Jumat, September 16, 2011

PIODALAN ”PURA PEMACEKAN” KARANGANYAR-SOLO-JAWA TENGAH


Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 12 September 2011. Untuk tahun ini Panitia Piodalan adalah Pengempon, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya membentuk Panitia Piodalan, namun dalam aplikasinya tetap melibatkan umat secara umum diluar pengempon. Penanggung jawab upakara adalah MGPSSR Kabupaten Klungkung.

Pelaksanaan Piodalan :
Diawali dengan Plaspas Pasraman pada pagi 10 September 2011 dipimpin oleh Pandita Mpu Jaya Wasistha Nanda dan Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Pasraman Sulinggih yang diplaspas, pondasinya dipasang pertama kali pada 29 Juli 2010, berlantai dua dan baru selesai dilantai atas dengan tertatih-tatih untuk bisa difungsikan pada Piodalan 2011, sementara lantai dasar yang dikhususkan bagi Pemangku dan Sarati Banten pengiring Pandita saat ini tinggal finishing, semoga kedepan atas anugrah Hyang Widhi ada punia umat yang bisa mewujudkan kesempurnaan Pasraman. Prosesi piodalan yang dimulai dengan Mepiuning pada 04 September 2011, lalu 10 September 2011(sore)

Nuwur Tirta di Candi Ceto, dan 11 September 2011 (sore) persembahyangan di Beji (Taman) dipimpin Pandita Mpu Acharya Nanda, akhirnya Puncak piodalan pada pagi hari 12 September 2011 dengan Nyejer 3 hari. ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 7 (Tujuh) Pandita, prosesi dengan Banten yang sederhana tetapi lengkap dihaturkan dengan baik. Tahun ini umat yang datang semakin banyak bahkan sejak 2 tahun lalu persembahyangan sudah 2 session, sekarang ini sudah 3-4 session sebagai pertanda kesadaran umat untuk bakti semakin meningkat. Prosesi piodalan diakhiri dengan Nyineb pada 15 September 2011 (Pagi) dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu, dari Gria : Braban-Denpasar, Mpu Putra kayumas-Denpasar, Penarungan-Singaraja, dan Tukad Mungga Singaraja.

PENATARAN PINANDITA & GURU AGAMA HINDU UMAT JAWA, SERTA PENTAS REOG SINGO PASEK:

Reog Singo Pasek, milik Warga Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan, Karanganyar, ikut memeriahkan Piodalan, dengan pentas pada saat penyucian Ide Bhatara dan pada puncak piodalan. Tampil : Dadak Merak (barongan), jatilan (anak kecil menunggang kuda), Bujang anom yang lucu, dan Warok yang gagah. Reog yang pentas pertama pada 17 Agustus 2008 dimana tanggal itu dianggap sebagai kelahirannya, saat ini masih belum lengkap sarananya. Sarana reog merupakan inisiatif warga dengan memungut iuran anggota, namun terbesar merupakan sumbangan dari umat warih Bhatara Kawitan khususnya dari Bali. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada warga setempat walaupun Reog tersebut sudah di prayascita waktu Piodalan Purnama ketiga tahun 2010 (saat persembahyangan Beji). Kehadiran Reog Singo Pasek sempat mengagetkan umat yang hadir sehingga penonton sangat antusias, kotak dana punia (saweran) diedarkan untuk menambah kas Paguyuban Reog. Secara rohani Reog ini timbul karena kedekatan warga dengan Eyang di Petilasan dan secara organisasi umat dari Bali masuk dalam ke-pengurusan, sehingga ada ikatan Skale-Niskale. Kedepan ada harapan agar ”Reog Singo Pasek” bisa tampil di Bali walau dana tentu besar karena peralatan dan pemain yang cukup banyak.

