YOGA DAN TENAGA DALAM
”Yoga” diciptakan oleh Rsi Wyasa dan dalam perkembangannya kemudian disempurnakan dengan lebih sistimatis oleh Rsi Patanjali, yang tujuan utamanya adalah sebagai jalan menyatukan bhuwana alit (mikrosmos/manusia) dengan bhuwana agung (makrokosmos/alam semesta-juga berarti Brahman). Dengan fase-fase yang disusun secara teratur kedalam delapan tingkatan (Astangga Yoga), maka dengan ketekunan yang baik intisari dalam Yoga bisa membimbing manusia menjadi lebih baik atau lebih berkualitas jasmani maupun rohani. Jika berbicara masalah Yoga atau berbicara para Rsi penekun Yoga ataupun praktisi Yoga pada umumnya, maka tidak terbersit sedikitpun berbicara masalah kekuatan, kewisesan, atau kanuragan, walaupun jika ditelusuri pasti ada bagian Yoga yang bisa diarahkan untuk hal itu (kanuragan). Para Rsi yang menyadari tujuan Yoga untuk kesehatan jasmani dan rohani atau lebih jauh lagi menyatukan diri menuju kepada Brahman, tidak mau menfaatkan Cakra Api (Agni) atau Cakra Kundalini misalnya dalam aplikasinya, tetapi memilih salah satu Cakra disekitar dada, karena konon agar tidak mengarah kepada hal-hal kanuragan, karena seorang Rsi sudah tidak berada diwilayah seperti itu. Dalam prakteknya Yoga kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia, seperti : untuk kesehatan, kecantikan, atau untuk hal yang lebih jauh lagi, seperti ”Babaji” seorang penekun Yoga di India, dikenal tetap awet muda (tetap seperti usia 30 tahunan) walaupun kenyataannya sudah berusia beberapa ratus tahun, hal itu karena menekuni Yoga.
Sejalan dengan penyebaran agama Hindu ke Nusantara, maka Yoga juga berkembang dengan baik, bahkan karena di Nusantara banyak kerajaan-kerajaan, maka Yoga juga menyesuaikan kebutuhan, maka disamping ditekuni oleh para Mpu atau rohaniawan jaman itu, banyak fihak yang berikutnya mengembangkan sisi kekuatan/kewisesan dari manusia melalui Yoga, maka ”Cakra Kundalini” menjadi point utamanya. Banyak kemudian muncul penekun kewisesan/kanuragan atau kesaktian dan terus berkembang sampai jaman republik bahkan sampai sekarang. Diakui atau tidak, banyaknya perguruan-perguruan Tenaga Dalam di Indonesia awalnya menggali dari Yoga karena ”pernapasan” sebagai olah utamanya mempokuskan pada daerah perut atau tiga jari dibawah pusar dan itu adalah kundalini yang diibaratkan sebagai naga tidur dan melingkar menyerupai obat nyamuk bakar. Dalam pelatihan atau pengembangan diri, beberapa perguruan mempunyai metode berbeda atau punya ciri khasnya, seperti : ada ”Merpati Putih” yang mampu memukul benda keras atau memanfaatkan untuk dapat melihat (mis Menyetir mobil) walau mata tertutup, ada yang dengan pengembangan tenaga hidrolik, sehingga dapat mementalkan fihak lawan yang menyerang, perguruan ini seperti : Persiteda PATRIOT, Sinar Putih, Sinlamba, Bambu Kuning (di Bali), dan lain-lain. Ada yang lebih menekankan kepada penyaluran hawa murni untuk kesehatan, seperti : Satria Nusantara, Tai-Chi, dan Rei-Ki (lewat penyelarasan energi/ A Tune). Dalam aplikasinya juga sudah lintas agama, sehingga doa atau rapalan, sudah menyesuaikan dengan agama-agama tertentu, walau ada yang sifatnya universal (contoh : Patriot dan Satria Nusantara). Kekuatan/energinya pun disebut berbeda, ada yang menyebut ”Prana”, Chi (bahasa China), Ki (bahasa jepang), bahkan secara tradisionil ada menyebut ”Sedulur Papat kelima pancer” di Jawa, Kanda Pat di Bali, dan lain lain. Sekarang ini, siswa-siswa perguruan sudah banyak yang mendirikan perguruan sendiri-sendiri, sehingga banyak muncul nama-nama baru. Terkait dengan isu akan di-haramkannya Yoga oleh MUI bagi umat Muslim, maka untuk perguruan-perguruan yang berbasis ”Pernapasan” ini, tidak akan terpengaruh, karena perguruan ini sudah terbentuk sejak lama dan menyesuaikan dengan masyarakat penggunanya dari berbagai kalangan dan berbagai agama. Yang perlu dikaji ulang adalah ”Yoga” yang masih murni dengan Astangga Yoga, walaupun ini juga tidak perlu terlalu dikhawatirkan, karena pertama Yoga ini memang basicnya untuk umat Hindu dan sudah pasti tidak mengenal haram. Yoga dalam pengertian universal juga sudah banyak dan sudah eksis, dan yang terpenting fatwa tidak secara otomatis akan diikuti oleh umat muslim, mereka punya patokan-patokan lain juga sesuai dengan kebijaksanaan mereka, seperti rujukan dari para ahli agama atau pemahaman pribadi masing-masing yang dalam Hindu dikenal dengan ”atmanastuti” atau dengan ”Wiweka”. Jadi dengan pengertian ini tidak perlu kita umat Hindu terlalu terburu-buru curiga apalagi was-was dengan isu lahirnya Fatwa haram Yoga bagi umat muslim, karena dijaman kali yuga ini kita memang harus lebih introspeksi diri atau lebih meningkatkan kualitas batin daripada kita koreksi fihak lain yang ujung-ujungnya menimbulkan ketegangan bahkan dapat terjadi perselisihan antar umat beragama. Jadi kembali kepada hakikinya Yoga, maka jadikan Yoga untuk meningkatkan kualitas diri secara jasmani dan rohani, dengan demikian kita menjadi manusia yang sehat, stabil emosinya, tenang, bijaksana, dan bhakti. Didalam keseharian kita bersembahyang, misalnya Tri Sandhya sesungguhnya kita sudah melakukan Yoga secara terbatas, jika ingin menekuni silahkan datang kepada ahlinya.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
14-12-2008.
Selasa, September 01, 2009
MEMAKNAI BANTEN DENGAN BIJAK
Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten dewasa ini menjadi sangat menarik dan menjadi pembicaraan umat Hindu karena ada yang mendefinisikan sebagai wujud bakti (ingat) sehingga tidak perlu besar/mewah ada juga yang mempertahankan format yang ada warisan pendahulu kita. Bahkan sebagian umat menjadikan Banten ini sebagai sarana mutlak untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta artinya kalau tidak ada banten tidak sreg. Seorang Sulinggih yang tulisannya selalu saya baca dan file tersendiri yang sempat menyampaikan dengan 5 Daksina saja sudah berani Muput Pitra Yadnya sekarang bergabung keorganisasi yang menjadikan banten sebagai sarananya, semoga saja komitment untuk memajukan umat Hindu dengan penyederhanaan banten tetap dipegang teguh oleh beliau. Banten ini juga menjadi menarik ketika dikaitkan dengan umat Hindu bukan etnis Bali misalnya Jawa karena mereka tentu tidak mengerti banten yang umum diterapkan umat Hindu di Bali. Jadi banyak wacana tentang banten ini , tetapi kita tidak melihat bagaimana banten ini dari sudut pandang umat Hindu yang menggunakannya, yang sering hanya menjadi objek saja.
Bagi umat Hindu etnis Bali secara umum, bahwa Banten ini tetaplah merupakan sarana menghubungakan diri untuk kegiatan Panca Yadnya dalam suasana ”ketidak tahuan makna simbolisnya secara utuh”. Sulinggih mungkin tahu, atau Pinandita, juga Sarati Banten, tetapi berapa persen mereka dibanding umat yang menggunakan banten ini. Jadi kita mesti melihat fenomena umat yang menggunakan banten ini dengan baik jika ingin banten ini menjadi sarana yang effektif. Umat ini pada dasarnya menyerahkan pada orang yang dianggap mengerti, apakah itu Sulinggih atau Pinandita/Pemangku. Kadang jika harus mengeluarkan uang puluhan juta untuk membeli banten, mereka akan lakukan walau menguras harta bahkan mungkin meminjam, itu karena keyakinan mereka akan banten ini. Jika ada yang mencoba menyederhanakan banten ini sering malah didebat dan dianggap menentang kebiasaan. Pemangku juga banyak yang ikut larut dalam kebiasaan ini dan menerima saja benten yang disediakan bahkan kadang menambahkan dan melanggengkan kebiasaan yang harusnya bisa disederhanakan. Namun ada juga Pemangku yang cerdik, beliau tetap Ngenteb (mengantarkan persembahyangan) tetapi diawal-awal biasanya diucapkan ”Menawi banten puniki kirang ampure, mangda Ida raris nunas ring Pasar Agung” Jika sarana persembahyangan ini kurang, maaf mohon agar Ide (yang di Puja) mengambil di Pasar Agung (Pasar Agung itu salah satu Pura di Lempuyang Luhur). Jadi fenomena diatas menggambarkan realita umat atau juga Pemangku yang khawatir banten ini kurang apalagi saat Pitra Yadnya jangan-jangan Sang Atma tidak memperoleh tempat di Sunya Loka, atau kalau persembahan kepada Leluhur dan Bhatara lalu banten kurang, jangan-jangan Ida Bhatara juga Leluhur menjadi ”Bendu/Marah”. Yang menjadi pertanyaan apakah benar seperti itu ? apakah Bhatara, Leluhur yang sudah Meraga Dewa Hyang masih menuntut banten harus ini harus itu, hal ini yang harus dijelaskan oleh orang yang mengerti baik Sulinggih, Pinandita/Pemangku (yang faham) atau intelektual Hindu, bahwa hal itu tidak benar karena yang diperlukan dalam setiap persembahan adalah ’ketulusan hati”. Ada bahkan tokoh umat yang menyampaikan akan perlunya banten, katanya hanya para Maha Rsi yang mampu sampai pujanya kepada Sang Pencipta hanya dengan sarana sebuah dupa atau tanpa sarana apapun. Kalau begini berapa juta umat Hindu yang setiap hari bersembahyang sia-sia karena tidak tercapai doanya hanya karena tidak memakai banten. Lalu kalau memakai banten apakah akan sampai doa atau puja bhaktinya ?, tidak seorang pun yang tahu dan kita tidak perlu tahu karena kewajiban kita adalah memanjatkan puja bhakti dengan tulus dan tidak perlu berpikir apakah doa kita sampai atau tidak.
Pemakaian banten tidak harus ditentang karana hal itu tidak salah, tetapi kalau fenomena banten tetap seperti ini bagi umat Hindu etnis Bali, apalagi justru para tokoh umat bahkan Sulinggih justru mengajegkan banten ini terus, maka umat tetap akan ”miskin karena Yadnya”. Uang yang ada tidak bisa lagi untuk kehidupan, seperti : pendidikan, kesehatan (asuransi), tabungan, apalagi membantu fihak lain (dana paramita), bahkan dalam situasi yang serba sulit sekarang ini, maka umat Hindu di Bali akan semakin terpuruk dalam kemiskinan. Dalam situasi ini maka srada (iman) dan bhakti (taqwa) akan memudar dan kemungkinan untuk beralih agama bisa terjadi, atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang mendewakan uang untuk mencapai tujuan (money politic) seperti : agar dapat pengikut/massa bagi orang politik atau orang yang hanya sekedar mempertahankan prestise yang semu.(gelar/kasta) dengan bantuan kepada orang lain tetapi dengan pamrih. Jadi satu-satunya pengetahuan yang perlu difahami oleh umat yang tidak faham dengan makna simbolis banten secara detail, adalah artikan ”Banten sebagai sarana untuk menghubungkan bhakti kehadapan Hyang Widhi juga Leluhur, dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan”. Jangan sampai berhutang untuk sebuah banten agar tidak menderita dalam hidup, tetapi memperoleh ketenangan skala-nisklala ,moksartham Jaghadita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
13-03-2007
Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten dewasa ini menjadi sangat menarik dan menjadi pembicaraan umat Hindu karena ada yang mendefinisikan sebagai wujud bakti (ingat) sehingga tidak perlu besar/mewah ada juga yang mempertahankan format yang ada warisan pendahulu kita. Bahkan sebagian umat menjadikan Banten ini sebagai sarana mutlak untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta artinya kalau tidak ada banten tidak sreg. Seorang Sulinggih yang tulisannya selalu saya baca dan file tersendiri yang sempat menyampaikan dengan 5 Daksina saja sudah berani Muput Pitra Yadnya sekarang bergabung keorganisasi yang menjadikan banten sebagai sarananya, semoga saja komitment untuk memajukan umat Hindu dengan penyederhanaan banten tetap dipegang teguh oleh beliau. Banten ini juga menjadi menarik ketika dikaitkan dengan umat Hindu bukan etnis Bali misalnya Jawa karena mereka tentu tidak mengerti banten yang umum diterapkan umat Hindu di Bali. Jadi banyak wacana tentang banten ini , tetapi kita tidak melihat bagaimana banten ini dari sudut pandang umat Hindu yang menggunakannya, yang sering hanya menjadi objek saja.
Bagi umat Hindu etnis Bali secara umum, bahwa Banten ini tetaplah merupakan sarana menghubungakan diri untuk kegiatan Panca Yadnya dalam suasana ”ketidak tahuan makna simbolisnya secara utuh”. Sulinggih mungkin tahu, atau Pinandita, juga Sarati Banten, tetapi berapa persen mereka dibanding umat yang menggunakan banten ini. Jadi kita mesti melihat fenomena umat yang menggunakan banten ini dengan baik jika ingin banten ini menjadi sarana yang effektif. Umat ini pada dasarnya menyerahkan pada orang yang dianggap mengerti, apakah itu Sulinggih atau Pinandita/Pemangku. Kadang jika harus mengeluarkan uang puluhan juta untuk membeli banten, mereka akan lakukan walau menguras harta bahkan mungkin meminjam, itu karena keyakinan mereka akan banten ini. Jika ada yang mencoba menyederhanakan banten ini sering malah didebat dan dianggap menentang kebiasaan. Pemangku juga banyak yang ikut larut dalam kebiasaan ini dan menerima saja benten yang disediakan bahkan kadang menambahkan dan melanggengkan kebiasaan yang harusnya bisa disederhanakan. Namun ada juga Pemangku yang cerdik, beliau tetap Ngenteb (mengantarkan persembahyangan) tetapi diawal-awal biasanya diucapkan ”Menawi banten puniki kirang ampure, mangda Ida raris nunas ring Pasar Agung” Jika sarana persembahyangan ini kurang, maaf mohon agar Ide (yang di Puja) mengambil di Pasar Agung (Pasar Agung itu salah satu Pura di Lempuyang Luhur). Jadi fenomena diatas menggambarkan realita umat atau juga Pemangku yang khawatir banten ini kurang apalagi saat Pitra Yadnya jangan-jangan Sang Atma tidak memperoleh tempat di Sunya Loka, atau kalau persembahan kepada Leluhur dan Bhatara lalu banten kurang, jangan-jangan Ida Bhatara juga Leluhur menjadi ”Bendu/Marah”. Yang menjadi pertanyaan apakah benar seperti itu ? apakah Bhatara, Leluhur yang sudah Meraga Dewa Hyang masih menuntut banten harus ini harus itu, hal ini yang harus dijelaskan oleh orang yang mengerti baik Sulinggih, Pinandita/Pemangku (yang faham) atau intelektual Hindu, bahwa hal itu tidak benar karena yang diperlukan dalam setiap persembahan adalah ’ketulusan hati”. Ada bahkan tokoh umat yang menyampaikan akan perlunya banten, katanya hanya para Maha Rsi yang mampu sampai pujanya kepada Sang Pencipta hanya dengan sarana sebuah dupa atau tanpa sarana apapun. Kalau begini berapa juta umat Hindu yang setiap hari bersembahyang sia-sia karena tidak tercapai doanya hanya karena tidak memakai banten. Lalu kalau memakai banten apakah akan sampai doa atau puja bhaktinya ?, tidak seorang pun yang tahu dan kita tidak perlu tahu karena kewajiban kita adalah memanjatkan puja bhakti dengan tulus dan tidak perlu berpikir apakah doa kita sampai atau tidak.
Pemakaian banten tidak harus ditentang karana hal itu tidak salah, tetapi kalau fenomena banten tetap seperti ini bagi umat Hindu etnis Bali, apalagi justru para tokoh umat bahkan Sulinggih justru mengajegkan banten ini terus, maka umat tetap akan ”miskin karena Yadnya”. Uang yang ada tidak bisa lagi untuk kehidupan, seperti : pendidikan, kesehatan (asuransi), tabungan, apalagi membantu fihak lain (dana paramita), bahkan dalam situasi yang serba sulit sekarang ini, maka umat Hindu di Bali akan semakin terpuruk dalam kemiskinan. Dalam situasi ini maka srada (iman) dan bhakti (taqwa) akan memudar dan kemungkinan untuk beralih agama bisa terjadi, atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang mendewakan uang untuk mencapai tujuan (money politic) seperti : agar dapat pengikut/massa bagi orang politik atau orang yang hanya sekedar mempertahankan prestise yang semu.(gelar/kasta) dengan bantuan kepada orang lain tetapi dengan pamrih. Jadi satu-satunya pengetahuan yang perlu difahami oleh umat yang tidak faham dengan makna simbolis banten secara detail, adalah artikan ”Banten sebagai sarana untuk menghubungkan bhakti kehadapan Hyang Widhi juga Leluhur, dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan”. Jangan sampai berhutang untuk sebuah banten agar tidak menderita dalam hidup, tetapi memperoleh ketenangan skala-nisklala ,moksartham Jaghadita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
13-03-2007
NYEPI SEBAGAI MEDIA MELATIH KETAHANAN DIRI
Pendahuluan
”Lakukanlah kewajiban / swadarmamu, jangan mengharapkan balasan”, demikian kalimat bijak dari Weda yang selalu mengawali pemutaran Kisah Mahabaratha di Media TV. Kalimat ini yang juga merupakan ajaran ”Karma Marga” mengajak kita untuk tidak henti-hentinya berbuat sesuai dengan swadarma atau fungsi kita masing-masing, yang Guru jadilah guru yang baik, yang Polisi jadilah Polisi yang baik, yang Pegawai jadilah pegawai yang baik, yang petani juga jadilah petani yang baik, dan fungsi lainnya. Walaupun sekarang ini kehidupan semakin berat namun kita harus tetap melakukan kewajiban dan selalu memohon petunjuk Hyang Widhi. Seperti kita semua alami ; harga kebutuhan bahan pokok meningkat, bagi yang punya anak sekolah terasa, bahwa biaya pendidikan semakin tinggi, disisi lain pendapatan masyarakat semakin surut nilainya karena dengan sejumlah uang yang sama mendapatkan barang yang lebih sedikit. Hal ini terkait dengan situasi negara kita yang belum baik ditambah dengan bencana terjadi dimana-mana, seperti Tsunami, Gempa, banjir, kecelakaan Pesawat, Kapal Laut , Kereta api, dan lainnya yang mengakibatkan negara harus mengeluarkan dana yang seharusnya untuk kesejahtraan rakyat, memajukan pendidikan, dan kebutuhan vital lainnya, akhirnya masyarakat tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pemerintah dan harus mandiri untuk mampu survive dalam kehidupan ini.
Umat Hindu sebagai bagian dari masyarakat Indonesia tentu juga ikut merasakan situasi yang tidak enak ini, sehingga perlu menata diri dengan baik agar tidak terjerumus kepada tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu. Umat Hindu memiliki Hari Raya NYEPI atau Tahun Baru Saka, yang untuk tahun ini jatuh pada 07 Maret 2008, yang menjadi pertanyaan adalah : ”Bagaimana kita menjadikan NYEPI sebagai media melatih ketahanan diri untuk memperkuat Sradha (Iman) dan Bhakti (Taqwa) agar kita mampu menjalani kehidupan ini dengan benar.”
Tarik Saka, Bangsa Saka dan Hubungannya dengan Indonesia
Sebelumnya mari kita mengenal dulu apa itu NYEPI atau Tahun Baru Saka. Tahun Baru Saka sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan Bangsa Saka di India. Pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, suku-suku bangsa di Asia Selatan yang sekarang kita kenal dengan anak benua Asia, meliputi Nepal sampai ke Tibet selalu diliputi suasana permusuhan. Suku-suku bangsa yang saling memperebutkan Haegemoni terdiri dari Saka, Palawa, Yuk-Chi, Yawana, Malawa, dan lainnya meliputi wilayah Persia, lembah sungai Sindhu, Iran Selatan, Kashmir, India utara, dan India Barat yang daerahnya dikenal subur. Suku-suku bangsa itu saling bergantian memenangkan perang dan saling menaklukkan, dan pada sekitar tahun 138 sebelum masehi suku bangsa Saka menang atas suku bangsa Palawa. Suku Bangsa Saka adalah pengembara yang dikenal ramah dan selalu riang dalam menghadapi setiap tantangan. Ketika Bangsa Saka memegang kekuasaan dan dihormati serta ditaati oleh suku-suku lainnya, maka dilakukan perubahan strategi perjuangan demi stabilitas dan persatuan. Orientasi kekuatan politik dan militer dirubah menjadi strategi budaya. Dengan strategi yang baru bangsa Saka berhasil memasyarakatkan kebudayaan dikalangan suku-suku yang ada dan menjadikannya menjadi kebudayaan negara/bangsa. Saat itulah merupakan jaman kejayaan suku bangsa Saka.
Dinasti Kusana adalah Bangsa Saka yang memantapkan pembangunan kebudayaan , merangkul bekas-bekas musuhnya serta mengambil puncak puncak budaya dari suku yang ada dan dijadikan unsur pemersatu bagi budaya kerajaan (bangsa). Raja Kaniska I adalah Dinasti Kusana yang dinobatkan pada tahun 78 Masehi, yaitu tepatnya pada 21 Maret 79, sekaligus mengawali Tarik Caka yang kemudian kita kenal sebagai ”TAHUN BARU SAKA”.
Bagaimana dengan Indonesia ? Bangsa Saka adalah bangsa pengembara yang juga datang ke Indonesia membawa ajaran Hindu dengan budaya bangsa Saka. Masuknya kebudayaan Hindu mengantarkan perubahan yang mendasar karena pada saat itu penduduk masih dalam budaya pra sejarah. Setelah kemajuan itu, kita mengenal kerajaan Hindu, seperti : Mulawarman (Kutai), Sriwijaya (Sumatra), Mataram (Jawa Tengah), dan Tarumanagara (Jawa Barat). Pada jaman itu nama pulau yang dikenal adalah: Swarna Dwipa (Sumatra) dan Jawa Dwipa (Jawa). Prasasti yang ditemukan berhuruf Palawa dengan bahasa Sansekerta, dan prasasti yang sudah mempergunakan tahun Saka adalah dari Kerajaan Sriwijaya. Di Jawa Timur kerajaan Singosari, Kediri, sampai Majapahit sudah mempergunakan tarik saka yang tercantum pada prasasti dan peninggalan sejarah lainnya. Ketika kebudayaan Hindu sudah demikian memasyarakat dan menjadi kebudayaan Nusantara, aksara yang dipakai di Pulau Jawa dan Bali lebih dikenal dengan Ha-Na-Ca-Ra-Ka yang diperkenalkan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Ajisaka. Ajisaka adalah seorang Sanyasin yang datang ke Indonesia pada sekitar pemerintahan Raja Kaniska I di India. Ajisaka memperkenalkan aksara baru tersebut yang bersumber dari aksara Dewanagari, dimana pada saat itu penggunaan tarik saka sangat populer di India.
Di Bali, pengaruh India juga terasa. Seperti diketahui Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama dan ini sangat terkait dengan perkembangan agama Hindu di Bali. Jika dewasa ini ada hubungan kembali masyarakat Indonesia, Bali, dan India itu merepeleksikan situasi masa lalu yang saat itu berjalan sangat baik. Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu, kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.
Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa Tengah lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selelu menjadi Purohita Kerajaan. Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sriwijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988M – 1011M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Airlangga menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau (Pada kedatangan Danghyang Nirartha pura peninggalan Mpu Kuturan menjadi perjalanan Tirtayatra beliau seperti : Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, dan Pura Sakenan). Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah. Keturunan para Mpu ini masih ada di Bali, seperti : Mpu Gnijaya (tertua) keturunannya dikenal dengan Pasek,Bendesa,Tangkas, Mpu Semeru putra angkatnya menurunkan Pasek Kayu Selem, Mpu Kuturan Putrinya Dyah Ratna Menggali Kawin dengan Mpu Bahula Putra Mpu Baradah keturunannya di Bali dikenal dengan Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa,dll. jadi mereka keturunan para Mpu ini bersaudara semua. Umat Jawa bisa jadi adalah trah dari mereka tetapi karena di Jawa dahulu putus informasi atau tidak ada catatan sementara di Bali masih tercatat dengan baik, maka umat Jawa tidak mengenal hal itu, tetapi tetap sama-sama merupakan ciptaan Hyang Widhi.
Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.
Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit dan berakhir kekuasaan Wangsa Warmadewa di Bali. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pasek Gelgel adalah Keturunan Sapta Pandita yang keempat yaitu ”Mpu Witadharma. Tujuh Pandita Putra Mpu Gnijaya-Leluhur Pasek ini selalu menjadi Rohaniawan Raja di Daha/Kediri sampai kepada Raja Kertajaya/Dandang Gendis pada 1222M dan tetap di Jawa. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karangpandan-Karanganyar-Jateng adalah keturunan Sapta Pandita yang tertua , yaitu Mpu Ketek, Sapta Pandita yang ketiga adalah Mpu Wiradnyana-keturunan beliau beberapa tingkat adalah Mpu Purwa dan Ken Dedes (Menurunkan raja-raja Jawa) selanjutnya keturunan Mpu Purwa dikenal dengan Pasek Tatar, dimana Ibunda Presiden Sukarno (Ida Ayu Nyoman Rai Srimben/Nama Ida Ayu pemberian Soekarno tahun 1958 di Tampaksiring) adalah trah Pasek Tatar . Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, di Jawa ada Arya Wiraraja . Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Kepempimpinan Sri Kresna Kepakisan berlanjut sampai kepada keturunannya dengan sebutan ”Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa inilah datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau. Pada masa ini fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra.
Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya dengan me-legalkan Kasta (Penyimpangan dari Catur Warna, seperti yang dilakukan penjajah di India), bahkan kemudian muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.
Jadi kesimpulannya Bali tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya termasuk Perayaan Tahun Baru Saka/ Nyepi ini. Istilah NYEPI memang adalah istilah yang dikenal di Bali namun bukan berarti Perayaan Nyepi ini hanya milik orang Bali dan bukan acara agama Hindu, tetapi karena hal yang tidak bisa dipungkiri adalah di Balilah agama Hindu dipertahankan. Jaman Republik setelah kemerdekaan juga dilalui dan terbentuklah PHDI sebagai Lembaga Hindu pada 23 Februari 1959, maka semakin dikenal Perayaan Nyepi/ Tahun Baru Saka oleh umat Hindu bukan hanya Suku Bali saja, tetapi seluruh Indonesia.
Pelaksanaan Hari Raya NYEPI / TAHUN BARU SAKA
Dimulainya tahun Saka pada 21 Maret 79 Masehi mempunyai makna astronomis dan antropologis. Pada saat itu matahari sedang dalam posisi menuju ke utara (Utarayana). Bagi wilayah belahan bumi utara pada saat ini memasuki musim semi, musim mulai bertani. Sedangkan bagi daerah khatulistiwa musim hujan mulai reda dan musim tanam dimulai, jadi saat ini tepat untuk memulai kegiatan baru. Dengan demikian setiap perubahan tahun Saka merupakan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka. Di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Nyepi di Indonesia menggunakan perhitungan TANGGAL (Suklapaksa) dan PANGLONG (Krsnapaksa) dan SASIH. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”, sedangkan proses perjalanan satu hari sesudah Tilem menuju satu hari sebelum Purnama disebut dengan ”Tanggal”. Jadi Nyepi dilaksanakan pada Tanggal Apisan (Satu hari sesudah Tilem Ke Sanga) dan masuk Sasih kadasa (Mesha).
Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
• Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
• Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21 Maret
• Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.
Upacara NYEPI dimulai pada Panglong 13 (Tilem-Kesanga/sehari sebelum Nyepi) dengan Melasti atau pensucian Pratima dan Pralingga yaitu perwujudan Dewa/Dewi atau Leluhur serta Orang Suci yang distanakan di Pura Kahyangan umum atau Pura Kawitan/Leluhur. Pratima ini di bawa kelaut atau kesumber air suci dan kembali lagi dengan membawa tirtha amerta (air suci) yang dianggap sarining bumi. Acara dilanjutkan dengan ”Tawur Kesanga” yang maknanya untuk pensucian dan keseimbangan alam semesta melalui api suci dan air suci untuk melebur segala kekotoran dan kebatilan yang menyelimuti bumi. Jadi Tawur Kesanga dilaksanakan pada Tilem satu hari sebelum Nyepi/Tahun Baru Saka, biasanya sore hari menjelang matahari tenggelam.
Pada keesokan harinya (Tanggal Apisan-Sasih Kedasa), sejak fajar menyingsing setiap umat Hindu melakukan Tapa,Brata, Yoga, dan Semadhi. Bentuknya adalah ”Mona Brata” (Diam/tanpa bicara), dan ”Upawasa” (tidak makan & minum), juga ”Yoga-Semadhi” (Meditasi atau ber-Japa). Brata ini dilakukan sejak matahari terbit pada Hari Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya (24 Jam). Pada Hari Nyepi umat Hindu melakukan :
• Amati Geni tidak menyalakan api, tidak memasak, tidak menyalakan lampu penerangan.
• Amati Karya tidak melakukan kegiatan fisik
• Amati Lelanguan tidak menikmati segala keindahan yang mengasyikkan atau mempesona.
• Amati Lelungaan tidak bepergian keluar rumah atau pekarangan
Di Bali, pada saat Hari Raya Nyepi semua orang mematuhi untuk tidak keluar rumah, tidak menyetel radio/TV, tidak ada kendaraan mondar-mandir, tidak ada kegiatan fisik, sehingga suasana yang hening dan tenang dapat membantu umat Hindu yang sedang melakukan Brata. Keesokan harinya adalah ”Ngembak Gni”, pagi-pagi membersihkan diri terlebih dahulu, dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan dan membuka Upawasa yang sudah dimulai dari saat matahari terbit waktu Hari Raya Nyepi. Biasanya kemudian dilakukan kunjung-mengunjungi sesama saudara atau teman bahkan sekarang sudah umum diadakan ”DharmaShanti” yang dilaksanakan umumnya tidak melewati Sasih Kedasa.
Nyepi di Zaman Millinnium
Keempat brata penyepian diatas sangat sulit dilakukan diluar Bali bagi orang Bali, apalagi dizaman millinium ini. Kalau di Bali, lebih mudah, karena semua orang melakukan itu (walaupun tidak 100% benar) karena mayoritas Hindu. Tetapi di luar Bali, masyarakat umum tidak melakukan brata penyepian, karena mereka non Hindu. Bagi umat Hindu non Bali misalnya umat Jawa jika mayoritas di desa kantong Hindu, maka sebaiknya Nyepi Desa seperti dilakukan di Bali kecuali para tetua disana sudah punya cara pelaksanaan Nyepi yang turun temurun dan sejalan dengan ajaran Hindu. Mungkin ada baiknya disampaikan sebagai perbandingan melaksanakan Nyepi di luar Bali baik bagi umat Bali atau Non Bali seperti Jawa yang kebetulan tinggal berbaur dengan umat non Hindu , sebagai berikut :
• Permisi tidak masuk kerja. Sekarang syukurlah Nyepi sudah libur nasional. Namun bila ada yang karena tugasnya tidak otomatis libur seperti pilot, perawat, dokter, pemadam kebakaran, operator telpon, dll maka perlu minta cuti di hari Nyepi itu.
• Pagar gerbang depan dikunci agar tidak ada tamu datang, dan bila perlu digantungi karton bertulis : MAAF TIDAK TERIMA TAMU KARENA SEDANG NYEPI. Hal ini perlu dilakukan karena teman-teman beragama lain yang tidak mengerti bisa datang kerumah persis di hari Nyepi, karena mengira itulah waktu yang tepat berkunjung memberi ucapan selamat tahun baru. Padahal kesempatan memberi selamat tahun baru adalah pada hari Ngembak Gni yaitu esok harinya.
• Matikan listrik di seluruh rumah dan dapat gunakan lampu minyak tanah/lilin, atau lampu redup (5W) khususnya bagi yang punya anak kecil atau orang sakit.
• Tidak menghidupkan radio, tv, tape, dll
• Tidak keluar ke halaman, dan tetap dalam ruangan
• Jangan ribut, bercanda, ketawa ngakak, menangis, dll
• Tidak masak, karena sangat baik jika berpuasa selama 24 jam penuh mulai matahari terbit saat Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya.
• Sambungan telepon di cabut, Handphone dimatikan.
• Tidak mencari hiburan : berjudi, membaca novel, dll
• Tidak mengadakan hubungan suami-istri.
Hal-hal yang disarankan untuk dilakukan :
• Membersihkan diri dengan mandi, berpakaian bersih.
• Sembahyang boleh menggunakan dupa, dan bagi para Sulinggih biasanya menggunakan gentha. Kidung tanpa sound system.
• Berpuasa total 24 jam
• Kalau bisa tidak tidur selama 24 jam
• Waktu-waktu sepenuhnya digunakan untuk berjapa, bersamadhi. Boleh menggunakan earphone. Jika ingin berjapa dibantu tembang Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll.
• Membaca buku-buku yang berkaitan dengan agama Hindu.
• Sembahyang dengan Sarana yang ada , atau Mebanten saiban
• Segenap keluarga : istri, anak-anak, pembantu diberitahu sebelumnya. Anak-anak agar dilatih cara kita melaksanakan Nyepi seperti itu.
Makna Spiritual NYEPI
Nyepi memiliki Makna : ”Pengendalian dan melatih ketahanan diri agar jauh dari sikap yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu juga menimbulkan sikap tenggang rasa / empati kepada penderitaan sesama”
Dengan menghayati ”Makna” Nyepi, maka diharapkan kita :
1. Lebih kuat menghadapi godaan sifat-sifat negatif yang selalu mengganggu keseharian kita, karena manusia memiliki ”Rwa Bhineda”.
2. Lebih kuat menghadapi problema kehidupan dalam situasi ekonomi yang belum baik ini.
3. Lebih punya tenggang rasa terhadap sesama baik keluarga, masyarakat, juga bangsa.
4. Dengan kesederhanaan, sepi, jauh dari kebisingan dan glamour, akan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
5. Lebih kuat Sradha dan Bhakti bagi umat Hindu baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
6. Dan lain sebagainya.
(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber untuk Perayaan Tahun Baru Saka 1930 di Karanganyar/Solo-Jawa Tengah)
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
06-03-2008.
Pendahuluan
”Lakukanlah kewajiban / swadarmamu, jangan mengharapkan balasan”, demikian kalimat bijak dari Weda yang selalu mengawali pemutaran Kisah Mahabaratha di Media TV. Kalimat ini yang juga merupakan ajaran ”Karma Marga” mengajak kita untuk tidak henti-hentinya berbuat sesuai dengan swadarma atau fungsi kita masing-masing, yang Guru jadilah guru yang baik, yang Polisi jadilah Polisi yang baik, yang Pegawai jadilah pegawai yang baik, yang petani juga jadilah petani yang baik, dan fungsi lainnya. Walaupun sekarang ini kehidupan semakin berat namun kita harus tetap melakukan kewajiban dan selalu memohon petunjuk Hyang Widhi. Seperti kita semua alami ; harga kebutuhan bahan pokok meningkat, bagi yang punya anak sekolah terasa, bahwa biaya pendidikan semakin tinggi, disisi lain pendapatan masyarakat semakin surut nilainya karena dengan sejumlah uang yang sama mendapatkan barang yang lebih sedikit. Hal ini terkait dengan situasi negara kita yang belum baik ditambah dengan bencana terjadi dimana-mana, seperti Tsunami, Gempa, banjir, kecelakaan Pesawat, Kapal Laut , Kereta api, dan lainnya yang mengakibatkan negara harus mengeluarkan dana yang seharusnya untuk kesejahtraan rakyat, memajukan pendidikan, dan kebutuhan vital lainnya, akhirnya masyarakat tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pemerintah dan harus mandiri untuk mampu survive dalam kehidupan ini.
Umat Hindu sebagai bagian dari masyarakat Indonesia tentu juga ikut merasakan situasi yang tidak enak ini, sehingga perlu menata diri dengan baik agar tidak terjerumus kepada tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu. Umat Hindu memiliki Hari Raya NYEPI atau Tahun Baru Saka, yang untuk tahun ini jatuh pada 07 Maret 2008, yang menjadi pertanyaan adalah : ”Bagaimana kita menjadikan NYEPI sebagai media melatih ketahanan diri untuk memperkuat Sradha (Iman) dan Bhakti (Taqwa) agar kita mampu menjalani kehidupan ini dengan benar.”
Tarik Saka, Bangsa Saka dan Hubungannya dengan Indonesia
Sebelumnya mari kita mengenal dulu apa itu NYEPI atau Tahun Baru Saka. Tahun Baru Saka sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan Bangsa Saka di India. Pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, suku-suku bangsa di Asia Selatan yang sekarang kita kenal dengan anak benua Asia, meliputi Nepal sampai ke Tibet selalu diliputi suasana permusuhan. Suku-suku bangsa yang saling memperebutkan Haegemoni terdiri dari Saka, Palawa, Yuk-Chi, Yawana, Malawa, dan lainnya meliputi wilayah Persia, lembah sungai Sindhu, Iran Selatan, Kashmir, India utara, dan India Barat yang daerahnya dikenal subur. Suku-suku bangsa itu saling bergantian memenangkan perang dan saling menaklukkan, dan pada sekitar tahun 138 sebelum masehi suku bangsa Saka menang atas suku bangsa Palawa. Suku Bangsa Saka adalah pengembara yang dikenal ramah dan selalu riang dalam menghadapi setiap tantangan. Ketika Bangsa Saka memegang kekuasaan dan dihormati serta ditaati oleh suku-suku lainnya, maka dilakukan perubahan strategi perjuangan demi stabilitas dan persatuan. Orientasi kekuatan politik dan militer dirubah menjadi strategi budaya. Dengan strategi yang baru bangsa Saka berhasil memasyarakatkan kebudayaan dikalangan suku-suku yang ada dan menjadikannya menjadi kebudayaan negara/bangsa. Saat itulah merupakan jaman kejayaan suku bangsa Saka.
Dinasti Kusana adalah Bangsa Saka yang memantapkan pembangunan kebudayaan , merangkul bekas-bekas musuhnya serta mengambil puncak puncak budaya dari suku yang ada dan dijadikan unsur pemersatu bagi budaya kerajaan (bangsa). Raja Kaniska I adalah Dinasti Kusana yang dinobatkan pada tahun 78 Masehi, yaitu tepatnya pada 21 Maret 79, sekaligus mengawali Tarik Caka yang kemudian kita kenal sebagai ”TAHUN BARU SAKA”.
Bagaimana dengan Indonesia ? Bangsa Saka adalah bangsa pengembara yang juga datang ke Indonesia membawa ajaran Hindu dengan budaya bangsa Saka. Masuknya kebudayaan Hindu mengantarkan perubahan yang mendasar karena pada saat itu penduduk masih dalam budaya pra sejarah. Setelah kemajuan itu, kita mengenal kerajaan Hindu, seperti : Mulawarman (Kutai), Sriwijaya (Sumatra), Mataram (Jawa Tengah), dan Tarumanagara (Jawa Barat). Pada jaman itu nama pulau yang dikenal adalah: Swarna Dwipa (Sumatra) dan Jawa Dwipa (Jawa). Prasasti yang ditemukan berhuruf Palawa dengan bahasa Sansekerta, dan prasasti yang sudah mempergunakan tahun Saka adalah dari Kerajaan Sriwijaya. Di Jawa Timur kerajaan Singosari, Kediri, sampai Majapahit sudah mempergunakan tarik saka yang tercantum pada prasasti dan peninggalan sejarah lainnya. Ketika kebudayaan Hindu sudah demikian memasyarakat dan menjadi kebudayaan Nusantara, aksara yang dipakai di Pulau Jawa dan Bali lebih dikenal dengan Ha-Na-Ca-Ra-Ka yang diperkenalkan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Ajisaka. Ajisaka adalah seorang Sanyasin yang datang ke Indonesia pada sekitar pemerintahan Raja Kaniska I di India. Ajisaka memperkenalkan aksara baru tersebut yang bersumber dari aksara Dewanagari, dimana pada saat itu penggunaan tarik saka sangat populer di India.
Di Bali, pengaruh India juga terasa. Seperti diketahui Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama dan ini sangat terkait dengan perkembangan agama Hindu di Bali. Jika dewasa ini ada hubungan kembali masyarakat Indonesia, Bali, dan India itu merepeleksikan situasi masa lalu yang saat itu berjalan sangat baik. Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu, kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.
Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa Tengah lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selelu menjadi Purohita Kerajaan. Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sriwijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988M – 1011M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Airlangga menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau (Pada kedatangan Danghyang Nirartha pura peninggalan Mpu Kuturan menjadi perjalanan Tirtayatra beliau seperti : Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, dan Pura Sakenan). Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah. Keturunan para Mpu ini masih ada di Bali, seperti : Mpu Gnijaya (tertua) keturunannya dikenal dengan Pasek,Bendesa,Tangkas, Mpu Semeru putra angkatnya menurunkan Pasek Kayu Selem, Mpu Kuturan Putrinya Dyah Ratna Menggali Kawin dengan Mpu Bahula Putra Mpu Baradah keturunannya di Bali dikenal dengan Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa,dll. jadi mereka keturunan para Mpu ini bersaudara semua. Umat Jawa bisa jadi adalah trah dari mereka tetapi karena di Jawa dahulu putus informasi atau tidak ada catatan sementara di Bali masih tercatat dengan baik, maka umat Jawa tidak mengenal hal itu, tetapi tetap sama-sama merupakan ciptaan Hyang Widhi.
Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.
Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit dan berakhir kekuasaan Wangsa Warmadewa di Bali. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pasek Gelgel adalah Keturunan Sapta Pandita yang keempat yaitu ”Mpu Witadharma. Tujuh Pandita Putra Mpu Gnijaya-Leluhur Pasek ini selalu menjadi Rohaniawan Raja di Daha/Kediri sampai kepada Raja Kertajaya/Dandang Gendis pada 1222M dan tetap di Jawa. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karangpandan-Karanganyar-Jateng adalah keturunan Sapta Pandita yang tertua , yaitu Mpu Ketek, Sapta Pandita yang ketiga adalah Mpu Wiradnyana-keturunan beliau beberapa tingkat adalah Mpu Purwa dan Ken Dedes (Menurunkan raja-raja Jawa) selanjutnya keturunan Mpu Purwa dikenal dengan Pasek Tatar, dimana Ibunda Presiden Sukarno (Ida Ayu Nyoman Rai Srimben/Nama Ida Ayu pemberian Soekarno tahun 1958 di Tampaksiring) adalah trah Pasek Tatar . Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, di Jawa ada Arya Wiraraja . Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Kepempimpinan Sri Kresna Kepakisan berlanjut sampai kepada keturunannya dengan sebutan ”Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa inilah datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau. Pada masa ini fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra.
Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya dengan me-legalkan Kasta (Penyimpangan dari Catur Warna, seperti yang dilakukan penjajah di India), bahkan kemudian muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.
Jadi kesimpulannya Bali tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya termasuk Perayaan Tahun Baru Saka/ Nyepi ini. Istilah NYEPI memang adalah istilah yang dikenal di Bali namun bukan berarti Perayaan Nyepi ini hanya milik orang Bali dan bukan acara agama Hindu, tetapi karena hal yang tidak bisa dipungkiri adalah di Balilah agama Hindu dipertahankan. Jaman Republik setelah kemerdekaan juga dilalui dan terbentuklah PHDI sebagai Lembaga Hindu pada 23 Februari 1959, maka semakin dikenal Perayaan Nyepi/ Tahun Baru Saka oleh umat Hindu bukan hanya Suku Bali saja, tetapi seluruh Indonesia.
Pelaksanaan Hari Raya NYEPI / TAHUN BARU SAKA
Dimulainya tahun Saka pada 21 Maret 79 Masehi mempunyai makna astronomis dan antropologis. Pada saat itu matahari sedang dalam posisi menuju ke utara (Utarayana). Bagi wilayah belahan bumi utara pada saat ini memasuki musim semi, musim mulai bertani. Sedangkan bagi daerah khatulistiwa musim hujan mulai reda dan musim tanam dimulai, jadi saat ini tepat untuk memulai kegiatan baru. Dengan demikian setiap perubahan tahun Saka merupakan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka. Di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Nyepi di Indonesia menggunakan perhitungan TANGGAL (Suklapaksa) dan PANGLONG (Krsnapaksa) dan SASIH. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”, sedangkan proses perjalanan satu hari sesudah Tilem menuju satu hari sebelum Purnama disebut dengan ”Tanggal”. Jadi Nyepi dilaksanakan pada Tanggal Apisan (Satu hari sesudah Tilem Ke Sanga) dan masuk Sasih kadasa (Mesha).
Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
• Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
• Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21 Maret
• Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.
Upacara NYEPI dimulai pada Panglong 13 (Tilem-Kesanga/sehari sebelum Nyepi) dengan Melasti atau pensucian Pratima dan Pralingga yaitu perwujudan Dewa/Dewi atau Leluhur serta Orang Suci yang distanakan di Pura Kahyangan umum atau Pura Kawitan/Leluhur. Pratima ini di bawa kelaut atau kesumber air suci dan kembali lagi dengan membawa tirtha amerta (air suci) yang dianggap sarining bumi. Acara dilanjutkan dengan ”Tawur Kesanga” yang maknanya untuk pensucian dan keseimbangan alam semesta melalui api suci dan air suci untuk melebur segala kekotoran dan kebatilan yang menyelimuti bumi. Jadi Tawur Kesanga dilaksanakan pada Tilem satu hari sebelum Nyepi/Tahun Baru Saka, biasanya sore hari menjelang matahari tenggelam.
Pada keesokan harinya (Tanggal Apisan-Sasih Kedasa), sejak fajar menyingsing setiap umat Hindu melakukan Tapa,Brata, Yoga, dan Semadhi. Bentuknya adalah ”Mona Brata” (Diam/tanpa bicara), dan ”Upawasa” (tidak makan & minum), juga ”Yoga-Semadhi” (Meditasi atau ber-Japa). Brata ini dilakukan sejak matahari terbit pada Hari Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya (24 Jam). Pada Hari Nyepi umat Hindu melakukan :
• Amati Geni tidak menyalakan api, tidak memasak, tidak menyalakan lampu penerangan.
• Amati Karya tidak melakukan kegiatan fisik
• Amati Lelanguan tidak menikmati segala keindahan yang mengasyikkan atau mempesona.
• Amati Lelungaan tidak bepergian keluar rumah atau pekarangan
Di Bali, pada saat Hari Raya Nyepi semua orang mematuhi untuk tidak keluar rumah, tidak menyetel radio/TV, tidak ada kendaraan mondar-mandir, tidak ada kegiatan fisik, sehingga suasana yang hening dan tenang dapat membantu umat Hindu yang sedang melakukan Brata. Keesokan harinya adalah ”Ngembak Gni”, pagi-pagi membersihkan diri terlebih dahulu, dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan dan membuka Upawasa yang sudah dimulai dari saat matahari terbit waktu Hari Raya Nyepi. Biasanya kemudian dilakukan kunjung-mengunjungi sesama saudara atau teman bahkan sekarang sudah umum diadakan ”DharmaShanti” yang dilaksanakan umumnya tidak melewati Sasih Kedasa.
Nyepi di Zaman Millinnium
Keempat brata penyepian diatas sangat sulit dilakukan diluar Bali bagi orang Bali, apalagi dizaman millinium ini. Kalau di Bali, lebih mudah, karena semua orang melakukan itu (walaupun tidak 100% benar) karena mayoritas Hindu. Tetapi di luar Bali, masyarakat umum tidak melakukan brata penyepian, karena mereka non Hindu. Bagi umat Hindu non Bali misalnya umat Jawa jika mayoritas di desa kantong Hindu, maka sebaiknya Nyepi Desa seperti dilakukan di Bali kecuali para tetua disana sudah punya cara pelaksanaan Nyepi yang turun temurun dan sejalan dengan ajaran Hindu. Mungkin ada baiknya disampaikan sebagai perbandingan melaksanakan Nyepi di luar Bali baik bagi umat Bali atau Non Bali seperti Jawa yang kebetulan tinggal berbaur dengan umat non Hindu , sebagai berikut :
• Permisi tidak masuk kerja. Sekarang syukurlah Nyepi sudah libur nasional. Namun bila ada yang karena tugasnya tidak otomatis libur seperti pilot, perawat, dokter, pemadam kebakaran, operator telpon, dll maka perlu minta cuti di hari Nyepi itu.
