Senin, Oktober 31, 2011

PEDANDA JABA


Pada tahun 1999 Bhagawan Dwija menanyakan kepada Nabenya Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha (Seririt) tentang kenapa beliau disebut oleh orang dengan sebutan “Pedanda Jaba”, belum lama ini (2004) penulis juga diceritrakan oleh Sulinggih Mpu, bahwa warga didesanya (tidak seluruhnya) menyebut beliau “Pedanda Jaba” . Jawaban yang diperoleh dari kedua Sulinggih tersebut atas pertanyaan ini adalah sama, yaitu : Biar saja yang disebut Jaba khan Pedanda !, sebuah jawaban yang diplomatis tetapi mengandung makna kestabilan emosi yang tinggi. Kurun waktu 5 tahun (1999-2004) adalah waktu yang cukup lama berarti sekian tahun itu tidak banyak kemajuan pada umat tentang pengertian Sulinggih, Sadhaka, atau Brahmana. Kenapa itu bisa terjadi ?.


Jika menyimak fenomena dimasyarakat, istilah Pedanda Jaba masih banyak diucapkan oleh umat dipedesaan yang sangat sederhana cara berpikirnya, lugu, dan masih kental sitem feodal masyarakatnya. Mereka bukan bermaksud menghina Para Sulinggih Mpu tetapi karena mereka tidak tahu. Ketidak tahuan itu bisa dimaklumi karena keadaan itu sudah berlangsung ratusan tahun dimana yang mereka tahu Sulinggih itu adalah Pedanda dari soroh tertentu. Adalah sejak abad 15 di Bali terjadi pembagian porsi umat yang dimana Sulinggih (Brahmana) diambil porsinya oleh Danghyang Nirarta dan keturunannya yang dari sini menurunkan Pedanda secara turun temurun, porsi Ksatrya diambil oleh Dalem (Anak Agung), Wesya oleh Para Arya (I Gusti), dan diluar itu Sudra. Diluar Sudra disebut juga Tri Wangsa sedangkan Sudra ini dikenal di Bali dengan sebutan Jaba. Itulah sebabnya warga yang sejak abad 16 dipisah menjadi sistem Kasta oleh Kolonial hanya tahu, bahwa Sulinggih itu adalah Pedanda sehingga jika ada umat dari Soroh lain menjadi Sulinggih berarti bukan keturunan Brahmana tetapi keturunan Jaba sehingga Sulinggih itu disebut Pedanda Jaba. Istilah Jaba ini adalah produk politis abad 16 yang masih terbawa sampai sekarang. Istilah Jaba ini banyak diarahkan kepada Soroh Pasek karena memang setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel tidak lagi menjadi Raja Bali kemudian digantikan oleh Dalem sebagai wakil Raja di Jawa, maka kedudukan terhormat itu sudah tidak ada. Lebih-lebih lagi tidak banyak yang meneruskan laku leluhurnya yaitu Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta menjadi Mpu, malah rohaniawan dari keturunan Mpu Gnijaya (Warga Pasek) diberi sebutan “Dukuh” . Sehubungan dengan waktu Dalem menjadi wakil Raja di Bali penduduk Bali dan Wong Bali Mula (Warga Kayu Selem) hanya tunduk kepada Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel ,maka Warga Pasek masih dibutuhkan menjadi Bendesa (Banda=Pengikat Desa=Tempat) yang tersebar diseluruh Bali. Ada juga keturunan yang menjadi Patih di Gelgel sehingga bergelar I Gusti, tetapi lama kelamaan yang menduduki jabatan semakin berkurang dan banyak yang hanya menjadi Petani atau abdi inilah yang mendapat porsi “Jaba” tadi dan mendapat perlakuan berbeda dalam hal Pitra Yadnya (Ngaben) dan cara berbicara (Saur singgih). Turunnya strata sosial Warga Pasek waktu itu disamping karena hal politis bisa jadi adalah karena melanggar bhisama Bhatara Kawitan dimana para sentana diharuskan menjalankan Sasana Kawitan yang adalah Brahmana Jati dan tidak melupakan Parahyangan Leluhur dan saudara. Warga Pasek lainnya. Umat yang menyimpang ini sekarang tenar dengan sebutan “Pasek Paling”. Kemudian untuk kembali kepada petunjuk Bhatara Kawitan (Back to Bhisama) maka selalu diminta kepada Warga Pasek untuk menjadi “Paling Pasek (Pasek=Patitis Sesana Kawitan). Sehubungan dengan Warga Pasek jumlahnya sangat besar di Bali (mungkin diatas 50%), maka Pasek Paling ini juga sangat banyak, bisa jadi mereka inilah yang termasuk menyebut Sulinggih Mpu dengan sebutan Pedanda Jaba dimana sebenarnya merupakan satu leluhur dengan mereka.