Kehadiran Mpu Wijaya Nanda yang banyak mencetak buku upakara dan ageman ke-pemangkuan, Mpu Acharya Nanda yang adalah pen-darmawacana, juga Mpu Prema Ananda yang waktu walaka bernama Putu Setia yang kita kenal, serta Pandita lainnya dimanfaatkan oleh Pengempon bekerja-sama dengan PHDI Karanganyar dengan moderator Wk1PHDI Bid Tata Agama – Jero Mangku Made Murti Suandana untuk menambah wawasan umat Hindu khususnya umat Jawa serta guru agama Hindu yang banyak tersebar dilereng gunung Lawu serta Solo kota. Kali ini acara dikemas berbentuk Penataran singkat (sekitar 3 jam) yang sifatnya sebagai permulaan dengan harapan kedepan akan dimaksimalkan bila perlu rutin, apalagi kepada penulis, narasumber menyampaikan berkenan untuk kembali melakukan darmawacana, darmatula, atau sarasehan untuk membantu peningkatan wawasan umat. Hadir di Petilasan 20 orang lebih Pinandita & guru agama Hindu berbaur dengan umat hindu dari Bali mendengar darmawacana dari pandita serta tanya-jawab. Materi menurut pengamatan penulis masih bersifat motivasi agar meningkat sradha dan bhakti umat Hindu ini. Penulis menyampaikan satu wacana, terkait dengan eksistensi Pinandita umat Hindu Jawa yang perlu mendapat perhatian. Seperti diketahui, seorang Pinandita atau wasi adalah orang yang dipercaya oleh umat untuk menjadi penghubung, komunikator atau penyampai pesan umat kepada Sang Pencipta sehingga disamping perlu menjaga kesucian, faham ajaran agama dengan baik, intinya mampu menjalankan ageman atau sesana ke-Pemangkuan dengan baik. Terkait dengan itu maka ada dua hal yaitu : Puja Mantra dan Upakara akan menjadi bagian aktifitasnya dan akan selalu bersentuhan. Ageman ke-Pemangkuan yang dibawakan oleh Pinandita dari Bali sepertinya sudah menyatu dengan Upakara Hindu tradisi bali, sehingga bagi Pinandita umat Jawa akan kesulitan aplikasinya di Jawa karena Jawa sendiri punya upakara warisan dari leluhur. Untuk itu penulis sampaikan agar ada pemisahan yang jelas antara ”Puja Mantra” dan ”Upakara/Banten”. Puja Mantra adalah mutlak karena bersumber dari Weda dan disusun dengan urut-urutan yang baik (pakem) seperti : Diawali mensucikan diri Pinandita, Ngarga tirta, nedunang/menghadirkan Ide Bhatara, ngaturang/mempersembahkan upakara, ngaturan Segehan/caru untuk alam bawah, dan ksamawamam, jadi ini perlu dipelajari oleh Pinandita umat Hindu Jawa, jika didalam puja mantra ada doa yang diucapkan dalam bahasa bali (sehe), maka silahkan diganti dengan bahasa Jawa (dungo/doa) jadi bisa local genius tanpa keluar dari tatanan/pakemnya. Mpu Wijaya Nanda sangat visioner, beliau telah membuat satu Ageman Pinandita yang sudah dicopykan kepada penulis untuk di-setting menjadi kebutuhan Pinandita Jawa, boleh dikurangi, disesuaikan situasi (misal : Sehe), asal tetap sesuai dengan urutannya, untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dengan PHDI Karanganyar. Berikutnya adalah ”Upakara” yang menyatu dengan Puja Mantra, namun bisa dipisahkan/disesuaikan dengan prinsif local genius. Upakara ini bisa diganti dengan upakara Jawa atau dikombinasi dengan mengikuti urutan Puja mantra yang pakem tadi. Seperti yang disampaikan Mpu Wijaya Nanda pada penulis, jika fase pembersihan (pareresik) belum bisa atau belum mau memakai : Byakaon, Durmenggala, Prayascita, dapat memakai Tirta yang sudah dilakukan Puja Mantra pembersihan, kemudian banten untuk persembahan kalau orang bali biasanya dengan : Suci, Pejati, dll, umat jawa dapat mempersembahkan : tumpeng dengan dikelilingi hasil bumi, jajan pasar, bubur rampe sejangkape, dll. Lalu segehan bisa dipakai : cok bakal, dll. Yang sifatnya persembahan kepada alam bawah karena atas-bawah ini sama pentingnya, kata Mpu Acharya Nanda alam bawah menurut Hindu tidak identik dengan Jin atau Setan di agama lain, tapi atas-bawah merupakan keseimbangan. Jika modifikasi Puja Mantra & Upakara dengan konsep local genius ini bisa diterapkan, maka kedepan akan muncul kepercayaan diri Pinandita umat Jawa sebagai garda sradha & bhakti sehingga dapat memberikan pencerahan kepada umat Hindu secara umum. Disamping Ageman Pinandita, maka Rsi Yadnya juga perlu dikuatkan. Rsi yadnya bagi umat Hindu Bali masih kalah dengan Pitra Yadnya juga Dewa yadnya, dan ini terjadi juga terhadap Pinandita umat Hindu Jawa yang secara umum masih belum stabil ekonomi rmh tangganya namun tetap dituntut melakukan kewajiban dengan baik, maka daripada melakukan upacara besar-besaran di Jawa sebaiknya Rsi yadnya kepada Pinandita ini ditingkatkan. Profil Pinandita Jawa adalah : Mereka orang-orang sederhana, masih bekerja serabutan (ada yang nyambi bertani atau tukang), sehingga belum bisa fokus secara utuh kepada pelayanan umat. Dibandingkan di Bali, seorang Pinandita disebuah Pura atau Mrajan sudah dihandle ekonomi rm tangganya oleh warga walau memang belum semuanya sehingga Pinandita di bali juga perlu membuat ”Paguyuban Pemangku” yang terkait masalah konsumsi dan simpan pinjam. Paguyuban atau Sanggraha Pinandita di Jawa sudah ada namun belum menjawab permasalahan secara menyeluruh, jika Pinandita umat Jawa sudah teratasi ekonomi rm tangganya sehingga mampu menjadi wasi yang mumpuni, maka kedepan tidak menutup kemungkinan lahir ”Pandita” sehingga tugas pembinaan umat di Jawa sudah bisa berjalan lebih baik. Seiring dengan tujuan peningkatan pemahaman umat ini, maka tawaran Mpu Prema kepada umat di Jawa dalam hal ini kepada Ketua PHDI Karanganyar untuk mengajukan permintaan buku-buku, perlu segera ditindak lanjuti.

