Sabtu, Juli 31, 2010

IDE PENYATUAN SEKTE HINDU DALAM SUATU MAJELIS

Wacana Pejabat Dinas Hindu untuk menyatukan Hindu Nusantara kedalam suatu Majelis perlu ditelaah dengan baik dan penuh kehati-hatian karena jika salah tindakan ini dapat mencerminkan tindakan yang terburu nafsu atau tergesa-gesa. Seperti sudah dimuat pada Raditya beberapa edisi yang lalu, banyak tanggapan yang kemudian muncul yang beberapa juga terkesan tergesa-gesa. Ada juga yang begitu khawatir jerih payah Mpu Kuturan yang sudah berhasil mempersatukan (Fusi) sekte-sekte Hindu pada masa Raja Udayana, akan gagal justru dijaman moderen ini. Sebelum sesuatunya menjadi tidak baik bagi perkembangan umat Hindu, maka Ada beberapa pertanyaan yang seharusnya dijawab dulu sebelum kita me-wacanakan sesuatu, seperti : Apakah di Indonesia, Hindu Nusantara ini sudah sangat spesifik menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Kaharingan,dll.?, Jika dilihat dari segi Ista Dewata yang ditonjolkan apakah Hindu di Indonesia sekarang ini, sudah spesifik ada sekte-sektenya, seperti : Siwa Sidanta, Sekte Waisnawa, dll ? dimana pada jaman Mpu Kuturan sudah di-fusi sehingga kita bisa bersatu dalam pemujaan Tri Murti di Kemulan atau Desa Pakaraman. Cukup dua hal itu dulu diperjelas walaupun banyak hal yang harus ditelaah sebelum menarik kesimpulan itu. Menurut wacana yang dimuat pada Raditya beberapa edisi lalu, Pejabat tersebut menyampaikan, karena sudah ada Organisasi Komunitas warga Hindu India di Indonesia dalam wadah SDN, Majapahid sebagai wadah umat Hindu Jawa di Jakarta, PDHB dan lain-lain di Bali, dan katanya dengan Hindu Kaharingan terbentuk misalnya, sudah bisa dibentuk organisasi atau majelis ini, yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini sudah begitu mendesak atau prioritas ?. Majapahid adalah murni sebagai organisasi keumatan jadi tidak berbicara sekte atau Ista dewata yang ditonjolkan, jadi ini hanya murni Hindu, komunitas warga India (SDN) adalah amanat dari rapat besar mereka di-tingkat dunia dan ini juga organisasi keumatan Hindu bukan Sekte, dan kalau Hindu Kaharingan, serta lain-lain dibentuk juga tetap Hindu, disini tidak berbicara sekte atau Ista Dewata yang ditonjolkan. Kalau ternyata maksudnya organisasi keumatan yang diwadahi dalam Majelis ini dan bukan sekte-sekte, kita sudah ada PHDI yang bisa menjadi payungnya. Kalau misalnya PHDI belum maksimal, maka ini yang harus dibantu atau dimaksimalkan bersama supaya menjadi effektif. Penyatuan organisa Hindu Nusantara dalam majelis ini bukan tidak ada masalah, misalnya di Bali saja, mana yang dimaksud dengan Hindu Bali atau organisasi mana yang akan mewakili. Bagaimana dengan umat Hindu orang Bali yang ikut kedalam Hare Kresna atau Sai Baba misalnya, kemana mereka akan bergabung. Lalu umat Jawa apakah mereka sudah murni tradisi Jawanya dalam aplikasi ke-Hindu-annya, seperti kita ketahui karena ratusan tahun Hindu tenggelam di Jawa, maka di Jawa tidak bisa secara utuh ditemukan tradisi Jawa Hindu itu, hanya baru di-gali sedikit-sedikit, seperti Pitra Yadnya dengan Entas Pitulus atau Entas-entas, dan tradisi lainnya yang sedang diangkat kembali, sehingga sekarang keseharian mereka sembahyang dengan Canang yang diajarkan orang Bali, Pelinggihnya Padmasana atau Meru yang biasa dipergunakan di Bali, walau sudah ada yang menerapkan Candi sebagai peninggalan di Jawa, jadi tidak bisa murni Hindu Jawa. Itu baru dari sisi pengelompokan secara suku. Dari sisi Ista dewata yang ditonjolkan rasanya hanya saudara-saudara dari India yang bisa jelas atau spesifik, seperti Hare Krisna walau pasti juga memuja Siwa, Brahma dan lainnya. Di Bali tidak bisa disebut Siwa Sidanta karena dalam Surya Sawana atau pemujaan lainnya, Ista Dewata lain juga ditonjolkan, inilah karena keberhasilan fusi yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada abad 10-11.