• Pagar gerbang depan dikunci agar tidak ada tamu datang, dan bila perlu digantungi karton bertulis : MAAF TIDAK TERIMA TAMU KARENA SEDANG NYEPI. Hal ini perlu dilakukan karena teman-teman beragama lain yang tidak mengerti bisa datang kerumah persis di hari Nyepi, karena mengira itulah waktu yang tepat berkunjung memberi ucapan selamat tahun baru. Padahal kesempatan memberi selamat tahun baru adalah pada hari Ngembak Gni yaitu esok harinya.
• Matikan listrik di seluruh rumah dan dapat gunakan lampu minyak tanah/lilin, atau lampu redup (5W) khususnya bagi yang punya anak kecil atau orang sakit.
• Tidak menghidupkan radio, tv, tape, dll
• Tidak keluar ke halaman, dan tetap dalam ruangan
• Jangan ribut, bercanda, ketawa ngakak, menangis, dll
• Tidak masak, karena sangat baik jika berpuasa selama 24 jam penuh mulai matahari terbit saat Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya.
• Sambungan telepon di cabut, Handphone dimatikan.
• Tidak mencari hiburan : berjudi, membaca novel, dll
• Tidak mengadakan hubungan suami-istri.
Hal-hal yang disarankan untuk dilakukan :
• Membersihkan diri dengan mandi, berpakaian bersih.
• Sembahyang boleh menggunakan dupa, dan bagi para Sulinggih biasanya menggunakan gentha. Kidung tanpa sound system.
• Berpuasa total 24 jam
• Kalau bisa tidak tidur selama 24 jam
• Waktu-waktu sepenuhnya digunakan untuk berjapa, bersamadhi. Boleh menggunakan earphone. Jika ingin berjapa dibantu tembang Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll.
• Membaca buku-buku yang berkaitan dengan agama Hindu.
• Sembahyang dengan Sarana yang ada , atau Mebanten saiban
• Segenap keluarga : istri, anak-anak, pembantu diberitahu sebelumnya. Anak-anak agar dilatih cara kita melaksanakan Nyepi seperti itu.
Makna Spiritual NYEPI
Nyepi memiliki Makna : ”Pengendalian dan melatih ketahanan diri agar jauh dari sikap yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu juga menimbulkan sikap tenggang rasa / empati kepada penderitaan sesama”
Dengan menghayati ”Makna” Nyepi, maka diharapkan kita :
1. Lebih kuat menghadapi godaan sifat-sifat negatif yang selalu mengganggu keseharian kita, karena manusia memiliki ”Rwa Bhineda”.
2. Lebih kuat menghadapi problema kehidupan dalam situasi ekonomi yang belum baik ini.
3. Lebih punya tenggang rasa terhadap sesama baik keluarga, masyarakat, juga bangsa.
4. Dengan kesederhanaan, sepi, jauh dari kebisingan dan glamour, akan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
5. Lebih kuat Sradha dan Bhakti bagi umat Hindu baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
6. Dan lain sebagainya.
(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber untuk Perayaan Tahun Baru Saka 1930 di Karanganyar/Solo-Jawa Tengah)
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
06-03-2008.
MERENUNGI MAKNA SIWARATRI
Malam Renungan Suci
Siwaratri atau Malam Siwa sering juga disebut ”Malam renungan suci”, yakni malam dimana Dewa Siwa sedang beryoga untuk kesejahtraan alam dan segala isinya. Siwaratri jatuh pada Purwaning (sehari sebelum) Tilem Kapitu (Bulan Magha) atau pada Panglong ping 14 sasih kapitu. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”. Siwaratri ini jatuh pada Panglong yang ke-14 Sasih Kapitu setiap setahun sekali. Pada Siwa Ratri ini umat sangat diharapkan melakukan : Sambang/Jagra/Begadang, ”Yoga”- menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, ”Samadhi” – menyatukan diri dengan Nya. Dengan melakukan hal ini secara benar diyakini kita akan memperoleh anugrah dari Dewa Siwa. Landasan perayaan Siwaratri ini adalah ”Kekawin Siwaratri kalpa” yang lebih dikenal dengan kekawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Kekawin ini bersumber dari Padma Purana (ada 18 Purana). Purana adalah ceritra-ceritra kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja terkenal yang memerintah dunia. Purana itu sendiri bagian dari Upaweda yang merupakan Weda Smerti.
Sedikit tentang ”Lubdaka”
Lubdaka diceritrakan pada Siwaratri kalpa, adalah seorang pemburu yang sehari-hari kerjanya berburu binatang kehutan. Suatu hari yaitu pada Purwaning Tilem sasih kapitu pagi pagi sekali Lubdaka meninggalkan rumahnya untuk berburu, hari itu tidak mujur baginya karena sampai sore tidak memperoleh binatang buruan sampai akhirnya hari sudah malam. Untuk pulang Lubdaka tidak berani karena takut dengan binatang buas, tidurpun juga tidak berani dibawah. Di hutan ada telaga dan dipinggirnya hidup pohon ”Bila”, maka Lubdaka naik kepohon itu. Karena takut jatuh, maka dia tidak berani tidur dan menghilangkan ngantuknya dengan melemparkan daun bila kebawah yang tanpa sepengetahuannya ada sebuah ”Lingga” (simbul Siwa) dan hari itu tepat malam Dewa Siwa ber-yoga. Keesokan harinya ketika matahari terbit, Lubdaka pulang dengan kecapaian tanpa membawa binatang buruan. Waktu berlalu dan suatu ketika Lubdaka sakit dan akhirnya meninggal. Atmanya mengalami kebingungan dan kegelapan karena kehidupannya yang buruk. Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengutus abdinya untuk menjemput Atma Lubdaka. Karena Lubdaka melakukan Jagra, Puasa, dan memuja Dewa Siwa dengan melempar daun Bila ke Lingga, dimana saat itu Dewa Siwa sedang ber-yoga, maka Lubdaka memperoleh anugrah Dewa Siwa dan menetap di Siwaloka (Sorga).
Pelaksanaan Siwaratri
Brata Siwaratri dapat dilakukan sesuai kemampuan kita, sehingga dapat dilakukan pada tiga tingkatan :
Utama Monabrata (diam diri & tidak bicara), Upawasa (tidak makan&minum), dan Jagra (tidak tidur/begadang).
Madhya Upawasa dan Jagra
Kanistha Jagra.
Brata Siwaratri diatas dilakukan dengan :
1. Jagra (Tidak tidur) selama 36 jam, sejak matahari terbit pada Purwaning Sasih Kapitu (hari Siwaratri) sampai pada jam 18.00 keesokan harinya
2. Upawasa selama 24 jam, sejak matahari terbit pada hari Siwaratri sampai matahari terbit keesokan harinya.
3. Yoga Samadhi selama 12 jam pada malam harinya.
Saat Jagra, Siwaratri kalpa menyarankan untuk melakukan hal-hal positif seperti : Mengadakan bunyi-bunyian (Mredangga), Mekidung atau kekawin, mendengarkan ceritra Lubdaka.
Jenis-jenis upakara yang diperlukan menurut ”Siwaratri Kalpa 31.3” adalah pemujaan dengan bunga yang harum-harum, seperti : Menur, kanyeri, gambir, arja, kacubung, wanduri putih, putat, asoka, nagapuspa, tenguli, bakula kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung merah, tunjung putih, majar-majar, dan sulasih.
Siwaratri Kalpa 31.4 menyebutkan: Bunga-bunga diatas dilengkapi dengan madu, bubur susu, bubur gula liwet dengan dicampuri hati wilis (santan). Juga dilengkapi dengan Daun Bila (Pana-pana matsyaka).
Hal diatas di Bali dipraktekkan dengan :
• Upasaksi ke Surya dengan Canang ajuman atau Pejati.
• Di Sanggah Kemulan mempersembahkan tapakan Pelinggih, pasucian, rayunan putih kuning, ajuman dan panca lingga yang dilengkapi daun Bila.
• Sarana Pemuspaan untuk tiga kali : malam, tengah malam dan menjelang matahari terbit.
Rentetan upacaranya jika mampu melaksanakan, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Malam hari sebelum Siwaratri sudah Maprayascita atau membersihkan pikiran dan batin.
2. Pagi-pagi sekali pada hari Siwaratri melakukan pemujaan dan menyampaikan niat melaksanakan Brata Siwaratri.
3. Dilanjutkan dengan mandi, kramas untuk mensucikan diri.
4. Melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa dan dilanjutkan Upawasa jika mungkin Monabrata.
5. Pada malam hari, tengah malam, dan menjelang matahari terbit, malakukan –pemujaan (jika memungkinkan minimal dengan saranan Banten Pejati) kehadapan : Dewa Surya (Upesaksi), Leluhur, dan Dewa Siwa.
6. Kegiatan diatas dibarengi dengan : Jagra (36 jam), Upawasa (24 jam), dan Samadhi (12 jam pada malam harinya/hari siwaratri). Dapat juga melakukan JAPA.
Sedikit tentang JAPA
Pengulangan mantra suci selama beberapa kali disebut JAPA. Dalam Bhagawadgita, Sri Krsna bersabda : "Diantara yajna Aku adalah japa yajna". Yajna disini artinya kurban dan segenap alam semesta serta kebenaran ditegakkan dalam yajna. Mengapa Sri Krsna bersabda demikian? karena Japa-yajna adalah murni dan sederhana, tanpa keinginan material, tetapi tulus dalam memuja Hyang Widhi untuk memperkaya kesucian dan menguatkan spiritual yakni pendekatan diri kepada-Nya.
Japa terdiri dari dua kata : JA artinya menghancurkan siklus kelahiran-kematian, dan PA artinya menghancurkan segala dosa. Arti Japa menunjukkan pahala bagi mereka yang ber-Japa.Tehnik berjapa ada dua yaitu : Vacika, dengan mengucapkan mantra, dan Manasika, mengucapkannya didalam hati (tidak terdengar keluar). Pilihannya tergantung kondisi. Di tempat ramai, kita melakukan Manasika, dan ditempat sepi kita menggunakan Vacika. Vacika japa ada dua yaitu suara mantra terdengar oleh orang lain, dan suara mantra tidak terdengar orang lain, hanya terlihat gerakan bibir saja (upamsu). Diantara ketiga tehnik itu Manasika-lah yang paling tinggi manfaatnya. Manasika jauh lebih sulit dari Vacika karena dalam tehnik Manasika kita harus mampu menutup telinga dari suara-suara lain, sedangkan dalam tehnik Vacika kita bisa mengalahkan suara lain itu dengan suara mantram yang diucapkan, atau berkonsentrasi pada gerakan bibir.
Tempat berjapa yang paling utama adalah didepan niyasa (simbol) Hyang Widhi misalnya Pura, Mandir, dll. Juga manfaat tak terbilang bila dilakukan di tepi sungai suci, ditepi samudra, dan pegunungan. Berjapa boleh dengan Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll
Berjapa sebanyak 108 kali dengan Japamala/Gnitri/Tasbih, akan sangat bermanfaat karena angka 108 menunjukkan rangkaian yang sakral. Angka 1+0+8 = 9 adalah kedudukan manifestasi Hyang Widhi disegala arah mata angin. Namun bila waktunya sempit, cukup tiga kali saja.
Siwaratri di Indonesia dan India
Siwaratri di Indonesia dan India sama-sama jatuh pada Purwaning Tilem Sasih Kapitu (Bulan Magha), cuma jatuhnya berbeda sebulan. Indonesia melaksanakan Siwaratri lebih dulu satu bulan (Antara Januari-Februari) dibandingkan dengan India (antara Februari-Maret). Makna perayaan sama, yaitu memuja Dewa Siwa yang sedang melakukan Yoga.
Perayaan keagamaan lainnya di India dan di Indonesia banyak kesamaannya, seperti :
• Hari Raya Pagerwesi adalah hari untuk menunjukkan ikatan kasih sayang antara anak (sentana) dengan leluhurnya khususnya Guru Rupaka (Ibu-bapak). Di India ada Hari raya ”Raksa Bandha” adalah hari untuk menguatkan tali-kasih sayang antara : suami-istri, anak dengan orang tua, kemenakan dengan paman atau bibinya, guru dengan murid. Jadi keduanya bertujuan ”Menguatkan ikatan kasih sayang”. Raksa Bandha dilaksanakan pada Purnama Sravana (bulan pertama) yaitu Juli-Agustus. Pagerwesi pada Wuku Sinta juga wuku pertama (Indonesia dengan Pawukon)
• Galungan-Kuningan Galungan merupakan peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma, di India ada hari raya ”Durga Puja” yang punya tujuan yang sama. Galungan dan Durga Puja sama-sama memuja Dewi Durga. Sepuluh hari sesudah Galungan adalah Kuningan dan sepuluh hari sesudah Durga Puja adalah ”Wijaya Dasami”. Selang hari antara Durga Puja dan Wijaya Dasami ada arak-arakan Durga dan Ganesa, dan antara Galungan – Kuningan ada arak-arakan Barong dan Rangda simbul Durga.
• Hari Raya Saraswati Merupakan pemujan Dewi Saraswati lambang ilmu pengetahuan. Di India dilakukan pada Suklapaksa penanggal 7 sampai 9 pada bulan Aswina (Asuji), sedang di Indonesia memakai Pawukon yaitu pada Saniscara umanis Watugunung.
• Hari Raya Nyepi Memperingati atau menyambut Tahun Baru Saka. Bedanya di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
a. Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
b. Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21/22 Maret
c. Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.
• Soma Ribek dan Sabuh Emas/Sabuh Pipis merupakan pemujaan kepada Dewi Sri (Sri-Sedana) sebagai penguasa kemakmuran dan kesejahtraan. Di India ada ”Waralaksmi Wrata” dengan tujuan yang sama. Dewi Laksmi di India sama dengan Dewi Sri di Indonesia.
• Khusus Penyelenggaraan Dana Punia kepada Pandita dan Orang Miskin di India ada hari raya ”Satyanarayana Wrata” yang jatuh pada Purnama Kartika, Waisaka,Srawana. Di lontar Sloakantara dan Sarasamuccaya disebutkan ”Purnama-Tilem” adalah saat tepat untuk ber-dana punia kepada Pandita (Rsi Yadnya) dan orang miskin tetapi hal ini jarang dimanfaatkan.
• Hari Raya lain seperti : Wisnu Puja (India Krsna Janmasthami dan Rama Nawami), Guru Puja, Brahma Puja, Tumpek Uduh, Tumpek Kandang, Budha Kliwon Pegatwakan, Tumpek Wayang, dan lain-lain ada di India dengan tujuan yang sama, tetapi di Indonesia khususnya Bali memakai Pawukon sehingga waktunya tidak sama dengan India, hal ini juga karena perbedaan geografis. Bagaimana di Jawa ? Karena sejak abad 14-19 Hindu sempat tenggelam di Jawa, maka perayaan seperti ini tidak mengemuka walau kalau digali mestinya ada, namun karena leluhur Jawa juga ke Bali dan ratusan tahun mengembangkan kegiatan keagamaan sesuai seni budaya sewaktu tinggal di Bali, maka sesungguhnya yang dilaksanakan di Bali itu adalah peninggalan leluhur kita semua baik Jawa atau Bali.
Renungan Siwaratri
Perayaan Siwaratri mengajarkan kita untuk ”Jagra” yaitu sadar, eling, dan waspada dalam menjalani kehidupan ini dengan selalu mengingat beliau dalam hal ini Dewa Siwa, juga ”Upawasa” yang mengarahkan kita menjadi toleran dan empati kepada penderitaan sesama disamping latihan ketahanan menghadapi godaan nafsu yang negatif, dan ”Samadhi” dengan ber-Japa mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri untuk menyatu (Manunggaling Kawula Lan Gusti) sehingga putus rantai kelahiran kembali (reinkarnasi) dan memperoleh kebahagiaan sejati ”Moksartham Jagadhita”.
(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber)
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Siwaratri-17-01-2007.
Malam Renungan Suci
Siwaratri atau Malam Siwa sering juga disebut ”Malam renungan suci”, yakni malam dimana Dewa Siwa sedang beryoga untuk kesejahtraan alam dan segala isinya. Siwaratri jatuh pada Purwaning (sehari sebelum) Tilem Kapitu (Bulan Magha) atau pada Panglong ping 14 sasih kapitu. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”. Siwaratri ini jatuh pada Panglong yang ke-14 Sasih Kapitu setiap setahun sekali. Pada Siwa Ratri ini umat sangat diharapkan melakukan : Sambang/Jagra/Begadang, ”Yoga”- menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, ”Samadhi” – menyatukan diri dengan Nya. Dengan melakukan hal ini secara benar diyakini kita akan memperoleh anugrah dari Dewa Siwa. Landasan perayaan Siwaratri ini adalah ”Kekawin Siwaratri kalpa” yang lebih dikenal dengan kekawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Kekawin ini bersumber dari Padma Purana (ada 18 Purana). Purana adalah ceritra-ceritra kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja terkenal yang memerintah dunia. Purana itu sendiri bagian dari Upaweda yang merupakan Weda Smerti.
Sedikit tentang ”Lubdaka”
Lubdaka diceritrakan pada Siwaratri kalpa, adalah seorang pemburu yang sehari-hari kerjanya berburu binatang kehutan. Suatu hari yaitu pada Purwaning Tilem sasih kapitu pagi pagi sekali Lubdaka meninggalkan rumahnya untuk berburu, hari itu tidak mujur baginya karena sampai sore tidak memperoleh binatang buruan sampai akhirnya hari sudah malam. Untuk pulang Lubdaka tidak berani karena takut dengan binatang buas, tidurpun juga tidak berani dibawah. Di hutan ada telaga dan dipinggirnya hidup pohon ”Bila”, maka Lubdaka naik kepohon itu. Karena takut jatuh, maka dia tidak berani tidur dan menghilangkan ngantuknya dengan melemparkan daun bila kebawah yang tanpa sepengetahuannya ada sebuah ”Lingga” (simbul Siwa) dan hari itu tepat malam Dewa Siwa ber-yoga. Keesokan harinya ketika matahari terbit, Lubdaka pulang dengan kecapaian tanpa membawa binatang buruan. Waktu berlalu dan suatu ketika Lubdaka sakit dan akhirnya meninggal. Atmanya mengalami kebingungan dan kegelapan karena kehidupannya yang buruk. Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengutus abdinya untuk menjemput Atma Lubdaka. Karena Lubdaka melakukan Jagra, Puasa, dan memuja Dewa Siwa dengan melempar daun Bila ke Lingga, dimana saat itu Dewa Siwa sedang ber-yoga, maka Lubdaka memperoleh anugrah Dewa Siwa dan menetap di Siwaloka (Sorga).
Pelaksanaan Siwaratri
Brata Siwaratri dapat dilakukan sesuai kemampuan kita, sehingga dapat dilakukan pada tiga tingkatan :
Utama Monabrata (diam diri & tidak bicara), Upawasa (tidak makan&minum), dan Jagra (tidak tidur/begadang).
Madhya Upawasa dan Jagra
Kanistha Jagra.
Brata Siwaratri diatas dilakukan dengan :
1. Jagra (Tidak tidur) selama 36 jam, sejak matahari terbit pada Purwaning Sasih Kapitu (hari Siwaratri) sampai pada jam 18.00 keesokan harinya
2. Upawasa selama 24 jam, sejak matahari terbit pada hari Siwaratri sampai matahari terbit keesokan harinya.
3. Yoga Samadhi selama 12 jam pada malam harinya.
Saat Jagra, Siwaratri kalpa menyarankan untuk melakukan hal-hal positif seperti : Mengadakan bunyi-bunyian (Mredangga), Mekidung atau kekawin, mendengarkan ceritra Lubdaka.
Jenis-jenis upakara yang diperlukan menurut ”Siwaratri Kalpa 31.3” adalah pemujaan dengan bunga yang harum-harum, seperti : Menur, kanyeri, gambir, arja, kacubung, wanduri putih, putat, asoka, nagapuspa, tenguli, bakula kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung merah, tunjung putih, majar-majar, dan sulasih.
Siwaratri Kalpa 31.4 menyebutkan: Bunga-bunga diatas dilengkapi dengan madu, bubur susu, bubur gula liwet dengan dicampuri hati wilis (santan). Juga dilengkapi dengan Daun Bila (Pana-pana matsyaka).
Hal diatas di Bali dipraktekkan dengan :
• Upasaksi ke Surya dengan Canang ajuman atau Pejati.
• Di Sanggah Kemulan mempersembahkan tapakan Pelinggih, pasucian, rayunan putih kuning, ajuman dan panca lingga yang dilengkapi daun Bila.
• Sarana Pemuspaan untuk tiga kali : malam, tengah malam dan menjelang matahari terbit.
Rentetan upacaranya jika mampu melaksanakan, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Malam hari sebelum Siwaratri sudah Maprayascita atau membersihkan pikiran dan batin.
2. Pagi-pagi sekali pada hari Siwaratri melakukan pemujaan dan menyampaikan niat melaksanakan Brata Siwaratri.
3. Dilanjutkan dengan mandi, kramas untuk mensucikan diri.
4. Melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa dan dilanjutkan Upawasa jika mungkin Monabrata.
5. Pada malam hari, tengah malam, dan menjelang matahari terbit, malakukan –pemujaan (jika memungkinkan minimal dengan saranan Banten Pejati) kehadapan : Dewa Surya (Upesaksi), Leluhur, dan Dewa Siwa.
6. Kegiatan diatas dibarengi dengan : Jagra (36 jam), Upawasa (24 jam), dan Samadhi (12 jam pada malam harinya/hari siwaratri). Dapat juga melakukan JAPA.
Sedikit tentang JAPA
Pengulangan mantra suci selama beberapa kali disebut JAPA. Dalam Bhagawadgita, Sri Krsna bersabda : "Diantara yajna Aku adalah japa yajna". Yajna disini artinya kurban dan segenap alam semesta serta kebenaran ditegakkan dalam yajna. Mengapa Sri Krsna bersabda demikian? karena Japa-yajna adalah murni dan sederhana, tanpa keinginan material, tetapi tulus dalam memuja Hyang Widhi untuk memperkaya kesucian dan menguatkan spiritual yakni pendekatan diri kepada-Nya.
Japa terdiri dari dua kata : JA artinya menghancurkan siklus kelahiran-kematian, dan PA artinya menghancurkan segala dosa. Arti Japa menunjukkan pahala bagi mereka yang ber-Japa.Tehnik berjapa ada dua yaitu : Vacika, dengan mengucapkan mantra, dan Manasika, mengucapkannya didalam hati (tidak terdengar keluar). Pilihannya tergantung kondisi. Di tempat ramai, kita melakukan Manasika, dan ditempat sepi kita menggunakan Vacika. Vacika japa ada dua yaitu suara mantra terdengar oleh orang lain, dan suara mantra tidak terdengar orang lain, hanya terlihat gerakan bibir saja (upamsu). Diantara ketiga tehnik itu Manasika-lah yang paling tinggi manfaatnya. Manasika jauh lebih sulit dari Vacika karena dalam tehnik Manasika kita harus mampu menutup telinga dari suara-suara lain, sedangkan dalam tehnik Vacika kita bisa mengalahkan suara lain itu dengan suara mantram yang diucapkan, atau berkonsentrasi pada gerakan bibir.
Tempat berjapa yang paling utama adalah didepan niyasa (simbol) Hyang Widhi misalnya Pura, Mandir, dll. Juga manfaat tak terbilang bila dilakukan di tepi sungai suci, ditepi samudra, dan pegunungan. Berjapa boleh dengan Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll
Berjapa sebanyak 108 kali dengan Japamala/Gnitri/Tasbih, akan sangat bermanfaat karena angka 108 menunjukkan rangkaian yang sakral. Angka 1+0+8 = 9 adalah kedudukan manifestasi Hyang Widhi disegala arah mata angin. Namun bila waktunya sempit, cukup tiga kali saja.
Siwaratri di Indonesia dan India
Siwaratri di Indonesia dan India sama-sama jatuh pada Purwaning Tilem Sasih Kapitu (Bulan Magha), cuma jatuhnya berbeda sebulan. Indonesia melaksanakan Siwaratri lebih dulu satu bulan (Antara Januari-Februari) dibandingkan dengan India (antara Februari-Maret). Makna perayaan sama, yaitu memuja Dewa Siwa yang sedang melakukan Yoga.
