Senin, Januari 31, 2011

KERAJAAN-KERAJAAN DI BALI

Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama dan ini sangat terkait dengan perkembangan agama Hindu di Bali. Jika dewasa ini ada hubungan kembali masyarakat Indonesia, Bali, dan India itu merepeleksikan situasi masa lalu yang saat itu berjalan sangat baik. Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.

Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di di wilayah pegunungan Dieng di Jawa lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selelu menjadi Purohita Kerajaan. Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Udayana menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta. Keturunan dari Panca Tirta ini kemudian menjadi penduduk Bali berikutnya seperti Warga Pasek Sanak Pitu, Ksatrya Dalem, Warga Brahmana, dan para mantri-mantri dengan sebutan I Gusti.

Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah. Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit sekaligus sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343 – 1350 Masehi). Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. ( Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar
19-01-2008.
RATU PASEK ANTARA DIPUJA DAN DIHINDARI


Siapa yang dipuja atau distanakan pada suatu Pelinggih atau Parahyangan, tidak ada yang tahu secara pasti karena ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan pemujanya. Namun setidak-tidaknya awal keberadaan suatu bangunan Pelinggih tentu ada maksud dari yang membuat yang bisa merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi, Bhatara Kawitan, atau orang suci yang telah berjasa pada jamannya.

Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, Bali, maka jika kita masuk ke Areal utama (Utama Mandala), maka setelah melewati Gerbang/ Gapura dan belok kekiri, kita akan menjumpai Bangunan Pelinggih berupa Meru Tumpang Telu (Tiga) yang merupakan tempat pemujaan “Ratu Pasek”. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai Bangunan Pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu (Tujuh) yang juga tempat memuja “Ratu Pasek”. Lalu siapa Ratu Pasek ini ?. Bangunan Pelinggih Meru Tumpang Pitu di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari “Panca Tirta” (Mpu Gnijaya,Mpu Semeru,Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih ? beliau adalah “Mpu Semeru” yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih). Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti : Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dll, wajib melakukan puja bakti disini. Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Para Semeton Pasek. Kenapa bisa begitu ? apakah karena disebut dengan “Ratu Pasek” jadi ada kata “Pasek” sehingga selain semeton Pasek tidak banyak yang datang/tangkil, apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu : Mpu Ghana dan Mpu Semeru ?

Ada suatu kejadian terkait dengan hal diatas, seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek tanpa kawan ini bisa menyebutkan kenapa. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama “Ni Luh Pasek”. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih ada yang menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama, sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua orang tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali karena ketidak tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya. Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakan manusia disamping memang banyak semeton Pasek yang tidak meniru laku leluhurnya sehingga banyak yang jadi petani bahkan abdi. Jadi “Alergi” dengan Pasek ini akibat sempitnya wawasan, maka Ratu Pasek menjadi ‘dihindari” oleh sebagian orang.

Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas terbanyak di Bali. Hal seperti ini telah menimbulkan pendapat, bahwa Semeton Pasek dikatakan mendominasi Parahyangan Kawitan. Hal senada pernah disampaikan oleh Almarhum Jro Mangku Gde Ketut Subandi (Almarhum) ketika saya hadir ditempat beliau di Denpasar. Beliau juga berkata dengan nada menyesalkan, ternyata Berbakti pada Bhatara Kawitan saja jadi masalah. Saya waktu itu tidak berkomentar tetapi sekarang saya berpikir kalau niat kita tulus melakukan bhakti pada Bhatara Kawitan, maka lakukan saja jangan perdulikan orang lain. Orang yang mempunyai kebiasaan mempolitisir sesuatu berarti lebih banyak menggunakan kekuatan pikirannya dibandingkan rohani yang lama kelamaan hati nuraninya akan tidak peka bahkan tertutup, padahal pikiran ini justru sering ditunggangi rasa benci, ego, serta iri-hati. Biarlah Ratu Pasek yang tahu ketulusan damuh/pratisantananya karena sudah saatnya kita berhenti berdebat atau berpolitik yang merugikan orang lain. Bencana alam yang banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti kita pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
04-02-2005.
WANITA PASEK IBU DAN ISTRI TOKOH-TOKOH BESAR

