Senin, April 05, 2010

DHARMA SHANTI PERDANA
PHDI KAB KARANGANYAR – JATENG

Sebagai Kabupaten di Jawa tengah yang merupakan salah satu kantong umat Hindu etnis Jawa yang cukup besar, maka pelaksanaan Dharma Shanti merupakan kebutuhan yang bisa dikatakan sangat mendesak, namun mengingat keterbatasan dana serta koordinasi, maka selama ini Dharma Shanti baru bisa dilaksanakan pada tingkat Kabupaten dibawah Koordinasi PHDI Kabupaten dan Kecamatan Karanganyar. Semangat untuk mengadakan pada tingkat Kabupaten tidak pernah surut dan akhirnya atas kehendak Hyang Widhi, maka umat Hindu Karanganyar sepakat untuk tahun 2010 mengadakan Dharma Shanti tingkat Kabupaten yang ”Perdana” di Pendapa (Bale Banjar) Pura Pemacekan-Karangpandan-Karanganyar, dengan dana yang terbatas dan sebagian besar merupakan swadaya umat. Dharma Santi Perdana di Pura Pemacekan ini menjadi sangat penting karena sejarah akan mencatat, bahwa banyak kegiatan PHDI Karanganyar dilaksanakan disini, seperti : terpilih melalui Loka Sabha Pengurus PHDI periode pertama tingkat Kabupaten dengan ketuanya Sujarwo Adipuro (Juga ke-Pengurusan PHDI kedua pada minggu, 06 Juli 2008 dengan Ketua Nyoman Suendi). Disamping itu pada 15 Januari 2006 dilaksanakan Lokasabha ke-2 Peradah tingkat Kabupaten memilih Pengurus DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Pengurus DPK Peradah sebelumnya yang dibentuk pada Lokasabha ke-1 pada 11 Maret 1984 di Gedung Golkar Karanganyar, sampai dengan Lokasabha ke-2 ini sudah berusia 21 tahun karena kesulitan mencari Kader pemimpin, kesulitan konsolidasi, dan juga masalah dana. Dengan berhasilnya melaksanakan Dharma Shanti Perdana ini maka bola telah bergulir dan kedepan akan dilaksanakan kembali dengan kehadiran umat yang lebih besar dan tentunya perlu mengambil tempat yang lebih luas bahkan ada pemikiran untuk menyatukan dengan umat di Surakarta yang sebagian besar umat Hindu etnis Bali sehingga ada rasa persatuan. Apapun keinginan umat selama itu baik perlu didukung, namun khusus untuk wilayah Karanganyar ada catatan khusus, bahwa umat Hindu etnis Bali agar menjadi ”Pengemong”, jangan jadikan umat ini menjadi Hindu Bali tapi jadikan mereka umat Hindu dengan tradisi Jawanya, juga jadikan Pinandita bahkan Pandita sebagai Pinandita/Pandita Hindu dengan keseharian mereka yang Jawa (Jawani), dan dana yang ada untuk upacara di Karanganyar yang milyaran rupiah, akan lebih baik jika digunakan untuk membantu sisi sosial- ekonomi umat karena umat Hindu ini banyak yang tidak mampu secara ekonomi . Pura juga sudah cukup banyak (ada belasan Pura) sehingga hanya diperlukan bantuan perawatan/renovasi. Dibandingkan melaksanakan Hindu tradisi Bali diwilayah mereka, maka suatu saat nanti jika di Candi Ceto terlaksana suatu upacara Hindu dengan tradisi Jawanya dengan umatnya yang berbusana Jawa (bila perlu umat Bali berbusana Jawa saat upacara itu), maka Nusantara bahkan dunia akan kaget atau gempar, ternyata Hindu masih eksis di Jawa Tengah. Jika ada Tradisi Jawa yang belum muncul dipermukaan, mari kita bantu mengangkatnya, dan terhadap tradisi yang sudah ada dibantu mencari dasar tattwa atau sastra Hindu. Akhirnya sesuai dengan ciri Hindu yang demokratis, maka dalam satu vas bunga akan sangat bagus jika terdapat berbagai bunga yang berwarna warna warni. Astungkara.