Perayaan keagamaan lainnya di India dan di Indonesia banyak kesamaannya, seperti :
• Hari Raya Pagerwesi adalah hari untuk menunjukkan ikatan kasih sayang antara anak (sentana) dengan leluhurnya khususnya Guru Rupaka (Ibu-bapak). Di India ada Hari raya ”Raksa Bandha” adalah hari untuk menguatkan tali-kasih sayang antara : suami-istri, anak dengan orang tua, kemenakan dengan paman atau bibinya, guru dengan murid. Jadi keduanya bertujuan ”Menguatkan ikatan kasih sayang”. Raksa Bandha dilaksanakan pada Purnama Sravana (bulan pertama) yaitu Juli-Agustus. Pagerwesi pada Wuku Sinta juga wuku pertama (Indonesia dengan Pawukon)
• Galungan-Kuningan Galungan merupakan peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma, di India ada hari raya ”Durga Puja” yang punya tujuan yang sama. Galungan dan Durga Puja sama-sama memuja Dewi Durga. Sepuluh hari sesudah Galungan adalah Kuningan dan sepuluh hari sesudah Durga Puja adalah ”Wijaya Dasami”. Selang hari antara Durga Puja dan Wijaya Dasami ada arak-arakan Durga dan Ganesa, dan antara Galungan – Kuningan ada arak-arakan Barong dan Rangda simbul Durga.
• Hari Raya Saraswati Merupakan pemujan Dewi Saraswati lambang ilmu pengetahuan. Di India dilakukan pada Suklapaksa penanggal 7 sampai 9 pada bulan Aswina (Asuji), sedang di Indonesia memakai Pawukon yaitu pada Saniscara umanis Watugunung.
• Hari Raya Nyepi Memperingati atau menyambut Tahun Baru Saka. Bedanya di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
a. Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
b. Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21/22 Maret
c. Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.
• Soma Ribek dan Sabuh Emas/Sabuh Pipis merupakan pemujaan kepada Dewi Sri (Sri-Sedana) sebagai penguasa kemakmuran dan kesejahtraan. Di India ada ”Waralaksmi Wrata” dengan tujuan yang sama. Dewi Laksmi di India sama dengan Dewi Sri di Indonesia.
• Khusus Penyelenggaraan Dana Punia kepada Pandita dan Orang Miskin di India ada hari raya ”Satyanarayana Wrata” yang jatuh pada Purnama Kartika, Waisaka,Srawana. Di lontar Sloakantara dan Sarasamuccaya disebutkan ”Purnama-Tilem” adalah saat tepat untuk ber-dana punia kepada Pandita (Rsi Yadnya) dan orang miskin tetapi hal ini jarang dimanfaatkan.
• Hari Raya lain seperti : Wisnu Puja (India Krsna Janmasthami dan Rama Nawami), Guru Puja, Brahma Puja, Tumpek Uduh, Tumpek Kandang, Budha Kliwon Pegatwakan, Tumpek Wayang, dan lain-lain ada di India dengan tujuan yang sama, tetapi di Indonesia khususnya Bali memakai Pawukon sehingga waktunya tidak sama dengan India, hal ini juga karena perbedaan geografis. Bagaimana di Jawa ? Karena sejak abad 14-19 Hindu sempat tenggelam di Jawa, maka perayaan seperti ini tidak mengemuka walau kalau digali mestinya ada, namun karena leluhur Jawa juga ke Bali dan ratusan tahun mengembangkan kegiatan keagamaan sesuai seni budaya sewaktu tinggal di Bali, maka sesungguhnya yang dilaksanakan di Bali itu adalah peninggalan leluhur kita semua baik Jawa atau Bali.
Renungan Siwaratri
Perayaan Siwaratri mengajarkan kita untuk ”Jagra” yaitu sadar, eling, dan waspada dalam menjalani kehidupan ini dengan selalu mengingat beliau dalam hal ini Dewa Siwa, juga ”Upawasa” yang mengarahkan kita menjadi toleran dan empati kepada penderitaan sesama disamping latihan ketahanan menghadapi godaan nafsu yang negatif, dan ”Samadhi” dengan ber-Japa mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri untuk menyatu (Manunggaling Kawula Lan Gusti) sehingga putus rantai kelahiran kembali (reinkarnasi) dan memperoleh kebahagiaan sejati ”Moksartham Jagadhita”.
(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber)
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Siwaratri-17-01-2007.
PENCARIAN LELUHUR ADALAH BENTUK BHAKTI
Sejak sesudah tahun 1965 di Bali, menurut ceritra orang-tua karena belum ada penelitian khusus mengenai hal ini, disebutkan bahwa di Bali orang-orang banyak melakukan pencarian leluhur, asal-usul atau wit-nya. Pencarian ini umumnya melalui : Balian metuunang, meneliti prasasti yang dimiliki oleh keluarga atau desa, mendatangi ahli babad, atau melakukan laku spiritual seperti meditasi di Pura-Pura Kawitan sampai pada ritual Yadnya untuk memperoleh petunjuk .Setelah ketahuan siapa leluhur atau Kawitannya itu belum cukup karena ketika orang tersebut mendatangi Mrajan Agung atau Pura Kawitan biasanya disana ada pengujiam-pengujian secara niskala misalnya kontak Pemangku dengan Bhatara Kawitan sampai melalui pusaka-pusaka peninggalan leluhur untuk disentuh atau bentuk penghormatan lainnya yang akan bisa meyakinkan Pemangku atau Sesepuh Mrajan Kawitan serta Sang pencari leluhur, bahwa memang benar wit-nya dari situ. Jadi pengujian spiritual/niskala biasanya banyak berperan dalam hal ini. Setelah jelas itu leluhurnya, maka ada upakara yang disebut ”Guru Piduka” yang tujuannya minta maaf karena tidak ingat atau tidak bhakti dengan leluhurnya untuk kurun waktu yang cukup lama. Penemuan leluhur yang tepat biasanya langsung dirasakan dalam kehidupan seseorang yang sering tidak bisa dijelaskan secara logika, seperti kenaikan pangkat, ekonomi dan kesehatan membaik, dan sebagainya. Ada pendapat seorang pengamat sejarah, yang mengatakan bahwa pencarian leluhur ini kadang-kadang menjadi salah , ketika setelah ditemukan leluhurnya ada yang kemudian menjadi angkuh/ sombong karena mengetahui, bahwa leluhurnya dahulu bernama depan I Gusti, I Dewa, atau lainnya, bahkan ada yang sampai membeli gelar, ini tentunya tidak benar.
Jika kita mundur kebelakang pada kenapa orang mencari leluhurnya, maka bisa diceritrakan sebagai berikut. Pada jaman dahulu sebut saja jaman Majapahit berkuasa di Jawa dan juga menguasai Bali, maka di Bali ditempatkan Adipati (bawahan Raja) yang disebut ”Dalem” yang pertama adalah Dalem Kresna kepakisan sekitar tahun 1350 M. Pada masa ini dan sesudahnya ada kejadian yang disebut ”Nyineb Wangsa” yaitu menyembunyikan asal-usulnya mungkin karena takut ketahuan orang lain atau penguasa waktu itu. Ada juga kejadian ”Petita Wangsa” yaitu dihilangkan asal-usulnya oleh penguasa mungkin karena faktor kesalahan atau juga politis. Atas kejadian ini banyak kemudian ”Damuh” (pratisantana kawitan/leluhur) tidak tahu asal-usulnya. Pada suatu jaman dimana damuh ingin tahu asal-usulnya yang karena kehendak Hyang Widhi atau karena orang tersebut mengalami ketidak nyamanan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : sakit-sakitan terus, sering kena musibah, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya, maka ada yang kemudian beralih ke faktor niskala untuk memperoleh jawabannya. Jadi perlu digaris bawahi ,bahwa niat awal pencarian leluhur umumnya adalah faktor-faktor ini, namun jika kemudian setelah diketahui leluhurnya adalah I Gusti, I Dewa, dll lalu menjadi sombong, tentu fenomena masyarakat yang mengangungkan diri itu yang keliru dan perlu diluruskan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu para orang tua (Tetua) mertua saya di Singaraja sepakat menghilangkan nama I Gusti didepan namanya walaupun mereka sesungguhnya keturunan I Gusti Ngurah Pinatih yang mengiringi Panji Sakti ke Singaraja. Keluarga Pinatih lainnya seperti di Denpasar misalnya tetap memakai I Gusti di depan namanya. Pada jaman itu menghilngkan nama I Gusti adalah suatu kesadaran yang luar biasa, tetapi untuk jaman sekarang sebaiknya nama I Gusti, I Dewa, Ida Bagus, dll tidak perlu dihilangkan karena itu adalah warisan leluhur dan pengingat keluarga, tetapi sikap-mental yang perlu ditingkatkan dengan merasa sesama saudara dengan lainnya. Ketika pulang ke Bali secara kebetulan saya melihat didepan mobil dijalanan ada tulisan : Sentana Arya Kenceng, Pasek Gaduh, dan mungkin ada tulisan seperti itu ditempat atau mobil lainnya, ini adalah sangat baik sebagai suatu bentuk kebanggaan pada leluhurnya, tetapi hal ini akan menjadi salah ketika kita merasa leluhur kita terbaik, tertinggi, termulia, karena ukuran itu hanya Hyang Widhi yang tahu.
Jadi kembali kepada Pencarian leluhur ini, maka para intelektual sebaiknya tidak melihat dari sisi pengetahuan atau intelektual saja melihat fenomena pencarian leluhur ini, perlu juga pendekatan rohani/spiritual, karena berbicara masalah ini adalah berbicara masalah niskala yang tidak cukup hanya dilihat dari sudut keilmuan dengan melihat fakta-fakta saja. Termasuk sebutan ”Priyayi” sebelum Era Majapahit yang ditujukan kepada : Pasek, Pande, dan Bujangga yang sama saja katanya dengan ”Priyayi” Pasca Majapahit yang dikenal dengan Tri Wangsa, ini juga tidak cukup dilihat dari sisi adanya usaha untuk mengembalikan Prestise jaman dulu, tetapi coba lihat juga dari sisi Bhakti, bahwa mereka ingin bhakti dan bangga pada leluhurnya. Jika Pasek, Pande, Bujangga, Ida bagus, I Dewa, Anak Agung, I Gusti, menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, maka ini baru kesalahan. Jadi bagi damuh, lakukan terus Bhakti pada Bhatara Kawitan termasuk mencari asal-usul/ Wit bagi yang belum menemukan atau yang masih ragu-ragu dan mohon petunjuk pada Bhatara Kawitan dengan selalu melantunkan Puja Mantra : ”Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham, Sapta Rsi catur yogam, Lingga Rsi mahalinggam, Om Ang Geng Gnijaya namah swaha, Om Ang Gnijaya jagat patya namah, Om Ung Manik Jayas’ca-Semerus’ca- Sa Ghanas ca, De Kuturan, Baradah ca ya namo namah swaha, Om Om Panca rsi Sapta Rsi paduka guru byoh namah swaha”
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar, Solo -Jawa Tengah
13-11-2006
Sejak sesudah tahun 1965 di Bali, menurut ceritra orang-tua karena belum ada penelitian khusus mengenai hal ini, disebutkan bahwa di Bali orang-orang banyak melakukan pencarian leluhur, asal-usul atau wit-nya. Pencarian ini umumnya melalui : Balian metuunang, meneliti prasasti yang dimiliki oleh keluarga atau desa, mendatangi ahli babad, atau melakukan laku spiritual seperti meditasi di Pura-Pura Kawitan sampai pada ritual Yadnya untuk memperoleh petunjuk .Setelah ketahuan siapa leluhur atau Kawitannya itu belum cukup karena ketika orang tersebut mendatangi Mrajan Agung atau Pura Kawitan biasanya disana ada pengujiam-pengujian secara niskala misalnya kontak Pemangku dengan Bhatara Kawitan sampai melalui pusaka-pusaka peninggalan leluhur untuk disentuh atau bentuk penghormatan lainnya yang akan bisa meyakinkan Pemangku atau Sesepuh Mrajan Kawitan serta Sang pencari leluhur, bahwa memang benar wit-nya dari situ. Jadi pengujian spiritual/niskala biasanya banyak berperan dalam hal ini. Setelah jelas itu leluhurnya, maka ada upakara yang disebut ”Guru Piduka” yang tujuannya minta maaf karena tidak ingat atau tidak bhakti dengan leluhurnya untuk kurun waktu yang cukup lama. Penemuan leluhur yang tepat biasanya langsung dirasakan dalam kehidupan seseorang yang sering tidak bisa dijelaskan secara logika, seperti kenaikan pangkat, ekonomi dan kesehatan membaik, dan sebagainya. Ada pendapat seorang pengamat sejarah, yang mengatakan bahwa pencarian leluhur ini kadang-kadang menjadi salah , ketika setelah ditemukan leluhurnya ada yang kemudian menjadi angkuh/ sombong karena mengetahui, bahwa leluhurnya dahulu bernama depan I Gusti, I Dewa, atau lainnya, bahkan ada yang sampai membeli gelar, ini tentunya tidak benar.
Jika kita mundur kebelakang pada kenapa orang mencari leluhurnya, maka bisa diceritrakan sebagai berikut. Pada jaman dahulu sebut saja jaman Majapahit berkuasa di Jawa dan juga menguasai Bali, maka di Bali ditempatkan Adipati (bawahan Raja) yang disebut ”Dalem” yang pertama adalah Dalem Kresna kepakisan sekitar tahun 1350 M. Pada masa ini dan sesudahnya ada kejadian yang disebut ”Nyineb Wangsa” yaitu menyembunyikan asal-usulnya mungkin karena takut ketahuan orang lain atau penguasa waktu itu. Ada juga kejadian ”Petita Wangsa” yaitu dihilangkan asal-usulnya oleh penguasa mungkin karena faktor kesalahan atau juga politis. Atas kejadian ini banyak kemudian ”Damuh” (pratisantana kawitan/leluhur) tidak tahu asal-usulnya. Pada suatu jaman dimana damuh ingin tahu asal-usulnya yang karena kehendak Hyang Widhi atau karena orang tersebut mengalami ketidak nyamanan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : sakit-sakitan terus, sering kena musibah, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya, maka ada yang kemudian beralih ke faktor niskala untuk memperoleh jawabannya. Jadi perlu digaris bawahi ,bahwa niat awal pencarian leluhur umumnya adalah faktor-faktor ini, namun jika kemudian setelah diketahui leluhurnya adalah I Gusti, I Dewa, dll lalu menjadi sombong, tentu fenomena masyarakat yang mengangungkan diri itu yang keliru dan perlu diluruskan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu para orang tua (Tetua) mertua saya di Singaraja sepakat menghilangkan nama I Gusti didepan namanya walaupun mereka sesungguhnya keturunan I Gusti Ngurah Pinatih yang mengiringi Panji Sakti ke Singaraja. Keluarga Pinatih lainnya seperti di Denpasar misalnya tetap memakai I Gusti di depan namanya. Pada jaman itu menghilngkan nama I Gusti adalah suatu kesadaran yang luar biasa, tetapi untuk jaman sekarang sebaiknya nama I Gusti, I Dewa, Ida Bagus, dll tidak perlu dihilangkan karena itu adalah warisan leluhur dan pengingat keluarga, tetapi sikap-mental yang perlu ditingkatkan dengan merasa sesama saudara dengan lainnya. Ketika pulang ke Bali secara kebetulan saya melihat didepan mobil dijalanan ada tulisan : Sentana Arya Kenceng, Pasek Gaduh, dan mungkin ada tulisan seperti itu ditempat atau mobil lainnya, ini adalah sangat baik sebagai suatu bentuk kebanggaan pada leluhurnya, tetapi hal ini akan menjadi salah ketika kita merasa leluhur kita terbaik, tertinggi, termulia, karena ukuran itu hanya Hyang Widhi yang tahu.
Jadi kembali kepada Pencarian leluhur ini, maka para intelektual sebaiknya tidak melihat dari sisi pengetahuan atau intelektual saja melihat fenomena pencarian leluhur ini, perlu juga pendekatan rohani/spiritual, karena berbicara masalah ini adalah berbicara masalah niskala yang tidak cukup hanya dilihat dari sudut keilmuan dengan melihat fakta-fakta saja. Termasuk sebutan ”Priyayi” sebelum Era Majapahit yang ditujukan kepada : Pasek, Pande, dan Bujangga yang sama saja katanya dengan ”Priyayi” Pasca Majapahit yang dikenal dengan Tri Wangsa, ini juga tidak cukup dilihat dari sisi adanya usaha untuk mengembalikan Prestise jaman dulu, tetapi coba lihat juga dari sisi Bhakti, bahwa mereka ingin bhakti dan bangga pada leluhurnya. Jika Pasek, Pande, Bujangga, Ida bagus, I Dewa, Anak Agung, I Gusti, menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, maka ini baru kesalahan. Jadi bagi damuh, lakukan terus Bhakti pada Bhatara Kawitan termasuk mencari asal-usul/ Wit bagi yang belum menemukan atau yang masih ragu-ragu dan mohon petunjuk pada Bhatara Kawitan dengan selalu melantunkan Puja Mantra : ”Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham, Sapta Rsi catur yogam, Lingga Rsi mahalinggam, Om Ang Geng Gnijaya namah swaha, Om Ang Gnijaya jagat patya namah, Om Ung Manik Jayas’ca-Semerus’ca- Sa Ghanas ca, De Kuturan, Baradah ca ya namo namah swaha, Om Om Panca rsi Sapta Rsi paduka guru byoh namah swaha”
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar, Solo -Jawa Tengah
13-11-2006
UPACARA OBONG - ENTAS PITULUS (PITRA YADNYA)
DI MASARAN – SRAGEN – JAWA TENGAH
Setelah sukses melaksanakan Upacara ”Entas Pitulus (Pitra Yadnya)” di Desa Randualang – Klaten-Jawa Tengah pada 14 Maret 2007 lalu (Dimuat Raditya Edisi April hal 34), maka Pandita Pujo Broto Sejati (Romo Maming) kembali memimpin/Manggala Upacara Obong-Entas Pitulus di Dusun Kauman, Kec.Masaran,Sragen, Jawa Tengah. Entas Pitulus kali ini bahkan secara massal seperti Ngaben Massal di Bali dengan biaya murah namun dengan Tattwa yang benar seperti yang sekarang mulai ramai dilaksanakan di Bali. Umat yang di Entas Pitulus ada 8 (delapan) orang, yaitu : Saido Wiro Taruno, Redjeb Wiro Taruno,Wiro Djono,Remin Karto Dimedjo,Tumbu Karto Dimedjo,Jemprit Karto Dimedjo,Sulidi Djojo Sumarto, dan Tuminem Djojo Sumarto. Prosesi dilaksanakan pada 16 Nopember 2007 mulai sekitar pukul 12 sampai pukul 18 wib. Dihadapan Romo Jati berderet ”Panjang Ilang” atau nampan Janur dan Blarak (Daun kelapa kering) yang berisi buah-buah dan Polowijo, serta makanan kesukaan yang di Entas Pitulus waktu masih hidup seperti rokok,kue, dll.,juga ada sesaji lainnya yang dibutuhkan. Ada ”Wahana” berujud Kambing Kendit, dan satu buah ”Pancaka/Panca Saka (Bade di Bali)”. Umat baik fihak keluarga dan masyarakat secara teratur duduk dibelakang sarana upacara tersebut. Diawali oleh Romo Jati melakukan pemanggilan Sang Atma untuk ditempatkan pada ”Puspa Sarira”. Secara filosofi Jawa, Atma yang ada di telenging samudra, atau dikerubuti Bhuto Kolo, oleh Pandita yang ”Nyiwa Raga” berhak untuk dipanggil dan dilinggihkan pada Puspa Sarira. Puspa sarira 8 buah yang sudah dilinggihkan Sang Atma kemudian diserahkan kepada petugas yang umumnya keluarga. Keluarga kemudian ”Atur Bekti” dihadapan Puspa Sarira mendoakan agar Sang Atma memperoleh jalan yang benar menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi. Selesai Atur Bekti dilanjutkan ”Purwa Daksina/Pradaksina” yaitu mengelilingi Wahana 3 kali. Puspa sarira dimasukkan kedalam Pancaka dilanjutkan keluar rumah dan berkeliling desa dimana pada Prapatan Jalan dilakukan lagi Purwa Daksina tiga kali. Proses ini menjadi sakral dengan diiringi oleh Gamelan Jawa dan gending : Kinanti Karuno, Panjang-Ilang, Layu-layu, gending Telutu, Sirep Aji Pulang, dan lainnya. Akhirnya iringan kembali lagi kerumah dan acara dilanjutkan dengan ”Pembakaran /Obong”, namun sebelum Obong keluarga atur Bekti lagi dan membekali dengan kesukaan yang di Entas Pitulus, ada juga membekali uang, namun sebelum di-obong uang diambil, suatu hal yang perlu diperhatikan di Bali, karena di Bali kadang ada yang lain dimana emas, pakaian, bahkan mobil dibakar untuk bekal Sang Atma. Keesokan harinya abu dari obong dimasukkan kedalam kelapa cengkir (kelapa gading) dan dilarung ke Kali Bengawan. Selesai sudah Upcara Obong Entas Pitulus, dan semoga akan berlanjut lagi dikeluarga lain sesuai dengan info, bahwa ada umat di Karanganyar yang merencanakan melaksanakan ”Upacara Obong – Entas Pitulus”.
Sedikit tentang ”Upacara Obong – ENTAS PITULUS”.
Adalah ”Sugito” seorang guru di Karanganyar/Solo yang pemerhati Budaya Jawa dengan sari pati Hindu begitu dedikasi mengumpulkan data-data Entas Pitulus, disertai oleh ”Mudiarso-Ketua Yayasan Pelestari Budaya Jawa” yang juga gigih melakukan hal yang sama walau saat ini beliau tidak berpenghasilan sehingga perlu ada umat yang memperhatikannya. Budaya Jawa saja tidak cukup, maka keterlibatan ”Pandita Pujo Broto Sejati” dengan landasan Tattwa Hindu menjadi melengkapi semangat umat diatas. Upacara Obong-Entas Pitulus ini bisa juga dilihat pada Buku Negara Kertagama pupuh LXIII,LXIV,LXV, salah satu berbunyi : Pagi purnamakala Arca Bunga (Puspa Sarira) dikeluarkan untuk upacara, gemuruh disambut dengan dengung salung, terompet,tambur, serta genderang, didudukkan diatas singgasana besarnya setinggi orang berdiri, berderet beruntun-runtun, semua pendeta tua-muda memuja. Demikian landasannya, lalu sarana apa yang dipergunakan ?. Alat-alat upacaranya adalah : Puspa Sarira, perwujudan orang yang di Entas Pitulus terbuat dari bahan kayu jati yang halus dibentuk boneka diberi mata dari uang logam, berlubang diberi hidung dari buah jambe dan dilengkapi dengan pakaian. Pancaka disebut juga Panca Saka, terbuat dari rangka bambu ditali (tanpa paku) dan diberi atap, dinding dan lantai dari alang-alang yang tersusun sedemikian rupa. Wahana merupakan kendaraan Sang Atma, berupa hewan berkaki dua atau empat dengan cara disembelih semua isi perut dikeluarkan, daging diambil, lalu kulit dikembalikan seperti sedia kala sehingga masih menyerupai hewan hidup. Sesaji Daksina,Air pengentas dari tujuh sumber, api pralina dari mrapen,pisang raja,pala kependem,pisang emas,nasi golong,nasi suci, nasi punar,bucalan gecok mentah,dupa/ratus/kemenyan,hewan (dibiarkan hidup: burung dara,ayam jawa,itik-semuanya sepasang), seperangkat gamelan, benda kesayangan si mati. Dukun Obong adalah sebutan untuk Manggala upacara. Prosesi Obong-Entas Pitulus urutannya diawali ”Pemanggilan Atma”
- Pada fase ini Puspa Sarira dimandikan dengan Tirta Pengentasan diiringi Gending Layu-layu, ”Pradaksina/Purwa Daksina” - fase ini Puspa Sarira dipapah berkeliling 3x mengelilingi Wahana dengan iringan gendhing Dhandang Gula Tlutur, dibawa pedupan,penerang,ayam,dara,itik, dan makanan,dll kesukaan simati, lalu dimasukkan ke Pancaka. ”Arak-Arakan”- Puspa sarira didalam Pancaka mengelilingi desa dan berputar 3x diprapatan lalu kembali kerumah. ”Obong” – Pancaka menghadap kebarat, sehingga kepala Puspa Sarira menghadap timur, peralatan upacara dan bekal diletakkan sedemikian rupa, atur bekti, dan suputra menyalakan daun pisang raja dan daun pisang emas untuk obong. Terakhir ”Larung” – Abu dari obong dimasukkan kedalam kelapa muda untuk dilarung ke sungai/laut terdekat. Harapan dan pesan sesepuh Jawa, upacara Entas Pitulus diperlukan untuk memenuhi kewajiban kita pada leluhur, tidak sulit dan tidak rumit, sekarang ini dilaksanakan oleh kalangan tertentu dan sangat terbatas sehingga perlu disebarluaskan.