Dengan melihat hal-hal seperti itu, maka wacana untuk membentuk majelis baru yang mewadahi Hindu Nusantara selayaknya tidak perlu diteruskan karena lebih banyak dampak pemecah belah daripada persatuannya. Kita sebaiknya kosentrasi kepada Lembaga umat yang sudah ada yaitu PHDI ini harus didukung bersama dan diberdayakan supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh umat Hindu secara keseluruhan. Kita perlu juga punya majelis yang berwibawa sehingga didengar oleh pemerintah, jangan malah dibuatkan tandingannya. Kita harus bersyukur dengan kebesaran jiwa para umat di Bali sehingga kasus dua PHDI Bali sudah terselesaikan dan lahir PDHB, jangan ini kemudian dikembangkan lagi menjadi perpecahan ketingkat yang lebih tinggi (nasional) karena ini akan membuat malu kita sendiri. Bagi para umat, sudah seharusnya sadar, bahwa dunia sudah berubah dan akan selalu berubah, bola juga akan bergulir terus, jadi kita harus siap dan legowo menghadapi keadaan kedepan yang perlu dipersiapkan dengan kedewasaan. Majelis Hindu adalah PHDI, dan umat Hindu Nusantara biar berkembang dengan sendirinya tanpa perlu di-kotak-kotakkan menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu India, dan lainnya. Biarlah Hindu hanya dipayungi secara filosofi (tatwa) oleh Weda, dan biarlah budaya yang merupakan balutannya berkembang terus mengikuti perkembangan jaman, sehingga orang Jawa silahkan menggunakan Canang, orang Bali di Jawa ke Pura tidak apa memakai Blangkon (Beskap lengkap), orang Bali silahkan ikut Hare Krisna dan berpakaian sembahyang atau saat Bajan dengan pakaian India, orang India silahkan ke Pura dengan pakaian Bali dan membawa canang sari, jadi hal ini terlihat begitu penuh warna dan inilah keunikan Hindu yang sangat demokratis dan sangat memberi kebebasan kepada penganutnya. Janganlah begitu khawatir Bali akan hancur karena budayanya tergerus oleh budaya lain, misalnya masuknya tradisi India, karena yang kita warisi sekarang juga adalah akibat berbaurnya nenek moyang kita dulu dengan para rohanian dan masyarakat awam dari India yang otomatis membawa budayanya sendiri. Tirulah kebijaksanaan para leluhur dahulu sehingga tradisi yang kita warisi sekarang tidak secara utuh terlihat sebagai tradisi India atau China, walau kita dahulu berbaur yang berarti saling mempengaruhi. Kedepan juga akan seperti itu, akibat berbaurnya umat Hindu dari berbagai suku dan dengan warga hindu India, akan menjadikan suatu saat nanti akan muncul suatu tradisi yang tidak akan disebut tradisi India, tetapi akan disebut tradisi Jawa, tradisi Bali, tradisi Sunda, dan lain-lain yang dipayungi oleh Weda.

Sebagai akhir kata, maka berhati-hatilah kita memberikan suatu wacana apalagi oleh tokoh yang dampak suaranya akan berpengaruh kepada masyarakat, sebab seorang tokoh harus super hati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan apalagi melakukan tindakan. Semoga Hindu semakin diterima di hati masyarakat sehingga semuanya dapat menikmati kedamaian yang diajarkannya.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
14-12-2008.
SEJARAH KEBERADAAN
PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN
DK.PASEKAN, DS.KEPRABON, DESA/KEC.KARANGPANDAN, KARANGANYAR
JAWA - TENGAH
_______________________________________________


I. PENDAHULUAN .

Dalam Hindu ajaran „Tri Rnam“ menyebutkan, bahwa manusia mempunyai tiga hutang, yaitu : Dewa Rnam, Pitra Rnam, dan Rsi Rnam. Pitra Rnam mengajarkan, bahwa kita memiliki utang kepada leluhur termasuk orang tua (ayah-ibu) karena dari beliaulah kita lahir dan dibesarkan. Pada sebait kekawin Ramayana, disebutkan mengenai Sang Dasarata - Raja Ayodya, beliau adalah ahli Weda, seorang bhakta (pemuja Tuhan yang taat), tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini. Ajaran Hindu Catur Guru yaitu ”Guru Rupaka” mengajarkan bhakti pada orang tua juga berarti leluhur kita. Dalam keseharian umat Hindu hutang kepada orang tua dan leluhur ini juga diwujudkan dalam bentuk „ Puja Bhakti“ yang dilandasi oleh ajaran Panca Yadnya khususnya „Pitra Yadnya“ dimana dalam arti sempit, Pitra Yadnya sering disamakan dengan upacara Ngaben atau upacara yang berkenaan dengan kematian, namun dalam arti luas, pemujaan roh leluhur merupakan implementasi ajaran Pitra Yadnya. Sejak dahulu leluhur kita mengajarkan bhakti pada leluhur dimanapun berada sehingga dalam setiap pemujaan sering orang tua di Bali melakukan Puja Bhakti dengan menyebut pada Leluhur di Majapahit, leluhur di Solo, dan umumnya leluhur di Jawa. Hal ini menjadi beralasan karena leluhur sebagian besar orang Bali asalnya dari Jawa, sebut saja Panca Tirta, Sapta Pandita, dan Kyayi I Gusti Ageng pemacekan.

Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan merupakan kehendak Hyang Widhi bahkan ditemukan dalam nuansa niskala melalui Damuh/prati sentana dari Bali. Hal ini seperti merajut kembali hubungan kekerabatan yang sudah ratusan tahun sempat terputus antara Jawa dan Bali karena perubahan jaman juga dengan masuknya kepercayaan baru di tanah Jawa (Majapahit) pada abad XV. Itulah sebabnya berbondong-bondong umat dari Bali melakukan sembahyang ke Jawa, hal ini sesuai sekali dengan „Bhisama“ (Pesan Sakral) dari leluhur yang maknanya agar para umat tetap membina hubungan dengan yang lainnya dimanapun berada (Aywa kita pegat akadang purusantha sembahen) . Jika taat dengan petunjuk leluhur, maka „Bhisama“ menyebutkan :

dan... apabila kamu taat terhadap amanatku mudah-mudahan kamu selalu memperoleh keselamatan, berbudi luhur, semua ucapanmu dipercaya, terkenal didunia, disayang orang, memiliki sifat-sifat yang mulia, bertingkah laku baik dan ahli siasat.

Itulah sebabnya para umat ini akan selalu tergugah keinginannya untuk melakukan Pitra Puja kepada para leluhur dimanapun beliau distanakan termasuk di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Di Bali mengingat semakin banyaknya keturunan, maka tingkatan penyungsung/pemuja semakin besar juga dan tempat memuja leluhur berkembang berurut dari yang umatnya sedikit : Paibon, Panti, Dadya, Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung, sampai terakhir Pura Kawitan. Untuk di Jawa sebutannya menjadi berbeda mengikuti kebiasaan setempat sehingga disebut „Petilasan“ yang maknanya tempat dimana dahulu tinggal orang yang sangat dihormati. Walaupun merupakan Petilasan, namun tempat ini merupakan „Pura Umum“ dengan pengertian :

• Secara kekerabatan (hubungan darah) maka Petilasan ini merupakan wadah dari keturunan Panca Tirta, yang jika mengikuti sistem Soroh/Clan di Bali, maka Soroh Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan lainnya dapat melakukan puja Bhakti, karena ada perwujudan dari leluhur mereka.
• Petilasan merupakan tempat distanakan Para Pandita, sehingga sebagai Pandita akan mengayomi siapa saja umat yang membutuhkan walaupun berbeda agama.
• Sehubungan yang di stanakan sudah menyatu dengan Sangkan Paraning dumadi, maka sesungguhnya yang di Puja di Petilasan adalah „Hyang Widhi“.



II. SEJARAH KEBERADAAN PETILASAN.

1. KAPAN & BAGAIMANA DITEMUKANNYA ?

Fase Sebelum dipugar :
Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan pada awalnya hanya berupa 2 (dua) tumpukan batu yang oleh umat sekitar disebut dengan „Punden“. Punden ini berada di Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec, Karangpandan, Karanganyar, yaitu dilokasi tanah milik Bapak Tarjo almarhum (meninggal tahun 1990). Bp.Tarjo (asal Klaten) adalah Mantri Pertanian yang memiliki area punden ini sejak tahun 1965. Punden ini dirawat oleh warga Dukuh Pasekan Mbah Karyo Rejo dan terakhir adalah Mbah Wiryo sejak tahun 1959 yang sampai saat ini merupakan sesepuh desa.

