Jumat, Desember 02, 2011

PITRA YADNYA dalam PERGOLAKAN BATIN


PITRA YADNYA – DALAM PERGOLAKAN BATIN
(Sumbang saran atas fenomena Pitra Yadnya Warga Bugbug)

Isi :
I. Pendahuluan
II. Pengertian Tentang”NGABEN” dan ”PITRA YADNYA”
III. Pandita (Wiku) – Sarati Banten - Yajamana
IV. Pitra Yadnya Sesuai DRESTA (CARE)


I. PENDAHULUAN
”Panca Yadnya” yang terdiri dari Dewa yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa yadnya, dan Bhuta Yadnya, merupakan korban suci (yadnya) yang sudah menjadi bagian dari aktifitas umat Hindu di Indonesia khususnya di bali. Dewa Yadnya, Manusa Yadnya terutama Pitra Yadnya terlihat mendapat porsi lebih dan begitu antusias dilakukan oleh umat dibandingkan Rsi Yadnya yang menempati urutan terakhir jika kita coba urutkan, walaupun punia kepada Rsi yang diwujudkan dalam bentuk perhatian kepada Pinandita/Pemangku, dan Pandita, yang berwujud pakaian pemangku, sesari dan sejenisnya dimana secara nilai uang tidak besar dibandingkan dengan yadnya lainnya, namun hal ini belum menjadi bagian yang penting bagi umat bahkan sering terabaikan, semoga kedepan umat bisa menempatkan Panca Yadnya ini sebagai yadnya yang sama pentingnya. Dalam tulisan ini kita akan coba melihat fenomena ”Pitra Yadnya” yang sedang mengalami dinamisasi dari sisi : upakara, pemuput, dana, dan lainnya dimana secara psychologis akan menimbulkan pergolakan batin bagi umat karena merubah sesuatu yang sudah ada sejak dulu perlu keberanian juga wiweka serta dasar sastra agama, dan disinilah peran Sang Wiku menjadi kunci utamanya.


Pitra Yadnya dijaman sekarang menjadi menarik untuk dilihat bagaimana hubungannya dengan perkembambangan sosial kemasyarakatan umat Hindu khususnya di bali yang terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman, termasuk mulai terbukanya kembali fungsi Pandita secara lebih luas sesuai dengan ajaran Catur Warna dan juga kembalinya jaman dimana fungsi Pandita sampai abad XV masih berjalan secara benar sesuai dengan ”guna” (gen/bakat) dan ”karma” (laku/aktifitasnya) apalagi leluhur sebagian besar orang bali adalah Pandita yang mumpuni dijamannya sehingga wajar jika umat ini ”Patitis sesana kawitan (meniru laku leluhur yang baik)”, dengan demikian tidak mengherankan kalau Pemuput Upakara bukan lagi dengan Bhiseka ”Pedanda” saja ada Mpu, Rsi, Bhagawan, Sire Mpu, Rsi Bhujangga, Dukuh, dan lain-lain karena sesungguhnya mereka semua adalah ”Pandita” yang sama-sama melalui proses ”Dwijati” dan lahir/Embas dari Pandita. Berbicara tentang Ka-Wikon, akan menyentuh juga Sarati Banten dan tentunya Yajamana (Sang Meduwe Karya) karena : Wiku/Pandita, Sarati, dan Yajamana merupakan tiga fihak yang saling terkait, untuk itu perlu diketahui bagaimana komunikasi bagi Yajamana ini ketika akan melakukan Yadnya (cq.Pitra Yadnya) apa yang harus dilakukan.


Mpu Kuturan ketika bersama saudaranya yang dikenal dengan Panca Tirta datang dari Jawa, diminta bantuan oleh Raja Udayana sekitar tahun 1000, untuk menata sosial-spiritual masyarakat bali, maka keberhasilan beliau ditandai juga dengan munculnya Desa Pakraman yang diwarisi sampai sekarang, kemandirian desa-desa ini menjadikan masing-masing memiliki adat sendiri-sendiri sehingga menjadi berbeda satu dengan lainnya termasuk prosesi Pitra Yadnya ada perbedaan masing-masing desa termasuk yang terjadi di desa Bugbug Karangansem yang diwarisi sampai sekarang, apakah hal itu menyimpang dengan sastra agama? Sebaiknya kita jangan terburu-buru menyatakan seperti itu perlu kita kaji lebih dalam dan biarkan berproses secara alami karena masalah yadnya sangat penting masalah rasa (Atmanastuti).

Untuk mengenal lebih jauh, maka pemaparan dilakukan melalui : Pengenalan secara umum akan Pitra Yadnya, fungsi Pandita-Sarati-Yajamana, dan lainnya.



II. PENGERTIAN TENTANG ”NGABEN” dan ”PITRA YADNYA”
Apakah Pitra Yadnya dan Ngaben itu sama atau berbeda?, pertanyaan ini pasti ada dimasyarakat dimana sesungguhnya Ngaben merupakan bagian dari Pitra Yadnya. Ngaben dapat diartikan pembakaran layon (utuh atau setelah berupa tulang belulang) karena Ngaben berasal dari Ngabu atau menjadikan abu, Ngaben juga berarti ”Ngapiin” atau membakar walaupun tidak semua Ngaben berarti dibakar dengan api nyata karena para leluhur kita mampu melakukannya dengan Cita Agni. Jadi Pitra yadnya lebih luas daripada Ngaben dan bisa dikatakan Ngaben itu hanya baru awalnya saja dari proses Pitra Yadnya yang utuh. Pitra Yadnya landasannya adalah Weda, terutama ajaran Panca Yadnya, Catur Guru, dan lainnya, sehubungan di bali ajaran Hindu banyak dituangkan dalam lontar, maka lontar yang khusus memuat Pitra Yadnya, adalah : Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya, jadi Pitra Yadnya sudah ada ageman yang benar sesuai sastra agama, kalau ada perbedaan itu umumnya masalah Drestha. Ngaben dilaksanakan setelah orang itu meninggal dimana menurut ”Vrasphati Tattwa” orang dikatakan meninggal adalah ”setelah Atman ini terlepas dari Panca Maha Bhuta (Apah=darah, keringat, Teja=panas badan, Bayu=napas, Akasa=lobang/rongga, Pertiwi=kulit,daging,otot,lemak) yang merupakan badan kasar (sthula sarira). Badan ini juga terdiri dari ”Panca Tan Matra” (Sabda=telinga&mulut, Sparsa=kulit, Rupa=mata, Rasa=lidah, Gandha=hidung yang mempunyai fungsi merasakan, mencium, dll.) Lepasnya Atma dari ikatan Panca Maha Bhuta maka disebut dengan Mati. Atman jika belum dilakukan Pitra Yadnya disebut petra , yakni Atman yang belum disempurnakan . Atman demikian masih berada di bhur-loka. Apabila sudah dilakukan Pitra Yadnya, maka atmanya disebut pitara. Atman ini telah disucikan karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang Widhi. Atman yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut pula alam pitra/pitara. Atman dalam tingkatan pitara belum bisa ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga , karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah . Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka , yaitu swah loka. Swah loka juga disebut swarga yang artinya berada di dalam swah . Upacara mamukur adalah upacara peningkatan kesucian atman menjadi dewa pitara , artinya pitara yang telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan Batara kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih kamulan atau kawitan oleh keturunannya. Jadi Atman dalam tubuh dibungkus (dibelenggu) oleh 3 (tiga) hal, yaitu : sthula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan halus) dan terakhir Karma Wasana (perbuatan selama hidup). Tujuan Pitra yadnya adalah melepaskan Atma dari belenggu tersebut. Pelepasan Atma dari ikatan sthula sarira disebut dengan ”Sawa/Asti-Wedana (Sawa Wedana=dibakar, Asti Wedana=dikubur lalu dibakar)”, hal ini dikenal dengan Ngaben, sementara pelepasan ikatan suksma sarira disebut dengan ”Atma Wedana” atau Nyekah/Memukur, proses berikutnya adalah ”Ngelinggihang Dewa Hyang” yang diawali dengan ”Me-Ajar-ajar”. Prosesi Pitra Yadnya dari penguburan/pembakaran sampai Ngelinggihang Dewa Hyang atas Atman ini berdasarkan pada sastra agama, apakah Atman ini akan menjadi Dewa Hyang kita semua tidak tahu tetapi kita perlu meyakini ajaran agama, yang lebih penting lagi kita pratisentana sudah melakukan sesuatu yang baik yaitu ”bhakti”. Pada akhirnya sastra agama juga menyebutkan, bahwa setelah lebur/lepas dari Sthula dan Suksme Sarira, maka yang tertinggal adalah ”Karma Wasana” dan inilah yang akan menentukan reinkarnasi atau tidaknya Atman tersebut.

Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebih dahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).





Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :


Sawa Wedana :
1. Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
2. Layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah disediakan.
3. Sampai pada hari ”pengutangan” maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
4. Dalam perjalanan disebar ”sekar ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
5. Pada persimpangan (perempatan) dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca maha bhuta.
6. Setelah sampai disetra juga ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan diturunkan.
7. Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang meninggal.
8. Layon ditempatkan ditempat yang disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah dilakukan ”pembakaran”.
9. Sisa pembakaran berupa tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10. Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
11. Sisa galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
12. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
13. Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
14. Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.