JALANNYA PROSESI HARI RAYA NYEPI / TAHUN BARU SAKA 1932
Selain terdapat peninggalan Hindu berupa : Candi Sukuh dan Candi Ceto, dilereng Gunung Lawu juga ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan di Demping ada Pura Buana Agung Mahendra Jati, dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan”. Umat Hindu ini sekaligus merupakan Pengempon/Penyungsung Pura tersebut. Dengan dimotori Guru-guru Hindu, anggota Polri, dan tokoh umat, maka dari Hasil Rapat Kerja Pengurus PHDI Kab Karanganyar 14 Februari 2010 dilaksanakan Perayaan Nyepi/ Tahun Baru Saka 1932 dengan tema : ”Jadikan Perayaan Nyepi 1932 dan Dharma Shanti sebagai momentum penyadaran diri dan perekat persaudaraan untuk bersama memajukan bangsa”, dengan rangkaian acara :
07 Maret 2010 : Melaksanakan Melasti di Tlogo Madirdo, Ds. Bejo, Kec. Ngargoyoso.
15 Maret 2010 : Melaksanakan Tawur Agung di Candi Prambanan dan di Pura masing-masing
16 Maret 2010 : Melaksanakan Catur Brata Nyepi
17 Maret 2010 : Melaksanakan Ngembak Geni di Pura yang telah ditentukan masing-masing.
27 Maret 2010 : Melaksanakan Dharma Shanti di Pendapa Pura Pemacekan Karangpandan.
Dharma Shanti
Dimulai dengan persembahyangan bersama di Pura Pemacekan (sekitar jam 09 wib) dipimpin Jero Mangku Pasek. Dilaksanakan acara-acara di Pendapa dengan urutan : Pembukaan Tari Pendet oleh anak-anak SMKI karanganyar, Pembacaan Sloka oleh 2 Mhswa ISI Surakarta, Laporan Ketua Panitia-Supardi Sag, Sambutan-sambutan : Ketua PHDI Kra-Nyoman Suendi, PHDI Jawa Tengah-Nengah Sura Arta,SH., Ketua DPRD Kra-Drs Suminto,SH, Bupati Kra diwakili Kabag Sosial-Slamet Sanyoto sekaligus menyerahkan sumbangan. Juga hadir Muspika Karangpandan ,Dikparta, Perwakilan Lintas Agama dan lain-lain. Acara berikut ”Darmawacana” oleh : I Nyoman Putra,S.Ag, M.Si yang didatangkan dari Bali (Denpasar) dengan tema ”Biarkan kafilah menggonggong, anjing kurap masuk surga” dimana beliau banyak mengupas ”Anjing/Asu” dari sisi positifnya sesuai yang tercantum pada kitab suci Hindu ”Chanakya” yang memiliki 6 hal baik, seperti : Setia, berani, tidak bisa makan banyak, dll. Secara inti beliau mengajak umat Hindu berlaku ”Benar” untuk mencapai kedamaian. Acara berikut Tarian Jawa oleh anak-anak SMKI Kra, yang mengandung filsafat tinggi dengan judul ”Tirto Wening”. Umat Hindu yang hadir sekitar 400 orang dimana merupakan perwakilan saja karena terbatasnya tempat, tidak beranjak dari awal sampai akhir acara. Akhirnya sekitar jam 13 wib semua proses Perayaan Dharma Shanti, diakhiri dengan dipimpin oleh Pembawa Acara-Sukiman,S.Ag, melalui kumandang ”Parama Shanti”, Semoga damai dihati, damai di dunia, dan damai selama-lamanya.