Menurut penuturan Mbah Wiryo, ketika beliau hijrah dari Gunung Sewu Sukoharjo ke Dukuh Pasekan pada tahun 1939, saat itu penduduk asli yang tinggal di Pasekan, yaitu : Mbah Karyo Rejo (sesepuh desa), Mbah Joyo, Mbah Toyo, Mbah Sumo, Mbah Mitro, Mbah Harjo dan ditambah Mbah Wiryo sehingga berjumlah 7 (Tujuh) keluarga. Tanah diareal Punden dan sekitarnya dimiliki oleh : Mbah Pawiro Sentono (Eyang Bp. Suroso Bayan/Kepala Dusun Keprabon), Mbah Dibyo diareal bawah dan Mbah Mangun Suwito, yang akhirnya semua menjadi milik Bapak Tarjo sejak 1965. Demikianlah sejak dulu Warga Pasekan sudah merawat Punden ini secara bersama-sama serta sangat menghormati „Eyang“ yang berstana di kedua Punden tersebut. Bagaimana bisa sejak 1959 dirawat oleh Mbah Wiryo ? ceritanya diawali ketika Mbah Wiryo pada tahun 1959 melakukan pencarian jati diri di Gunung Lawu, sekitar Jam 02 pada rebo legi didatangi orang tua (secara gaib/niskala) dengan pesan : „Kembalilah, rawat tempatku nanti kuberikan tanda/tengger“, waktu itu fisik Mbah Wiryo sudah tidak kuat, syukur Bapak Larto teman satu visi menyusul ke Argodalem Gunung Lawu. Ikut juga membantu Lurah Karangpandan dan Camat Tawangmangu. Karena sudah tidak bisa jalan, maka diantar dengan naik motor sampai dirumah di Dukuh Pasekan, berikutnya empat malam Mbah Wiryo hanya dirumah dalam kondisi kecapaian. Setelah sekitar satu minggu dan sesudah pulih kembali, pada jum’at kliwon, Mbah Wiryo datang diareal Punden yang mana karena sudah lama tidak terawat, rumput sudah panjang dan menutup areal tersebut. Dengan disaksikan sekitar 50 orang warga Pasekan, Mbah Wiryo merabas rumput mencari „Tengger/tanda“ yang dimaksud. Setelah dicar-cari akhirnya ditemukan tengger berupa „Lidi yang dikelilingi rumput“, dicoba dicabut awalnya tidak bisa padahal Mbah Wiryo saat itu masih sehat dan biasanya mudah mengangkat satu karung beras, keheranan muncul bagi semua yang hadir, akhirnya dengan sekuat tenaga diiringi doa, maka „Rumput dan lidi“ tercabut namun yang masih dipegang hanya rumput sementara lidi sudah hilang entah kemana, rumput tersebut sampai sekarang disimpan oleh Mbah Wiryo. Lokasi tengger-lidi tadi lalu dibersihkan dan ternyata ada 2 tumpukan batu dengan lebar : 1,15 Meter dan panjang 4,15 Meter dan lidi itu diperkirakan ada pada posisi „pusar“. Untuk masuk ke area Punden ada dua batu menyerupai tugu, dan didekat punden adalah pohon beringin besar (saat ini sudah tidak ada/ditebang khawatir membahayakan warga). Sejak itulah Mbah Wiryo merawat Punden walaupun akhirnya tahun 1965 areal tersebut menjadi milik Bapak Tarjo, tetapi Mbah Wiryo tetap merawatnya bahkan sampai sekarang masih memimpin ritual di Petilasan umumnya dalam rangka „Wilujeng Suro“. Disamping tengger tadi, banyak keanehan lainnya sehingga kemudian Area Punden tersebut menjadi banyak dikunjungi orang. Pada hari-hari yang dianggap baik banyak umat yang datang melakukan pemujaan memohon sesuatu sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Karena kecintaannya pada yang distanakan, ada umat yang ingin melakukan pemugaran tempat ini, tetapi oleh Bapak Tarjo tidak diijinkan karena Ibu Tarjo memperoleh petunjuk gaib/niskala, bahwa beliau yang distanakan ini menunggu „Trah“ dari Bali yang akan memugar tempat ini.