Untuk ”Asti Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah sbb :

1. Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2. Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
3. Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
4. Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
5. Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan upacara.
6. Tulang belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
7. Tegteg diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8. Proses selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.


Ngelunggah (Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
1. Piuning ke Pura Dalem
2. Piuning ke Mrajapati
3. Piuning ke Sedahan Setra
4. Piuning di Bambang rare
5. Banten kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.

Prosesnya: dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan semua banten dipendem.


Ngelanus
Bila Upacara Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan ”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Sete
lah ”Nganyut”, seketika itu :
• mapegat mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”, ngalap don bingin, ngajum sekah.
• Setelah Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke Segara.
• Selanjutnya Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.


Kajang dan Berbagai Tirta
Semua bentuk Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan masing-masing, juga tirta tunggang dari Bhatara Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
a. Tirta panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b. Tirta pangelukatan tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.
c. Tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
d. Tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirta pangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . Dalam Yoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakar stula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.
e. Tirta kakuluh , bermakna sebagai pemberian restu kepada orang yang di upacara Pitra Yadnya.


III. PANDITA (WIKU) – SARATI BANTEN – YAJAMANA

Dalam aktifitas Panca Yadnya termasuk juga ”Pitra Yadnya”, maka selalu ada 3 (tiga) hal pokok yang saling terkait, yaitu ”Pemuput” (Pandita/Wiku, Pemangku, atau lainnya), ”Sarati Banten” (yang menyiapkan Banten/Upakara), dan ”Yajamana” (Sang meduwe karya).

Pandita/Wiku/Sulinggih :
Sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya, khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja Warmadewa sebelumnya. Pada masa Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita, juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU. Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya. Setelah jaman kemerdekaan dan sesudahnya, maka Pandita sudah tidak monopoli lagi oleh keturunan Mpu Nirarta karena disamping leluhur sebagian besar orang Bali adalah Pandita, maka ajaran Catur Warna juga menguatkan, bahwa sesuai Guna (bakat/gen) dan Karma (lakunya), maka siapapun berhak menjadi Pandita, namun untuk di Bali tidak mudah aplikasinya karena Pandita yang seharusnya sudah bebas dari ikatan Soroh/Clan masih dikotakkan minimal dari Abhisekanya, seperti keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga, kedepan kita perlu menyadari, bahwa mereka semua adalah sama-sama Pandita yang bisa diminta Muput.


Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali, ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/rahim/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar.

Pemaparan singkat tentang Pandita tujuannya agar umat tidak bingung atau takut-takut ketika akan melaksanakan Pitra Yadnya dan kemana harus tangkil, jadi pertama carilah Pandita yang dikenal dan merasa cocok karena factor atmanastuti (keneh/kecocokan hati) sangat penting untuk suksesnya suatu upacara yadnya, bisa tangkil ke Pedanda, Mpu, Rsi, Bhagawan, Bhujangga, dan Dukuh karena semuanya punya wewenang yang sama untuk muput Pitra Yadnya.


Sarati Banten :
Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten juga disebut “Upakara” (Upa=dekat, Kara=tangan ), bermakna : Mendekatkan diri dengan tangan dicakup atau kreasi persembahan, seperti : bebantenan (Canang, pejati, dll). disamping itu ada “Upacara” (Upa=dekat dan Cara=Harmonis ) bermakna : Mendekatkan diri kepada Hyang Widhi untuk terciptanya ke harmonisan/kedamaian, melalui aktifitas seperti : Piodalan, Pitra Yadnya, dll. Banten/upakara hanyalah simbul, juga bermakna ”buah pikiran yang baik”, seperti disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakrti: “sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda-bhuana” (artinya: semua jenis banten/upakara adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung/alam semesta). Banten disiapkan atau dibuat oleh orang atau fihak yang disebut dengan ”Sarati”, jadi : Sang Sarati Banten menyiapkan segala sarana upakara yadnya, Sang Yajamana menyiapkan dana atau kebutuhan lain yang terkait dengan upakara tersebut, lalu Sang Pandita/Wiku- muput, sehingga fungsi masing-masing dapat berjalan baik dan menghasilkan Labda Karya atau kesuksesan proses upacara yadnya tersebut. Bagaimana kalau fungsi tersebut digandeng seperti Pemuput adalah Yajamana? Itu bisa saja apalagi jika Yajamana tersebut seorang Pemangku atau bahkan Pandita. Bagaimana kalau Yajamana juga adalah Sarati Banten? Hal itupun bisa terjadi artinya Sang Yajamana menggunakan tenaga masyarakat dan keluarga untuk membuat banten. Bagaimana kalau Pandita adalah juga Sarati Banten? Ini juga ada terjadi dimasyarakat, namun untuk yang terakhir ini sering menjadi sorotan karena masyarakat melihatnya berbeda, umumnya seorang Pandita seharusnya hanya ”Muput” tidak ada lagi berurusan dengan pembuatan banten yang sering diidentikkan dengan busines banten (Gria busines banten)!, sebelum menyatakan demikian mari kita membuka wawasan kita akan situasi bagaimana jika Pandita juga melakukan aktifitas pembuatan banten, walaupun tentu yang membuat para pengayah Pandita di Geria tersebut, apakah hal tersebut dibenarkan ?

Masih teringat dalam memori kita, bagaimana beberapa tahun lalu (sekitar tahun 1960-1980) masyarakat berkeluh kesah ketika melakukan Upacara Pitra Yadnya dimana selalu diikuti oleh ngelus dada karena biayanya yang tinggi, dimana bisa mencapai minimal 50juta untuk ukuran sederhana. Pitra yadnya yang menjadi kebutuhan pokok umat Hindu tetapi dalam prakteknya tidak mampu dilakukan karena biayanya tinggi, maka jadilah banyak Sawa yang belum dilakukan Pitra Yadnya atau kalaupun harus dilakukan melalui menjual sawah atau sumber dana lainnya. Ketika itu image masyarakat, bahwa Pandita sebagai pedagang sangat melekat dan terbawa sampai sekarang. Di era sekarang muncul kemudian usaha-usaha penyederhanaan banten dengan dasar sastra yang benar tidak sekedar menyederhanakan, artinya mana yang pokok dan mana hanya rangkaian (carangnya) saja bisa dibedakan dengan jelas sehingga biaya tidak tinggi. Dengan situasi itu dengan belasan juta saja saat ini umat sudah dapat melakukan Pitra Yadnya secara baik dan memenuhi dasar sastra yang benar. Kenapa biayanya bisa menjadi lebih murah? Intinya memang karena adanya penyederhanaan itu dan itu karena Pandita tersebut banyak yang juga memiliki tukang banten. Maksudnya begini, saat ini banyak terjadi Pandita melakukan juga fungsi Sarati Banten sekali lagi ini pasti dilakukan oleh pengayah Sang Pandita, seorang Pandita tentu mengerti mana yang pokok dan mana yang bisa ditiadakan dan bisa selengkap-lengkapnya jika Sang Yajamana ingin demikian karena misalnya memiliki kemampuan dana yang baik. Bayangkan seandainya jika kegiatan Sarati Banten ini dilakukan murni oleh tukang banten, maka tukang banten akan selalu berkata ”mule keto” tidak berani mengurangi atau melebihkan karena standard yang diketahui sebatas itu, jadi tukang banten ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tetapi jika Pandita mempunyai tukang banten, maka tanggung jawab penyederhanaan itu ada pada Pandita sementara pengayah hanya membuat banten sesuai dengan arahan Pandita. Jadi Pandita yang memiliki tukang banten justru memberi kebaikan bagi perkembangan yadnya. Seorang Pandita juga bisa menerapkan subsidi silang, artinya ketika ada umat yang mampu maka bisa saja biayanya lebih tinggi dan ketika ada umat yang kurang mampu bisa diberikan harga yang lebih murah. Sekilas seperti ada aktifitas busines diarea Pandita ini namun sesungguhnya ini hanya ”pengaturan” agar semuanya berjalan baik. Ada seorang Pandita yang berceritra pada penulis, didatangi umat yang menyerahkan uang 6juta dan meminta dibuatkan upakara Pitra yadnya sampai selesai. Seorang Pandita yang menyadari, bahwa dirinya adalah pengayom umat, maka tidak akan menolak permintaan umat ini dan jadilah Pitra yadnya dengan dana 6juta tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi ketentuan sastra yang benar, biayanya tentu lebih dari 6Juta namun itu urusanya Pandita tersebut, ini yang dimaksudkan dengan pengaturan untuk kebaikan bersama. Jika setiap umat yang datang ke Pandita berlaku seperti diatas, maka akan kasihan sang Pandita, untuk hal ini umat perlu mengerti ajaran Rsi yadnya, bahwa kewajiban kita untuk me-punia kepada Pandita karena mereka tidak lagi berpenghasilan, jadi kewajiban umat terutama warga yang mengangkat Pandita untuk memenuhi kebutuhan mereka, kalaupun pandita mendapatkan Sesari atau ada kelebihan dari pembuatan banten itu bukan dalam pengertian busines, umat tetap punya kewajiban untuk melakukan Rsi yadnya. (Bhagawadgita III.13, menyebutkan : ”Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri”). Dengan demikian apakah tidak ada Pandita yang menjalankan praktek menjual banten dengan standard tinggi sehingga menjual mahal kepada siapapun? Mungkin saja hal itu ada, tetapi itu bukan urusan kita (Walaka) untuk mengkritisi, itu urusan Nabe-nya atau urusan Paruman Pandita, jangan sampai para Walaka ini ikut menghujat Pandita, itu bukan sesana atau prilaku yang benar. Pandita sekarang ini menurut pengamatan penulis mempunyai fungsi mendorong terciptanya peningkatan pemahaman Tattwa, salah satunya melalui peningkatan pemahaman akan hakekat banten/upakara sehingga dengan pemahaman itu umat tidak lagi melakukan ”Tamasika Yadnya” atau Yadnya yang dilakukan dengan ketidak fahaman akan maknanya, juga jangan sampai melakukan ”Rajasika Yadnya” yaitu yadnya hanya untuk pamer, prestise, namun lakukanlah ”Sattwika Yadnya” yaitu yadnya yang didasari oleh pemahaman , keikhlasan, dan kesederhanaan..

