Selasa, September 07, 2010

PIODALAN ”PURA PEMACEKAN”
KARANGANYAR-SOLO-JAWA TENGAH

Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 24 Agustus 2010. Piodalan ini adalah yang pertama kalinya bagi Pengempon periode II Februari 2010-Februari 2015 dibawah struktur MGPSSR Pusat. Tanggung jawab bebantenan kali ini oleh MGPSSR Kab.Jembrana (Negara), Pengempon di Jawa (Karanganyar&Solo) menjadi Panitia dan mempersiapkan bebantenan sederhana karena belum mampu menyiapkannya. Panitia terdiri dari umat Hindu setempat baik umat Bali maupun umat Hindu suku Jawa, juga melibatkan penduduk disekitar Pura (non Hindu) yang sangat menghormati beliau yang distanakan di Petilasan, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu, jadi manfaat secara ekonomis juga diperoleh karena seharusnya konsep Pura secara horizontal adalah agar memberi manfaat kepada masyarakat sekitar serta para damuh. Proses sudah dimulai dengan : Rapat-rapat Panitia yang terdiri umat Pengempon serta umat Hindu dilereng Gunung Lawu (Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Karanganyar kota, Masaran, dan Solo sekitar) dimana banyak juga mereka adalah pejabat di kepolisian, guru, pegawai suasta, dan lain-lain dengan semangat Ngayah berbaur bersama dengan baiknya. Tanggal 21 Agustus 2010 Mepiuning, 22 Agustus 2010 Nuwur Tirta di candi Ceto, 23 Agustus 2010 persembahyangan di Beji (Taman) sekaligus Plaspas ”Reog Singo Pasek” dimana Reog ini inisiatif penduduk setempat. Puncak piodalan pada pagi hari 24 Agustus 2010 ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 6 (Enam) Pandita sebagian besar dari Jembrana, prosesi dengan Banten yang sederhana dihaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita yang Muput. Setelah Puja Piodalan selesai, dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya dan Kramaning sembah, terakhir Nunas Wangsuhpada (Tirta). Sebelum bubar disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Made Sabaryasa, Ketua Pengempon-Ketut Landra, PHDI Karanganyar diwakili WK I Bid.Tata Agama Jero Mangku Made Murti dan darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika, dengan Pembawa Acara Jero Mangku Nyoman Sukadana. Acara berjalan dengan lancar dan umat yang hadir dari Puncak Piodalan sampai Nyineb (Penutupan) sangat banyak dan secara beruntun rombongan demi rombonggan hadir mengiringi Para Pandita. Total Pandita yang hadir lebih dari 20 (dua puluh) Pandita. Piodalan ini seperti biasa berlangsung (Nyejer) tiga hari dan Persembahyangan terakhir berupa ”Nyineb” dilakukan pada 27 Oktober 2010 pagi sekitar jam 07 dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu dari Gria : Braban-Denpasar, Nusa-Klungkung, Mengwi-Tabanan, dan Tukad Mungga Singaraja.

Belajar tidak hanya minta ”ANUGRAH”
Darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika yang cukup singkat namun banyak hal-hal positif yang bisa dipetik, seperti : umat yang datang ke Pura apalagi sampai jauh datang ke Jawa untuk menghaturkan bhakti tentu akan lebih baik jika diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Jika setiap doa tidak pernah lupa memohon ”anugrah” kepada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, maka sudah waktunya kita melakukan ”Karma Marga” lewat Punia baik Jnana Punia maupun Punia harta serta tenaga untuk menyempurnakan bhakti kita. Seperti diketahui, saat ini Pura Pemacekan sedang membangun ”Pasraman Sulinggih”, maka bentuk bhakti berupa dana punia sangat dibutuhkan untuk melengkapi sarana dan prasarana Pura pemacekan mengingat para Pandita perlu kita tempatkan pada tempat yang layak dan terhormat, serta nyaman mengingat mereka banyak yang sudah sepuh. Penghormatan kepada Pandita juga merupakan wujud ”Rsi Yadnya” dimana aktifitas yadnya ini tidak sekuat ”Dewa Yadnya” juga ”Pitra Yadnya”. Disinggung juga oleh pen-darmawacana, sarana upacara berupa ”Upakara/bebantenan” yang saat ini masih dibawa dari bali diharapkan kedepan bisa disiapkan dari umat di jawa dengan tidak mengabaikan local genius (kebiasaan setempat) mengingat Pura Pemacekan berada di Jawa. Untuk hal ini memang masih dalam proses mengingat di Jawa sendiri banyak upakara lokal yang perlu dikaji secara dasar Tattwa Weda sehingga dapat dikombinasikan dengan upakara yang sudah biasa dilakukan di Bali, contoh saja ”Taman Pulo Gembal” tingkatan upakara piodalan yang intinya sebenarnya mempersembahkan seisi hasil alam sehingga berupa ”Taman” sebagai wujud bhakti pada Ibu Pertiwi (Durga), maka di Jawa juga ada Gunukan berupa tumpengan dengan segala hasil buminya. Untuk hal ini sedang di-wacanakan untuk mengadakan darma-tula antara Pinandita umat Jawa serta sesepuh umat untuk diskusi dipimpin oleh Pandita sehingga kedepan dapat diperoleh Format Upakara yang mengandung Local Genius (budaya setempat) tetapi mempunyai landasan Tattwa Weda / sastra agama. PHDI Karanganyar seperti disampaikan oleh WK I Bid.Tata Agama akan siap menjadi penggeraknya. Akhirnya apapun yang kita persembahkan kehadapan Hyang Widhi itu hanyalah bentuk bhakti dan ucapan terima-kasih kita atas apa yang telah kita peroleh dari Beliau, manusia tidak boleh hanya menerima anugrah saja, namun perlu punya rasa syukur dan ber-terima kasih melalui mempersembahkan kembali apa yang sudah kita peroleh sehingga : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.


Dilaporkan oleh,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 07-09-2010