Fase Pemugaran
Disebelah timur Pulau Jawa, yaitu di Bali, tepatnya di Jalan Plawa Denpasar, tinggallah Bapak Ketut Soebandi (Almarhum) yang sebutan terakhir beliau adalah : Jro Mangku Gde Ketut Soebandi. (Menuturkan kepada penulis pada tahun 2000 ketika berkunjung dirumah beliau di Denpasar dan sempat direkam). Suatu hari beliau memperoleh petunjuk Niskala agar mencari Petilasan (Istilah beliau Kuburan) di Jawa, petunjuk itu beliau peroleh ketika sedang melakukan perjalanan tugas sebagai Polisi ke Jawa (tahun 1970-an). Karena takut dan tidak ingin lama-lama, maka langsung saja menyanggupinya. Sesudah itu baru terpikir oleh beliau, bagaimana mungkin mencari Petilasan di Jawa yang begitu luas ini. Pewisik rupanya sampai ter-info ke Jawa yaitu ke Kraton Mangku Negaran. Sesuai penuturan Bp. Sauji, warga Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, Kec.Karangpandan, Karanganyar, (menceritrakan kepada penulis dan Ketua Pengempon Nyoman Nasa pada 27 Januari 2007 sekitar Jam 11 dirumah beliau.) Mbah Sauji berceritra pada tahun 1973 didatangi : Kanjeng Sanjoto dari Puri mangkunegaran dan Brigjen Giyanto (Pemilik Patung Semar – Karangpandan), karena ada pesan dari Bali (Pewisik diterima Bp.Soebandi) untuk mencari Petilasan/Kuburan leluhur Pasek. Sehingga Kanjeng bertanya apa toh isinya Dukuh Pasekan itu. Pada 1973 itu Kanjeng Sanjoto, Bp.Giyanto, dan Bp.Sauji datang ke Petilasan diterima Ibu Tarjo. Jadi ini awal ditemukan titik terang Pewisik yang diterima Bp.Soebandi. Berlanjut kemudian suatu hari Bp. Subandi berkunjung ke Pura Mangkunegaran Surakarta pada 9 Maret 1984, dan keesokan harinya yaitu tanggal 10 Maret 1984, petunjuk itu diikuti dengan pencarian, sampai akhirnya tibalah beliau ditempat yang dimaksud yaitu sekitar 31 km arah Solo-Karanganyar dari Mangkunegaran dan menemui 2 gundukan batu (Punden) itu. Ikut hadir Pandita Mpu Dwi Tantra (Singaraja), Pandita Mpu Nabe Sinuhun Bongkasa, Pandita Mpu Nabe Pemuteran, tokoh masyarakat dari Bali seperti Bp.Ketut Nedeng, dan umat lainnya. Terjadilah komunikasi sehingga diketahui, bahwa yang berstana ditempat ini adalah „Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan“. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan lahir di Bali dan pindah ke Jawa. Ketika Majapahit runtuh abad XV beliau pergi kearah barat dan sampai ketempat ini bersama istri dan satu keluarga Raja serta seorang pemungut upeti. Beliau meninggal bukan karena kalah perang tetapi karena usia yang sudah tua. Tempat ini sendiri dari dulu sudah bernama „Pasekan“. Pada tahun 1984-1989 itu mulai dilakukan pemugaran-pemugaran dan banyak umat terlibat seperti : Bp. Merta Suteja, Bp. Ledang, dll. Peresmian tanggal 9 Nopember 1990. Peresmiannya sendiri dihadiri oleh Bupati Karanganyar, Camat dan Lurah Karangpandan, fihak Mangkunegaran, dan umat dari Bali. Pada waktu itu dilakukan Pitra Yadnya (Ngaben) secara Hindu dan upacara Yadnya lainnya.

Pada Tahun 1998 - 2000 dilakukan Pemugaran besar-besaran dengan dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran (dan cucu Dharma Pandita Mpu Daksa Jaya Dhyana) serta Bapak I Ketut Nedeng serta didukung oleh umat dari Bali dan umat sekitar Karanganyar serta Surakarta. Areal Petilasan diperluas dan dibuat tambahan Pelinggih serta Bangunan seperti : Padmasana, Sapta Pertala, Bale Piasan/Pepelik, Bale Kulkul, Bale Pawedan, Candi Bentar, Candi Gelung, Peristirahatan Umat & Sulinggih (Bale Banjar), dan khususnya Meru Tumpang Pitu yang merupakan „Parhyangan Sapta Pandita“. Itulah sebabnya Petilasan ini disebut : ‚PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN DAN PARHYANGAN SAPTA PANDITA“.

Peresmian Petilasan ini pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) dilakukan oleh „Sinuhun Paku Bhuwono XII“ melalui penanda tanganan Prasasti. Waktu itu beliau hadir bersama istri, 2 putra (Gusti Dipo & dari Brigif), 1 putri, 1 menantu putri dan 2 kerabat kraton (salah seorang rohaniawan). Ditanda-tangani 23 September 2002 sekitar jam 17 wib di dalam area Petilasan (Ruang Kaca). Kehadiran Raja Surakarta ini menjadi relevan karena leluhur beliau „Kendedes“ adalah adik dari Mpu Purwa yang merupakan keturunan dari Mpu Wiradnyana (Ketiga dari Sapta Pandita). Setelah Petilasan selesai diresmikan, maka pada Minggu Paing, 26 Januari 2003 Bapak Ketut Soebandi meninggalkan kita, namun beliau masih sempat menghadiri „Ngenteg Linggih“ pada tahun 2000 dan memberikan Darmawacana.