Terkait dengan Sarati Banten ini, maka jika akan melakukan Pitra Yadnya datanglah pertama kepada Pandita, beliau akan mengatur langkah selanjutnya, seperti : Negem Dewase, tingkatan upacara & upakara (nista,madya,utama) disesuaikan dengan keuangan, Ngelanus atau sampai ngerorasin atau sampai nyekah, dan seterusnya, nah.. jika Pandita mempunyai Sarati banten silahkan lansung diselesaikan di gria ibaratnya “satu pintu”. Kadang ada umat yang masih membawa dresta dalam pelaksanaan Pitra Yadnya sehingga ada sebagian banten yang disiapkan secara dresta tempat tinggalnya, itu tidak apa-apa disampaikan kepada Pandita karena pasti akan diberikan solusi sesuai dengan keyakinan kita selama itu benar. Jika pertama umat datang kepada Sarati banten disamping resiko akan lebih mahal juga perlu diberitahu kepada Pandita atau pengiring Pandita hal bebantenan yang sudah dipesan, tetapi sekali lagi dengan cara ini akan lebih boros dan lebih rumit koordinasinya dibandingkan Pandita menyiapkan upakara/banten sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh beliau, itu akan lebih memantapkan pemujaan saat dilangsungkan.



Yajamana :
Yajamana adalah Sang Meduwe Gawe/Karya, yaitu fihak yang keluarganya akan dilakukan Pitra Yadnya. Bagi Yajamana yang utama adalah “ketulusan” terhadap apa yang akan dilakukan karena aktifitas Pitra Yadnya adalah bentuk Bhakti kita pada orang tua (Guru rupaka) sesuai ajaran Catur Guru, juga bentuk Bhakti atau sungkem kita kepada yang menyebabkan kita ada atau yang sedarah dengan kita. Faktor berikutnya adalah kesiapan dana, jika kita mampu atau mempunyai keuangan yang cukup artinya diluar Pitra Yadnya kita masih mampu membina kehidupan dengan harta benda yang ada, maka silahkan melakukan dengan “utamaning-utama”, namun jika kita belum mampu jangan memaksakan diri apalagi sampai meminjam untuk Pitra yadnya itu tidak dibenarkan. Jika keuangan terbatas lakukan secara “Nistaning nista”, hal itu tidak apa karena utama dan nista bukan bhaktinya tetapi kesiapan materinya. Tidak ada jaminan, bahwa yang utama akan masuk swargan dan yang nista tidak, itu bukan ukurannya. Pitra yadnya adalah kewajiban kita sedangkan karma wasana seseorang bersifat independent artinya yang akan melekat pada Atman setelah Ngaben dan Nyekah/memukur adalah Karma wasana (hasil perbuatan), inilah yang menentukan kelahiran kembali (re-inkarnasi/samsara/numitis) bagi yang bersangkutan. Sekarang ini ada praktek Ngaben Massal atau Ngaben Gotong Royong, dan jika perlu mengikuti didalamnya asalkan dengan ketulusan hati, atas asung Hyang Widhi, maka bhakti dari pratisentana akan mend
apatkan hasil yang baik. Yang paling penting jangan sampai melakukan Pitra yadnya dengan ketidak tulusan ataupun dalam pergolakan batin.



IV. PITRA YADNYA SESUAI DRESTA (CARE)

Pelaksanaan Pitra Yadnya di Bali saat ini masih dipengaruhi oleh Drestha/ Care atau kebiasaan setempat atau kebiasaan sebuah desa adat, sehingga muncul wacana untuk mengembalikan Dresta itu kepada Sastra, yaitu berdasarkan Ageman/Pakem Pitra Yadnya dengan dasar-dasar Weda termasuk yang tertuang dalam lontar-lontar seperti disebut diatas (Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya). Dresta dalam pelaksanaan Pitra Yadnya tentu terjadi juga secara kebiasaan Desa Bugbug, untuk hal ini sangat bijaksana jika kita tidak nyatakan secara terburu-buru - salah atau bertentangan dengan sastra, kita perlu mengkaji dulu dan diluruskan secara bijaksana dengan pemikiran yang baik dan secara bersama-sama oleh tokoh masyarakat, tetua, Pinandita serta Sulinggih. Sebelum kita membahas bagaimana sebaiknya menata kembali sistem Pitra Yadnya secara kebiasaan desa Bugbug menuju kepada sastra atau pekem yang umum dan benar, mari kita mundur sedikit terhadap sejarah masa lalu yang menyebabkan di bali itu ada berbagai Dresta dan cendrung sangat kuat dan eksklusif.

Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.

Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di di wilayah pegunungan Dieng di Jawa lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selalu menjadi Purohita Kerajaan. Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Udayana menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta. Keturunan dari Panca Tirta ini kemudian menjadi penduduk Bali berikutnya seperti Warga Pasek Sanak Pitu, Ksatrya Dalem, Warga Brahmana, dan para mantri-mantri dengan sebutan I Gusti.

Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah. Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit sekaligus sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343 – 1350 Masehi). Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. ( Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra. Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil di sembilan tempat (sekarang menjadi 8 kabupaten plus Mengwi) tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.

Keberadaan 9 kerajaan di bali fase penjajah dan mengingat desa pakraman ciptaan Mpu Kuturan dengan Bendesanya sudah sangat kuat, maka waktu demi waktu perkembangan masing-masing desa menjadi independent, walaupun konsep Tri Murti dengan Tri Kahyangan (Desa, Puseh, Dalem) tetap sama namun pengaruh daerah menjadi dominan dan membedakan dengan desa lainnya. Ini juga yang terjadi dengan Desa Bugbug, sesuai dengan Sejarah Desa Bugbug (Silahkan dibaca Sejarah Desa Bugbug dari lontar atau catatan yang tersimpan) ,maka faktor dinamika penduduk bugbug yang merupakan ”Pagubugan” juga menyebabkan aplikasi Pitra Yadnya menjadi berbeda.