Adalah sangat bijak Sulinggih Mpu untuk tidak menjelaskan kepada umat bahwa beliau bukan Pedanda Jaba, karena jika Sulinggih Mpu menjelaskan, maka akan dikatakan meninggikan diri atau membicarakan tinggi-rendah. Yang paling tepat untuk menyampaikan ini kepada umat yang masih belum mengerti itu adalah “Para Pedanda”. Para Pedanda yang adalah juga Brahmana dimana hidupnya hanya memuja kebesaran Hyang Widhi melalui palayanan kepada umat, harus terlibat juga pada meluruskan yang salah terhadap persepsi masyarakat dengan munculnya istilah Pedanda Jaba. Tetapi waktu 5 tahun ini yang terpendek dimana sebenarnya sudah berjalan lebih dari itu, penulis masih mendengar terjadi sebutan Pedanda Jaba, ini berarti belum ada kemajuan yang berarti. Apakah ini karena warga yang masih belum mengerti atau tidak mau mengerti atau fihak yang tahu sengaja tidak menjelaskan karena factor prestise yang bisa hilang, atau karena apa, mari kita cari bersama-sama. Yang penting bagi kita adalah sudah waktunya menegakkan Ajaran Hindu yang benar di Bali yang akhir-akhir ini dalam kasus Kaset Iwan Fals didengungkan lagi ajakan introspeksi kedalam, sudah waktunya kita tidak melakukan pembodohan atau menjadi tinggi atau terhormat diatas kebodohan orang lain, karena ukuran terhormat bagi kita adalah jika menghormati orang lain lebih-lebih bisa membuat orang lain menjadi terhormat.

Akhir kata penulis mengajak kepada umat yang masih memakai istilah Pedanda Jaba agar belajar lagi akan hakekat diri sendiri, leluhur, dan Hyang Widhi sehingga dapat menyebut sesuatu itu dengan benar, dengan demikian umat secara bertahap sudah meningkatkan dirinya sendiri menjadi Pemuja Hyang Widhi, bhakti pada Leluhur, hormat pada sesama bukan sebagai penyembah/ abdi karena hanya Hyang Widhi yang patut disembah, siapa tahu atas asung wara nugraha Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan maka pintu peningkatan kehormatan diri anda dibukakan dan siapa tahu juga dikemudian anda bisa menjadi Sulinggih, sehingga saat itu anda sudah tidak lagi disebut Pedanda Jaba.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah

KAHYANGAN JAGAT DI JAWA


Jika dibaca pustaka-pustaka kuna, maka istilah yang ada untuk tempat suci dikenal dengan sebutan ”Parhyangan”, namun sekarang ini sering disebut dengan Kahyangan atau Pura. Pura atau Kahyangan ini secara garis besarnya dapat dibagi 2 (dua), yaitu : Pura atau Kahyangan Khusus, yaitu Pura untuk kelompok keturunan /warga. Pura ini juga disebut ”Sangkaning Dadi (Mula Penjelmaan) sehingga lebih dikenal sekarang dengan Pura Kawitan. Yang kedua Pura atau Kahyangan Umum yaitu tempat suci untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Hyang Widhi atau perwujudannya. Dibali Pura atau Kahyangan yang tersebar di delapan penjuru angin disebut dengan ”Kahyangan Jagat” yaitu perwujudan (personifikasi) dari kemahakuasaan Hyang Widhi yang disebut Asta Aiswarya, sehingga Pulau Bali dilambangkan dengan Padma Astadala yaitu Tunjung/teratai berdaun delapan helai. Pura Kahyangan Jagat ini adalah : Pura Lempuyang luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur/Ulundanu, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Pengelengan/Bukit Mangu, dan Pura Besakih yang berfungsi Tengah dan Timur Laut.