Pada 11 Februari 2005, Petilasan ini secara resmi dibawah naungan „Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang dalam pelaksanaannya membentuk „Pengempon“ (masa bhakti 5 tahun terhitung sejak 11 Februari 2005). Pengurus dan anggota Pengempon terdiri dari umat sekitar Karanganyar, dan Surakarta, baik semeton Pasek, semeton Bali lainnya, maupun umat Jawa. Pengempon ini bertugas mengampu atau merawat petilasan ini sehari-hari, termasuk melakukan persembahyangan rutin serta Piodalan yang ditetapkan pada Purnama Katiga setiap tahun, berkoordinasi dengan MGPSSR Pusat, para Sulinggih serta sesepuh umat. Sekarang tinggal umat yang melanjutkan pemeliharaannya sebagai wujud tanda bhakti pada Leluhur dan Hyang Widhi. Pada fase Kepengurusan ini banyak hal yang dilakukan yang paling penting adalah : Atas dana punia umat, maka telah dibayar pada 11 Maret 2006 kepada putra-putri Bp.Tarjo , tanah di Utama Mandala (Jeroan Pura), depan Candi Gelung, dan belakang Pura (diluar yang sudah dibeli sebelumnya). Disamping itu dilakukan : Renovasi dapur (Sept 2005), Renovasi Bale Pawedan krn tanah Amblas (Juni 2006), pelebaran jalan masuk (Desember 2006), pondasi belakang (Februari 2007), dan kegiatan lainnya. Menjelang Piodalan 14 September 2008 terdengar berita Amor Ring Achintya (meninggal) pada 25 Juli 2008 Mpu Nabe Pemuteran di Pasraman Taman Suci Renon Denpasar. Selanjutnya tugas suci dilanjutkan oleh Putra Dharma beliau yaitu : Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda sekaligus sebagai “Penglingsir/tetua/sesepuh” Pura/Petilasan.

Tugas selanjutnya yang dilakukan oleh Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda adalah pembangunan “BEJI/TAMAN”. Keseluruhan ”Proses Pembangunan BEJI” sudah dimulai sejak ”Ngeruak karang dan membangun pelinggih awal” dilakukan pada tilem kelima 27 Nopember 2008, dilakukan Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda serta Mpu Nabe Istri, didampingi Putra Dharma, Pandita Mpu Jaya Satya Nandha, Pandita Mpu Jaya Wasistha Nandha, Ida Bhawati Putu Setia, serta rombongan pengayah 14 orang yang banyak merupakan Pemangku merangkap tukang berkoordinasi dengan Pengempon. Pekerjaan yang dapat diselesaikan saat itu adalah : Pelinggih Padma, Piasan, Penunggun Karang, Pelinggih Tan Hana, Bale Pawedan dan Pesandekan (belum diatap), Kolam Beji, termasuk pemasangan patung diluar Beji berupa : dua patung didepan Candi gelung Petilasan, serta patung Brahma-Wisnu di Padmasana dan patung Ghana (Ghanesa) di jeron Pura, patung dan pelinggih (bahan cetakan) ini dibuat di bali. Pada 30 Januari 2009 rombongan dari Bali datang lagi kali ini dibawa atap Bale Pawedan dan bale Pesandekan yang dikerjakan seluruhnya di Bali untuk effisiensi jadi di jawa hanya merakit saja. Pada 6 Maret 2009 : memasang lima patung di atas kolam, dan memasang keramik serta memelester pondasi bale Pawedan, dan lain-lain sehingga bisa disebut pekerjaan finishing, untuk bisa dilakukan Pemlaspasan pada Jumat legi, 3 April 2009. Pemlaspasan Beji telah selesai dan Pura Pemacekan semakin lengkap sarananya, diharapkan memberi kenyamanan bagi umat yang datang khususnya kenyamanan batin yang bisa dirasakan kita semua, yang lebih penting lagi adalah dengan kesejukan Beji semoga tumbuh kesadaran hati para pratisentana, bahwa Pura ini milik kita semua dan agar bersatu padu menjaga dan merawatnya, hilangkan rasa ego, tumbuhkan kesadaran kebersamaan. Mengingat juga sejak jaman kerajaan di Jawa (Singasari, Daha, Kediri, Majapahit) para Mpu keturunan Sapta Pandita selalu menjadi Purohita kerajaan tersebut mengajarkan Dharma kepada umat dan tidak menutup kemungkinan Pura Pemacekan bisa menjadi Ashram atau Pedukuhan seperti masa lalu, bahkan seperti harapan para tokoh umat, kedepan Pura Pemacekan bisa menjadi ”Hindu Center”.