Alih Landasan Pitra yadnya dari Dresta ke Sastra
Seperti kita ketahui, aktifitas Pitra Yadnya dengan tradisi Bugbug dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : Pengabenan, umumnya pada bulan Juli-Agustus dan ”Usabe Kelod” umumnya pada bulan Maret dan dilaksanakan 2 kali (nyumunin dan ngunyain). Apakah tata cara yang dilakukan itu salah atau benar, tidak mudah menyatakan karena aktifitas tersebut sudah dilaksanakan ratusan tahun dan berjalan dengan baik, karena sekali lagi ukurannya adalah ”Bhakti” dari pratisentana, tidak ada istilah benar atau salah untuk suatu upacara, yang salah adalah jika melakukannya tidak dengan dasar bhakti yang tulus. Wacana untuk mengarahkan Pitra Yadnya dengan Dresta Bugbug kepada sastra hanyalah untuk memberi landasan Tattwa kepada pelaksanaan Pitra yadnya tersebut. Jika kita mencoba menyimak apa yang terjadi di Bugbug misal saat Pengabenan ini identik dengan ”Asti Wedana” dalam pakem Pitra yadnya, masalah ditanam dulu baru dibakar (Asti Wedana) atau dibakar langsung (Sawa Wedana) itu terkait sekte/mazab yang memang ada dalam Hindu. Yang perlu disempurnakan adalah pemakaian Tirta, saat ini pengabenan hanya ”Nuwur Tirta” di Gria atau tempat lainnya, jika ini langsung dipuput oleh Pandita tentu akan lebih baik, namun jika setiap Sawa ada Pandita dan dirasakan berat, maka wacana Ngaben Masal adalah Solusinya. Saat itu bisa lebih dari satu pandita dapat Muput Ngaben Masal tersebut. Aktifitas berikutnya adalah ”Ngusabe Kelod”, jika ini dikaitkan dengan pakem Pitra Yadnya, maka ini sama dengan Memukur/Nyekah atau ”Atma Wedana”. Mengingat waktunya tidak berbarengan dengan Asti Wedana (Pengabenan), maka ini bukan kategori Ngelanus. Yang perlu disoroti adalah Ngusabe Kelod yang dilaksanakan menunggu satu pacek (sepasang suami-istri), bahkan berkembang kemudian menjadi menunggu Pacek berikutnya misalnya anaknya, dan jika ada anak lainnya yang belum meninggal, maka Ngusabe kelod akan ditunda dan ini bisa berpuluh-puluh tahun. Jika dikaitkan dengan proses Pitra yadnya, bahwa jika hanya sampai Asti/Sawa Wedana, maka Atma masih di Dalem (Pura Dalem), maka ini berarti sangat lama Atma tersebut menunggu belum dilakukan Pitra Yadnya-Atma Wedana dan ini berarti pratisentana terlambat melakukan kewajibannya sebagai su-putra, keterlambatan ini tentu merupakan karma kita yang kurang baik. Yang perlu juga disorot adalah dua kalinya Ngusabe Kelod (Nyumunin dan Ngunyain) ini akan menambah lamanya Sang Atma lepas dari badan halus (suksme sarira) apalagi langkah berikutnya masih ada ”Ngelinggihang Dewa Hyang”. Jadi kesimpulan menurut penulis, tradisi Pitra Yadnya dengan Dresta Bugbug (Pengabenan & Ngusabe Kelod) sudah memenuhi dasar sastra, hanya perlu diselaraskan pengaturan waktunya dan penggunaan Pandita sebagai Pemuput. Wacana untuk melakukan transfer Dresta kepada sastra agar dilakukan dengan bijaksana supaya umat memperoleh manfaat banyak dimana : Pitra Yadnya dilakukan dengan dasar sastra yang benar, hemat biaya dan waktu, dan bhakti sesuai ajaran Catur Guru dapat diimplementasikan dengan baik. Pelaksanaan dengan dasar sastra itu sudah mulai dilakakukan oleh umat warga Bugbug yang ada di Singaraja dan ini jika dirasa benar akan diikuti oleh umat lainnya, yang penting jangan menjadi terkotak-kotak, bahwa ini cara baru dan itu cara lama, namun jadikan ini sebagai pilihan hati, bagi yang ingin melakukan dengan kebiasaan di Bugbug maupun prosesi dengan pakem yang sudah umum dilakukan diluar Bugbug. Yang paling utama lakukan secara bertahap/perlahan, tidak prontal, agar niat kita yang suci bisa memperoleh jalan yang terbaik sehingga kedepan ”Pitra Yadnya dapat dilakukan dengan ning ring manah bukan dengan pergolakan batin”. Jangan lupa kewajiban kita pada orang tua, jangan hanya setelah meninggal, tetapi yang lebih penting lagi adalah semasih hidup, hormat dan bhaktilah pada orang tua, pelaksanaannya bisa lakukan sungkem (Pada-samskara) khususnya pada ibu, minimal jangan menyakiti hati mereka justru buatlah agar mereka senang. ”Hendaknya putra patuh kepada bapaknya dan penurut kepada ibunya (Atharvaveda III.30.3)”



Sebagai akhir kata, tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran yang kecil dibandingkan apa yang telah dilakukan secara nyata oleh semeton Bugbug baik di desa bugbug maupun diluar bugbug seperti di Singaraja dan daerah lainnya, namun sekecil apapun sebuah pemikiran itu merupakan nyala yang kalau dilakukan bersama dan ditindak-lanjuti akan menjadi api besar yang dapat mengobarkan semangat kita untuk menuju kepada sesuatu yang baik menurut ajaran agama, akhirnya -- ”semoga hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini”,

Om Ksama sampurna ya namah swaha



Om Santih Santih Santih


JMk Nyoman Sukadana
Warga Bugbug yang tinggal
Di Karanganyar/Solo-Jawa Tengah

16 Nopember 2011

Rabu, November 16, 2011

KARMA yang BER-INKARNASI


”Hidup adalah Menjalani Karma”, kalimat tersebut jika dilihat secara keliru, maka tersirat hidup ini adalah suatu hukuman dan dunia ini adalah penjara besar karena setiap yang terlahir adalah orang-orang atau mahluk hidup yang pernah melakukan kesalahan dikelahiran sebelumnya. Jika kita berpikir seperti itu, maka demikianlah adanya yang kita rasakan dan kehidupan ini menjadi begitu membosankan, tidak menggairahkan, namun jika kita berpikir yang sebaliknya atau yang lebih optimist, bahwa hidup adalah suatu kesempatan untuk memperbaiki karma kita pada kelahiran lalu, maka tentu perasaan terhukum ini akan tidak ada karena Weda menyebut dalam ajaran Tri Pramana, bahwa kelahiran sebagai manusia lebih mulia dari kelahiran sebagai binatang ataupun tumbuhan karena manusia memiliki ”Suba dan Asuba Karma” artinya manusia bisa berbuat baik atau buruk dan manusia juga mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri, jadi mari kita sepakati, bahwa hidup adalah kesempatan yang sangat baik untuk memperbaiki diri.

Jika kita sepakat atas hal itu, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya sikap kita dikehidupan sekarang ? point ini akan menjadi sasaran/target utama bagi kita guna mendapatkan kehidupan lebih baik dikelahiran ini. Jawabannya adalah dengan mengikuti petunjuk Hyang Widhi yang tertuang dalam Weda, sehingga kita menuai karma yang baik atas karma yang kita lakukan sekarang. Untuk lebih jelas, mari kita melihat proses pitra yadnya yang merupakan bagian dari Panca Yadnya, dalam proses ini setelah dilakukan Ngaben (Ngabu,Ngapiin) maka sthula sarira (badan wadag) sudah dilebur dan setelah dilakukan Nyekah/memukur, suksma sarira (badan rohani) sudah dilebur, maka yang tertinggal adalah Atman yang masih diliputi oleh hasil perbuatan (Karma Wasana) sehingga terjadi penitisan kembali (re-inkarnasi) entah menjadi apa tergantung kepada karma wasana tersebut. Jadi walaupun Atma merupakan percikan Brahman yang menyebabkan adanya kehidupan, ada manusia, binatang, tumbuhan, sesungguhnya ”Karmalah yang ber-inkarnasi”. Inkarnasi sebagai apa? Itu rahasia Hyang Widhi namun yang dapat dipelajari dari kitab suci, bahwa jika berprilaku buruk lebih menonjol rajasika (Pemarah, membunuh, dan sejenisnya) akan lahir sebagai binatang buas, beracun, dan lainnya. Jika lebih menonjol Tamasika (Pemalas) maka bisa saja lahir sebagai babi atau binatang sejenis lainnya atau lahir sebagai manusia yang hina dina, pengemis, dan sebagainya, dan jika satwika dalam kehidupan maka dapat reinkarnasi menjadi manusia utama atau ketingkat yang lebih baik sesuai tujuan agama Hindu yaitu moksartham jagaditha. Untuk itulah ajaran agama yang diajarkan kepada kita baik dengan membaca, mendengar, melalui budaya (tarian, tabuh, dll) merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia semasih hidup untuk meningkatkan kualitas diri dalam kehidupan sekarang. Usaha tersebut terus berlanjut, bahkan ketika meninggal dan dilakukan keluarga atau kerabatnya yang dapat dilihat pada proses memandikan layon/jenasah. Pesan-pesan kebaikan dilakukan secara simbolis, seperti kebiasaan beragama bagi umat Hindu di Bali. Saat proses memandikan tersebut, maka alis ditempelkan daun intaran mengandung harapan agar dikelahiran nanti alisnya melengkung indah seperti daun intaran, kedua mata ditaruh cermin/kaca agar bersinar terang seperti kaca, didada ditaruh daun gadung, dihidung ditaruh pusuh menur, dan sebagainya, semuanya itu punya maksud tunggal agar kelahiran kembali menjadi lebih baik secara fisik (cantik, ganteng). Bagaimana secara rohani ? orang tua kita tidak melakukan kegiatan khusus seperti saat memandikan layon tadi untuk membentuk agar rohaninya menjadi lebih baik (mungkin bagi yang sadar/ingat menyelipkan doa kebaikan ini ketika memandikan atau dikesempatan lainnya), ini bukan berarti leluhur kita pasif atau tidak berusaha agar kelahiran kembali dengan sifat-sifat yang baik, sebab mereka sangat yakin, bahwa Karma Wasana yang melekat akan dijalaninya pada kehidupan kemudian. Orang tua dan keluarga hanya sebatas, melakukan kewajibannya (Pitra Yadnya) dari pembakaran/penguburan, nyekah/memukur, Me-ajar-ajar, dan Ngelinggihang Dewa Hyang, selebihnya tergantung kepada Karma Wasana masing-masing. Untuk proses Ngelinggihang Dewa Hyang bukan dimaksudkan meningkatkan keluarganya yang di Pitra Yadnya menjadi Dewa, namun intinya adalah ngelinggihkan Atma yang pernah memberi kehidupan kepada keluarganya untuk melinggih kembali keasalnya di Kemulan sebagai Dewa (Brahman), sehingga salah besar jika ada umat yang tidak mau melakukan persembahyangan di Kemulan orang lain hanya karena menganggap di kemulan itu dipuja orang yang bukan keluarganya atau dianggap lebih rendah strata sosialnya, ini adalah kesalahan yang tidak boleh berlanjut, karena yang dipuja di Kemulan adalah Tuhan yang
sama yang kita puja dan agungkan.
Kembali kepada Karma yang inkarnasi, maka fenomena dimasyarakat yang menerima dengan baik, bahwa Karma wasana itu akan diturunkan pada kelahiran kembali, menjadi di-amini, bahwa perbuatan buruk yang menjadikan dosa itu akan diwarisi selama tujuh turunan, jadi seolah si bapak, si kakyang, si Kumpi, dan seterusnya yang jika kebetulan mempunyai dosa akan diturunkan secara turun temurun kepada keturunan berikutnya sampai tujuh tingkat. Hal ini ada benarnya namun banyak salahnya jika merujuk kepada ajaran Samsara/Penitisan/reinkarnasi. Karma wasana bersifat independent, bisa jadi orang yang dulu penuh dosa lahir dikeluarga lain dan disana menjalani karmanya, bisa juga dari keluarga lain turun dikeluarga kita dan menjalani karmanya, dan ini murni urusan yang bersangkutan. Jika didefinisikan, bahwa Karma wasana tersebut akan dicuci selama tujuh turunan karena saking beratnya dosa yang dilakukan mungkin masih dibenarkan, tetapi sekali lagi apa yang kita rasakan sekarang adalah karma kita dikelahiran dulu, bukan salahnya orang tua, kakyang, dan seterusnya, karena kita independent. Jadi mari kita luruskan apa yang salah pada sekitar kita dengan merujuk kepada sastra suci dan kitab suci yang kita jadikan panutan, dan yang paling penting dari semua itu adalah ”Mulailah berbuat baik mulai dari sekarang”, walau kita pernah melakukan kesalahan itu adalah hal yang wajar karena terlahir sebagai manusia pasti karena kita pernah melakukan karma yang tidak baik, namun berusaha untuk tidak melakukan hal yang buruk, bahkan selalu melakukan hal yang baik merupakan jalan terbaik yang bisa dirintis mulai sekarang, semoga kedepan sesuai dengan harapan semua orang kita bisa lahir kembali dengan jasmani dan rohani yang baik, bahkan tidak perlu lahir kembali atau menyatu Atman dengan Brahman. Om Ksama Sampurna ya Nama Swaha