Akhirnya, astungkara karena Piodalan telah berhasil dengan baik, pada kesempatan ini ucapan terima-kasih kepada semua umat, Pinandita, dan Sulinggih yang terlibat karena memang demikianlah bhakti itu, : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.


Dilaporkan oleh,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah

Selasa, September 13, 2011

CANDI CETO belum CETO


”Bali Jowone” demikian kata sakral yang masih ada didalam hati nurani umat Jawa, mungkinkah ini yang mengakibatkan kenapa orang-bali akhir akhir ini mulai banyak yang tirtayatra ke Jawa karena mereka mengartikan ’kembali ke Jawa”? Tentunya tidak, karena orang Bali memang mengetahui melalui prasasti, babad, atau sejarah, bahwa leluhur sebagian besar orang bali adalah dari Jawa, disamping itu arti yang benar akan ”Bali Jowone” adalah agar kembalinya sifat arjawan karena Jawa berasal dari kata arjawan yang berarti jujur. Kalimat ini seperti ingin menegaskan, bahwa dijaman dimana manusia dengan berbagai sifat dan tingkah lakunya, akhirnya manusia yang utama adalah yang memiliki kejujuran atau lebih luas lagi adalah manusia yang mengandalkan hati nuraninya dalam kehidupan. Dijaman yang penuh dengan keserakahan, egoisme, materialistis, sebagai cermin jaman kali (Kali Yuga), kita perlu memperoleh pencerahan agar menjadi terang benderang batinnya, maka semoga tirtayatra ini memberikan manfaat. Tirtayatra orang Bali ke Jawa terutama adalah melakukan persembahyangan ke Candi atau petilasan baik stana Hyang Widhi (Dewa Pratistha) maupun stana orang-orang suci (Atma Pratistha), salah satu Candi yang paling menjadi sasaran kunjungan tirtayatra adalah Candi Ceto yang berada dilereng Gunung Lawu di wilayah Karanganyar (Ex Kresidenan Surakarta)-Jawa tengah.