2. HUBUNGAN „KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN“ DAN „SAPTA PANDITA“

Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :


1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)
Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).

2. Mpu Ghana
Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga.

3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha
Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll.

4. Mpu Gnijaya
Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :

a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali, yaitu ketika berakhirnya Era/dynasty Warmadewa (keturunan Raja Udayana) akibat dikalahkan Majapahit, maka Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Raja Bali sampai Majapahit pada tahun 1350 menempatkan Kresna Kepakisan sebagai Adipati di Bali bawahan Majapahit, dengan sebutan “Dalem Shri Kresna Kepakisan” (saudaranya yang lain : di Blambangan, Pasuruan dan Sumbawa/Putri).
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Prateka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal“.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan“. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka“.


Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :

1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja) bawahan Majapahit, yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).






3. MAKNA BANGUNAN & PELINGGIH

DI ARE JEROAN (UTAMA MANDALA)
a. Petilasan (Ruang Kaca) : Awalnya merupakan dua gundukan batu (Punden) yang merupakan tempat bhakti pada Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Pendamping (Istri)., yaitu dari arah kita, maka sebelah kiri adalah KIA Pemacekan, sebelah kanan Istri. KIA Pemacekan adalah keturunan dari Sapta Pandita yang tertua (Mpu Ketek). Oleh penduduk setempat KIA Pemacekan disebut „Eyang Putro Rsi Pitu“.

b. Meru Tumpang (susun) Pitu/Tujuh : Adalah Parhyangan Sapta Pandita (Tujuh Pendeta). Mereka adalah Tujuh Mpu bersaudara yaitu : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. Walaupun beliau adalah Leluhur Pasek, Bendesa, Tangkas, namun tidak ada Meru Tumpang Pitu sebagai Parhyangan beliau di Bali, jadi hanya ada di Karangpandan satu-satunya. Sapta Pandita dan keturunannya selalu menjadi „Rohaniawan/Purohita“ kerajaan di Bali dan Jawa namun Sapta Pandita ini menetap di Jawa (di Kuntuliku Desa/ sekitar Malang-Kediri). Secara turun temurun menjadi Purohito di kerajaan Daha sampai Kediri. Ada suatu kisah pada pemerintahan Raja Kerta Jaya (Dandanggendis) yang berkuasa di Kediri pada Saka 1116-1144 (1194-1222M), beliau mengundang para Mpu untuk diuji kesaktiannya apakah bisa berdiri diujung tombak seperti yang dilakukan Raja Kerta Jaya. Karena seorang Brahmana (Pandita) tidak pantas memamerkan kesaktian, maka penghinaan Raja Kerta Jaya agar para Mpu menyembah beliau dijawab dengan kutukan kepada Raja Kerta Jaya dan mereka meninggalkan kerajaan Kediri menyebar kebeberapa daerah. Salah seorang keturunan Mpu Wiradnyana (ke-tiga dari Sapta Pandita) yaitu Mpu
Purwanatha tetap di Panawijen bersama putra-putrinya yaitu Mpu Purwa dan Ken Dedes dimana dikemudian hari Ken Dedes menurunkan raja-raja Mataram (Paku Bhuwono & Mangku Negaran di Solo, dan Hamengku Bhuwono & Paku Alam di Jogja). (Keturunan Mpu Purwa di Bali salah satunya adalah Ibunda Presiden Sukarno yaitu Nyoman Rai Srimben dari Baleagung, Singaraja.)

c. Candi Gelung (Area Dalam) Patung Panca Tirta :
Di sebalah kiri Bale Pawedan terdapat Candi Gelung dimana dari area dalam terlihat lima Pandita yang sedang duduk ber-yoga semadi. Beliau adalah „Panca Tirta“ dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Urutan dari bawah adalah Mpu Gnijaya (tertua) dimana mengandung pesan moral, bahwa yang lebih tua agar mendukung yang lebih muda. Mpu Gnijaya adalah leluhur (ayah) dari Sapta Pandita, dimana Pada masa Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada 988 M – 1011 M, meminta ke Bali Sang Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta (kecuali Mpu Bharadah tetap di Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Parhyangan Catur Sanak ini ada di Bali, yaitu : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru di Pura Catur Lawa-Besakih-Karangasem, Mpu Ghana di Pura Dasar Bhuwana-Gelgel-Klungkung, Mpu Kuturan di Padangbae-Klungkung sekaligus ada peristirahatan Mpu Bharadah. Mpu Gnijaya menurunkan Warga Pasek,Bendesa,Tangkas, kemudian Mpu Semeru mengangkat Putra Darma (Putra Angkat) penduduk Bali Mula yaitu Pasek Kayu Selem, Mpu Bharadah keturunannya dikenal dengan Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, Keturunan Manik Angkeran (Arya Wang Bang Pinatih, Arya Sidemen, Arya Dauh), dll.