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 15-11-2011

Senin, Oktober 31, 2011

PEDANDA JABA


Pada tahun 1999 Bhagawan Dwija menanyakan kepada Nabenya Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha (Seririt) tentang kenapa beliau disebut oleh orang dengan sebutan “Pedanda Jaba”, belum lama ini (2004) penulis juga diceritrakan oleh Sulinggih Mpu, bahwa warga didesanya (tidak seluruhnya) menyebut beliau “Pedanda Jaba” . Jawaban yang diperoleh dari kedua Sulinggih tersebut atas pertanyaan ini adalah sama, yaitu : Biar saja yang disebut Jaba khan Pedanda !, sebuah jawaban yang diplomatis tetapi mengandung makna kestabilan emosi yang tinggi. Kurun waktu 5 tahun (1999-2004) adalah waktu yang cukup lama berarti sekian tahun itu tidak banyak kemajuan pada umat tentang pengertian Sulinggih, Sadhaka, atau Brahmana. Kenapa itu bisa terjadi ?.


Jika menyimak fenomena dimasyarakat, istilah Pedanda Jaba masih banyak diucapkan oleh umat dipedesaan yang sangat sederhana cara berpikirnya, lugu, dan masih kental sitem feodal masyarakatnya. Mereka bukan bermaksud menghina Para Sulinggih Mpu tetapi karena mereka tidak tahu. Ketidak tahuan itu bisa dimaklumi karena keadaan itu sudah berlangsung ratusan tahun dimana yang mereka tahu Sulinggih itu adalah Pedanda dari soroh tertentu. Adalah sejak abad 15 di Bali terjadi pembagian porsi umat yang dimana Sulinggih (Brahmana) diambil porsinya oleh Danghyang Nirarta dan keturunannya yang dari sini menurunkan Pedanda secara turun temurun, porsi Ksatrya diambil oleh Dalem (Anak Agung), Wesya oleh Para Arya (I Gusti), dan diluar itu Sudra. Diluar Sudra disebut juga Tri Wangsa sedangkan Sudra ini dikenal di Bali dengan sebutan Jaba. Itulah sebabnya warga yang sejak abad 16 dipisah menjadi sistem Kasta oleh Kolonial hanya tahu, bahwa Sulinggih itu adalah Pedanda sehingga jika ada umat dari Soroh lain menjadi Sulinggih berarti bukan keturunan Brahmana tetapi keturunan Jaba sehingga Sulinggih itu disebut Pedanda Jaba. Istilah Jaba ini adalah produk politis abad 16 yang masih terbawa sampai sekarang. Istilah Jaba ini banyak diarahkan kepada Soroh Pasek karena memang setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel tidak lagi menjadi Raja Bali kemudian digantikan oleh Dalem sebagai wakil Raja di Jawa, maka kedudukan terhormat itu sudah tidak ada. Lebih-lebih lagi tidak banyak yang meneruskan laku leluhurnya yaitu Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta menjadi Mpu, malah rohaniawan dari keturunan Mpu Gnijaya (Warga Pasek) diberi sebutan “Dukuh” . Sehubungan dengan waktu Dalem menjadi wakil Raja di Bali penduduk Bali dan Wong Bali Mula (Warga Kayu Selem) hanya tunduk kepada Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel ,maka Warga Pasek masih dibutuhkan menjadi Bendesa (Banda=Pengikat Desa=Tempat) yang tersebar diseluruh Bali. Ada juga keturunan yang menjadi Patih di Gelgel sehingga bergelar I Gusti, tetapi lama kelamaan yang menduduki jabatan semakin berkurang dan banyak yang hanya menjadi Petani atau abdi inilah yang mendapat porsi “Jaba” tadi dan mendapat perlakuan berbeda dalam hal Pitra Yadnya (Ngaben) dan cara berbicara (Saur singgih). Turunnya strata sosial Warga Pasek waktu itu disamping karena hal politis bisa jadi adalah karena melanggar bhisama Bhatara Kawitan dimana para sentana diharuskan menjalankan Sasana Kawitan yang adalah Brahmana Jati dan tidak melupakan Parahyangan Leluhur dan saudara. Warga Pasek lainnya. Umat yang menyimpang ini sekarang tenar dengan sebutan “Pasek Paling”. Kemudian untuk kembali kepada petunjuk Bhatara Kawitan (Back to Bhisama) maka selalu diminta kepada Warga Pasek untuk menjadi “Paling Pasek (Pasek=Patitis Sesana Kawitan). Sehubungan dengan Warga Pasek jumlahnya sangat besar di Bali (mungkin diatas 50%), maka Pasek Paling ini juga sangat banyak, bisa jadi mereka inilah yang termasuk menyebut Sulinggih Mpu dengan sebutan Pedanda Jaba dimana sebenarnya merupakan satu leluhur dengan mereka.

Adalah sangat bijak Sulinggih Mpu untuk tidak menjelaskan kepada umat bahwa beliau bukan Pedanda Jaba, karena jika Sulinggih Mpu menjelaskan, maka akan dikatakan meninggikan diri atau membicarakan tinggi-rendah. Yang paling tepat untuk menyampaikan ini kepada umat yang masih belum mengerti itu adalah “Para Pedanda”. Para Pedanda yang adalah juga Brahmana dimana hidupnya hanya memuja kebesaran Hyang Widhi melalui palayanan kepada umat, harus terlibat juga pada meluruskan yang salah terhadap persepsi masyarakat dengan munculnya istilah Pedanda Jaba. Tetapi waktu 5 tahun ini yang terpendek dimana sebenarnya sudah berjalan lebih dari itu, penulis masih mendengar terjadi sebutan Pedanda Jaba, ini berarti belum ada kemajuan yang berarti. Apakah ini karena warga yang masih belum mengerti atau tidak mau mengerti atau fihak yang tahu sengaja tidak menjelaskan karena factor prestise yang bisa hilang, atau karena apa, mari kita cari bersama-sama. Yang penting bagi kita adalah sudah waktunya menegakkan Ajaran Hindu yang benar di Bali yang akhir-akhir ini dalam kasus Kaset Iwan Fals didengungkan lagi ajakan introspeksi kedalam, sudah waktunya kita tidak melakukan pembodohan atau menjadi tinggi atau terhormat diatas kebodohan orang lain, karena ukuran terhormat bagi kita adalah jika menghormati orang lain lebih-lebih bisa membuat orang lain menjadi terhormat.