Candi Ceto merupakan salah satu tempat pemujaan Hyang Widhi yang mempunyai talian erat dengan satu candi lainnya didaerah Karanganyar yaitu Candi Sukuh. Candi Sukuh diyakini sebagai tempat pemujaan Durga sedangkan Candi Ceto tempat pemujaan Siwa karena pada puncak candi ada sebuah altar besar persegi empat yang berwujud ”Lingga”. Sekarang ini ada keyakinan sebagian umat, sebelum ke Candi Ceto & Sukuh, maka akan tangkil dulu ke Pura Pemacekan (Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan-Karangpandan) yang dimaknai sebagai Mrajan sesuai dengan konsep umat Hindu Bali, bahwa ada Mrajan ada Pura sehingga bagi yang tidak sempat ke Ceto cukup ngayat (memuja) dari Pura Pemacekan. Prasarana Pura pemacekan kebetulan cukup mendukung juga bagi umat yang ingin beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke candi Ceto karena ada Kamar mandi dan Balai banjar yang dapat menampung ratusan umat. Sebagian umat ada yang mengartikan Pura Pemacekan adalah Dalem Solo (Dalam pengertian spiritual), dimana sejak dulu orang tua kita menyebut kata itu dalam pemujaan. Sudah disadari juga oleh Pewaris tahta Keraton Surakarta Hadiningrat (Paku Bhuwono XII) bahwa ada ikatan Pura Pemacekan dengan Keraton Surakarta Hadiningrat (Dalem Solo dalam pengertian kerajaan/pemerintahan). Kembali kepada Candi Ceto, bahwa Ceto sendiri dalam bahasa jawa berati terang/jelas/cerah, sehingga Ceto diyakini sebagai tempat memperoleh pencerahan. Di era Majapahit (khususnya pada Abad XIV-XV) Candi Ceto juga menjadi penting karena dikaitkan dengan ”Raja Brawijaya V” (Raja Majapahit Hindu terakhir) yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Lawu, sehingga disalah satu pelataran Candi Ceto ada Patung Raja Majapahit tersebut. Candi Ceto saat ini perlu mendapat perhatian, baik bagi umat pengunjung/tirtayatra, bagi pemerintah daerah, juga bagi para tokoh Hindu yang menyadari, bahwa Candi Ceto ini adalah peninggalan Hindu. Candi Ceto secara pengelolaan masih berada ditangan pemerintah artinya aktifitas di candi tersebut masih diperlukan perijinan ke pemerintah daerah walaupun terkait dengan persembahyangan hal ini sudah tidak masalah karena tidak ada larangan umat Hindu untuk bersembahyang apalagi Pemda Karanganyar memang menjadikan Karanganyar sebagai daerah kunjungan wisata religius. Hal ini juga berarti, bahwa dana (karcis & Punia) secara prosedur masuk ke Pemerintah daerah. Disekitar Ceto atau di wilayah Ngargoyoso, Jenawi, dan lainnya sebenarnya banyak umat Hindu etnis Jawa yang tinggal didesa-desa serta memiliki Pura yang jumlahnya belasan, jika Ceto (dan juga Sukuh) diserahkan pengelolaan ritual (spiritualnya) kepada umat Hindu terdekat tentunya setiap hari raya Hindu seperti Purnama-Tilem dan hari suci lainnya Pemangku yang ditunjuk bisa melakukan Puja Stawa sehingga ke-sakralan Candi Ceto bisa semakin baik. Ceto sendiri punya Piodalan atau hari rayanya yaitu pada ”Anggarkasih Medangsie” yang disebut Ritual Mondosio. Pada perayaan tersebut bisa digalakkan oleh PHDI Karanganyar agar semua Pinandita seluruh Pura yang ada disekitar karanganyar melakukan pemujaan bersama dan umat seluruhnya bisa disatukan dalam persembahyangan dengan tradisi Jawanya sehingga secara psychologis akan meningkatkan kepercayaan diri bagi umat Hindu agar tidak semakin merosot jumlahnya. Perayaan disaat itu dengan skala besar sebenarnya ada namun dilaksanakan oleh orang bali dengan tradisi balinya sementara umat yang melakukan ritual Mondosio menjalankan secara sendiri-sendiri. Penulis pernah menyampaikan agar Bali sifatnya mendukung saja, karena dimanapun orang Bali berada dan membangun Pura atau melakukan ritual itu sudah biasa, namun jika kita bisa mengangkat hindu sekitar Karanganyar dengan tradisi Jawanya terlihat seperti jaman Majapahit bangkit kembali, maka ini akan membawa gaung kemana-mana, dibandingkan orang bali melaksanakan ritual dengan tradisi bali dan mengundang pejabat tinggi, tidak membawa dampak spiritual bagi pengembangan Hindu dengan tradisi Jawanya kecuali hanya seremoni saja. Sekali lagi perlu ditekankan disini, orang bali yang datang ke candi Ceto sifatnya ”tirta yatra” saja, jangan membawa ritual ke Jawa apalagi dengan besar-besaran yang sesungguhnya tidak mendidik umat Hindu Jawa yang sedang mencari bentuk. Di kantong Hindu ini sebenarnya perlu mendapat perhatian para tokoh dan masyarakat yang peduli agar Hindu dengan kesejatian mereka (Hindu Jawa) bisa hidup kembali. Umat Hindu ini yang beralih ke agama lain karena alasan Akta Perkawinan dan KTP ini sudah semakin berkurang, namun satu hal yang jarang diketahui, adalah mereka tidak menyukai jika di Pura yang ada iurannya, ini bukan berarti mereka tidak mau ber-dana punia karena terbukti jika ada kegiatan kerja-bakti di Pura misalnya, mereka rela mengeluarkan tenaga, makanan, dll yang jumlah rupiahnya melebihi dari jumlah iuran tersebut, artinya mereka merindukan ”spiritualnya” bukan materialnya, karena dijaman leluhur dulu tattwa sangat menonjol di jawa yang sekarang masih ada dalam bentuk pesan-pesan, nasehat, atau etika-etika yang diterapkan dalam keluarga Jawa, yang juga banyak dipopulerkan oleh Presiden Suharto, seperti : Ojo dumeh, ojo gumunan, ing madyo mangun karso, tradisi sungkem (pada sewanam/ pada=kaki), dan lain-lain.