Banyak tercantum dalam kitab-kitab Weda baik Sruti maupun Smerti yang menjelaskan betapa pentingnya hormat pada Wanita khususnya Ibu. Disebutkan, bahwa :”Seorang wanita sesungguhnya adalah seorang yang cendekia dan mampu membimbing keluarganya (RgVeda VIII.33.19) ; Seorang istri adalah pengendali keluarga. Ia seorang yang cerdas. Ia mengatur seluruh keluarga, ia sangat berharga dalam keluarga (Yajurveda XIV.22)”.

Begitu tingginya Weda menghormati Wanita, berikut ini adalah secuil ceritra tentang Wanita atau Ibu.. Saya punya pengalaman dimana seorang Mahasiswi dari Jogja yang dengan wajah tidak gembira menceritrakan pada saya, bahwa ibunya (orang Jawa) yang kawin dengan ayahnya dan ”dilingkungan keluarganya” diperlakukan berbeda dengan dirinya (mungkin maksudnya status yang diperoleh, seperti : Jero) sementara dia dan saudaranya otomatis mendapat status Dewa Ayu dan Dewa. Dia merasa ibunya diperlakukan lebih rendah dibandingkan dirinya padahal ibunyalah yang melahirkan dia dan saudaranya. Ceritra lain ketika seorang kawan saya yang sebagian orang di Bali masih menganggap keluarga Brahmana ,mengatakan kepada saya, bahwa keluarganya dilarang menyembah Pasek. Saya tidak tahu apakah kawan ini berceritra dengan lugunya atau malah dengan bangganya. Ceritra-ceritra serupa ini yang tidak menghargai wanita atau ibu banyak terjadi yang mana sebenarnya sangat bertentangan dengan ajaran Weda. Jika di Jawa fihak ayah dan ibu sama-sama dihormati walaupun sudah beranak-cucu, maka orang Bali terjebak pada ”Garis Purusa” (Garis Ayah) yang bercampur dengan egoisme dan superioritas trah, maka jadilah meninggalkan kesempatan bhakti pada garis ibu (Pradana).

Jika kita coba menyimak sejarah masa lalu orang Bali, maka kita akan memperoleh jawabannya sekaligus kita akan melihat apakah kita ini sudah benar memperlakukan Wanita lebih-lebih Ibu. Kenapa saya khususkan kepada ”Wanita Pasek”, karena sejarah membuktikan, bahwa dari rahim wanita ini banyak lahir tokoh-tokoh besar yang mewarnai kancah kehidupan di Bali juga di Jawa pada jaman dahulu. Tetapi fenomena yang terjadi, bahwa wanita ini yang juga adalah ibu tidak mendapat tempat yang terhormat, hanya karena permainan politik masa lalu yang menempatkan Pasek ini menjadi ”Sudra” atau ”Jaba” (dalam pengertian yang menyimpang dengan Catur Warna). Weda sudah menyatakan, bahwa dimana Wanita atau ibu tidak dihormati, maka disana tidak akan ada kedamaian. Mungkinkah ini yang menyebabkan Bali selalu ditimpa Malapetaka, seperti : Gestok, Bom Bali, perjudian yang menyengsarakan, Gempa Bumi, Gunung Agung meletus, dan lain-lain, mari kita cari jawabannya bersama-sama.