Dilaporkan oleh :
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-11-2007
DI MASARAN – SRAGEN – JAWA TENGAH
Setelah sukses melaksanakan Upacara ”Entas Pitulus (Pitra Yadnya)” di Desa Randualang – Klaten-Jawa Tengah pada 14 Maret 2007 lalu (Dimuat Raditya Edisi April hal 34), maka Pandita Pujo Broto Sejati (Romo Maming) kembali memimpin/Manggala Upacara Obong-Entas Pitulus di Dusun Kauman, Kec.Masaran,Sragen, Jawa Tengah. Entas Pitulus kali ini bahkan secara massal seperti Ngaben Massal di Bali dengan biaya murah namun dengan Tattwa yang benar seperti yang sekarang mulai ramai dilaksanakan di Bali. Umat yang di Entas Pitulus ada 8 (delapan) orang, yaitu : Saido Wiro Taruno, Redjeb Wiro Taruno,Wiro Djono,Remin Karto Dimedjo,Tumbu Karto Dimedjo,Jemprit Karto Dimedjo,Sulidi Djojo Sumarto, dan Tuminem Djojo Sumarto. Prosesi dilaksanakan pada 16 Nopember 2007 mulai sekitar pukul 12 sampai pukul 18 wib. Dihadapan Romo Jati berderet ”Panjang Ilang” atau nampan Janur dan Blarak (Daun kelapa kering) yang berisi buah-buah dan Polowijo, serta makanan kesukaan yang di Entas Pitulus waktu masih hidup seperti rokok,kue, dll.,juga ada sesaji lainnya yang dibutuhkan. Ada ”Wahana” berujud Kambing Kendit, dan satu buah ”Pancaka/Panca Saka (Bade di Bali)”. Umat baik fihak keluarga dan masyarakat secara teratur duduk dibelakang sarana upacara tersebut. Diawali oleh Romo Jati melakukan pemanggilan Sang Atma untuk ditempatkan pada ”Puspa Sarira”. Secara filosofi Jawa, Atma yang ada di telenging samudra, atau dikerubuti Bhuto Kolo, oleh Pandita yang ”Nyiwa Raga” berhak untuk dipanggil dan dilinggihkan pada Puspa Sarira. Puspa sarira 8 buah yang sudah dilinggihkan Sang Atma kemudian diserahkan kepada petugas yang umumnya keluarga. Keluarga kemudian ”Atur Bekti” dihadapan Puspa Sarira mendoakan agar Sang Atma memperoleh jalan yang benar menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi. Selesai Atur Bekti dilanjutkan ”Purwa Daksina/Pradaksina” yaitu mengelilingi Wahana 3 kali. Puspa sarira dimasukkan kedalam Pancaka dilanjutkan keluar rumah dan berkeliling desa dimana pada Prapatan Jalan dilakukan lagi Purwa Daksina tiga kali. Proses ini menjadi sakral dengan diiringi oleh Gamelan Jawa dan gending : Kinanti Karuno, Panjang-Ilang, Layu-layu, gending Telutu, Sirep Aji Pulang, dan lainnya. Akhirnya iringan kembali lagi kerumah dan acara dilanjutkan dengan ”Pembakaran /Obong”, namun sebelum Obong keluarga atur Bekti lagi dan membekali dengan kesukaan yang di Entas Pitulus, ada juga membekali uang, namun sebelum di-obong uang diambil, suatu hal yang perlu diperhatikan di Bali, karena di Bali kadang ada yang lain dimana emas, pakaian, bahkan mobil dibakar untuk bekal Sang Atma. Keesokan harinya abu dari obong dimasukkan kedalam kelapa cengkir (kelapa gading) dan dilarung ke Kali Bengawan. Selesai sudah Upcara Obong Entas Pitulus, dan semoga akan berlanjut lagi dikeluarga lain sesuai dengan info, bahwa ada umat di Karanganyar yang merencanakan melaksanakan ”Upacara Obong – Entas Pitulus”.
Sedikit tentang ”Upacara Obong – ENTAS PITULUS”.
Adalah ”Sugito” seorang guru di Karanganyar/Solo yang pemerhati Budaya Jawa dengan sari pati Hindu begitu dedikasi mengumpulkan data-data Entas Pitulus, disertai oleh ”Mudiarso-Ketua Yayasan Pelestari Budaya Jawa” yang juga gigih melakukan hal yang sama walau saat ini beliau tidak berpenghasilan sehingga perlu ada umat yang memperhatikannya. Budaya Jawa saja tidak cukup, maka keterlibatan ”Pandita Pujo Broto Sejati” dengan landasan Tattwa Hindu menjadi melengkapi semangat umat diatas. Upacara Obong-Entas Pitulus ini bisa juga dilihat pada Buku Negara Kertagama pupuh LXIII,LXIV,LXV, salah satu berbunyi : Pagi purnamakala Arca Bunga (Puspa Sarira) dikeluarkan untuk upacara, gemuruh disambut dengan dengung salung, terompet,tambur, serta genderang, didudukkan diatas singgasana besarnya setinggi orang berdiri, berderet beruntun-runtun, semua pendeta tua-muda memuja. Demikian landasannya, lalu sarana apa yang dipergunakan ?. Alat-alat upacaranya adalah : Puspa Sarira, perwujudan orang yang di Entas Pitulus terbuat dari bahan kayu jati yang halus dibentuk boneka diberi mata dari uang logam, berlubang diberi hidung dari buah jambe dan dilengkapi dengan pakaian. Pancaka disebut juga Panca Saka, terbuat dari rangka bambu ditali (tanpa paku) dan diberi atap, dinding dan lantai dari alang-alang yang tersusun sedemikian rupa. Wahana merupakan kendaraan Sang Atma, berupa hewan berkaki dua atau empat dengan cara disembelih semua isi perut dikeluarkan, daging diambil, lalu kulit dikembalikan seperti sedia kala sehingga masih menyerupai hewan hidup. Sesaji Daksina,Air pengentas dari tujuh sumber, api pralina dari mrapen,pisang raja,pala kependem,pisang emas,nasi golong,nasi suci, nasi punar,bucalan gecok mentah,dupa/ratus/kemenyan,hewan (dibiarkan hidup: burung dara,ayam jawa,itik-semuanya sepasang), seperangkat gamelan, benda kesayangan si mati. Dukun Obong adalah sebutan untuk Manggala upacara. Prosesi Obong-Entas Pitulus urutannya diawali ”Pemanggilan Atma”
- Pada fase ini Puspa Sarira dimandikan dengan Tirta Pengentasan diiringi Gending Layu-layu, ”Pradaksina/Purwa Daksina” - fase ini Puspa Sarira dipapah berkeliling 3x mengelilingi Wahana dengan iringan gendhing Dhandang Gula Tlutur, dibawa pedupan,penerang,ayam,dara,itik, dan makanan,dll kesukaan simati, lalu dimasukkan ke Pancaka. ”Arak-Arakan”- Puspa sarira didalam Pancaka mengelilingi desa dan berputar 3x diprapatan lalu kembali kerumah. ”Obong” – Pancaka menghadap kebarat, sehingga kepala Puspa Sarira menghadap timur, peralatan upacara dan bekal diletakkan sedemikian rupa, atur bekti, dan suputra menyalakan daun pisang raja dan daun pisang emas untuk obong. Terakhir ”Larung” – Abu dari obong dimasukkan kedalam kelapa muda untuk dilarung ke sungai/laut terdekat. Harapan dan pesan sesepuh Jawa, upacara Entas Pitulus diperlukan untuk memenuhi kewajiban kita pada leluhur, tidak sulit dan tidak rumit, sekarang ini dilaksanakan oleh kalangan tertentu dan sangat terbatas sehingga perlu disebarluaskan.
Dilaporkan oleh :
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-11-2007
SIMAKLAH KENAPA ME-TAJEN
Pemberantasan Tejen di Bali saat ini kembali menjadi berita yang sangat menarik disamping berita demo kenaikan BBM, kurs dollar melemah, keributan pasca Pilkada, dan pernak-pernik masalah konpensasi BBM. Dari Kepolisian, tokoh masyarakat, bahkan rohaniawan ikut angkat bicara agar Tajen ini hilang atau punah dari Bumi Bali dan dimanapun. Sudah banyak para pakar bicara ada yang menyatakan Tajen menyimpang dari Weda, cermin masyarakat malas, dan lain sebagainya. Terkesan para bebotoh Tajen ini sudah diposisikan pada tempat atau fihak yang dipersalahkan sehingga perlu diberi ganjaran. Namun dari semuanya itu belum pernah ada tulisan yang mencoba me-repleksikan kenapa mereka me-tajen ?. Karena cara-cara yang sefihak ini, maka tanpa bermaksud membenarkan wajar jika para bebotoh demo, atau pulang dari tahanan disambut Baleganjur .
Saya mengenal lingkungan judi ini walaupun bukan penjudi. Judi yang dilakukan ada beberapa macam yang dominan, yaitu : Tajen, ceki, kartu/domino, dan buntut. Orang yang meceki atau main kartu dan buntut, belum tentu me-tajen, tetapi orang yang me-tajen biasanya juga melakukan judi yang lainnya diatas. Yang hampir semuanya dilakukan adalah pasang nomor buntut. Jadi bentuk judi ini banyak dan melibatkan masyarakat banyak. Jika dibilang bertentangan dengan Weda, maka semua judi yang disebutkan diatas bertentangan dengan Weda. Mungkin Tajen ini paling kentara penyimpangannya terkait dengan Tabuh Rah, atau mungkin Tajen ini sebagai batu loncatan pertama untuk memberantas judi-judi lainnya, itu silahkan saja. Yang inti ingin saya sampaikan disini adalah sudahkah disimak kenapa mereka me-tajen ?. Jika dicari inti permasalahannya, maka point utama masalahnya adalah Ekonomi dan Lingkungan. Kehidupan yang semakin berat ini mengakibatkan mereka ingin memperoleh jalan pintas untuk memperoleh uang lebih yang tidak didapat dari pekerjaan sehari-hari. Ditambah oleh lingkungan tajen yang sudah ada entah sejak kapan, maka menjadi klop-lah keinginan dengan medan yang tersedia untuk terjadinya perjudian. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan buruh atau pegawai rendahan dan jika ada kalangan orang berduit, ini biasanya juga punya masalah dengan keuangan.
Untuk pemecahannya sebenarnya tidak bisa keluar dari masalah ekonomi, artinya ciptakan kesejahtraan dengan menciptakan lapangan kerja. Perlu mengaktifkan lapangan kerja di kampung-kampung di Bali dengan memperbanyak Industri Rumah Tangga. Bali terkenal dengan Industri Garment dan ini bisa menyerap banyak tenaga kerja, Dept.Perindustrian bisa diajak kerja-sama. Bali juga masih dominan Pariwisata sehingga bisa juga dibuka Industri kerajinan. Orang-orang kampung juga bisa diberikan ketrampilan perbengkelan, atau lainnya dengan bantuan pemerintah atau pengusaha. Pada hari-hari tertentu bisa sebulan 2-3 kali diadakan ceramah Agama oleh Parisada , jadi ada keseimbangan Jasmani dan Rohani. Ada pengalaman saya jika pulang ke Bali sering mengadakan Tita Yatra, misalnya ke Pura Lempuyang atau beberapa Pura lainnya. Dari satu atau dua orang yang direncanakan ikut bisa berkembang menjadi sampai dua bis, sebagaian besar dari mereka adalah yang sehari-harinya berjudi. Secara umum mereka ingin berdoa agar terjadi perbaikan dalam kehidupan materiil dan spiritual mereka. Ini berarti mereka juga ingin hidup tenang tidak berjudi. Saat itu karena aura rohani Tirta Yatra bisa membuka hati mereka untuk mempersiapkan masa depan lebih baik, tetapi ketika sesampai dirumah istri minta uang dapur, anak-anak menangis belum bayar uang sekolah, iuran adat belum dibayar, ada tetangga punya kerja, dll. maka dicoba alternative yang dianggap cepat membantu dan lingkungan mendukung, maka “Berjudilah”. Lain lagi dengan buntut, plat mobil saya pernah dipercaya merupakan kode sehingga ketika pulang ke Bali dipasang, dan anehnya pernah keluar empat nomor. Fenomena ini akan susah untuk disampaikan, bahwa itu adalah salah dan dilarang agama, karena suatu keadaan yang menjelimet, lingkungan yang sudah terbentuk lama dan sudah menjadi keseharian mereka sehingga menjadi hal yang biasa.
Melalui kesempatan ini saya menghimbau kepada para pejabat atau tokoh masyarakat yang punya niat mulia untuk memberantas judi yang nyata-nyata menyengsarakan masyarakat agar dapat melihat kasus berjudi ini dari dua sisi yaitu dari sisi yang akan memberantas dan dari sisi bebotoh itu sendiri. Cobalah simak latar belakang mereka melakukan hal itu, memang ini memakan waktu dan butuh kesabaran tetapi akan menghasilkan ketenangan yang sesungguhnya, bukan dipermukaan judi terlihat tidak ada tetapi begitu petugas lengah, maka bebotoh beraksi lagi. Peganglah dulu para bandar dan beking-beking yang jangan-jangan ada dari fihak aparat kepolisian, buka lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja (Industri Rumah Tangga), dan terjunkan para rohaniawan atau tokoh agama. Jika ini bergerak harmonis ibarat bergeraknya empat roda mobil, maka pemberantasan judi akan effektif. Saya sempat pesimis menerima SMS yang isinya ajakan untuk memberantas Tajen dari organisasi yang sesungguhnya positif, hanya saya berpikir dengan cara itu tidak akan menyelesaikan masalah karena terkesan sepihak. Coba dipikirkan cara-cara yang simpatik, manusiawi, tetapi juga tegas dan berlandaskan hukum dan ajaran agama. Akhir kata semoga para fihak yang terkait diberi kekuatan dan kesabaran sehingga tercipta kesejahtraan jasmani & rohani dimasyarakat. Sejujur-jujurnya manusia seperti Yudistira/Darmawangsa, pernah mencelakakan Pandawa dan keluarga karena Judi, maka hindarilah.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-09-2005.
Pemberantasan Tejen di Bali saat ini kembali menjadi berita yang sangat menarik disamping berita demo kenaikan BBM, kurs dollar melemah, keributan pasca Pilkada, dan pernak-pernik masalah konpensasi BBM. Dari Kepolisian, tokoh masyarakat, bahkan rohaniawan ikut angkat bicara agar Tajen ini hilang atau punah dari Bumi Bali dan dimanapun. Sudah banyak para pakar bicara ada yang menyatakan Tajen menyimpang dari Weda, cermin masyarakat malas, dan lain sebagainya. Terkesan para bebotoh Tajen ini sudah diposisikan pada tempat atau fihak yang dipersalahkan sehingga perlu diberi ganjaran. Namun dari semuanya itu belum pernah ada tulisan yang mencoba me-repleksikan kenapa mereka me-tajen ?. Karena cara-cara yang sefihak ini, maka tanpa bermaksud membenarkan wajar jika para bebotoh demo, atau pulang dari tahanan disambut Baleganjur .
Saya mengenal lingkungan judi ini walaupun bukan penjudi. Judi yang dilakukan ada beberapa macam yang dominan, yaitu : Tajen, ceki, kartu/domino, dan buntut. Orang yang meceki atau main kartu dan buntut, belum tentu me-tajen, tetapi orang yang me-tajen biasanya juga melakukan judi yang lainnya diatas. Yang hampir semuanya dilakukan adalah pasang nomor buntut. Jadi bentuk judi ini banyak dan melibatkan masyarakat banyak. Jika dibilang bertentangan dengan Weda, maka semua judi yang disebutkan diatas bertentangan dengan Weda. Mungkin Tajen ini paling kentara penyimpangannya terkait dengan Tabuh Rah, atau mungkin Tajen ini sebagai batu loncatan pertama untuk memberantas judi-judi lainnya, itu silahkan saja. Yang inti ingin saya sampaikan disini adalah sudahkah disimak kenapa mereka me-tajen ?. Jika dicari inti permasalahannya, maka point utama masalahnya adalah Ekonomi dan Lingkungan. Kehidupan yang semakin berat ini mengakibatkan mereka ingin memperoleh jalan pintas untuk memperoleh uang lebih yang tidak didapat dari pekerjaan sehari-hari. Ditambah oleh lingkungan tajen yang sudah ada entah sejak kapan, maka menjadi klop-lah keinginan dengan medan yang tersedia untuk terjadinya perjudian. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan buruh atau pegawai rendahan dan jika ada kalangan orang berduit, ini biasanya juga punya masalah dengan keuangan.
Untuk pemecahannya sebenarnya tidak bisa keluar dari masalah ekonomi, artinya ciptakan kesejahtraan dengan menciptakan lapangan kerja. Perlu mengaktifkan lapangan kerja di kampung-kampung di Bali dengan memperbanyak Industri Rumah Tangga. Bali terkenal dengan Industri Garment dan ini bisa menyerap banyak tenaga kerja, Dept.Perindustrian bisa diajak kerja-sama. Bali juga masih dominan Pariwisata sehingga bisa juga dibuka Industri kerajinan. Orang-orang kampung juga bisa diberikan ketrampilan perbengkelan, atau lainnya dengan bantuan pemerintah atau pengusaha. Pada hari-hari tertentu bisa sebulan 2-3 kali diadakan ceramah Agama oleh Parisada , jadi ada keseimbangan Jasmani dan Rohani. Ada pengalaman saya jika pulang ke Bali sering mengadakan Tita Yatra, misalnya ke Pura Lempuyang atau beberapa Pura lainnya. Dari satu atau dua orang yang direncanakan ikut bisa berkembang menjadi sampai dua bis, sebagaian besar dari mereka adalah yang sehari-harinya berjudi. Secara umum mereka ingin berdoa agar terjadi perbaikan dalam kehidupan materiil dan spiritual mereka. Ini berarti mereka juga ingin hidup tenang tidak berjudi. Saat itu karena aura rohani Tirta Yatra bisa membuka hati mereka untuk mempersiapkan masa depan lebih baik, tetapi ketika sesampai dirumah istri minta uang dapur, anak-anak menangis belum bayar uang sekolah, iuran adat belum dibayar, ada tetangga punya kerja, dll. maka dicoba alternative yang dianggap cepat membantu dan lingkungan mendukung, maka “Berjudilah”. Lain lagi dengan buntut, plat mobil saya pernah dipercaya merupakan kode sehingga ketika pulang ke Bali dipasang, dan anehnya pernah keluar empat nomor. Fenomena ini akan susah untuk disampaikan, bahwa itu adalah salah dan dilarang agama, karena suatu keadaan yang menjelimet, lingkungan yang sudah terbentuk lama dan sudah menjadi keseharian mereka sehingga menjadi hal yang biasa.
Melalui kesempatan ini saya menghimbau kepada para pejabat atau tokoh masyarakat yang punya niat mulia untuk memberantas judi yang nyata-nyata menyengsarakan masyarakat agar dapat melihat kasus berjudi ini dari dua sisi yaitu dari sisi yang akan memberantas dan dari sisi bebotoh itu sendiri. Cobalah simak latar belakang mereka melakukan hal itu, memang ini memakan waktu dan butuh kesabaran tetapi akan menghasilkan ketenangan yang sesungguhnya, bukan dipermukaan judi terlihat tidak ada tetapi begitu petugas lengah, maka bebotoh beraksi lagi. Peganglah dulu para bandar dan beking-beking yang jangan-jangan ada dari fihak aparat kepolisian, buka lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja (Industri Rumah Tangga), dan terjunkan para rohaniawan atau tokoh agama. Jika ini bergerak harmonis ibarat bergeraknya empat roda mobil, maka pemberantasan judi akan effektif. Saya sempat pesimis menerima SMS yang isinya ajakan untuk memberantas Tajen dari organisasi yang sesungguhnya positif, hanya saya berpikir dengan cara itu tidak akan menyelesaikan masalah karena terkesan sepihak. Coba dipikirkan cara-cara yang simpatik, manusiawi, tetapi juga tegas dan berlandaskan hukum dan ajaran agama. Akhir kata semoga para fihak yang terkait diberi kekuatan dan kesabaran sehingga tercipta kesejahtraan jasmani & rohani dimasyarakat. Sejujur-jujurnya manusia seperti Yudistira/Darmawangsa, pernah mencelakakan Pandawa dan keluarga karena Judi, maka hindarilah.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-09-2005.
PURA TUJUAN DARMAYATRA DI SOLO-KARANGANYAR-SRAGEN - JAWA TENGAH
Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan di Demping ada Pura Buana Agung Mahendra Jati, dan beberapa Pura lainnya. Pura-Pura diatas dibangun dilingkungan tempat tinggal (Desa) yang umat Hindunya mayoritas suku Jawa. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Semua Pura–Pura diatas berada di daerah ketinggian di wilayah yang sejuk di lereng Gunung Lawu. Bagi umat yang datang menuju Solo atau Jogja dari arah timur jalur selatan Jawa misalnya dari Surabaya atau Bali, sebelum memasuki Kota Solo (sebelum melewati Jembatan diatas Bengawan Solo) berhenti saja di Palur, dari Palur cari arah Timur / ke Tawangmangu (sekitar 25 Km) yaitu sebuah tempat yang merupakan ketinggian, sejuk seperti di Puncak Bogor, walau tempat ini belum tertata baik seperti di Puncak Bogor. Perjalanan dari Palur tidak perlu sampai ke Tawangmangu, tetapi dapat istirahat dulu di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sekitar 20 Km dari Palur. Tempat ini dekat dengan Terminal Karangpandan dan sebelum Patung Semar (Patung besar) dipinggir jalan. Di Petilasan ini dapat istirahat atau mandi karena ada fasilitas itu, silahkan juga bagi yang mau sembahyang. Perjalanan berikutnya silahkan bagi yang mau ke Candi Ceto, candi Sukuh atau Pura-Pura umat diatas. Bagi yang membawa Bis Besar harus berhenti di Karang Pandan (misal di Petilasan) dan dengan Bis lebih kecil ke Ceto,Sukuh, dan Pura lainnya karena Pura-Pura dan Candi diatas ditempat yang lebih tinggi dan tidak bisa dijangkau dengan Bis Besar.
Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Bagi umat yang ingin Dharma Yatra ke Pura-Pura di Sragen, dapat berhenti/istirahat di Pura Jagatpati, Masaran, Sragen, Pura ini berada didekat jalan utama Sragen-Solo/Jogja (kanan Jalan) dan Petunjuk Pura mudah dilihat. Pura ini adalah Pura umat Hindu suku Jawa berbaur dengan umat Hindu Bali, untuk itu dapat dihubungi Ketut Ardana pengurus Pura Jagatpati.
Pura dilingkungan Surakarta (Solo), banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Jebres Surakarta. yang lokasinya sekitar kurang dari 1 km setelah melewati Jembatan diatas Bengawan Solo dari arah Timur (kanan jalan). Ditengah kota Solo ada Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta. Di Komplek Koppasus Karang Menjangan Solo terdapat Pura Bhirawa Dharma. Ketiga Pura diatas kental nuansa Balinya seperti Pura-Pura umumnya yang dibuat oleh orang Bali perantauan, namun ada satu Pura bernama Pura Mandira Seta disebelah kanan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pura ini dibuat oleh Harjanto (Almarhum) seorang umat Hindu yang menekuni dan mengajarkan Yoga (Raja Yoga) dan sering dilakukan ditempat ini, walaupun sudah ada tempat lain didaerah Bekonang – Sukoharjo yang diikuti juga oleh umat Manca Negara.
Pura-Pura disekitar Solo seperti Klaten dan Boyolali juga banyak tetapi belum terdata sehingga belum bisa disampaikan dalam laporan ini.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
17-08-2007
Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan di Demping ada Pura Buana Agung Mahendra Jati, dan beberapa Pura lainnya. Pura-Pura diatas dibangun dilingkungan tempat tinggal (Desa) yang umat Hindunya mayoritas suku Jawa. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Semua Pura–Pura diatas berada di daerah ketinggian di wilayah yang sejuk di lereng Gunung Lawu. Bagi umat yang datang menuju Solo atau Jogja dari arah timur jalur selatan Jawa misalnya dari Surabaya atau Bali, sebelum memasuki Kota Solo (sebelum melewati Jembatan diatas Bengawan Solo) berhenti saja di Palur, dari Palur cari arah Timur / ke Tawangmangu (sekitar 25 Km) yaitu sebuah tempat yang merupakan ketinggian, sejuk seperti di Puncak Bogor, walau tempat ini belum tertata baik seperti di Puncak Bogor. Perjalanan dari Palur tidak perlu sampai ke Tawangmangu, tetapi dapat istirahat dulu di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sekitar 20 Km dari Palur. Tempat ini dekat dengan Terminal Karangpandan dan sebelum Patung Semar (Patung besar) dipinggir jalan. Di Petilasan ini dapat istirahat atau mandi karena ada fasilitas itu, silahkan juga bagi yang mau sembahyang. Perjalanan berikutnya silahkan bagi yang mau ke Candi Ceto, candi Sukuh atau Pura-Pura umat diatas. Bagi yang membawa Bis Besar harus berhenti di Karang Pandan (misal di Petilasan) dan dengan Bis lebih kecil ke Ceto,Sukuh, dan Pura lainnya karena Pura-Pura dan Candi diatas ditempat yang lebih tinggi dan tidak bisa dijangkau dengan Bis Besar.
Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Bagi umat yang ingin Dharma Yatra ke Pura-Pura di Sragen, dapat berhenti/istirahat di Pura Jagatpati, Masaran, Sragen, Pura ini berada didekat jalan utama Sragen-Solo/Jogja (kanan Jalan) dan Petunjuk Pura mudah dilihat. Pura ini adalah Pura umat Hindu suku Jawa berbaur dengan umat Hindu Bali, untuk itu dapat dihubungi Ketut Ardana pengurus Pura Jagatpati.
Pura dilingkungan Surakarta (Solo), banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Jebres Surakarta. yang lokasinya sekitar kurang dari 1 km setelah melewati Jembatan diatas Bengawan Solo dari arah Timur (kanan jalan). Ditengah kota Solo ada Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta. Di Komplek Koppasus Karang Menjangan Solo terdapat Pura Bhirawa Dharma. Ketiga Pura diatas kental nuansa Balinya seperti Pura-Pura umumnya yang dibuat oleh orang Bali perantauan, namun ada satu Pura bernama Pura Mandira Seta disebelah kanan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pura ini dibuat oleh Harjanto (Almarhum) seorang umat Hindu yang menekuni dan mengajarkan Yoga (Raja Yoga) dan sering dilakukan ditempat ini, walaupun sudah ada tempat lain didaerah Bekonang – Sukoharjo yang diikuti juga oleh umat Manca Negara.
Pura-Pura disekitar Solo seperti Klaten dan Boyolali juga banyak tetapi belum terdata sehingga belum bisa disampaikan dalam laporan ini.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
17-08-2007
KEUNIKAN PURA AGUNG ASEM KEMBAR
DESA TUKAD MUNGGA – SINGARAJA
Pura Agung Asem Kembar yang berada di lingkungan hutan (Alas) diselatan Desa Tukad Mungga, Singaraja dipercaya merupakan Pura ’Transit Niskala” menuju ke Pura Segara Rupek, Candi Bakung, Pura Lempuyang Madya, dan Petilasan Jawa khususnya di Karanganyar/Solo. Pelinggihnya juga banyak dan anehnya ada Kanjeng Wijoyo Kusumo dari Jawa dan Sepasang Naga berkepala manusia dari China bernama : Surya-Palon (Matahari-Bulan). Pura ini termasuk baru dan berdirinya terkait dengan ”Penggemblengan rohani/batin” Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti, dari Grya Amla Bhuana Arum Sari, Dharma Yadnya, Tukad Mungga, Singaraja, ketika itu (tahun 2004) beliau masih status Jro Mangku Gede Putu Reta yang sekaligus juga ahli penyusun Kalender.
Kisahnya pada Redite Watugunung, 23 Mei 2004, beliau melakukan penggemblengan batin dengan tinggal di hutan diselatan desa Tukadmungga masuk Banjar Lebah Pupuan, desa Tegal Linggah, Kec. Sukasada, yang dipercaya sangat angker. Beliau tinggal selama enam bulan dibawah pohon intaran dengan beralaskan tikar. Selama empat bulan tinggal terjadi komunikasi secara niskala dengan seisi alam disana dan akhirnya dengan Bhatara Kawitan serta alam kesucian lainnya. Diperoleh pengetahuan, bahwa tempat ini dulunya merupakan ”Pedukuhan” yang berarti Pasraman tempat tinggal Jro Dukuh Sakti keturunan Sapta Pandita (Leluhur pasek). Pengertian Dukuh disini adalah Brahmana/Pandita yang ketika Danghyang Nirarta menjadi Purohito Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong pada abad ke XV, keturunan Sapta Pandita tidak lagi menjadi Pandita Resmi kerajaan karena sudah dipegang Danghyang Nirarta, sehingga fungsi Ke-Panditaan dilaksanakan sebagai Dukuh secara pribadi-pribadi. Setelah jelas semuanya, maka diputuskan untuk membangun Pura ditempat tersebut. Dengan bantuan masyarakat yang merasa kasihan dengan keadaan Jro Mangku Gede Putu Reta, maka setiap malam mereka ramai-ramai menemani dan membantu pengukuran batas Pura juga Pelinggih di-areal yang secara alami sejak dulu sudah dikelilingi pohon intaran besar berbentuk segi empat, jadi area Pura yang akan dibangun berada didalamnya. Setelah setiap malam selama dua bulan dilakukan pengukuran pagar pembatas dan Pelinggih ditanah yang kebetulan milik pribadi Jro Mangku Gede Putu Reta seluas sekitar 6 are, maka atas kehendak Hyang Widhi berdirilah sebuah Pura yang di-plaspas pada Hari Saraswati di bulan Desember 2004 oleh Ida Pandita Mpu Nabe Kertha Warsa Nawa Putra, dari Geria Taman Agung Wilaja Asrama, Baleagung-Singaraja. Pura ini kemudian diberi nama ”PURA AGUNG ASEM KEMBAR”. Pelinggih-Pelinggih yang ada : Patung Siwa-Buda, Ratu Niang (Ratu kewisesan), Pesimpangan Sapta Rsi, dan Dukuh, semua ini tergolong ”Pradana” (secara Niskala). Secara Purusa ada : Surya, Kemulan, Ratu Pasek, Sri-Sedana, Gedong Sari, Menjangan Saka Luang, dan Penglurah. Pelinggih kategori lain adalah : Sepasang Naga berkepala manusia bernama Surya-Palon , dan Kanjeng Wijoyo Kusumo. Pura ini sudah banyak dikunjungi umat dari segala penjuru karena memang auranya sangat luar biasa. Direncanakan jika dana terkumpul akan dilakukan ”Ngenteg Linggih” pada tahun 2011 atau 2012.
Keunikan lainnya, disebelah timur Pura Agung Alas kembar sekitar 200 meter terdapat bangunan yang dulunya merupakan sebuah Pelinggih yang sekarang hanya tinggal bagian bawahnya saja. Jika Pura Alas kembar merupakan Pedukuhan, maka tempat ini diperkirakan merupakan Parhyangan atau tempat ber-yoga semadi Jro Dukuh Sakti karena areal ini khususnya pada bekas Pelinggih tersebut diyakini sangat kuat aura kesuciannya. Sehubungan tempat tersebut kurang strategis, maka dipindahkan ke area yang lebih baik masih disekitarnya dan dibuatkan Pelinggih baru namun entah bagaimana bengunan lama masih tetap menjadi tempat sembahyang umat yang datang dan mengerti lingkungan tersebut, sehingga Pelinggih yang sudah tinggal bawahnya itu akan direnovasi kembali. Di area tersebut juga ada Pesimpangan ”Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang Petilasannya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jawa tengah.
Sehubungan Pura ini merupakan peninggalan leluhur jaman dahulu (Jro Dukuh), maka sudah selayaknya dihidupkan kembali, untuk itu agar pembangunan Pura cepat rampung dan Ngenteg Linggih pada 2011-2012 bisa dilaksanakan, maka kepada umat yang ingin berdana punia dipersilahkan sebagai bentuk bhakti pada Hyang Widhi dan para leluhur atau kehadiran untuk Bhakti ke Pura Alas Kembar akan sangat baik untuk meningkatkan rohani sekaligus berdana-punia. Akhirnya apa yang telah dilakukan oleh Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti adalah sebuah anugrah yang besar bagi kita semua, karena beliau telah memancarkan kembali ”Mata Air Spiritual” yang dulu sempat tersumbat dan sekarang telah muncul kembali.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
07-10-2008.
DESA TUKAD MUNGGA – SINGARAJA
Pura Agung Asem Kembar yang berada di lingkungan hutan (Alas) diselatan Desa Tukad Mungga, Singaraja dipercaya merupakan Pura ’Transit Niskala” menuju ke Pura Segara Rupek, Candi Bakung, Pura Lempuyang Madya, dan Petilasan Jawa khususnya di Karanganyar/Solo. Pelinggihnya juga banyak dan anehnya ada Kanjeng Wijoyo Kusumo dari Jawa dan Sepasang Naga berkepala manusia dari China bernama : Surya-Palon (Matahari-Bulan). Pura ini termasuk baru dan berdirinya terkait dengan ”Penggemblengan rohani/batin” Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti, dari Grya Amla Bhuana Arum Sari, Dharma Yadnya, Tukad Mungga, Singaraja, ketika itu (tahun 2004) beliau masih status Jro Mangku Gede Putu Reta yang sekaligus juga ahli penyusun Kalender.
Kisahnya pada Redite Watugunung, 23 Mei 2004, beliau melakukan penggemblengan batin dengan tinggal di hutan diselatan desa Tukadmungga masuk Banjar Lebah Pupuan, desa Tegal Linggah, Kec. Sukasada, yang dipercaya sangat angker. Beliau tinggal selama enam bulan dibawah pohon intaran dengan beralaskan tikar. Selama empat bulan tinggal terjadi komunikasi secara niskala dengan seisi alam disana dan akhirnya dengan Bhatara Kawitan serta alam kesucian lainnya. Diperoleh pengetahuan, bahwa tempat ini dulunya merupakan ”Pedukuhan” yang berarti Pasraman tempat tinggal Jro Dukuh Sakti keturunan Sapta Pandita (Leluhur pasek). Pengertian Dukuh disini adalah Brahmana/Pandita yang ketika Danghyang Nirarta menjadi Purohito Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong pada abad ke XV, keturunan Sapta Pandita tidak lagi menjadi Pandita Resmi kerajaan karena sudah dipegang Danghyang Nirarta, sehingga fungsi Ke-Panditaan dilaksanakan sebagai Dukuh secara pribadi-pribadi. Setelah jelas semuanya, maka diputuskan untuk membangun Pura ditempat tersebut. Dengan bantuan masyarakat yang merasa kasihan dengan keadaan Jro Mangku Gede Putu Reta, maka setiap malam mereka ramai-ramai menemani dan membantu pengukuran batas Pura juga Pelinggih di-areal yang secara alami sejak dulu sudah dikelilingi pohon intaran besar berbentuk segi empat, jadi area Pura yang akan dibangun berada didalamnya. Setelah setiap malam selama dua bulan dilakukan pengukuran pagar pembatas dan Pelinggih ditanah yang kebetulan milik pribadi Jro Mangku Gede Putu Reta seluas sekitar 6 are, maka atas kehendak Hyang Widhi berdirilah sebuah Pura yang di-plaspas pada Hari Saraswati di bulan Desember 2004 oleh Ida Pandita Mpu Nabe Kertha Warsa Nawa Putra, dari Geria Taman Agung Wilaja Asrama, Baleagung-Singaraja. Pura ini kemudian diberi nama ”PURA AGUNG ASEM KEMBAR”. Pelinggih-Pelinggih yang ada : Patung Siwa-Buda, Ratu Niang (Ratu kewisesan), Pesimpangan Sapta Rsi, dan Dukuh, semua ini tergolong ”Pradana” (secara Niskala). Secara Purusa ada : Surya, Kemulan, Ratu Pasek, Sri-Sedana, Gedong Sari, Menjangan Saka Luang, dan Penglurah. Pelinggih kategori lain adalah : Sepasang Naga berkepala manusia bernama Surya-Palon , dan Kanjeng Wijoyo Kusumo. Pura ini sudah banyak dikunjungi umat dari segala penjuru karena memang auranya sangat luar biasa. Direncanakan jika dana terkumpul akan dilakukan ”Ngenteg Linggih” pada tahun 2011 atau 2012.
Keunikan lainnya, disebelah timur Pura Agung Alas kembar sekitar 200 meter terdapat bangunan yang dulunya merupakan sebuah Pelinggih yang sekarang hanya tinggal bagian bawahnya saja. Jika Pura Alas kembar merupakan Pedukuhan, maka tempat ini diperkirakan merupakan Parhyangan atau tempat ber-yoga semadi Jro Dukuh Sakti karena areal ini khususnya pada bekas Pelinggih tersebut diyakini sangat kuat aura kesuciannya. Sehubungan tempat tersebut kurang strategis, maka dipindahkan ke area yang lebih baik masih disekitarnya dan dibuatkan Pelinggih baru namun entah bagaimana bengunan lama masih tetap menjadi tempat sembahyang umat yang datang dan mengerti lingkungan tersebut, sehingga Pelinggih yang sudah tinggal bawahnya itu akan direnovasi kembali. Di area tersebut juga ada Pesimpangan ”Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang Petilasannya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jawa tengah.
Sehubungan Pura ini merupakan peninggalan leluhur jaman dahulu (Jro Dukuh), maka sudah selayaknya dihidupkan kembali, untuk itu agar pembangunan Pura cepat rampung dan Ngenteg Linggih pada 2011-2012 bisa dilaksanakan, maka kepada umat yang ingin berdana punia dipersilahkan sebagai bentuk bhakti pada Hyang Widhi dan para leluhur atau kehadiran untuk Bhakti ke Pura Alas Kembar akan sangat baik untuk meningkatkan rohani sekaligus berdana-punia. Akhirnya apa yang telah dilakukan oleh Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti adalah sebuah anugrah yang besar bagi kita semua, karena beliau telah memancarkan kembali ”Mata Air Spiritual” yang dulu sempat tersumbat dan sekarang telah muncul kembali.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
07-10-2008.
NGENTEG LINGGIH DI PURA JAGATPATI
MASARAN – SRAGEN - JATENG
Pura Jagatpati yang terletak di Dusun Kauman, Kec. Masaran, Sragen, Jawa Tengah, pada tanggal 26 – 28 Oktober 2004 dilaksanakan „Ngenteg Linggih“ : Padmasana, Meru, Anglurah, Candi Gelung, dan Paduraksa. Pelinggih-Pelinggih sebelumnya yang sudah ada di Pralina dulu karena adanya perluasan areal Pura sampai menjadi sekitar 750M2 dimana sebelumnya sekitar 250M2, berarti terjadi perombakan total atas pelinggih sebelumnya sehingga areal sekarang sudah memenuhi unsur Tri Mandala. Prosesi acara dimulai tanggal 26 Oktober 2004 malam dengan „Nuwur Tirta“ di Prambanan di beberapa Candi, seperti : Brahma,Wisnu,Ciwa, Mahadewa, Durga, dan Ghana. Karena acara ini juga „Nyegara-Gunung“, maka Nuwur Tirta di Prambanan ini juga bermakna Nyegara (Mencerminkan pantai laut selatan). Tanggal 27 Oktober 2004 pagi dilaksanakan Nuwur Tirta yang bermakna „Gunung“ (Bagian dari Nyegara Gunung) ke Candi Ceto, dilanjutkan Nuwur Tirta di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan –Karangpandan, karena beliau merupakan sesepuh atau leluhur yang sudah ada di Karanganyar-Jateng ratusan tahun yang lalu. Sore harinya dilaksanakan Ngersigana (Wisuda Bumi/Pembersihan alam) dilanjutkan dengan Mlaspas Pura dan Ngenteg Linggih. Tanggal 28 Oktober 2004 pagi sekitar Jam 10 wib dilaksanakan Piodalan yang dipuput (dipimpin) oleh „Pandita Mpu Jaya Kerta Tanaya“, dari Geria Wana Giri, Bukut Jambul, Paseban, Karangasem (Bali) beliau juga yang memimpin Ngenteg Linggih tanggal 27 Oktober 2004. Selesai Ngaturang Piodalan dilanjutkan Pawintenan Saraswati bagi seluruh umat yang hadir dan dilanjutkan Trisandya.
Pada waktu yang sama pada tanggal 28 Oktober 2004 itu juga diadakan acara seremonial, yang dihadiri oleh undangan dari Pemda Jateng dan PHDI Pusat. Gubernur Jateng yang tidak bisa hadir dalam sambutannya dibacakan oleh Bakorlin 2 Wilayah Surakarta Bp. Ir. Suwito menyampaikan Ucapan selamat atas adanya Pura Jagatpati dan semoga umat Hindu bisa melakukan ibadah dengan baik. Sambutan berikutnya dari Bupati Sragen Bp. H.Untung Wiyono Sukarno dan sekaligus memberikan sumbangan dana. Dari PHDI Pusat hadir Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) sekaligus menanda-tangani Prasasti, dan Bapak Adi Suripto (Sekjen). Bapak Adi Suripto dalam sambutannya mengatakan : Jika dulu leluhur dari Jawa yang ke Bali menata kehidupan beragama dan masyarakat Bali, maka sekarang giliran orang Bali yang datang ke Jawa menjadi sesepuh dan membina umat di Jawa agar kembali kejati-dirinya (Bali-Jawa/ Bali Jowone). Sambutan lainnya adalah dari Bp. Ketut Nedeng yang merupakan koordinator Ngenteg Linggih bersama Jro Mangku Ketut Pasek dan Bp. Made Gunarsa. Bp. Ketut Nedeng dalam sambutannya mengajak umat agar meningkatkan ajaran Bhakti dan Kasih sayang yang akan bisa mendatangkan kebahagiaan kepada sesama. Sambutan terakhir ucapan terima-kasih dari umat Masaran diwakili oleh Bp. Jarwanto. Prosesi terakhir adalah Nyineb atau mepiuning tanggal 29 Oktober 2004 yang dipimpin Pinandita Pura Jagatpati , Pinandita Tugiyo.
Keberadaan Umat Hindu di Masaran
Dusun Kauman, Kec. Masaran, Sragen, Jawa Tengah memang merupakan salah satu kantong Hindu di Jawa Tengah. Pada awalnya umat disana berjumlah sekitar 100 KK namun karena kurang pembinaan, termasuk kesulitan dalam hal Perkawinan (Pembuatan Akta Perkawinan) dan pembuatan KTP, maka pada tahun 1976 tersisa hanya sekitar 50KK. Hal serupa dialami umat Hindu di dusun lain seperti Jenawi Karanganyar dan sekitarnya. Namun karena semangat yang begitu tinggi dari umat Hindu Masaran yang asli suku Jawa ini, maka dengan dipelopori oleh : Bp. Widagdo, Bp. Tugiyo, Bp. Yoso Prawiro (Almarhum), Bp. Parto Suwito, dan Bp. Sastro Giono, maka pada tahun 1976 berhasil dibangun sebuah Pura dengan areal yang kecil sekitar 250M2 dari Dana Pelita melalui bantuan Pemda dan swadaya masyarakat. Pura tersebut diberi nama “Pura Jagatpati” walaupun dengan arsitektur yang sedapatnya yang penting waktu itu umat Hindu sudah mempunyai tempat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. Penduduk setempat sebagian besar adalah Petani, dan untuk mengisi mental-rohani, maka setiap hari Minggu diadakan Pendidikan Agama terutama kepada anak-anak dan pemudanya. Setiap tgl. 15 dilakukan kegiatan sosial berupa pertemuan umat untuk lebih meningkatkan keakraban dan bertukar rasa. Untuk mendukung kebutuhan sehari-hari dibentuk Koperasi “Dharma Yadnya”. Yang saat ini sangat diperlukan bagi umat Masaran adalah pembinaan termasuk buku-buku Hindu sehingga diharapkan kepada Lembaga terkait termasuk swadaya masyarakat untuk bisa membantu hal itu. Sehubungan dengan umat yang bersembahyang sudah semakin banyak, maka tempat yang ada dirasa sudah tidak mampu lagi menampung perkembangan umat, maka atas gebrakan generasi penerusnya seperti : Bp. Darso Ardjono serta Bp. Ketut Ardana, serta umat lainnya dilakukan upaya untuk melakukan perluasan areal Pura, maka dimulailah gerakan sosialisasi kepada umat termasuk menggugah para Donatur baik dari lembaga pemerintah seperti : Gubernur Bali, beberapa Kapolres di Bali, beberapa Bupati di Bali, donator perseorangan, termasuk umat-umat yang peduli yang bisa berpartisifasi melalui tenaga dan sumbangan bahan-bahan juga bahan makanan. Semuanya bergerak satu tujuan sehingga terwujudnya Pura Jagatpati seperti sekarang ini. Kedepan disamping pembangunan mental-spiritual, maka beberapa bangunan dan Pelinggih akan menjadi target umat di Masaran, yaitu : Bale Piasan, Gale Banjar, Bale Gong, Bale Pesantian, Ruang Tunggu Pura /Wasi, Ruang ganti, Toilet, dan Bale Kulkul. Perjalanan untuk itu masih panjang, tetapi dengan semangat yang dimiliki umat setempat yang bergandengan dengan umat Hindu dari Bali dengan didukung oleh Donatur-donatur yang mau menyumbang dengan iklas tanpa diganduli oleh kepentingan-kepentingan, maka perkembangan umat Hindu di Masaran Sragen, juga disekitar Karanganyar bahkan di kantong-kantong Hindu diluar Jawa, akan bisa terwujud, sehingga harapan dari Bp. Adi Suripto (Sekjen PHDI) bahwa kedatangan orang Bali akan bisa mengembalikan umat di Jawa kembali kepada jati-diri leluhurnya akan bisa segera terwujud. Semoga Hyang Widhi dan Para Leluhur memberi jalan bagi kita semua.
Dilaporkan oleh,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
02 – 11 - 2004
MASARAN – SRAGEN - JATENG
Pura Jagatpati yang terletak di Dusun Kauman, Kec. Masaran, Sragen, Jawa Tengah, pada tanggal 26 – 28 Oktober 2004 dilaksanakan „Ngenteg Linggih“ : Padmasana, Meru, Anglurah, Candi Gelung, dan Paduraksa. Pelinggih-Pelinggih sebelumnya yang sudah ada di Pralina dulu karena adanya perluasan areal Pura sampai menjadi sekitar 750M2 dimana sebelumnya sekitar 250M2, berarti terjadi perombakan total atas pelinggih sebelumnya sehingga areal sekarang sudah memenuhi unsur Tri Mandala. Prosesi acara dimulai tanggal 26 Oktober 2004 malam dengan „Nuwur Tirta“ di Prambanan di beberapa Candi, seperti : Brahma,Wisnu,Ciwa, Mahadewa, Durga, dan Ghana. Karena acara ini juga „Nyegara-Gunung“, maka Nuwur Tirta di Prambanan ini juga bermakna Nyegara (Mencerminkan pantai laut selatan). Tanggal 27 Oktober 2004 pagi dilaksanakan Nuwur Tirta yang bermakna „Gunung“ (Bagian dari Nyegara Gunung) ke Candi Ceto, dilanjutkan Nuwur Tirta di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan –Karangpandan, karena beliau merupakan sesepuh atau leluhur yang sudah ada di Karanganyar-Jateng ratusan tahun yang lalu. Sore harinya dilaksanakan Ngersigana (Wisuda Bumi/Pembersihan alam) dilanjutkan dengan Mlaspas Pura dan Ngenteg Linggih. Tanggal 28 Oktober 2004 pagi sekitar Jam 10 wib dilaksanakan Piodalan yang dipuput (dipimpin) oleh „Pandita Mpu Jaya Kerta Tanaya“, dari Geria Wana Giri, Bukut Jambul, Paseban, Karangasem (Bali) beliau juga yang memimpin Ngenteg Linggih tanggal 27 Oktober 2004. Selesai Ngaturang Piodalan dilanjutkan Pawintenan Saraswati bagi seluruh umat yang hadir dan dilanjutkan Trisandya.
Pada waktu yang sama pada tanggal 28 Oktober 2004 itu juga diadakan acara seremonial, yang dihadiri oleh undangan dari Pemda Jateng dan PHDI Pusat. Gubernur Jateng yang tidak bisa hadir dalam sambutannya dibacakan oleh Bakorlin 2 Wilayah Surakarta Bp. Ir. Suwito menyampaikan Ucapan selamat atas adanya Pura Jagatpati dan semoga umat Hindu bisa melakukan ibadah dengan baik. Sambutan berikutnya dari Bupati Sragen Bp. H.Untung Wiyono Sukarno dan sekaligus memberikan sumbangan dana. Dari PHDI Pusat hadir Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) sekaligus menanda-tangani Prasasti, dan Bapak Adi Suripto (Sekjen). Bapak Adi Suripto dalam sambutannya mengatakan : Jika dulu leluhur dari Jawa yang ke Bali menata kehidupan beragama dan masyarakat Bali, maka sekarang giliran orang Bali yang datang ke Jawa menjadi sesepuh dan membina umat di Jawa agar kembali kejati-dirinya (Bali-Jawa/ Bali Jowone). Sambutan lainnya adalah dari Bp. Ketut Nedeng yang merupakan koordinator Ngenteg Linggih bersama Jro Mangku Ketut Pasek dan Bp. Made Gunarsa. Bp. Ketut Nedeng dalam sambutannya mengajak umat agar meningkatkan ajaran Bhakti dan Kasih sayang yang akan bisa mendatangkan kebahagiaan kepada sesama. Sambutan terakhir ucapan terima-kasih dari umat Masaran diwakili oleh Bp. Jarwanto. Prosesi terakhir adalah Nyineb atau mepiuning tanggal 29 Oktober 2004 yang dipimpin Pinandita Pura Jagatpati , Pinandita Tugiyo.