d. Candi Gelung (Area Luar) Patung Dewa : Perwujudan Ista Dewata dalam „Wujud Ksatrya“, berupa : Iswara (Putih), Brahma (Merah), Mahadewa(Kuning), Wisnu(Hitam). Paling atas „Brahmana atau Pandita Siwa“, dimana hal ini mengandung makna filosofis yang tinggi yang tidak sembarang orang mampu menafsirkannya..

e. Bale Piasan (Pepelik) : Sebagai tempat pemujaan Ista Dewata, berbagai sebutan Dewa yang dipuja tergantung oleh umat pemuja dapat distanakan di Bale Piasan.

f. Padmasana : Pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai „Surya“ (Dibeberapa tempat walaupun sudah ada Padmasana, maka saat upacara dibuatkan Sanggar Surya, jadi Padmasana bukan semata-mata pemujaan Surya, jadi lebih condong kepada Ista Dewata)

g. Sapta Pertala : Pemujaan penguasa Bumi (tujuh lapisan alam).

h. Bale Pawedan :Tempat bagi para Pandita (Brahmana) saat melakukan Pemujaan.

i. Candi Bentar : Pintu masuk utama mandala (ke dalam Petilasan)

j. Bale Agung : Tempat sesaji atau para Pengrawit (penabuh Gamelan)

k. Patung Ghana/Ganesa : Posisi dipojok (dekat Padmasana) merupakan pemujaan ”Ghana (Putra Dewa Siwa), biasanya umat memohon kepada Dewa Ghana agar terbebas dari halangan.



BALE BANJAR (DILUAR) :
Tempat kegiatan sosial, seperti : Istirahat, rapat-rapat, jamuan, juga ketika ada ”Wilujeng Suro” warga Dukuh Pasekan.


AREA BEJI / TAMAN :
Terdapat beberapa Bangunan Pelinggih yaitu :

Bale Pawedan (Balai didepan kolam): Tempat Pandita me-Puja saat Piodalan atau persembahyangan lainnya.
Bale Pesandekan : Tempat peristirahatan umat khususnya Pandita
Piasan : Pemujaan Ista Dewata.
Padma (diatas/dekat kolam) : Pemujaan Wisnu sebagai Ista Dewata yang berfungsi/ penguasa atas tirta/air untuk pensucian.
Kolam : Simbolisasi dari tempat pensucian, karena fungsi Beji sebagai area pensucian ”Pralingga” Ida Bhatara.
Pelinggih Tan Hana : ada 2 (dua) buah dimana ”Tan Hana” artinya tidak ada, atau yang berada dialam ”Bhuta”.

Rencana kedepan, dibelakang ”Balai Pesandekan” akan dibangun ”Kamar Peristirahatan untuk Pandita”.


III. PARIWISATA DAN PROSPEK PETILASAN.

Petilasan ini yang berada di wilayah Karanganyar menjadi sangat penting artinya bagi pemerintah daerah. Seperti kita ketahui, bahwa Karanganyar merupakan wilayah yang cocok sebagai Daerah Pariwisata, karena didukung oleh alamnya yang sejuk, suasana pegunungan, air terjun, serta peninggalan-peninggalan seperti : Candi Ceto dan Sukuh. Petilasan ini bisa menjadi bagian dari Wisata Rohani/spiritual. Itulah sebabnya Dinas Pariwisata (Diparta) Karanganyar mencanangkan Petilasan ini sebagai salah satu obyek Pariwisata di Wilayah Karanganyar. Pengertian obyek Pariwisata tentu saja lingkungan Puranya bukan Pura itu sendiri, karena aktifitas spiritual berupa Puja Bhakti tidak akan terganggu akibat dijadikannya Petilasan ini sebagai Obyek Pariwisata, bahkan Petilasan ini akan mendapat perhatian Pemerintah Daerah sehingga Sarana/ Prasarana bisa ditingkatkan melalui bantuan dari Pemda Karanganyar. Yang tidak kalah pentingnya adalah tempat ini akan bisa memberikan lapangan kerja bagi penduduk sekitar, seperti : Penjual makanan, penjual barang kerajinan, dan keperluan lainnya. Semoga atas karunia Hyang Widhi , keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita“ dapat memberi kemakmuran kepada kita semua skala-niskala , jasmani-rohani. Moksartam Jaghadita Ya Ca Iti Dharma



Pasekan, 07 Januari 2010

Ttd.

Nyoman Sukadana
Sekretaris – Pengempon