Akhir kata penulis mengajak kepada umat yang masih memakai istilah Pedanda Jaba agar belajar lagi akan hakekat diri sendiri, leluhur, dan Hyang Widhi sehingga dapat menyebut sesuatu itu dengan benar, dengan demikian umat secara bertahap sudah meningkatkan dirinya sendiri menjadi Pemuja Hyang Widhi, bhakti pada Leluhur, hormat pada sesama bukan sebagai penyembah/ abdi karena hanya Hyang Widhi yang patut disembah, siapa tahu atas asung wara nugraha Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan maka pintu peningkatan kehormatan diri anda dibukakan dan siapa tahu juga dikemudian anda bisa menjadi Sulinggih, sehingga saat itu anda sudah tidak lagi disebut Pedanda Jaba.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah

KAHYANGAN JAGAT DI JAWA


Jika dibaca pustaka-pustaka kuna, maka istilah yang ada untuk tempat suci dikenal dengan sebutan ”Parhyangan”, namun sekarang ini sering disebut dengan Kahyangan atau Pura. Pura atau Kahyangan ini secara garis besarnya dapat dibagi 2 (dua), yaitu : Pura atau Kahyangan Khusus, yaitu Pura untuk kelompok keturunan /warga. Pura ini juga disebut ”Sangkaning Dadi (Mula Penjelmaan) sehingga lebih dikenal sekarang dengan Pura Kawitan. Yang kedua Pura atau Kahyangan Umum yaitu tempat suci untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Hyang Widhi atau perwujudannya. Dibali Pura atau Kahyangan yang tersebar di delapan penjuru angin disebut dengan ”Kahyangan Jagat” yaitu perwujudan (personifikasi) dari kemahakuasaan Hyang Widhi yang disebut Asta Aiswarya, sehingga Pulau Bali dilambangkan dengan Padma Astadala yaitu Tunjung/teratai berdaun delapan helai. Pura Kahyangan Jagat ini adalah : Pura Lempuyang luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur/Ulundanu, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Pengelengan/Bukit Mangu, dan Pura Besakih yang berfungsi Tengah dan Timur Laut.


Bagaimana dengan di Jawa ? di Jawa kita tidak atau belum menemukan Pura atau Kahyangan yang secara keberadaannya di delapan penjuru seperti di Bali, namun masyarakat (umumnya orang Bali) sering menyebut Pura-Pura besar di Jawa sebagai Kahyangan Jagat. Seperti seorang Pemangku yang diwawancarai sebuah stasiun TV pada acara di Candi Ceto pada Juli 2007 lalu menyebut Candi Ceto adalah Kahyangan Jagat entah apa alasannya. Untuk Candi Ceto sendiri ada sebutan yang berbeda-beda, seperti ada yang menyebut ”Dalem Solo” itupun tanpa ada dasar yang jelas. Bersyukurlah di Bali karena leluhur terdahulu sangat arif dengan pengertian Kahyangan Jagat dan dibuktikan keberadaannya didelapan penjuru angin. Jika demikian, maka kita kembalikan saja definisi Kahyangan di Jawa ini kepada para Pengempon/Pengampu Kahyangan ini yaitu masyarakat Jawa yang tinggal disekitar Kahyangan tersebut. Bagi orang Jawa Kahyangan ini mereka sebut dengan ”Candi” contohnya Candi Ceto. Mereka juga sudah punya perayaan sendiri untuk Candi Ceto sesuai dengan tradisi mereka. Saudara kita dari Bali sering memberikan contoh yang kurang bijaksana kepada saudara-saudara kita umat Hindu etnis Jawa, karena kita sering terlalu mendominasi suatu perayaan atau persembahyangan dengan sarana upacara seperti di Bali dengan biaya sangat besar, ironis sekali jika dilihat dimana umat Hindu Jawa justru banyak yang hidupnya sangat sederhana secara materiil. Lalu apa sebenarnya tujuan kita melakukan suatu persembahyangan yang begitu megah ke Jawa ??. Ketika seorang kawan dikantor bertanya ”Apa ada sembahyangan Hindu?, maka dengan diplomatis saya jawab tidak, itu hanya beberapa umat Hindu yang mau bersembahyang”. Jawaban itu saya berikan karena saya tidak pernah bangga ketika orang Bali yang mengadakan persembahyangan di Jawa melakukan upakara yang begitu megahnya dengan biaya sangat besar seperti yang biasa dilakukan di Bali, sehingga tidak ingin kawan saya melihat Hindu itu adalah seperti di Bali padahal ini di Jawa. Contoh seperti itu bisa dilihat di Semeru,dan Gunung Salak. Jika kita (orang Bali) sadar, bahwa kita di Jawa, maka biarlah umat Jawa yang menjadi utamanya (Pemucuk/Pemokok), dan biarlah mereka melakukan tradisi pemujaan Hindu seperti yang biasa dilakukan leluhur mereka di Jawa. Jika di umat Jawa ada Sulinggih (Brahmana) biarlah mereka yang menjadi Wiku Utama, bukan Pedanda-Pedanda. Kita umat Bali cukup mendorong atau jadi penggerak. Silahkan kalau punya hubungan di-birokrasi, jaringan informasi, personil, juga dana, difungsikan dengan baik dan arahkan itu semuanya untuk kemajuan Hindu. Sebagai ”penggerak” tentunya tidak perlu terlihat dipermukaan, karena jika hanya memerlukan ”publikasi” atau muncul di media-media, maka itu namanya mencari popularitas, dan inilah kebanggaan semu yang tidak memberikan dampak rohani berupa kebahagiaan, tetapi akan selalu menuntut pemuasan-pemuasan yang tidak akan habis-habisnya sampai kita capek, itulah hakekat mengejar ”kebanggaan yang semu”. Jika kita sepakat, bahwa Kahyangan di Jawa atau daerah lain diluar Bali diprioritaskan kepada umat setempat, maka : di Candi Ceto diutamakan kepada umat Jawa khususnya yang di Karanganyar sebagai Pengampu, Pura Semeru kepada umat Jawa di Lumajang, Gunung Salak kepada umat Hindu Sunda, di Kalimantan (Jika ada Kahyangan Jagat) diutamakan kepada Umat Hindu Dayak, di Toba (Sumatra utara) kepada umat Hindu Batak, dan seterusnya, juga ketika di India tentu akan diatur oleh umat India bukan dari Bali bawa banten ber-truk-truk.

Kembali kepada Kahyangan Jagat, maka sesuai dengan definisinya disana distanakan ”Hyang” atau Personifikasi Hyang Widhi dalam wujud Dewa-Dewa atau Bhatara (Bhater/Pelindung), sehingga umumnya disana tempat menghubungkan diri yang penuh ketenangan/keheningan, jauh dari keinginan duniawi atau hingar bingar apalagi politis, itulah sebabnya Kahyangan yang oleh orang-orang tertentu disebut Kahyangan Jagat, selalu tempatnya di ketinggian dengan nuansa tenang dan damai. Kahyangan atau Candi peninggalan leluhur di Jawa dibuat dengan pertimbangan tertentu terutama niskala dan mengandung makna pilosofis, sehingga tidak perlu lagi ditambahkan Pelinggih Baru sesuai keinginan kita yang akan mengurangi bahkan menghilangkan makna yang diwariskan oleh para pendahulu. Jadi lakukan kewajiban untuk memelihara Kahyangan baik di Bali, Jawa, atau daerah lain semata-mata untuk bhakti, seperti disebutkan dalam ”Bhagawad Gita Bab III, Sloka (bait) II : ”Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.”


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007

Jumat, September 16, 2011

PIODALAN ”PURA PEMACEKAN” KARANGANYAR-SOLO-JAWA TENGAH


Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 12 September 2011. Untuk tahun ini Panitia Piodalan adalah Pengempon, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya membentuk Panitia Piodalan, namun dalam aplikasinya tetap melibatkan umat secara umum diluar pengempon. Penanggung jawab upakara adalah MGPSSR Kabupaten Klungkung.

Pelaksanaan Piodalan :
Diawali dengan Plaspas Pasraman pada pagi 10 September 2011 dipimpin oleh Pandita Mpu Jaya Wasistha Nanda dan Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Pasraman Sulinggih yang diplaspas, pondasinya dipasang pertama kali pada 29 Juli 2010, berlantai dua dan baru selesai dilantai atas dengan tertatih-tatih untuk bisa difungsikan pada Piodalan 2011, sementara lantai dasar yang dikhususkan bagi Pemangku dan Sarati Banten pengiring Pandita saat ini tinggal finishing, semoga kedepan atas anugrah Hyang Widhi ada punia umat yang bisa mewujudkan kesempurnaan Pasraman. Prosesi piodalan yang dimulai dengan Mepiuning pada 04 September 2011, lalu 10 September 2011(sore)

Nuwur Tirta di Candi Ceto, dan 11 September 2011 (sore) persembahyangan di Beji (Taman) dipimpin Pandita Mpu Acharya Nanda, akhirnya Puncak piodalan pada pagi hari 12 September 2011 dengan Nyejer 3 hari. ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 7 (Tujuh) Pandita, prosesi dengan Banten yang sederhana tetapi lengkap dihaturkan dengan baik. Tahun ini umat yang datang semakin banyak bahkan sejak 2 tahun lalu persembahyangan sudah 2 session, sekarang ini sudah 3-4 session sebagai pertanda kesadaran umat untuk bakti semakin meningkat. Prosesi piodalan diakhiri dengan Nyineb pada 15 September 2011 (Pagi) dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu, dari Gria : Braban-Denpasar, Mpu Putra kayumas-Denpasar, Penarungan-Singaraja, dan Tukad Mungga Singaraja.