Bagaimana dengan di Jawa ? di Jawa kita tidak atau belum menemukan Pura atau Kahyangan yang secara keberadaannya di delapan penjuru seperti di Bali, namun masyarakat (umumnya orang Bali) sering menyebut Pura-Pura besar di Jawa sebagai Kahyangan Jagat. Seperti seorang Pemangku yang diwawancarai sebuah stasiun TV pada acara di Candi Ceto pada Juli 2007 lalu menyebut Candi Ceto adalah Kahyangan Jagat entah apa alasannya. Untuk Candi Ceto sendiri ada sebutan yang berbeda-beda, seperti ada yang menyebut ”Dalem Solo” itupun tanpa ada dasar yang jelas. Bersyukurlah di Bali karena leluhur terdahulu sangat arif dengan pengertian Kahyangan Jagat dan dibuktikan keberadaannya didelapan penjuru angin. Jika demikian, maka kita kembalikan saja definisi Kahyangan di Jawa ini kepada para Pengempon/Pengampu Kahyangan ini yaitu masyarakat Jawa yang tinggal disekitar Kahyangan tersebut. Bagi orang Jawa Kahyangan ini mereka sebut dengan ”Candi” contohnya Candi Ceto. Mereka juga sudah punya perayaan sendiri untuk Candi Ceto sesuai dengan tradisi mereka. Saudara kita dari Bali sering memberikan contoh yang kurang bijaksana kepada saudara-saudara kita umat Hindu etnis Jawa, karena kita sering terlalu mendominasi suatu perayaan atau persembahyangan dengan sarana upacara seperti di Bali dengan biaya sangat besar, ironis sekali jika dilihat dimana umat Hindu Jawa justru banyak yang hidupnya sangat sederhana secara materiil. Lalu apa sebenarnya tujuan kita melakukan suatu persembahyangan yang begitu megah ke Jawa ??. Ketika seorang kawan dikantor bertanya ”Apa ada sembahyangan Hindu?, maka dengan diplomatis saya jawab tidak, itu hanya beberapa umat Hindu yang mau bersembahyang”. Jawaban itu saya berikan karena saya tidak pernah bangga ketika orang Bali yang mengadakan persembahyangan di Jawa melakukan upakara yang begitu megahnya dengan biaya sangat besar seperti yang biasa dilakukan di Bali, sehingga tidak ingin kawan saya melihat Hindu itu adalah seperti di Bali padahal ini di Jawa. Contoh seperti itu bisa dilihat di Semeru,dan Gunung Salak. Jika kita (orang Bali) sadar, bahwa kita di Jawa, maka biarlah umat Jawa yang menjadi utamanya (Pemucuk/Pemokok), dan biarlah mereka melakukan tradisi pemujaan Hindu seperti yang biasa dilakukan leluhur mereka di Jawa. Jika di umat Jawa ada Sulinggih (Brahmana) biarlah mereka yang menjadi Wiku Utama, bukan Pedanda-Pedanda. Kita umat Bali cukup mendorong atau jadi penggerak. Silahkan kalau punya hubungan di-birokrasi, jaringan informasi, personil, juga dana, difungsikan dengan baik dan arahkan itu semuanya untuk kemajuan Hindu. Sebagai ”penggerak” tentunya tidak perlu terlihat dipermukaan, karena jika hanya memerlukan ”publikasi” atau muncul di media-media, maka itu namanya mencari popularitas, dan inilah kebanggaan semu yang tidak memberikan dampak rohani berupa kebahagiaan, tetapi akan selalu menuntut pemuasan-pemuasan yang tidak akan habis-habisnya sampai kita capek, itulah hakekat mengejar ”kebanggaan yang semu”. Jika kita sepakat, bahwa Kahyangan di Jawa atau daerah lain diluar Bali diprioritaskan kepada umat setempat, maka : di Candi Ceto diutamakan kepada umat Jawa khususnya yang di Karanganyar sebagai Pengampu, Pura Semeru kepada umat Jawa di Lumajang, Gunung Salak kepada umat Hindu Sunda, di Kalimantan (Jika ada Kahyangan Jagat) diutamakan kepada Umat Hindu Dayak, di Toba (Sumatra utara) kepada umat Hindu Batak, dan seterusnya, juga ketika di India tentu akan diatur oleh umat India bukan dari Bali bawa banten ber-truk-truk.

Kembali kepada Kahyangan Jagat, maka sesuai dengan definisinya disana distanakan ”Hyang” atau Personifikasi Hyang Widhi dalam wujud Dewa-Dewa atau Bhatara (Bhater/Pelindung), sehingga umumnya disana tempat menghubungkan diri yang penuh ketenangan/keheningan, jauh dari keinginan duniawi atau hingar bingar apalagi politis, itulah sebabnya Kahyangan yang oleh orang-orang tertentu disebut Kahyangan Jagat, selalu tempatnya di ketinggian dengan nuansa tenang dan damai. Kahyangan atau Candi peninggalan leluhur di Jawa dibuat dengan pertimbangan tertentu terutama niskala dan mengandung makna pilosofis, sehingga tidak perlu lagi ditambahkan Pelinggih Baru sesuai keinginan kita yang akan mengurangi bahkan menghilangkan makna yang diwariskan oleh para pendahulu. Jadi lakukan kewajiban untuk memelihara Kahyangan baik di Bali, Jawa, atau daerah lain semata-mata untuk bhakti, seperti disebutkan dalam ”Bhagawad Gita Bab III, Sloka (bait) II : ”Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.”


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007