan sifat Dewa dijadikan pedoman yaitu : Indra, Yama, Surya, Candra, Wayu/Bayu, Pertiwi/Bhumi,Waruna, dan Agni, seperti : INDRA BRATA, yaitu seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat seperti hujan yang senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam setiap tindakannya dapat membawa kesejukan serta penuh kewibawaan. Dalam Ithiasa seorang pemimpin yang dapat dicontoh adalah ”Dasarata” Raja Ayodhya, beliau ahli Weda, seorang bhakta yang taat, tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini. Dalam sejarah kepemimpinan Bali abad X kita mengenal „Mpu Kuturan“ beliau adalah Brahmana (Mpu) namun juga Raja (Nateng Girah-Jawa timur) yang sangat berjasa bagi keamanan kerajaan Bali dibawah Raja Udayana (Ayah Airlangga). Indonesia memiliki pemimpin „Ir.Sukarno (Bung Karno)“ yang kebetulan ibunya Nyoman Rai Srimben adalah orang Bali dari Baleagung-Buleleng. Bung Karno adalah pemimpin kharismatik yang dapat menyumbangkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan masih banyak contoh pemimpin-pemimpin yang telah melalui proses kematangan diri sehingga dapat menjadi pemimpin bagi orang lain dan rela menyumbangkan segala miliknya untuk kesejahtraan masyarakat. Dalam materi kepemimpinan moderen, disebutkan pemimpin minimal memiliki tiga hal, yaitu : Disiplin, Open mind (jiwa terbuka), dan komunikasi. Seorang pemimpin perlu ”disiplin” terutama disiplin untuk tidak melakukan hal yang negatif dan selalu berbuat hal yang baik buat masyarakat, juga perlu memiliki ”keterbukaan batin” agar dapat merasakan permasalahan masyarakat dan juga mempunyai kemampuan ”komunikasi” yang baik sehingga mudah menangkap apa yang perlu dilakukan untuk kesejahtraan masyarakat. Jika seorang pemimpin memiliki sifat positif ini, maka barulah dia dapat disebut ”Leader” yang mempunyai makna dalam bukan sebatas memimpin (manaje) saja. Di Jepang seorang calon Kaisar, perlu memperoleh pendidikan khusus yang sangat ketat sebelum dia dapat ditetapkan menjadi Kaisar, walaupun secara kelahiran (trah) adalah putra kaisar namun tidak serta merta menjadi kaisar, perlu pembinaan mental dan pengetahuan kepemimpinan. Pemimpin ideal akan sangat susah didapatkan dijaman sekarang dimana orang lebih mementingkan kekuasaan, material, prestise daripada mengutamakan kesejahtraan masyarakat, apakah ini pesimistis? Kita bisa lihat bersama-sama, yang jelas jika musim Pemilu tiba, musim Pilkada datang, maka banyak muncul pemimpin-pemimpin yang menawarkan perbaikan bagi kehidupan masyarakat, walupun belum banyak yang bisa dibuktikan.

Akhirnya, manusia itu memang sudah dikodratkan untuk lahir menjadi pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri, maka sudah selayaknya kita mulai menata diri ini menjadi benar, sehingga berkembang menjadi keluarga yang benar, berikutnya menjadi masyarakat yang benar, dan akhirnya menjadi bangsa yang benar, demikian para pencinta kedamaiaan ber-angan-angan yang sesungguhnya bukan sesuatu yang mustahil karena „kebenaran“ dalam skup luas berasal dari kumpulan sesuatu yang benar dari skup yang kecil. Astungkara.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2010
MAKNA - PASEMETONAN

”Ikatan Pasemetonan (kekerabatan)” apapun itu pada dasarnya sesuatu yang baik dimana terjadinya hubungan yang lebih dekat dan dapat saling membantu dalam artian positif. Ikatan Pasemetonan tidak boleh menjadikan kita menjadi eksklusif terhadap warga yang bukan satu trah karena pada dasarnya semua mahluk adalah bersaudara (Vasudaiwa khutumbhakam). Ikatan Pasemetonan Pasek sebagai warih Bhatara Kawitan – Mpu Gnijaya juga perlu dimaknai seperti diatas, walaupun ada point-point khas yang ada bagi pasemetonan Pasek yang juga tidak boleh dilupakan, seperti Leluhur Pasek melakukan upaya pendidikan dan pesan moral lewat Bhisama agar terciptanya ikatan Pasemetonan yang baik. Cuplikan sebagian Bhisama Mpu Ketek sebagai berikut : ……. Bilamana sudah diakui sanak keluarga, berapa jauh tempatnya, walaupun bodoh dan kurang berada, jangan putus hubungan kekeluargaan, sebutannya adalah keluarga kendatipun jauh tempatnya, “PALING JAUH MENGAKU SEPUPU”. Dan lagi tidak boleh merasa lebih rendah dan putus hubungan dengan keluarga yang berasal dari satu keturunan, jika melanggar seperti kata-kataku, satu tertimpa halangan semuanya tertimpa halangan, dan lagi arwah leluhur kemudian tidak dapat dimohonkan pengampunan oleh Rsi yang memujanya, demikian agar selalu diingat. ………… Dengan pemahaman ini, maka sesama Pasek seharusnya ”Satya Bela Nindihin Semeton” dalam arti positif dimana pengertian nindihin termasuk mengingatkan jika semeton keliru, misalnya jika ada semeton yang menyalah gunakan kekuasaan, maka harus diingatkan sesuai makna pasemetonan yang benar.