Untuk mengingatkan kita semua, maka pada tulisan ini saya akan menampilkan beberapa saja dari ”Wanita Pasek yang merupakan Ibu dan Istri Tokoh-Tokoh Besar”, seperti :

• Ken Dedes : adalah adik Mpu Purwa yang merupakan keturunan Mpu Wiradnyana, saudara ketiga Sapta Pandita (Leluhur Pasek). Ken Dedes menurunkan Raja-Raja Mataram, seperti : Paku Bhuwono dan Hamengku Bhuwono.
• Nyoman Rai Srimben : adalah Ibunda Presiden Sukarno, beliau adalah keluarga ”Pasek Baleagung Buleleng (Pasek Tatar)”. Nama ”Ida Ayu” kepada Nyoman Rai Srimben adalah Anugrah Presiden Sukarno di Tampaksiring Bali tahun 1958
• Ni Nyoman Manikan : Putri Bendesa Mas (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel-Raja Gelgel Icaka 1265,sebelum Dalem), adalah Istri ke-4 dari 6 istri Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh), menurunkan Keluarga ”Mas” (Ida Kidul) di Bali. Ketika pertama ke Bali Danghyang Nirarta tinggal dirumah Bendesa Gadingwani, pelayan/pengabeh anak Bendesa Gadingwani adalah istri ke 5 Danghyang Nirarta menurunkan ”Ida Patapan”
• Ni Luh Pasek Prateka/Warsiki : Putri Ki Dukuh Blatung, keturunan Mpu Prateka (ke-6 Sapta Pandita), dikawini oleh Ida Manik Angkeran yang selanjutnya keturunannya disebut : Wang Bang Pinatih, Sidemen, dan Arya Dauh
• Putri Dukuh Suladri : Dukuh Suladri keturunan Mpu Ketek (Tertua dari Sapta Pandita), putrinya : Luh Sadri dikawini oleh Sri Angga Tirta menurunkan Ksatrya Tirta Arum (Taman Bali), Ni Luh Sadra oleh Dalem Gelgel (Dimadya),
• Ni Luh Pasek : adalah salah satu istri Dalem Sagening, yang menurunkan I Gusti Panji Sakti yang menjadi Raja Buleleng. Ketika hamil Wanita ini dianugrahkan kepada I Gusti Ngurah Jelantik dengan catatan sebelum lahir anaknya, tidak boleh dikawini.
• Luh Pasek Sadrya : adalah putri dari Ki Dukuh Sakti Pahang (Badung), yang dijadikan istri I Gusti Ngurah Pinatih (Anglurah Kertalangu) dan menurunkan Soroh ”Wang Bang Pinatih”.
• Luh Pasek : Putri Pasek Salulung dikawini I Gusti Kubon Tubuh, keturunan Arya Kutawaringin.
• Putri Bendesa Telengan (Pasek Tatar Telengan), dikawini I Gusti Kaloping, keturunan Arya Kepakisan.

Masih banyak lagi wanita-wanita Pasek ini yang sudah menjadi istri juga ibu dari tokoh-tokoh besar di Bali dan Jawa, tetapi banyak yang belum tahu atau sudah tahu tetapi karena perasaan ego dan buta mengakibatkan melupakan rasa hormat dan bakti pada ibunya.

Setelah tahu keberadaan ini semoga tergugah rasa hormat pada ibu walaupun beliau sekarang sudah berujud Dewa Hyang yang distanakan di Mrajan, Mrajan Agung, atau Pura-Pura Kawitan Pasek, sehingga kita merasa ada persaudaraan dan tidak lagi saling merasa lebih tinggi. Kita lupakan semua kekeliruan masa lalu yang masih terbawa sampai sekarang, tidak ada gunanya kita menjadi orang termasyur, tidak ada gunanya kita menjadi orang kaya, jika ibu yang seharusnya kita hormati justru kita abaikan bahkan kita hina dengan menyebutnya ”Sudra atau Jaba”. Kembalilah kepangkuan Ibu, semoga Hyang Widhi memberi kesempatan kepada kita untuk bersujud bhakti pada Ibu kita. ”Hendaknya putra patuh kepada bapaknya dan penurut kepada ibunya (Atharvaveda III.30.3)”.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar, Solo-Jawa Tengah