Satu hal lagi yang perlu diketahui oleh umat Hindu dari bali yang ber-tirtayatra ke Candi Ceto adalah, jangan tergoda oleh hal lain yang mengalihkan dari makna tirtayatra, tetapi agar teleng, tumus, lurus, menuju kepada Sang Pencipta guna memperoleh pencerahan dan menjadi Ceto. Ujian itu akan dihadapi ketika umat ini hampir sampai ke area tertinggi di Ceto, karena disana ada yang menawarkan benda seperti : tongkat, gnitri, dan lain-lain yang disebut sudah di Pasupati dimana harganya tentu tidak wajar. Penulis berpikir mungkin ini adalah karena bijaksana Hyang Widhi, maka umat ini perlu diuji ketulusan hatinya atau tingkat bhaktinya, jika datang ke Ceto dan setelah hampir mencapai pencerahan lalu tergoda oleh hal yang bersifat wisesa/kanuragan, maka ini artinya umat ini sudah berpaling dari jalur rohani. Berbelanja bukan tidak boleh, namun jadikan itu hanya souvenir saja dan tidak perlu sampai membayar ratusan ribu karena sudah di pasupati, jangan lupa hanya Hyang Widhi yang punya kekuatan itu dan mintalah kepada Beliau di Ceto. Penulis ketika ke Bali (di Batur Kintamani) membeli gnitri hanya 10 ribu saja karena memang Gnitri hanya salah satu alat sembahyang (Japa) bukan membeli ka-wisesan. Kepada penjual souvenir tersebut para tokoh umat bukan tidak mengingatkan namun sekali lagi ini adalah godaan buat umat yang ber-tirtayatra. Akhirnya mari kita jadikan Candi Ceto peninggalan leluhur sebagai tempat suci tempat dimana umat memperoleh pencerahan dari Dewa Siwa, jangan berpaling kepada hal-hal yang bukan rohani, bantu umat mengangkat kembali Hindu dengan tradisi Jawanya, dan umat Hindu dari Bali ber-tirtayatralah dengan baik jangan membawa tradisi bali secara berlebihan ke Ceto tetapi bantulah ekonomi, pembangunan Pura dan pemahaman ajaran Hindu lewat buku-buku serta darma wacana, semoga dengan demikian Candi Ceto benar-benar Ceto.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-08-2011.