Keberadaan Umat Hindu di Masaran
Dusun Kauman, Kec. Masaran, Sragen, Jawa Tengah memang merupakan salah satu kantong Hindu di Jawa Tengah. Pada awalnya umat disana berjumlah sekitar 100 KK namun karena kurang pembinaan, termasuk kesulitan dalam hal Perkawinan (Pembuatan Akta Perkawinan) dan pembuatan KTP, maka pada tahun 1976 tersisa hanya sekitar 50KK. Hal serupa dialami umat Hindu di dusun lain seperti Jenawi Karanganyar dan sekitarnya. Namun karena semangat yang begitu tinggi dari umat Hindu Masaran yang asli suku Jawa ini, maka dengan dipelopori oleh : Bp. Widagdo, Bp. Tugiyo, Bp. Yoso Prawiro (Almarhum), Bp. Parto Suwito, dan Bp. Sastro Giono, maka pada tahun 1976 berhasil dibangun sebuah Pura dengan areal yang kecil sekitar 250M2 dari Dana Pelita melalui bantuan Pemda dan swadaya masyarakat. Pura tersebut diberi nama “Pura Jagatpati” walaupun dengan arsitektur yang sedapatnya yang penting waktu itu umat Hindu sudah mempunyai tempat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. Penduduk setempat sebagian besar adalah Petani, dan untuk mengisi mental-rohani, maka setiap hari Minggu diadakan Pendidikan Agama terutama kepada anak-anak dan pemudanya. Setiap tgl. 15 dilakukan kegiatan sosial berupa pertemuan umat untuk lebih meningkatkan keakraban dan bertukar rasa. Untuk mendukung kebutuhan sehari-hari dibentuk Koperasi “Dharma Yadnya”. Yang saat ini sangat diperlukan bagi umat Masaran adalah pembinaan termasuk buku-buku Hindu sehingga diharapkan kepada Lembaga terkait termasuk swadaya masyarakat untuk bisa membantu hal itu. Sehubungan dengan umat yang bersembahyang sudah semakin banyak, maka tempat yang ada dirasa sudah tidak mampu lagi menampung perkembangan umat, maka atas gebrakan generasi penerusnya seperti : Bp. Darso Ardjono serta Bp. Ketut Ardana, serta umat lainnya dilakukan upaya untuk melakukan perluasan areal Pura, maka dimulailah gerakan sosialisasi kepada umat termasuk menggugah para Donatur baik dari lembaga pemerintah seperti : Gubernur Bali, beberapa Kapolres di Bali, beberapa Bupati di Bali, donator perseorangan, termasuk umat-umat yang peduli yang bisa berpartisifasi melalui tenaga dan sumbangan bahan-bahan juga bahan makanan. Semuanya bergerak satu tujuan sehingga terwujudnya Pura Jagatpati seperti sekarang ini. Kedepan disamping pembangunan mental-spiritual, maka beberapa bangunan dan Pelinggih akan menjadi target umat di Masaran, yaitu : Bale Piasan, Gale Banjar, Bale Gong, Bale Pesantian, Ruang Tunggu Pura /Wasi, Ruang ganti, Toilet, dan Bale Kulkul. Perjalanan untuk itu masih panjang, tetapi dengan semangat yang dimiliki umat setempat yang bergandengan dengan umat Hindu dari Bali dengan didukung oleh Donatur-donatur yang mau menyumbang dengan iklas tanpa diganduli oleh kepentingan-kepentingan, maka perkembangan umat Hindu di Masaran Sragen, juga disekitar Karanganyar bahkan di kantong-kantong Hindu diluar Jawa, akan bisa terwujud, sehingga harapan dari Bp. Adi Suripto (Sekjen PHDI) bahwa kedatangan orang Bali akan bisa mengembalikan umat di Jawa kembali kepada jati-diri leluhurnya akan bisa segera terwujud. Semoga Hyang Widhi dan Para Leluhur memberi jalan bagi kita semua.
Dilaporkan oleh,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
02 – 11 - 2004
MENGAIS KETEGUHAN SRADHA LELUHUR DI JAWA
Untuk membina hubungan yang baik antar pemeluk Hindu baik dari Suku Bali, Suku Jawa, maupun lainnya, maka sudah sepantasnya kita saling mengadakan komunikasi, bertukar rasa, dan melihat langsung perkembangan umat Hindu didaerah-daerah. Apalagi bagi umat Jawa kehadiran semeton Bali sangat diharapkan oleh mereka. Bertolak dari kesadaran itu, maka kami menyempatkan diri untuk hadir beberapa waktu lalu melakukan Tirtayatra ke Pura Jonggol Shanti Loka, Kec.Ngargoyoso, Kab. Karanganyar, Jawa-Tengah sekalian bertukar rasa dengan umat Hindu setempat.
Pura Jonggol Santi Loka adalah salah satu dari beberapa Pura yang ada diwilayah Karanganyar dimana komunitas umat Hindu suku Jawa tinggal. Lokasinya didaerah yang agak tinggi dan Pura mereka juga ditempatkan dengan baik ditempat yang lebih tinggi dari perumahan penduduk sehingga kami perlu menaiki tangga yang cukup panjang untuk mencapainya. Sesampainya disana umat Hindu yang berjumlah sekitar 30 KK ini menyambut kami dengan gaya keseharian mereka sebagai orang Jawa baik dari pakaian maupun suguhan panganannya. Suasana ke-Hinduan terlihat ketika kami memasuki areal Pura, bersembahyang bersama dan lantunan Gayatri Mantram terdengar menyentuh hati nurani. Dibalik suasana pedesaan dengan udara yang sejuk, pohon yang bergerak lembut dan irama Gayatri Mantram dari umat yang sedang khusu sembahyang, seperti mengembalikan keberadaan para tetua leluhur umat Hindu ditempat ini. Tersirat keteguhan para tetua itu mempertahankan keyakinannya (sradha) terhadap Hindu agamanya.
Pada kesempatan Darmatula saya memberanikan diri menyampaikan kepada umat disana yang merupakan keturunannya sebentuk kalimat yang bunyinya ”Nak bapa ini sampai tinggal ditempat ini yang terpencil jauh dari jangkauan orang banyak, karena teguh mempertahankan agama nenek moyang kita, yaitu agama Hindu”. Kalimat ini yang saya sampaikan diakhir acara seperti merupakan rangkuman keadaan umat Hindu ini. Jika kita lihat secara umum, maka keberadaan umat Hindu asal Jawa di Karanganyar secara kuantitas dahulu lebih banyak dibanding sekarang, tetapi karena faktor-faktor administratif seperti kesulitan pengurusan : KTP, Akta Perkawinan, dll. Maka jumlahnya menyusut. Tetapi sekarang ini seharusnya tidak perlu ada masalah karena eksistensi umat Hindu di Karanganyar sudah kuat apalagi sudah ada PHDI Kab Karanganyar. Disamping itu aktifitas keagamaan sudah berjalan baik dan sudah banyak Pura yang didirikan termasuk Pinanditanya. Apakah itu berarti sudah pasti umat Hindu disana akan tetap eksis dan berkembang luas,kedepan ? jawabannya belum tentu. Jika kita lihat keberadaan mereka disatu desa, maka terlihat tidak hanya pemeluk Hindu saja, tetapi ada Islam dan Katolik/Kristen. Bagi mereka perbedaan ini tidak masalah karena mereka satu desa yang kemungkinan besar adalah satu keturunan, bahkan kerja-sama sangat baik termasuk jika ada kerja-bakti di Pura, maka umat agama lain itu ikut berbaur. Yang menjadi masalah adalah jika seperti yang muncul diacara Darmatula, salah satunya ungkapan yang intinya, bahwa mereka melihat umat beragama lain tidak ada masalah sementara mereka yang umat Hindu dan mengenal Karma-Phala ada yang sakit dan ekonominya lebih jelek, tentunya hal ini harus dicermati. Masalah ekonomi adalah masalah tersedianya lapangan kerja dan masalah semangat berusaha, juga pemasaran. Masalah yang lebih penting lagi dari itu adalah masalah ”Sradha”. Masalah Sradha ini harus terus dipupuk dan dikembangkan melalui Darmawacana, Darmatula, atau lainnya. Disamping itu bagi umat Hindu ini ada kebiasaan leluhur mereka dalam hal yadnya masih tetap dipertahankan dan harus kita hargai, seperti acara : Mondosio, Dukutan, dan lain-lain termasuk sarana persembahyangan seperti : Tempe bosok, rokok klinting, tumpengan, dan lain-lain. Kegiatan keagamaan ini tidak perlu dihilangkan tetapi perlu penjelasan dengan dasar Weda bukan secara Bali. Maksudnya jika setiap sarana persembahyangan umat Hindu di Bali bisa dijelaskan landasan Weda, maka yadnya bagi umat Hindu di Jawa ini tentunya juga bisa dijelaskan landasan Weda nya supaya mereka tidak salah mengartikan suatu bentuk sarana persembahyangan. Tugas-tugas memupuk Sradha umat Hindu ini, menjadi bagian kita semua yang peduli akan perkembangan umat Hindu ditanah air, seperti PHDI, Dept. Agama, Lembaga-Lembaga Umat Hindu, Tokoh Masyarakat, termasuk umat secara pribadi yang punya dedikasi terhadap agama Hindu. Kita tidak perlu menuntut PHDI untuk turun tangan karena seperti yang sering diberitakan mereka sendiri kekurangan dana untuk bisa terjun langsung kemasyarakat. Jadi lakukan saja dengan cara yang kita mampu lakukan, misalnya melalui Media Tirta Yatra, persembahyangan bersama, rapat kepengurusan, bantuan buku-buku/majalah Hindu, sumbangan dana atau fisik bangunan Pura/Pelinggih, atau apa saja yang bisa dilakukan, yang penting berinteraksilah diantara pemeluk Hindu dan jangan mengharapkan balasan baik skala (popularitas) maupun niskala.
Saat ini biarlah hanya renungan keteguhan sradha leluhurnya yang diberikan untuk mereka, lain kali bantu mereka sesuai Guna & Karma yang kita miliki seperti yang tersirat dalam ajaran Catur Warna dan juga Tat Twam Asi. Semoga para Leluhur di Tanah Jawa yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi menjadi teladan bagi kita akan hakekat ”Keteguhan Sradha terhadap Agama Hindu yang dianutnya”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
08-06-2005.
Untuk membina hubungan yang baik antar pemeluk Hindu baik dari Suku Bali, Suku Jawa, maupun lainnya, maka sudah sepantasnya kita saling mengadakan komunikasi, bertukar rasa, dan melihat langsung perkembangan umat Hindu didaerah-daerah. Apalagi bagi umat Jawa kehadiran semeton Bali sangat diharapkan oleh mereka. Bertolak dari kesadaran itu, maka kami menyempatkan diri untuk hadir beberapa waktu lalu melakukan Tirtayatra ke Pura Jonggol Shanti Loka, Kec.Ngargoyoso, Kab. Karanganyar, Jawa-Tengah sekalian bertukar rasa dengan umat Hindu setempat.
Pura Jonggol Santi Loka adalah salah satu dari beberapa Pura yang ada diwilayah Karanganyar dimana komunitas umat Hindu suku Jawa tinggal. Lokasinya didaerah yang agak tinggi dan Pura mereka juga ditempatkan dengan baik ditempat yang lebih tinggi dari perumahan penduduk sehingga kami perlu menaiki tangga yang cukup panjang untuk mencapainya. Sesampainya disana umat Hindu yang berjumlah sekitar 30 KK ini menyambut kami dengan gaya keseharian mereka sebagai orang Jawa baik dari pakaian maupun suguhan panganannya. Suasana ke-Hinduan terlihat ketika kami memasuki areal Pura, bersembahyang bersama dan lantunan Gayatri Mantram terdengar menyentuh hati nurani. Dibalik suasana pedesaan dengan udara yang sejuk, pohon yang bergerak lembut dan irama Gayatri Mantram dari umat yang sedang khusu sembahyang, seperti mengembalikan keberadaan para tetua leluhur umat Hindu ditempat ini. Tersirat keteguhan para tetua itu mempertahankan keyakinannya (sradha) terhadap Hindu agamanya.
Pada kesempatan Darmatula saya memberanikan diri menyampaikan kepada umat disana yang merupakan keturunannya sebentuk kalimat yang bunyinya ”Nak bapa ini sampai tinggal ditempat ini yang terpencil jauh dari jangkauan orang banyak, karena teguh mempertahankan agama nenek moyang kita, yaitu agama Hindu”. Kalimat ini yang saya sampaikan diakhir acara seperti merupakan rangkuman keadaan umat Hindu ini. Jika kita lihat secara umum, maka keberadaan umat Hindu asal Jawa di Karanganyar secara kuantitas dahulu lebih banyak dibanding sekarang, tetapi karena faktor-faktor administratif seperti kesulitan pengurusan : KTP, Akta Perkawinan, dll. Maka jumlahnya menyusut. Tetapi sekarang ini seharusnya tidak perlu ada masalah karena eksistensi umat Hindu di Karanganyar sudah kuat apalagi sudah ada PHDI Kab Karanganyar. Disamping itu aktifitas keagamaan sudah berjalan baik dan sudah banyak Pura yang didirikan termasuk Pinanditanya. Apakah itu berarti sudah pasti umat Hindu disana akan tetap eksis dan berkembang luas,kedepan ? jawabannya belum tentu. Jika kita lihat keberadaan mereka disatu desa, maka terlihat tidak hanya pemeluk Hindu saja, tetapi ada Islam dan Katolik/Kristen. Bagi mereka perbedaan ini tidak masalah karena mereka satu desa yang kemungkinan besar adalah satu keturunan, bahkan kerja-sama sangat baik termasuk jika ada kerja-bakti di Pura, maka umat agama lain itu ikut berbaur. Yang menjadi masalah adalah jika seperti yang muncul diacara Darmatula, salah satunya ungkapan yang intinya, bahwa mereka melihat umat beragama lain tidak ada masalah sementara mereka yang umat Hindu dan mengenal Karma-Phala ada yang sakit dan ekonominya lebih jelek, tentunya hal ini harus dicermati. Masalah ekonomi adalah masalah tersedianya lapangan kerja dan masalah semangat berusaha, juga pemasaran. Masalah yang lebih penting lagi dari itu adalah masalah ”Sradha”. Masalah Sradha ini harus terus dipupuk dan dikembangkan melalui Darmawacana, Darmatula, atau lainnya. Disamping itu bagi umat Hindu ini ada kebiasaan leluhur mereka dalam hal yadnya masih tetap dipertahankan dan harus kita hargai, seperti acara : Mondosio, Dukutan, dan lain-lain termasuk sarana persembahyangan seperti : Tempe bosok, rokok klinting, tumpengan, dan lain-lain. Kegiatan keagamaan ini tidak perlu dihilangkan tetapi perlu penjelasan dengan dasar Weda bukan secara Bali. Maksudnya jika setiap sarana persembahyangan umat Hindu di Bali bisa dijelaskan landasan Weda, maka yadnya bagi umat Hindu di Jawa ini tentunya juga bisa dijelaskan landasan Weda nya supaya mereka tidak salah mengartikan suatu bentuk sarana persembahyangan. Tugas-tugas memupuk Sradha umat Hindu ini, menjadi bagian kita semua yang peduli akan perkembangan umat Hindu ditanah air, seperti PHDI, Dept. Agama, Lembaga-Lembaga Umat Hindu, Tokoh Masyarakat, termasuk umat secara pribadi yang punya dedikasi terhadap agama Hindu. Kita tidak perlu menuntut PHDI untuk turun tangan karena seperti yang sering diberitakan mereka sendiri kekurangan dana untuk bisa terjun langsung kemasyarakat. Jadi lakukan saja dengan cara yang kita mampu lakukan, misalnya melalui Media Tirta Yatra, persembahyangan bersama, rapat kepengurusan, bantuan buku-buku/majalah Hindu, sumbangan dana atau fisik bangunan Pura/Pelinggih, atau apa saja yang bisa dilakukan, yang penting berinteraksilah diantara pemeluk Hindu dan jangan mengharapkan balasan baik skala (popularitas) maupun niskala.
Saat ini biarlah hanya renungan keteguhan sradha leluhurnya yang diberikan untuk mereka, lain kali bantu mereka sesuai Guna & Karma yang kita miliki seperti yang tersirat dalam ajaran Catur Warna dan juga Tat Twam Asi. Semoga para Leluhur di Tanah Jawa yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi menjadi teladan bagi kita akan hakekat ”Keteguhan Sradha terhadap Agama Hindu yang dianutnya”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
08-06-2005.
PENDAPAT PRIBADI TENTANG ”KERAUHAN”
Kerauhan, kerangsukan, kodal, atau apapun istilahnya merupakan Fenomena di masyarakat yang telah menjadi bagian kehidupan kita. Kerauhan ini juga dikenal di negara-negara lain cuma tidak perlu disampaikan disini. Kerauhan ini bisa dialami oleh setiap orang biasanya yang berada diwilayah kegiatan ini, seperti : Praktisi spiritual, pemangku, dll. Seorang Pemangku atau Jro Gede kadang masih ada yang Kerauhan, bahkan ada Profesi khusus di Bali yang kegiatannya adalah Ngerauhang, umumnya : Ngerauhang Leluhur, atau menanyakan siapa yang nitis pada si bayi dan ditanyakan setalah 42 hari. Bagi seorang Sulinggih merupakan pantangan untuk Kerauhan, tetapi siapa yang bisa menjelaskan kenapa ?. Secara umum ”Konotasi” kita tentang Kerauhan adalah kehadiran Bhuta Kala, tetapi apakah benar ”Kerauhan” itu pasti kedatangan Bhuta Kala tidak ada yang bisa menjawab secara pasti bahkan juga oleh kita yang melemparkan pendapat itu.
Berikut ini penulis mencoba berbagi pendapat sebatas yang diketahu,i harapannya nanti ada yang melengkapi atau menyempurnakannya. Kerauhan ini umumnya bisa dialami oleh 3 kelompok masyarakat, yaitu :
1. Mereka yang mendalami kegiatan spiritual/kebatinan dan umumnya dilengkapi dengan kemampuan pengendalian diri ketika kerauhan.
2. Mereka yang secara keturunan atau fungsinya mengharuskan kerauhan, seperti : Para tukang ”Naret” yang menusuk tubuhnya dengan keris saat upacara tertentu, dll. umumnya mereka tidak sadar dengan dirinya saat melakukan fungsi itu. Tukang Naret biasanya sadar setelah diperciki tirta oleh Pemangku.
3. Mereka yang diluar point 1 dan 2, biasanya orang yang lemah secara mental spiritual sehingga mudah kerauhan dan umumnya tidak sadar akan dirinya saat kerauhan.
Pada kesempatan ini penulis akan coba menjelaskan point 1 karena misteri atau pro-kontra banyak terjadi pada kelompok ini. Pinandita/Pemangku, dan Praktisi Spiritual ada pada kelompok ini, walaupun ada Pemangku yang karena fungsinya masuk pada kelompok 2.
Para praktisi spiritual dan Pinandita umumnya bisa kerauhan. Jika Pinandita menjadi muncul kepekaannya karena kesehariannya menjalankan fungsinya, maka praktisi spiritual umumnya diawali oleh bantuan guru atau orang yang lebih senior. Ada guru yang melakukannya melalui ”transfer energi/Prana” ke pusat energinya, ada juga dengan meditasi dan bantuan sarana upacara seperti : Pejati, ada dengan transfer melalui air, dsb. Disamping bantuan guru/ senior, maka yang paling penting adalah orang tersebut punya bakat spiritual (talenta) ini akan mempercepat proses. Bagi orang yang sudah dan baru pertama di transfer energinya, maka ibarat ”Mobil/Motor” yang sudah lama tidak dihidupkan kemudian baru dihidupkan. Saat ”lamsam” getarannya kasar, itu sebagai perumpamaan terhadap orang yang bergerak kesana-kemari ketika melakukan pemusatan pikiran termasuk jika sudah mampu kerauhan. Kembali ke mobil/motor tadi, maka seiring dengan proses waktu, maka lamsam-nya semakin halus, bahkan lama-lama tidak terlihat lagi getaran. Ini suatu pertanda bahwa pengendalian orang tersebut sudah sangat baik. Pada pembahasan ini kita belum berceritra siapa,energi apa, energi setingkat apa yang masuk, apakah : Bhutakala, Leluhur, orang suci, atau yang lebih tinggi, karena untuk hal ini sangat tergantung pada tingkat kesucian orang tersebut, atau tingkat pengamalan ”Tri Kaya Parisudha”. Kita lanjutkan pada fase lamsam yang sudah halus, maka karena kemampuan orang tersebut dia sudah bisa menyerap/ tidak mengalirkan/tidak memperagakan energi yang masuk saat kerauhan, tapi berkomunikasi didalam batinnya. Jika dialirkan/diperagakan, maka persentase penguasaannya bisa diaturnya, jika dicoba dijelaskan dengan persentase walaupun tidak akurat hanya contoh saja, bisa diperagakan 90%, 70%, atau 50% saja. Itulah sebabnya orang tersebut kadang memanfaatkannya saat Pidato, rapat, atau kegiatan apa yang diperlukan. Kegiatan memanfaatkan ini sudah termasuk pada kategori ”Kanuragan/kawisesan/kesaktian”, sehingga bagi yang mendalami ”Kerohanian” ini akan menghambat proses rohani, karena masih mengandung ”Nafsu” padahal kerohanian mengandung ”kepasrahan”, tapi ya itu kembali kepada bakat dan karma seseorang, pada tingkat atau area mana dia berada, Area ”Kanuragan/kewisesan” atau Area ”Kerohanian”.
Pendapat berikut adalah yang merupakan inti dari tulisan ini, bahwa : Kerauhan siapa ?, bhuta kala atau apa ?. Sebelum dilanjutkan perlu disampaikan disini, bahwa point ini adalah ”keyakinan” dan tidak bisa memaksa atau dipaksakan pada setiap orang, jadi ini sekali lagi pendapat pribadi saja. Tingkat Bakat/talenta dan tingkat kesucian seseorang sangat besar perannya disini. Beberapa orang yang berbeda bisa kerauhan dengan tingkat yang berbeda pada tempat yang sama. Secara kasat mata tingkat kesucian yang rauh bisa dilihat. Umumnya kalau Bhutakala /perancangan biasanya menuntut sesuatu kepada kita, biasanya : segehan, kadang telor, anak ayam, tuak, dll. Gerakan tubuhnya juga biasanya beringas. Jika leluhur biasanya diawali dengan menangis dan selanjutnya berceritra tentang sesuatu. Praktisi spiritual yang sengaja tidak menyerap tapi memperagakan akan berusaha agar bertahan lama dan terjadi komunikasi dengan orang lain (penanya) karena pesan-pesan yang disampaikan akan lebih jelas dibandingkan jika diserap yang biasanya berupa kode/isyarat. Jika tingkat kesucian yang rauh lebih tinggi, biasanya diawali macam-macam : bisa puja mantra (tidak jelas), suara-suara seperti irama Palawkya, dsb. Umumnya kerauhan untuk tingkat ini tidak lama, dalam hitungan dibawah lima menit, bahkan dalam detik tetapi bagi yang mampu pengendaliannya bisa lama berkomunikasi. Bisa juga getaran ini turun ketika sedang berbicara, sedang melakukan puja mantra sehingga suara puja mantra berubah, dsb. Sekarang pertanyaannya mungkinkah getaran ”Dewa” seperti misalkan ”Dewa Wisnu” rauh ke seseorang ?. Menurut penulis sangat mungkin. Seperti disebutkan dalam kitab suci Dewa berasal dari kata ”Dev” yang berarti sinar, jadi ini adalah Hyang Widhi tetapi dalam wujud, sedangkan pada manusia ada Atma yang sama dengan Paramaatma, jadi pada tingkat kesucian seseorang yang baik, sangat mungkin sinar Hyang Widhi menyatu pada orang tersebut. Kembali disampaikan, bahwa hal ini tidak bisa dipaksakan untuk orang percaya, jadi terserah pembaca saja.
