Selasa, Maret 15, 2011

PEMANGKU dan BALIAN


”Pemangku & Balian” sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda, dimana dewasa ini di masyarakat pengertian kedua tugas ini menjadi kabur. Masyarakat banyak yang tidak faham perbedaannya sehingga kepada Pemangku datang nunas tamba dan kepada Balian rawuh nunas pemuput (nganteb) suatu upacara. Kekeliruan ini juga bukan sepenuhnya menjadi kesalahan masyarakat karena banyak juga Pemangku yang menggunakan standard ganda artinya nganteb ”ya”, me-tamba(ngusada) ”nggih”. Kekeliruan dilingkungan Pemangku ini kadang juga karena ketidak jelasan pemahaman ”nunasang” dengan ”nambanin”. Dalam lontar Raja Purana Gama serta ketetapan Mahashaba II disebutkan yang tergolong Eka Jati (melalui Pawintenan) disebut ada 12 jenis Pemangku, termasuk disini Pemangku Balian, Pemangku Undagi, dll padahal banyak Balian yang tanpa melalui Pawintenan dan melakukan praktek Ngusada, sehingga maknanya menjadi rancu, itulah sebabnya dalam tulisan ini dipisahkan pengertian Pemangku dan Balian secara fungsionil dan prakteknya, walaupun tidak mudah membedakannya karena ini menyangkut hati nurani, terkait niskala, dan pemahaman masyarakat atau Pemangku dan balian tersebut yang akan tergantung kepada atmanastuti (manah/keneh).

Berikut disampaikan perbedaan Pemangku dan Balian secara sederhana, menurut lontar Widhisastra kata Pemangku diuraikan menjadi ”PA” bermakna Pastika/pasti, yang artinya paham akan hakekat kesucian diri, dan ”MANG” bermakna wruh ring tata-titining agama (paham mengenai pelaksanaan ajaran agama). ”KU” bermakna kukuh ring Whidi (teguh dan konsisten berpegang kepada Hyang Widhi). Dengan makna diatas, maka kalau dirangkum seorang Pemangku adalah dia yang faham akan hakekat kesucian diri sehingga mampu menjalankan tri kaya parisudha, prema (cinta kasih), menjalankan ajaran bhakti, catur Yoga, dan ajaran lainnya serta mampu merealisasikan ajaran agama kepada fihak lain baik dalam pengertian tattwa, susila, serta upakara dalam bentuk pemuput atau Nganteb suatu upacara sebatas wewenang tugasnya. Sementara itu ”Balian” atau ngewaliang (mengembalikan) melakukan fungsi mengobati (ngusada) dengan kemampuan yang dimiliki untuk kesembuhan orang yang mempercayakan dirinya pada Balian tersebut. Dilingkungan suku Dayak Maratus ada Upacara Adat Balian maksud dari dilaksanakannya upacara tersebut adalah dalam rangka meminta kepada Yang Kuasa agar Desa (kampung) dari komunitas suku Dayak Maratus terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan (Pembersihan Kampung). Sehingga difinisi Balian disini adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawur dalam upacara adat tersebut. Dengan beberapa contoh diatas terlihat perbedaan makna ”Pemangku dan Balian”.


Dari sisi proses pendalaman ajaran, Pemangku akan banyak belajar : Puja Stawa, jenis upacara serta upakaranya, dan menjaga kesucian diri seperti yang juga dilakukan oleh Balian, dan semua yang dilakukan Pemangku dan Balian adalah untuk peningkatan kesucian diri. Balian biasanya mempelajari Lontar Usadha, seperti : Lontar Kelima Usada, Kelima Usadi, Usada Sari, Usada Punggung Tiwas, Usada Kuranta Bolong, Usada Cukil Daki, Usada Taru Premana, dan lainnya, jadi pakem belajarnya berbeda. Seorang Balian dan praktisi rohani lainnya jika dalam prakteknya nafsu lebih berkuasa, maka muncullah istilah aliran kiri dan aliran kanan. Aliran kiri ini sering disebut Nge-Leak, walaupun dalam beberapa tulisan pengikut Leak mengatakan, bahwa kegiatan mereka adalah aktifitas rohani sehingga jika ada yang menyimpang itu karena manusianya atau yang tidak faham dengan Leak itu sendiri. Disebutkan, bahwa ada tingkatan-tingkatan pelajaran sama seperti para penganut ke-rohanian lainnya, seperti :Tingkat mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA. Tingkat "NINGGALIN SANGHYANG MENGET" atau VISUALISASI. Tingkat melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA. Tingkat kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ). Mudra yang dipelajari persis seperti tarian siwa nata raja. Tingkat MEDITASI, disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran tenang...atau ngereh, dan ngelekas.Tingkat melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekuatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Jadi proses yang dilakukan adalah proses peningkatan rohani. Bagi seorang Pemangku juga Balian umumnya mengenal dasa aksara atau yang umum di jabarkan dengan: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut. Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KAWISESAN/KANURAGAN...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu kerohanian.