PENATARAN PINANDITA & GURU AGAMA HINDU UMAT JAWA, SERTA PENTAS REOG SINGO PASEK:

Reog Singo Pasek, milik Warga Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan, Karanganyar, ikut memeriahkan Piodalan, dengan pentas pada saat penyucian Ide Bhatara dan pada puncak piodalan. Tampil : Dadak Merak (barongan), jatilan (anak kecil menunggang kuda), Bujang anom yang lucu, dan Warok yang gagah. Reog yang pentas pertama pada 17 Agustus 2008 dimana tanggal itu dianggap sebagai kelahirannya, saat ini masih belum lengkap sarananya. Sarana reog merupakan inisiatif warga dengan memungut iuran anggota, namun terbesar merupakan sumbangan dari umat warih Bhatara Kawitan khususnya dari Bali. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada warga setempat walaupun Reog tersebut sudah di prayascita waktu Piodalan Purnama ketiga tahun 2010 (saat persembahyangan Beji). Kehadiran Reog Singo Pasek sempat mengagetkan umat yang hadir sehingga penonton sangat antusias, kotak dana punia (saweran) diedarkan untuk menambah kas Paguyuban Reog. Secara rohani Reog ini timbul karena kedekatan warga dengan Eyang di Petilasan dan secara organisasi umat dari Bali masuk dalam ke-pengurusan, sehingga ada ikatan Skale-Niskale. Kedepan ada harapan agar ”Reog Singo Pasek” bisa tampil di Bali walau dana tentu besar karena peralatan dan pemain yang cukup banyak.

Kehadiran Mpu Wijaya Nanda yang banyak mencetak buku upakara dan ageman ke-pemangkuan, Mpu Acharya Nanda yang adalah pen-darmawacana, juga Mpu Prema Ananda yang waktu walaka bernama Putu Setia yang kita kenal, serta Pandita lainnya dimanfaatkan oleh Pengempon bekerja-sama dengan PHDI Karanganyar dengan moderator Wk1PHDI Bid Tata Agama – Jero Mangku Made Murti Suandana untuk menambah wawasan umat Hindu khususnya umat Jawa serta guru agama Hindu yang banyak tersebar dilereng gunung Lawu serta Solo kota. Kali ini acara dikemas berbentuk Penataran singkat (sekitar 3 jam) yang sifatnya sebagai permulaan dengan harapan kedepan akan dimaksimalkan bila perlu rutin, apalagi kepada penulis, narasumber menyampaikan berkenan untuk kembali melakukan darmawacana, darmatula, atau sarasehan untuk membantu peningkatan wawasan umat. Hadir di Petilasan 20 orang lebih Pinandita & guru agama Hindu berbaur dengan umat hindu dari Bali mendengar darmawacana dari pandita serta tanya-jawab. Materi menurut pengamatan penulis masih bersifat motivasi agar meningkat sradha dan bhakti umat Hindu ini. Penulis menyampaikan satu wacana, terkait dengan eksistensi Pinandita umat Hindu Jawa yang perlu mendapat perhatian. Seperti diketahui, seorang Pinandita atau wasi adalah orang yang dipercaya oleh umat untuk menjadi penghubung, komunikator atau penyampai pesan umat kepada Sang Pencipta sehingga disamping perlu menjaga kesucian, faham ajaran agama dengan baik, intinya mampu menjalankan ageman atau sesana ke-Pemangkuan dengan baik. Terkait dengan itu maka ada dua hal yaitu : Puja Mantra dan Upakara akan menjadi bagian aktifitasnya dan akan selalu bersentuhan. Ageman ke-Pemangkuan yang dibawakan oleh Pinandita dari Bali sepertinya sudah menyatu dengan Upakara Hindu tradisi bali, sehingga bagi Pinandita umat Jawa akan kesulitan aplikasinya di Jawa karena Jawa sendiri punya upakara warisan dari leluhur. Untuk itu penulis sampaikan agar ada pemisahan yang jelas antara ”Puja Mantra” dan ”Upakara/Banten”. Puja Mantra adalah mutlak karena bersumber dari Weda dan disusun dengan urut-urutan yang baik (pakem) seperti : Diawali mensucikan diri Pinandita, Ngarga tirta, nedunang/menghadirkan Ide Bhatara, ngaturang/mempersembahkan upakara, ngaturan Segehan/caru untuk alam bawah, dan ksamawamam, jadi ini perlu dipelajari oleh Pinandita umat Hindu Jawa, jika didalam puja mantra ada doa yang diucapkan dalam bahasa bali (sehe), maka silahkan diganti dengan bahasa Jawa (dungo/doa) jadi bisa local genius tanpa keluar dari tatanan/pakemnya. Mpu Wijaya Nanda sangat visioner, beliau telah membuat satu Ageman Pinandita yang sudah dicopykan kepada penulis untuk di-setting menjadi kebutuhan Pinandita Jawa, boleh dikurangi, disesuaikan situasi (misal : Sehe), asal tetap sesuai dengan urutannya, untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dengan PHDI Karanganyar. Berikutnya adalah ”Upakara” yang menyatu dengan Puja Mantra, namun bisa dipisahkan/disesuaikan dengan prinsif local genius. Upakara ini bisa diganti dengan upakara Jawa atau dikombinasi dengan mengikuti urutan Puja mantra yang pakem tadi. Seperti yang disampaikan Mpu Wijaya Nanda pada penulis, jika fase pembersihan (pareresik) belum bisa atau belum mau memakai : Byakaon, Durmenggala, Prayascita, dapat memakai Tirta yang sudah dilakukan Puja Mantra pembersihan, kemudian banten untuk persembahan kalau orang bali biasanya dengan : Suci, Pejati, dll, umat jawa dapat mempersembahkan : tumpeng dengan dikelilingi hasil bumi, jajan pasar, bubur rampe sejangkape, dll. Lalu segehan bisa dipakai : cok bakal, dll. Yang sifatnya persembahan kepada alam bawah karena atas-bawah ini sama pentingnya, kata Mpu Acharya Nanda alam bawah menurut Hindu tidak identik dengan Jin atau Setan di agama lain, tapi atas-bawah merupakan keseimbangan. Jika modifikasi Puja Mantra & Upakara dengan konsep local genius ini bisa diterapkan, maka kedepan akan muncul kepercayaan diri Pinandita umat Jawa sebagai garda sradha & bhakti sehingga dapat memberikan pencerahan kepada umat Hindu secara umum. Disamping Ageman Pinandita, maka Rsi Yadnya juga perlu dikuatkan. Rsi yadnya bagi umat Hindu Bali masih kalah dengan Pitra Yadnya juga Dewa yadnya, dan ini terjadi juga terhadap Pinandita umat Hindu Jawa yang secara umum masih belum stabil ekonomi rmh tangganya namun tetap dituntut melakukan kewajiban dengan baik, maka daripada melakukan upacara besar-besaran di Jawa sebaiknya Rsi yadnya kepada Pinandita ini ditingkatkan. Profil Pinandita Jawa adalah : Mereka orang-orang sederhana, masih bekerja serabutan (ada yang nyambi bertani atau tukang), sehingga belum bisa fokus secara utuh kepada pelayanan umat. Dibandingkan di Bali, seorang Pinandita disebuah Pura atau Mrajan sudah dihandle ekonomi rm tangganya oleh warga walau memang belum semuanya sehingga Pinandita di bali juga perlu membuat ”Paguyuban Pemangku” yang terkait masalah konsumsi dan simpan pinjam. Paguyuban atau Sanggraha Pinandita di Jawa sudah ada namun belum menjawab permasalahan secara menyeluruh, jika Pinandita umat Jawa sudah teratasi ekonomi rm tangganya sehingga mampu menjadi wasi yang mumpuni, maka kedepan tidak menutup kemungkinan lahir ”Pandita” sehingga tugas pembinaan umat di Jawa sudah bisa berjalan lebih baik. Seiring dengan tujuan peningkatan pemahaman umat ini, maka tawaran Mpu Prema kepada umat di Jawa dalam hal ini kepada Ketua PHDI Karanganyar untuk mengajukan permintaan buku-buku, perlu segera ditindak lanjuti.

Akhirnya, astungkara karena Piodalan telah berhasil dengan baik, pada kesempatan ini ucapan terima-kasih kepada semua umat, Pinandita, dan Sulinggih yang terlibat karena memang demikianlah bhakti itu, : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.


Dilaporkan oleh,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah

Selasa, September 13, 2011

CANDI CETO belum CETO


”Bali Jowone” demikian kata sakral yang masih ada didalam hati nurani umat Jawa, mungkinkah ini yang mengakibatkan kenapa orang-bali akhir akhir ini mulai banyak yang tirtayatra ke Jawa karena mereka mengartikan ’kembali ke Jawa”? Tentunya tidak, karena orang Bali memang mengetahui melalui prasasti, babad, atau sejarah, bahwa leluhur sebagian besar orang bali adalah dari Jawa, disamping itu arti yang benar akan ”Bali Jowone” adalah agar kembalinya sifat arjawan karena Jawa berasal dari kata arjawan yang berarti jujur. Kalimat ini seperti ingin menegaskan, bahwa dijaman dimana manusia dengan berbagai sifat dan tingkah lakunya, akhirnya manusia yang utama adalah yang memiliki kejujuran atau lebih luas lagi adalah manusia yang mengandalkan hati nuraninya dalam kehidupan. Dijaman yang penuh dengan keserakahan, egoisme, materialistis, sebagai cermin jaman kali (Kali Yuga), kita perlu memperoleh pencerahan agar menjadi terang benderang batinnya, maka semoga tirtayatra ini memberikan manfaat. Tirtayatra orang Bali ke Jawa terutama adalah melakukan persembahyangan ke Candi atau petilasan baik stana Hyang Widhi (Dewa Pratistha) maupun stana orang-orang suci (Atma Pratistha), salah satu Candi yang paling menjadi sasaran kunjungan tirtayatra adalah Candi Ceto yang berada dilereng Gunung Lawu di wilayah Karanganyar (Ex Kresidenan Surakarta)-Jawa tengah.