Dilaporkan Oleh,


Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo
28-03-2010
DIHORMATI KARENA KELUHURAN BUDI

Membaca tanggapan umat disebuah Media terkait dengan kritikan hal Abhiseka disebuah tempat (Puri) di Bali selatan yang berbau feodal oleh seorang Jro Mangku. Umat ini menjadi sangat bersemangat menanggapinya bahkan dengan sekuat tenaga membelanya. Saking bersemangatnya sehingga saya kurang sependapat dan terpaksa perlu menyampaikan dalam tulisan ini, adalah ketika Jro Mangku diundang untuk membuktikan keadaan yang ada (Mangde panggih fungsi Ida ... ring luhur) yang ingin menunjukkan bagaimana wibawa dari orang yang dimaksud tersebut, dan cerita panjang lainnya yang berbau feodalisme. Intisari dari pengalaman diatas adalah, setiap keritikan seharusnya dimaknai sebagai sesuatu masukkan yang baik karena orang biasanya lebih tahu dari kita. Dengan memamerkan kewibawaan apalagi kewisesan itu adalah bentuk kesombongan dan kegelapan hati. Suatu kemasyuran atau kewibawaan tidak perlu ditunjuk-tunjukkan yang akan melunturkan wibawa itu sendiri. Kewibawaan sejati akan memancar dari orang yang memiliki keluhuran budi sehingga secara otomatis akan dihormati. Kewibawaan karena keluhuran budi berbeda dengan memamerkan kesaktian atau kekuasaan, karena itu adalah dorongan kelemahan manusia yang ingin lebih dari yang lain, atau mungkinkah begitu cara menjaga kewibawaan ?

Terkait hal itu, penulis teringat ketika kecil, ibu dan paman selalu menceritakan tentang kehebatan tokoh Puri di Bali Timur karena tetua-tetua penulis sebelumnya memang tinggal di bali Timur, walau sekarang di Singaraja. Mendengar cerita itu penulis biasa-biasa saja, tetapi setelah dewasa baru mengerti diri ternyata penulis memang tidak pernah kagum atau takut (bukan dalam pengertian menantang) kepada hal yang berbau ”kesaktian”, tetapi sangat kagum dengan orang yang memiliki keluhuran budi. Dalam daftar tokoh-tokoh yang penulis hormati adalah orang-orang rohani, baik pada jaman dahulu seperti Mpu Kuturan, atau dijaman milineum seperti Pandita, tokoh-tokoh spiritual, bahkan motivator moderen yang banyak berbicara tentang hati. Dari hal ini penulis jadi memahami, bahwa manusia itu tidak ada yang sakti karena semua kekuatan itu bersumber dari Hyang Widhi. Apalagi ”Pajenengan (Keris,tombak, atau wujud lainnya) sebarapa mampu menyimpan energi kekuatan Hyang Maha Kuasa, Jangan-jangan itu hanya energi tertentu dan terbatas yang bernama Bhuta Kala. Hati yang bersih/suci adalah kekuatan yang luar biasa karena menurut ajaran Hindu disana bisa hadir Hyang Widhi yang merupakan sumber kekuatan, sehingga jika diidentikkan dengan kesaktian, maka orang yang sakti adalah orang yang memiliki kebersihan hati. Jika kita selalu memuja kesaktian, maka godaan pamer akan muncul menggoda dan ini sama dengan kesombongan, sedangkan dari kesucian hati akan memancar sikap rendah hati, hormat pada sesama, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan ini adalah bentuk ”Keluhuran Budi” sehingga orang lain akan hormat. Bagi kita sudah selayaknya tidak lagi terjebak pada kekaguman akan kesaktian tetapi merunduklah pada mereka yang memiliki keluhuran budi. Leluhur sebagian besar orang bali adalah orang-orang suci, seperti : Hyang Gni jaya, Hyang Puntranjaya, Panca Tirta, Sapta Pandita, Manik Angkeran, Ki Dukuh Suladri, dan banyak lainnya yang bisa dijadikan panutan. Dijaman Kali Yuga atau jaman kegelapan ini, dapat menimbulkan vibrasi kegelapan hati pada manusia, yang menimbulkan kesombongan, maka diajarkan agar kita lebih introspeksi diri, merenung, atau sering melakukan ”Japa”, semoga dengan itu kita terhindar dari keangkuhan, dan memancar ”keluhuran budi”.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa tengah
16-05-2008.