Dengan penjelasan diatas , maka ciri-ciri utama seorang Pemangku dan seorang Balian dapat dibedakan dengan jelas, sehingga seorang Pemangku seharusnya tidak melakukan fungsi Ngusada (mengobati) namun dapat melakukan fungsi ”Nunasang (memohonkan)” jika ada orang yang minta tolong kepada Pemangku, jadi Pemangku tidak berkaitan dengan ”Kawisesan/kanuragan” karena keyakinan seorang Pemangku, bahwa yang sakti itu adalah ”Hyang Widhi”. Seorang Balian mungkin akan mengatakan hal yang sama, bahwa mereka juga memohon kepada Hyang Widhi, bisa jadi benar, namun ketika ada orang yang datang dan minta disembuhkan dan melakukan berbagai upaya untuk kesembuhannya dengan kekuatannya (bukan kekuatan Hyang Widhi), maka itulah kawisesan. Apalagi jika ada yang minta tolong untuk membuat suami takut, atasan jerih, tetangga sakit, dan permintaan dipenuhi oleh balian, maka ini disebut ”me-alih-alihan (mencari rejeki). Perbedaan Pemangku dan balian dalam tulisan ini hanyalah teoritis, definitif, dimana dalam prakteknya tidak mudah bagi Pemangku dan balian tersebut untuk memisahkannya, untuk itu melalui tulisan ini penulis menggugah bagi Pamangku maupun Balian, untuk mendalami makna MAWINTEN yang berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) artinya : mawa = bersinar-sinar; inten = permata; sehingga arti lengkapnya : bersinar-sinar bagaikan permata, yang bertujuan mohon "waranugraha" Hyang Widhi untuk memberikan kesucian bathin kepada kita yang di winten, maka sudah sepantasnya hanya mengabdi pada Hyang Widhi dan yakin, bahwa hanya Hyang Widhi yang sakti. Om Ksama sampurna ya namah swaha.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 14-03-2011

Rabu, Maret 09, 2011

MELASTI DI ”TLOGO MANDIRDA”
NGARGOYOSO – KARANGANYAR – JAWA TENGAH


Dalam rangkaian peringatan Nyepi/tahun baru Saka, maka umat Hindu wilayah Karanganyar sejak tahun lalu sudah mulai melakukan Melasti setingkat Kabupaten dimana ditetapkan sebuah tempat yang diyakini memenuhi syarat. Untuk itu maka pada Minggu 20 Fabruari 2011 dilaksanakan Rapat Pengurus PHDI Kab Karanganyar Jawa tengah di Pura Pemacekan karangpandan Karanganyar dipimpin Ketua PHDI Kra Nyoman Suendi. Pengurus PHDI Karanganyar dan perwakilan umat Hindu yang terbanyak etnis Jawa tersebar di kecamatan-kecamatan : Jenawi, Mojogedang, Ngargoyoso, Karangpandan, Karanganyar Kota, Jaten, Kerjo, Matesih, Tawangmangu, Kebak Kramat, Tasik Madu, sepakat dan memutuskan untuk kedua kalinya dilakukan Melasti di Tlogo Mandirda, Dusun Berjo, Kec Ngargoyoso, Karanganyar. (Lokasi Tlogo bisa ambil jalur terminal Karangpandan-Tawangmangu sesudah patung semar). Melasti ini sebagai rangkaian perayaan Nyepi/ tahun baru saka 1933 dilaksanakan pada minggu 27 Februari 2011 disamping harapan agar umat bisa banyak yang hadir karena hari libur, juga masih dalam sasih ke-sanga. Dipilihnya Tlogo Mandirda karena telaga tersebut dianggap mata airnya besar, alamnya bagus, serta ada dukungan kerja-sama dengan Dinas Pariwisata Karanganyar untuk menjadikan tempat tersebut tujuan wisata, bahkan ada pemikiran ditempat tersebut dibangun Pura Beji. Saat ini jalan-jalan sudah diperbaiki dan diaspal. Ada pemikiran juga, bahwa kedepan kabupaten lain atau minimal ex kresidenan Surakarta (Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Sragen, Wonogiri, dan Karanganyar sendiri) merapat ke Karanganyar mengadakan Melasti bersama dibawah koordinasi PHDI karanganyar. Seperti biasa setiap aktifitas umat di Karanganyar selalu diliput oleh wartawan Koran dan TV local (TATV) dan nasional, bahkan seperti sudah langganan mereka selalu minta diinformasikan jika ada kegiatan yadnya. Hal ini merupakan point penting yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan umat. Disamping itu Dinas Pariwisata Karanganyar sangat mendukung hal ini karena Karanganyar adalah Kota tujuan wisata.