Akhir-akhir ini ikatan Pasemetonan Pasek sudah semakin baik, seperti adanya dukungan terhadap semeton yang ingin mendarmakan dirinya menjadi pemimpin (Gubernur, bupati, dll) dan ini perlu dipupuk dengan kesadaran pasemetonan yang baik. Mengingat baru tumbuh kesadaran, maka wajar jika belum sempurna, sehingga masih ada semeton yang belum mendukung semeton lain yang mau menjadi pemimpin, dan itu biarkan saja jangan menjadikan kecewa karena itu adalah proses semoga kedepan prosesnya menjadi lebih baik. Sebagai pengetahuan saja perlu juga kita sadari kenapa masih ada semeton yang belum rela mendukung semeton Pasek lainnya untuk menjadi pemimpin, yaitu :
1. Masih ada semeton Pasek yang belum memahami makna pasemetonan, ini perlu terus diberi pengertian baik lewat : lisan atau tulisan.
2. Semeton Pasek yang sudah mengerti makna pasemetonan namun belum percaya diri (belum PD). Inipun perlu diberi pengertian yang benar akan makna Pasemetonan.
3. Semeton Pasek yang khawatir ikatan Pasemetonan ini menjadi ekslusif dan menimbulkan hal negatif seperti : menjadikan ikatan pasemeton yang besar ini untuk kepentingan politik semata.
4. Kekhawatiran warga lainnya terhadap bersatunya semeton pasek akan mengangkat sejarah lama dimana, Brahmana (Wiku) dan Pemimpin jaman dulu banyak dari warih Mpu Gnijaya yang diera berikutnya merosot dan terpinggirkan menjadi ”jaba” (diluar kerajaan) bahkan dianalogkan dengan sudra. Disini harus bisa dibuktikan, bahwa Semeton agar mengejar ke-pemimpinan dan ke-Brahmanaan secara profesional.

Hal diatas adalah point-point besar yang masih menghambat terciptanya ikatan pasemetonan yang baik, namun jangan lupa : Perjuangan untuk menjalankan Bhisama Bhatara Kawitan bukan semata untuk tujuan pemilihan pemimpin saja, artinya ada hal yang lebih luas lagi perlu dilakukan dalam rangka perjuangan mengangkat kembali jati diri “Ke-Pasekan” agar kita menjadi Pasek=Patitis Sesana Kawitan, untuk itu ada beberapa hal yang perlu difahami, ditanamkan namun juga perlu kehati-hatian :
1. Untuk membuktikan jati diri ke-pasekan, maka yang pertama berani mengakui diri Pasek, seperti ketika kanalan ada yang mengatakan „Tiang Cokorde“, maka jawablah „Tiang Pasek“.
2. Jangan sembarangan menerima bantuan yang mengikat, apalagi untuk tujuan menjadikan semeton tetap menjadi Parekan (Perekan Seken) seperti dengan cara bantuan materiil. Bantuan seharusnya tulus dan kembalikan pada Hyang Whidi yang akan membalasnya. Semeton Pasek yang seperti ini perlu dibantu oleh semeton yang mampu lalu ajarkan dia hakekat „Ke-pasekan“.
3. Meluruskan pemahaman “Tulah” jika tidak meneruskan warisan leluhur, seperti : Tulah jika berhenti Me-Siwa ke Pedanda tertentu, yang benar takutlah kalau melanggar Bhisama Bhatara Kawitan seperti diatas, termasuk takut tidak tangkil di Catur Parhyangan (Pura Lempuyang Madya, Pura Catur Lawa Besakih, Pura Gelgel dasar bhuwana, dan Silayukti).
4. Cermati diskusi-diskusi : Ajeg Bali yang jangan-jangan ada yang ingin mempertahankan statusquo (harusnya Ajeg Hindu otomatis Budaya Bali akan Ajeg).
5. Cermati penentang Sampradaya karena sampradaya juga tidak sefaham system Kasta dan meluruskan Ajaran Catur Warna (harusnya sampradaya ditarik ke local genius/ budaya lokal).
6. Jangan terlalu keras/kaku sesama semeton Pasek, tetapi lebih rendah hati dan bahu membahu. (Ingat : Jangan menganggap sepurusa Pasek lebih jauh dari sepupu/mindon).

Akhirnya, ikatan Pasemetonan adalah salah satu bentuk bhakti kita pada Leluhur karena Bhakti pada Leluhur adalah paramo dharmah, dimana ajaran Tri Rnam dan Catur Guru sebagai pedomannya. Dengan demikian tidak ada yang salah kalau semeton Pasek mengikat diri dalam ikatan pasemetonan dengan tetap dalam koridor positif, tidak ekslusif, dan dapat meningkatkan kerja-sama dengan warga lainnya sebagai sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi sesuai ajaran Tat Twam Asi.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2010