Candi Ceto merupakan salah satu tempat pemujaan Hyang Widhi yang mempunyai talian erat dengan satu candi lainnya didaerah Karanganyar yaitu Candi Sukuh. Candi Sukuh diyakini sebagai tempat pemujaan Durga sedangkan Candi Ceto tempat pemujaan Siwa karena pada puncak candi ada sebuah altar besar persegi empat yang berwujud ”Lingga”. Sekarang ini ada keyakinan sebagian umat, sebelum ke Candi Ceto & Sukuh, maka akan tangkil dulu ke Pura Pemacekan (Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan-Karangpandan) yang dimaknai sebagai Mrajan sesuai dengan konsep umat Hindu Bali, bahwa ada Mrajan ada Pura sehingga bagi yang tidak sempat ke Ceto cukup ngayat (memuja) dari Pura Pemacekan. Prasarana Pura pemacekan kebetulan cukup mendukung juga bagi umat yang ingin beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke candi Ceto karena ada Kamar mandi dan Balai banjar yang dapat menampung ratusan umat. Sebagian umat ada yang mengartikan Pura Pemacekan adalah Dalem Solo (Dalam pengertian spiritual), dimana sejak dulu orang tua kita menyebut kata itu dalam pemujaan. Sudah disadari juga oleh Pewaris tahta Keraton Surakarta Hadiningrat (Paku Bhuwono XII) bahwa ada ikatan Pura Pemacekan dengan Keraton Surakarta Hadiningrat (Dalem Solo dalam pengertian kerajaan/pemerintahan). Kembali kepada Candi Ceto, bahwa Ceto sendiri dalam bahasa jawa berati terang/jelas/cerah, sehingga Ceto diyakini sebagai tempat memperoleh pencerahan. Di era Majapahit (khususnya pada Abad XIV-XV) Candi Ceto juga menjadi penting karena dikaitkan dengan ”Raja Brawijaya V” (Raja Majapahit Hindu terakhir) yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Lawu, sehingga disalah satu pelataran Candi Ceto ada Patung Raja Majapahit tersebut. Candi Ceto saat ini perlu mendapat perhatian, baik bagi umat pengunjung/tirtayatra, bagi pemerintah daerah, juga bagi para tokoh Hindu yang menyadari, bahwa Candi Ceto ini adalah peninggalan Hindu. Candi Ceto secara pengelolaan masih berada ditangan pemerintah artinya aktifitas di candi tersebut masih diperlukan perijinan ke pemerintah daerah walaupun terkait dengan persembahyangan hal ini sudah tidak masalah karena tidak ada larangan umat Hindu untuk bersembahyang apalagi Pemda Karanganyar memang menjadikan Karanganyar sebagai daerah kunjungan wisata religius. Hal ini juga berarti, bahwa dana (karcis & Punia) secara prosedur masuk ke Pemerintah daerah. Disekitar Ceto atau di wilayah Ngargoyoso, Jenawi, dan lainnya sebenarnya banyak umat Hindu etnis Jawa yang tinggal didesa-desa serta memiliki Pura yang jumlahnya belasan, jika Ceto (dan juga Sukuh) diserahkan pengelolaan ritual (spiritualnya) kepada umat Hindu terdekat tentunya setiap hari raya Hindu seperti Purnama-Tilem dan hari suci lainnya Pemangku yang ditunjuk bisa melakukan Puja Stawa sehingga ke-sakralan Candi Ceto bisa semakin baik. Ceto sendiri punya Piodalan atau hari rayanya yaitu pada ”Anggarkasih Medangsie” yang disebut Ritual Mondosio. Pada perayaan tersebut bisa digalakkan oleh PHDI Karanganyar agar semua Pinandita seluruh Pura yang ada disekitar karanganyar melakukan pemujaan bersama dan umat seluruhnya bisa disatukan dalam persembahyangan dengan tradisi Jawanya sehingga secara psychologis akan meningkatkan kepercayaan diri bagi umat Hindu agar tidak semakin merosot jumlahnya. Perayaan disaat itu dengan skala besar sebenarnya ada namun dilaksanakan oleh orang bali dengan tradisi balinya sementara umat yang melakukan ritual Mondosio menjalankan secara sendiri-sendiri. Penulis pernah menyampaikan agar Bali sifatnya mendukung saja, karena dimanapun orang Bali berada dan membangun Pura atau melakukan ritual itu sudah biasa, namun jika kita bisa mengangkat hindu sekitar Karanganyar dengan tradisi Jawanya terlihat seperti jaman Majapahit bangkit kembali, maka ini akan membawa gaung kemana-mana, dibandingkan orang bali melaksanakan ritual dengan tradisi bali dan mengundang pejabat tinggi, tidak membawa dampak spiritual bagi pengembangan Hindu dengan tradisi Jawanya kecuali hanya seremoni saja. Sekali lagi perlu ditekankan disini, orang bali yang datang ke candi Ceto sifatnya ”tirta yatra” saja, jangan membawa ritual ke Jawa apalagi dengan besar-besaran yang sesungguhnya tidak mendidik umat Hindu Jawa yang sedang mencari bentuk. Di kantong Hindu ini sebenarnya perlu mendapat perhatian para tokoh dan masyarakat yang peduli agar Hindu dengan kesejatian mereka (Hindu Jawa) bisa hidup kembali. Umat Hindu ini yang beralih ke agama lain karena alasan Akta Perkawinan dan KTP ini sudah semakin berkurang, namun satu hal yang jarang diketahui, adalah mereka tidak menyukai jika di Pura yang ada iurannya, ini bukan berarti mereka tidak mau ber-dana punia karena terbukti jika ada kegiatan kerja-bakti di Pura misalnya, mereka rela mengeluarkan tenaga, makanan, dll yang jumlah rupiahnya melebihi dari jumlah iuran tersebut, artinya mereka merindukan ”spiritualnya” bukan materialnya, karena dijaman leluhur dulu tattwa sangat menonjol di jawa yang sekarang masih ada dalam bentuk pesan-pesan, nasehat, atau etika-etika yang diterapkan dalam keluarga Jawa, yang juga banyak dipopulerkan oleh Presiden Suharto, seperti : Ojo dumeh, ojo gumunan, ing madyo mangun karso, tradisi sungkem (pada sewanam/ pada=kaki), dan lain-lain.


Satu hal lagi yang perlu diketahui oleh umat Hindu dari bali yang ber-tirtayatra ke Candi Ceto adalah, jangan tergoda oleh hal lain yang mengalihkan dari makna tirtayatra, tetapi agar teleng, tumus, lurus, menuju kepada Sang Pencipta guna memperoleh pencerahan dan menjadi Ceto. Ujian itu akan dihadapi ketika umat ini hampir sampai ke area tertinggi di Ceto, karena disana ada yang menawarkan benda seperti : tongkat, gnitri, dan lain-lain yang disebut sudah di Pasupati dimana harganya tentu tidak wajar. Penulis berpikir mungkin ini adalah karena bijaksana Hyang Widhi, maka umat ini perlu diuji ketulusan hatinya atau tingkat bhaktinya, jika datang ke Ceto dan setelah hampir mencapai pencerahan lalu tergoda oleh hal yang bersifat wisesa/kanuragan, maka ini artinya umat ini sudah berpaling dari jalur rohani. Berbelanja bukan tidak boleh, namun jadikan itu hanya souvenir saja dan tidak perlu sampai membayar ratusan ribu karena sudah di pasupati, jangan lupa hanya Hyang Widhi yang punya kekuatan itu dan mintalah kepada Beliau di Ceto. Penulis ketika ke Bali (di Batur Kintamani) membeli gnitri hanya 10 ribu saja karena memang Gnitri hanya salah satu alat sembahyang (Japa) bukan membeli ka-wisesan. Kepada penjual souvenir tersebut para tokoh umat bukan tidak mengingatkan namun sekali lagi ini adalah godaan buat umat yang ber-tirtayatra. Akhirnya mari kita jadikan Candi Ceto peninggalan leluhur sebagai tempat suci tempat dimana umat memperoleh pencerahan dari Dewa Siwa, jangan berpaling kepada hal-hal yang bukan rohani, bantu umat mengangkat kembali Hindu dengan tradisi Jawanya, dan umat Hindu dari Bali ber-tirtayatralah dengan baik jangan membawa tradisi bali secara berlebihan ke Ceto tetapi bantulah ekonomi, pembangunan Pura dan pemahaman ajaran Hindu lewat buku-buku serta darma wacana, semoga dengan demikian Candi Ceto benar-benar Ceto.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-08-2011.