PROSESI MELASTI
Pagi-pagi sekali sekitar jam 06 umat yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu terkait dengan melasti, seperti tempat pemujaan, tempat sesaji, dan sesaji baik berupa sesaji kebiasaan umat jawa maupun umat etnis bali, sudah siap melaksanakan tugas. Sarana Upakara/Banten/sajen/sesaji, sebagai wujud persembahan diusahakan sesederhana mungkin sebatas yang bisa dilakukan umat, nanti dilengkapi Puja Mantra Pemangku. Sajen Jawa seperti : Cok Bakal (sejenis segehan Panca Warna-namun putih semua), juga ada tumpengan, dan segala buah, dipadukan dengan banten umat yang biasa dilakukan di bali, seperti : pareresik (Byakaon, Durmenggala, Prayascita, Pengulapan-pengambean), bahkan Prayascita sudah dibuat oleh umat Jawa, terlihat serasi dan harmonis dalam kesederhanaan. Semua ini lebih bersifat menuntun dari tataran bawah sebatas yang mereka mampu lakukan dan paham maknanya (Satwika yadnya/ lawannya : Tamasika Yadnya). Belajar dari acara persembahyangan besar-besaran dulu di Candi Ceto dengan dana milyaran dan dilakukan sekelompok umat yang dikhawatirkan hanya prestisius (Rajasika Yadnya) padahal umat disana kehidupan ekonomi masih banyak dibawah garis normal. Perlu ditiru tindakan umat lewat Majalah Media Hindu yang telah membantu ekonomi riil masyarakat dengan bantuan kambing, dll. Perlu juga bantuan buku-buku dan dharma wacana/dharmatula, juga hal akte perkawinan kadang masih ada ganjalan, dll. Jadi ekonomi & spiritual (yadnya serta Sradha) perlu dilakukan dengan berbarengan dan bijaksana.

Sekitar jam 08 umat sudah banyak yang hadir membawa ”Pralingga” dari Pura masing-masing untuk disucikan pada upacara melasti ini. Ada belasan Pura dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kab.Karanganyar, jawa tengah yang merupakan kantong umat Hindu asli suku Jawa, seperti: Kec.Mojogedang : ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, Kec.Ngargoyoso : ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Kec. Jenawi : ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Kec.Karangpandan : Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Perwakilan umat ini yang berjumlah sekitar 300 orang(Umat Hindu etnis Jawa lebih dari 2000 orang) serta Pinandita sekitar 20 orang, siap melakukan pemujaan bersama.

Pemujaan melasti dipimpin : Jero Mangku I Made Murti (Pemangku Pura Bhuawana agung Saraswati Kampus UNS, juga Wk1 Bidang tata Agama PHDI Kra), Pinandita Marto (dari Pura Lingga Bhuwana - Jenawi), Jero Mangku Nyoman Sukadana (Pemangku Pura Pemacekan), dibantu sekitar 20 orang Pinandita lainnya. Puja Pinandita dimulai sekitar jam 09 dengan permohonan yang dalam kepada Hyang Widhi untuk memperoleh tirta amerta pryascita bhuwana agung dan bhuwana alit sehingga memperoleh kesucian menyongsong tahun baru saka 1933. Setelah semua pemujaan dan persembahan selesai maka dilakukan larung ke tlogo sebagai wujud memohon kesucian. Dalam tradisi Weda, maka konsep Nyegara-Gunung merupakan upacara yang penting dimana Gunung melambangkan purusa(bapak) dan segara (laut, telaga,mata air) melambangkan pradhana (ibu), dimana secara keseharian ibu adalah tempat kita menuangkan segala permasalahan sehingga kita menjadi tenang dan lega. Prosesi yadnya diakhiri dengan ”ksama swamam” dari pinandita, bahwa pemujaan sudah selesai. Acara berikutnya adalah sambutan-sambutan yang dipandu oleh Cipto Martono, S.Ag. seorang tokoh umat, dengan sambutan pertama dari Ketua PHDI Karanganyar I Nyoman Suendi dilanjutkan Darmawacana oleh Sumarno,S.Ag. guru agama Hindu di sekolah Karanganyar kota sekitar. Selesai acara seremonial dilanjutkan persembahyangan bersama dengan Puja Tri Sandhya dipimpin Pinandita Atmo Sentono dari Pura Bhineka Tunggal Ika dan Puja Kramaning sembah dipimpin Jero Mangku I Made Murti, diakhiri dengan nunas wangsuhpada (tirta suci) dilakukan semua pinandita yang hadir. Melasti telah selesai, dan Pralingga dari Pura disekitar Karanganyar sudah diarak untuk dilinggihkan di masing-masing Pura dan siap menyambut Tahun baru Saka 1933, dengan tenang dan damai. Om Ksama sampurna ya namah swaha.



Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 08-03-2011