Sesungguhnya manusia itu tidak ada apa-apanya hanya Hyang Widhi yang kuasa dan punya kemampuan, namun manusia bisa menjadi ”Perantara” baik pada tingkat Bhutakala, leluhur, orang suci, tingkat Bhatara, serta tingkat Dewa, itu semuanya kekuasaan Hyang Widhi. Sebagai pembuktian bisa juga dilihat dari penjelasan atau petunjuk yang diberikan, apakah benar seperti yang disampaikan. Maaf... ada pengalaman orang yang pola berpikirnya logis dan sangat ilmiah yang tidak percaya sama yang namanya kerauhan, suatu saat mempercayakan dirinya pada orang yang dianggap mampu untuk bertanya tentang leluhurnya. Mungkin karena ”Percaya” tadi, praktisi spiritual yang tidak tahu apa-apa menjadi bisa menunjukkan Mrajan Agung leluhur sipenanya dan minta agar sipenanya tangkil kesana, permintaan itu dituruti dan ketika Pemangku Mrajan membuka pintu tempat Pratima leluhurnya, sang kawan (penanya) ini langsung kerauhan padahal sebelumnya tidak pernah bahkan tidak percaya. Menurut Pemangku ini kerauhan Bhatara Kawitan. Setelah itu si kawan ini 3 hari tidak bangun dari tempat tidurnya, dan sekarang menjadi orang yang sangat taat tangkil ke Pura Kawitan. Contoh lain anak teman yang sudah dibawa kedokter panasnya tidak turun-turun dan dikatakan tipes, dalam hitungan beberapa jam langsung turun setelah diberi tirta, hanya karena si bapak tidak bisa menjaga kesucian tempat sembahyangnya, dan.. contoh-contoh lain yang tidak perlu disebutkan, namun perlu ditekankan agar manusia tidak sombong, bahwa manusia tidak punya kemampuan hanya Hyang Widhi yang punya semuanya dan yang menyebabkan keberhasilan dua contoh diatas. Contoh ini hanya mengantarkan kepada pembaca, bahwa ”bukti” juga bisa menjadi alat ukur. Yang sangat penting juga adalah ”kepercayaan” , jika setengah-setengah, apalagi dengan maksud menguji, mungkin tidak akan diperoleh apa-apa. Jadi jika datang kepada seorang perantara/mediator spiritual dimanapun adanya , maka ”Ini adalah dari anda untuk anda”, si mediator yang membantu anda bukan orang sakti tetapi memang tugasnya sebagai media. Satu lagi jangan melihat fisik sang mediator, misalnya jenggot panjang, baju putih, dsb. tetapi coba rasakan pribadi sang mediator karena tingkat kesucian sang mediator dan jodoh akan merupakan syarat kunci keberhasilan tujuan anda.
Baiklah, cukup dulu penulis berceritra menyampailan pendapat pribadi tentang ”Kerauhan”, semoga tidak menimbulkan kesan negatif buat penulis, hal ini semata-mata berbagi pengalaman sebatas pengetahuan sendiri, syukur jika ada yang melengkapi bahkan mengkoreksi jika ini keliru. Kedepan agar kita dapat melihat lebih jernih terhadap ”Kerauhan” itu sendiri.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jateng
01-10-2005.
Kerauhan, kerangsukan, kodal, atau apapun istilahnya merupakan Fenomena di masyarakat yang telah menjadi bagian kehidupan kita. Kerauhan ini juga dikenal di negara-negara lain cuma tidak perlu disampaikan disini. Kerauhan ini bisa dialami oleh setiap orang biasanya yang berada diwilayah kegiatan ini, seperti : Praktisi spiritual, pemangku, dll. Seorang Pemangku atau Jro Gede kadang masih ada yang Kerauhan, bahkan ada Profesi khusus di Bali yang kegiatannya adalah Ngerauhang, umumnya : Ngerauhang Leluhur, atau menanyakan siapa yang nitis pada si bayi dan ditanyakan setalah 42 hari. Bagi seorang Sulinggih merupakan pantangan untuk Kerauhan, tetapi siapa yang bisa menjelaskan kenapa ?. Secara umum ”Konotasi” kita tentang Kerauhan adalah kehadiran Bhuta Kala, tetapi apakah benar ”Kerauhan” itu pasti kedatangan Bhuta Kala tidak ada yang bisa menjawab secara pasti bahkan juga oleh kita yang melemparkan pendapat itu.
Berikut ini penulis mencoba berbagi pendapat sebatas yang diketahu,i harapannya nanti ada yang melengkapi atau menyempurnakannya. Kerauhan ini umumnya bisa dialami oleh 3 kelompok masyarakat, yaitu :
1. Mereka yang mendalami kegiatan spiritual/kebatinan dan umumnya dilengkapi dengan kemampuan pengendalian diri ketika kerauhan.
2. Mereka yang secara keturunan atau fungsinya mengharuskan kerauhan, seperti : Para tukang ”Naret” yang menusuk tubuhnya dengan keris saat upacara tertentu, dll. umumnya mereka tidak sadar dengan dirinya saat melakukan fungsi itu. Tukang Naret biasanya sadar setelah diperciki tirta oleh Pemangku.
3. Mereka yang diluar point 1 dan 2, biasanya orang yang lemah secara mental spiritual sehingga mudah kerauhan dan umumnya tidak sadar akan dirinya saat kerauhan.
Pada kesempatan ini penulis akan coba menjelaskan point 1 karena misteri atau pro-kontra banyak terjadi pada kelompok ini. Pinandita/Pemangku, dan Praktisi Spiritual ada pada kelompok ini, walaupun ada Pemangku yang karena fungsinya masuk pada kelompok 2.
Para praktisi spiritual dan Pinandita umumnya bisa kerauhan. Jika Pinandita menjadi muncul kepekaannya karena kesehariannya menjalankan fungsinya, maka praktisi spiritual umumnya diawali oleh bantuan guru atau orang yang lebih senior. Ada guru yang melakukannya melalui ”transfer energi/Prana” ke pusat energinya, ada juga dengan meditasi dan bantuan sarana upacara seperti : Pejati, ada dengan transfer melalui air, dsb. Disamping bantuan guru/ senior, maka yang paling penting adalah orang tersebut punya bakat spiritual (talenta) ini akan mempercepat proses. Bagi orang yang sudah dan baru pertama di transfer energinya, maka ibarat ”Mobil/Motor” yang sudah lama tidak dihidupkan kemudian baru dihidupkan. Saat ”lamsam” getarannya kasar, itu sebagai perumpamaan terhadap orang yang bergerak kesana-kemari ketika melakukan pemusatan pikiran termasuk jika sudah mampu kerauhan. Kembali ke mobil/motor tadi, maka seiring dengan proses waktu, maka lamsam-nya semakin halus, bahkan lama-lama tidak terlihat lagi getaran. Ini suatu pertanda bahwa pengendalian orang tersebut sudah sangat baik. Pada pembahasan ini kita belum berceritra siapa,energi apa, energi setingkat apa yang masuk, apakah : Bhutakala, Leluhur, orang suci, atau yang lebih tinggi, karena untuk hal ini sangat tergantung pada tingkat kesucian orang tersebut, atau tingkat pengamalan ”Tri Kaya Parisudha”. Kita lanjutkan pada fase lamsam yang sudah halus, maka karena kemampuan orang tersebut dia sudah bisa menyerap/ tidak mengalirkan/tidak memperagakan energi yang masuk saat kerauhan, tapi berkomunikasi didalam batinnya. Jika dialirkan/diperagakan, maka persentase penguasaannya bisa diaturnya, jika dicoba dijelaskan dengan persentase walaupun tidak akurat hanya contoh saja, bisa diperagakan 90%, 70%, atau 50% saja. Itulah sebabnya orang tersebut kadang memanfaatkannya saat Pidato, rapat, atau kegiatan apa yang diperlukan. Kegiatan memanfaatkan ini sudah termasuk pada kategori ”Kanuragan/kawisesan/kesaktian”, sehingga bagi yang mendalami ”Kerohanian” ini akan menghambat proses rohani, karena masih mengandung ”Nafsu” padahal kerohanian mengandung ”kepasrahan”, tapi ya itu kembali kepada bakat dan karma seseorang, pada tingkat atau area mana dia berada, Area ”Kanuragan/kewisesan” atau Area ”Kerohanian”.
Pendapat berikut adalah yang merupakan inti dari tulisan ini, bahwa : Kerauhan siapa ?, bhuta kala atau apa ?. Sebelum dilanjutkan perlu disampaikan disini, bahwa point ini adalah ”keyakinan” dan tidak bisa memaksa atau dipaksakan pada setiap orang, jadi ini sekali lagi pendapat pribadi saja. Tingkat Bakat/talenta dan tingkat kesucian seseorang sangat besar perannya disini. Beberapa orang yang berbeda bisa kerauhan dengan tingkat yang berbeda pada tempat yang sama. Secara kasat mata tingkat kesucian yang rauh bisa dilihat. Umumnya kalau Bhutakala /perancangan biasanya menuntut sesuatu kepada kita, biasanya : segehan, kadang telor, anak ayam, tuak, dll. Gerakan tubuhnya juga biasanya beringas. Jika leluhur biasanya diawali dengan menangis dan selanjutnya berceritra tentang sesuatu. Praktisi spiritual yang sengaja tidak menyerap tapi memperagakan akan berusaha agar bertahan lama dan terjadi komunikasi dengan orang lain (penanya) karena pesan-pesan yang disampaikan akan lebih jelas dibandingkan jika diserap yang biasanya berupa kode/isyarat. Jika tingkat kesucian yang rauh lebih tinggi, biasanya diawali macam-macam : bisa puja mantra (tidak jelas), suara-suara seperti irama Palawkya, dsb. Umumnya kerauhan untuk tingkat ini tidak lama, dalam hitungan dibawah lima menit, bahkan dalam detik tetapi bagi yang mampu pengendaliannya bisa lama berkomunikasi. Bisa juga getaran ini turun ketika sedang berbicara, sedang melakukan puja mantra sehingga suara puja mantra berubah, dsb. Sekarang pertanyaannya mungkinkah getaran ”Dewa” seperti misalkan ”Dewa Wisnu” rauh ke seseorang ?. Menurut penulis sangat mungkin. Seperti disebutkan dalam kitab suci Dewa berasal dari kata ”Dev” yang berarti sinar, jadi ini adalah Hyang Widhi tetapi dalam wujud, sedangkan pada manusia ada Atma yang sama dengan Paramaatma, jadi pada tingkat kesucian seseorang yang baik, sangat mungkin sinar Hyang Widhi menyatu pada orang tersebut. Kembali disampaikan, bahwa hal ini tidak bisa dipaksakan untuk orang percaya, jadi terserah pembaca saja.
Sesungguhnya manusia itu tidak ada apa-apanya hanya Hyang Widhi yang kuasa dan punya kemampuan, namun manusia bisa menjadi ”Perantara” baik pada tingkat Bhutakala, leluhur, orang suci, tingkat Bhatara, serta tingkat Dewa, itu semuanya kekuasaan Hyang Widhi. Sebagai pembuktian bisa juga dilihat dari penjelasan atau petunjuk yang diberikan, apakah benar seperti yang disampaikan. Maaf... ada pengalaman orang yang pola berpikirnya logis dan sangat ilmiah yang tidak percaya sama yang namanya kerauhan, suatu saat mempercayakan dirinya pada orang yang dianggap mampu untuk bertanya tentang leluhurnya. Mungkin karena ”Percaya” tadi, praktisi spiritual yang tidak tahu apa-apa menjadi bisa menunjukkan Mrajan Agung leluhur sipenanya dan minta agar sipenanya tangkil kesana, permintaan itu dituruti dan ketika Pemangku Mrajan membuka pintu tempat Pratima leluhurnya, sang kawan (penanya) ini langsung kerauhan padahal sebelumnya tidak pernah bahkan tidak percaya. Menurut Pemangku ini kerauhan Bhatara Kawitan. Setelah itu si kawan ini 3 hari tidak bangun dari tempat tidurnya, dan sekarang menjadi orang yang sangat taat tangkil ke Pura Kawitan. Contoh lain anak teman yang sudah dibawa kedokter panasnya tidak turun-turun dan dikatakan tipes, dalam hitungan beberapa jam langsung turun setelah diberi tirta, hanya karena si bapak tidak bisa menjaga kesucian tempat sembahyangnya, dan.. contoh-contoh lain yang tidak perlu disebutkan, namun perlu ditekankan agar manusia tidak sombong, bahwa manusia tidak punya kemampuan hanya Hyang Widhi yang punya semuanya dan yang menyebabkan keberhasilan dua contoh diatas. Contoh ini hanya mengantarkan kepada pembaca, bahwa ”bukti” juga bisa menjadi alat ukur. Yang sangat penting juga adalah ”kepercayaan” , jika setengah-setengah, apalagi dengan maksud menguji, mungkin tidak akan diperoleh apa-apa. Jadi jika datang kepada seorang perantara/mediator spiritual dimanapun adanya , maka ”Ini adalah dari anda untuk anda”, si mediator yang membantu anda bukan orang sakti tetapi memang tugasnya sebagai media. Satu lagi jangan melihat fisik sang mediator, misalnya jenggot panjang, baju putih, dsb. tetapi coba rasakan pribadi sang mediator karena tingkat kesucian sang mediator dan jodoh akan merupakan syarat kunci keberhasilan tujuan anda.
Baiklah, cukup dulu penulis berceritra menyampailan pendapat pribadi tentang ”Kerauhan”, semoga tidak menimbulkan kesan negatif buat penulis, hal ini semata-mata berbagi pengalaman sebatas pengetahuan sendiri, syukur jika ada yang melengkapi bahkan mengkoreksi jika ini keliru. Kedepan agar kita dapat melihat lebih jernih terhadap ”Kerauhan” itu sendiri.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jateng
01-10-2005.
PEM-BOM ITU TIDAK MENGENAL AJARAN TAT TWAM ASI
Belum lama ini kita dikejutkan oleh terjadinya Bom dikawasan wisata jimbaran-Kuta yang kemudian dikenal dengan istiah BOM Bali II. Kejadian yang kedua di Bali ini disamping kejadian lainnya diluar Bali kembali menimbulkan banyak pertanyaan bagi kita, kenapa orang begitu mudah dan tega melakukan tindakan membunuh orang lain, bahkan untuk kasus ini disinyalir juga tindakan bunuh diri. Tidakkah mereka menyadari, bahwa tidak ada pembenaran atas pembunuhan orang lain seperti itu dengan dalih apapun. Jika menyimak apa yang dilakukan, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa mereka itu tidak mengenal ajaran ”Tat Twam Asi”. Jika mereka mengenal ajaran ini, maka tidak mungkin mereka tega menyakiti orang lain apalagi melakukan tindakan pembunuhan, karena Tat Twam Asi mengajarkan kepada kita, bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan itu sama dan harus saling mengasihi. Ajaran ini akan menimbulkan usaha-usaha untuk terjadinya keselarasan terhadap tiga hal yang dalam agama Hindu disebut dengan ”Tri Hita Karana”, yaitu : Keselarasan antara Manusia dengan Sang Pencipta, keselarasan antara manusia dengan manusia, dan keselarasan antara manusia dengan alam (binatang & tumbuhan).
Atas kasus seperti ini yang sudah dicap sebagai terorisme, ada berbagai pendapat yang muncul dimasyarakat, salah satunya mengatakan ini sentimen agama. Saya katakan tidak, ini bukan sentimen agama dalam pengertian agama satu sentimen pada agama yang lain. Ini adalah tindakan orang yang salah mengartikan ajaran agama, kenapa begitu ?. Saya pernah berdiskusi dengan teman Muslim, dan terungkap, bahwa diajaran agamanya juga mengenal serupa Tri Hita Karana diatas, jadi ada bentuk penghargaan juga kepada orang lain sebagai mahluk yang sama ciptaan Tuhan Teman-teman dari Kristiani juga tidak akan melakukan itu karena Nabinya (Yesus) justru berkurban karena kasih sayangnya pada umat manusia, juga umat Bhudda tidak akan melakukan itu. Jadi tidak ada agama apapun yang membenarkan tindakan Pemboman seperti itu. Jadi tepatnya ini adalah tindakan para pengikut Bhutakala. Menghadapi hal ini banyak kita lihat fenomena masyarakat, ada yang tenang dan berdoa kepada Hyang Widhi, ada yang berdemo menuntut otak pelaku segera diketemukan dan diganjar hukuman setimpal, Raditya juga menyediakan websitenya menjadi wacana solidaritas berupa ajakan berdana punia dan berbagi pendapat, dan banyak usaha-usaha lainnya Secara umum orang Bali menghadapinya dengan tenang tidak terpancing emosinya, walaupun bukan berarti berpangku tangan atau dalam bahasa umumnya ”cuek saja”. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi situasi ini, yang paling penting adalah semakin meningkatkan ”bhakti” pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Saya hanya berharap hal ini bukan diartikan sebagai sentimen agama. Banyak umat Muslim di Bali yang sudah beranak pinak sejak dahulu dan pasti ikut prihatin atas kejadian ini, contoh saja bekas guru dan Kepala Sekolah saya di SMEPN Singaraja namanya Bapak Anwar,BA. Saya mengenal beliau adalah orang yang sangat baik. Yang selalu ada dalam pikirannya adalah bagaimana agar orang bisa bersekolah tidak terbentur masalah biaya (SPP. Dll) karena beliau pernah mengalami hal ini waktu bersekolah dulu. Didalam tindakan beliau ini tidak pernah membedakan agama apa orang yang dibantunya. Banyak lagi contoh-contoh seperti ini yang sayang sekali kalau kita kaitkan Pem-Boman ini dengan masalah sentimen Agama. Kita juga tentu pernah merasakan kerukunan dengan umat beragama lainnya baik dari Kristiani, dan Bhuda, sehingga kita harus bijaksana dan pikiran jernih memilah-nilah kasus ini. Yang perlu kita cermati adalah ”Personnya” ini adalah masalah person-person atau kelompok yang memang tidak mengenal arti nikmatnya keselarasan hubungan antar manusia, ini yang perlu diwaspadai. Jika ada oknum yang memang sengaja agar terjadi perselisihan agama di Bali juga di Indonesia, maka ini yang diwaspadai. Jika ada umat yang menyebarkan agama kepada umat yang sudah beragama Hindu dengan iming-iming materi, maka ini yang harus kita tentang, tapi kita jangan salahkan Agamanya, karena masih banyak umat yang benar mengamalkan ajaran agamanya dan mereka mengenal Tat Twam Asi..
Bagi kita mungkin ini adalah pelajaran berharga yang perlu diambil segi positifnya. Sejalan dengan Slogan ”Ajeg Bali” yang lebih dikuatkan menjadi ”Ajeg Hindu”, maka sudah waktunya kita kembali kepada ajaran Hindu yang benar, mungkin kita mulai memikirkan sektor selain Pariwisata misalnya pertanian, mungkin kita perlu lebih hati-hati menjual tanah/rumah atau menerima tamu kost orang luar bali, mungkin kita mulai lebih mengefektifkan ”Pecalang” yang biasanya muncul pada Nyepi tapi sekarang lebih difungsikan yang bisa membuka lapangan kerja baru bagi penduduk Bali, mungkin kita perlu lebih mempererat ikatan Soroh dan jangan merasa lebih tinggi karena kita sesama orang Bali dan dulunya juga bersaudara, dan banyak hal positif yang bisa dilakukan jika kita bisa mengambil manfaat dari setiap kejadian. Juga bagi orang Bali yang ada di perantauan , sudah saatnya juga mulai merapatkan barisan sebagai sesama saudara yang merantau, walaupun bukan berarti kita menjadi fanatisme suku karena ada suku yang lebih besar lagi, yaitu : Bangsa Indonesia.
Terakhir, saya jadi teringat dengan kisah-kisah Mpu Kuturan pada abad XI, begitu ahlinya beliau mempersatukan sekte-sekte Hindu yang bertentangan sehingga pulau Bali waktu itu menjadi aman sejahtra, begitu strategis pemikiran beliau sebagai ”Arsitek Desa Pekraman”, sehingga mampu membuat Bali tidak bisa dimasuki oleh penyebaran agama lain yang sudah menguasai Majapahit, tapi dijaman globalisasi ini ternyata ada pekerjaan rumah buat kita untuk bersama meimikirkan suatu strategi yang tepat agar Bali kembali aman dan damai seperti jaman Mpu Kuturan, karena jika Bali aman sehingga Wisatawan semakin banyak yang berkunjung ke Bali berati juga sesuatu yang baik bagi Indonesia melalui sumbangan dari sektor Pariwisata. Selamat berbenah Bali, bangunlah dari tidurmu dan bukalah pandangannmu sampai jauh melintasi pulau-pulau lainnya di Indonesia dan kepelosok dunia.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-10-2005.
Belum lama ini kita dikejutkan oleh terjadinya Bom dikawasan wisata jimbaran-Kuta yang kemudian dikenal dengan istiah BOM Bali II. Kejadian yang kedua di Bali ini disamping kejadian lainnya diluar Bali kembali menimbulkan banyak pertanyaan bagi kita, kenapa orang begitu mudah dan tega melakukan tindakan membunuh orang lain, bahkan untuk kasus ini disinyalir juga tindakan bunuh diri. Tidakkah mereka menyadari, bahwa tidak ada pembenaran atas pembunuhan orang lain seperti itu dengan dalih apapun. Jika menyimak apa yang dilakukan, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa mereka itu tidak mengenal ajaran ”Tat Twam Asi”. Jika mereka mengenal ajaran ini, maka tidak mungkin mereka tega menyakiti orang lain apalagi melakukan tindakan pembunuhan, karena Tat Twam Asi mengajarkan kepada kita, bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan itu sama dan harus saling mengasihi. Ajaran ini akan menimbulkan usaha-usaha untuk terjadinya keselarasan terhadap tiga hal yang dalam agama Hindu disebut dengan ”Tri Hita Karana”, yaitu : Keselarasan antara Manusia dengan Sang Pencipta, keselarasan antara manusia dengan manusia, dan keselarasan antara manusia dengan alam (binatang & tumbuhan).
Atas kasus seperti ini yang sudah dicap sebagai terorisme, ada berbagai pendapat yang muncul dimasyarakat, salah satunya mengatakan ini sentimen agama. Saya katakan tidak, ini bukan sentimen agama dalam pengertian agama satu sentimen pada agama yang lain. Ini adalah tindakan orang yang salah mengartikan ajaran agama, kenapa begitu ?. Saya pernah berdiskusi dengan teman Muslim, dan terungkap, bahwa diajaran agamanya juga mengenal serupa Tri Hita Karana diatas, jadi ada bentuk penghargaan juga kepada orang lain sebagai mahluk yang sama ciptaan Tuhan Teman-teman dari Kristiani juga tidak akan melakukan itu karena Nabinya (Yesus) justru berkurban karena kasih sayangnya pada umat manusia, juga umat Bhudda tidak akan melakukan itu. Jadi tidak ada agama apapun yang membenarkan tindakan Pemboman seperti itu. Jadi tepatnya ini adalah tindakan para pengikut Bhutakala. Menghadapi hal ini banyak kita lihat fenomena masyarakat, ada yang tenang dan berdoa kepada Hyang Widhi, ada yang berdemo menuntut otak pelaku segera diketemukan dan diganjar hukuman setimpal, Raditya juga menyediakan websitenya menjadi wacana solidaritas berupa ajakan berdana punia dan berbagi pendapat, dan banyak usaha-usaha lainnya Secara umum orang Bali menghadapinya dengan tenang tidak terpancing emosinya, walaupun bukan berarti berpangku tangan atau dalam bahasa umumnya ”cuek saja”. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi situasi ini, yang paling penting adalah semakin meningkatkan ”bhakti” pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Saya hanya berharap hal ini bukan diartikan sebagai sentimen agama. Banyak umat Muslim di Bali yang sudah beranak pinak sejak dahulu dan pasti ikut prihatin atas kejadian ini, contoh saja bekas guru dan Kepala Sekolah saya di SMEPN Singaraja namanya Bapak Anwar,BA. Saya mengenal beliau adalah orang yang sangat baik. Yang selalu ada dalam pikirannya adalah bagaimana agar orang bisa bersekolah tidak terbentur masalah biaya (SPP. Dll) karena beliau pernah mengalami hal ini waktu bersekolah dulu. Didalam tindakan beliau ini tidak pernah membedakan agama apa orang yang dibantunya. Banyak lagi contoh-contoh seperti ini yang sayang sekali kalau kita kaitkan Pem-Boman ini dengan masalah sentimen Agama. Kita juga tentu pernah merasakan kerukunan dengan umat beragama lainnya baik dari Kristiani, dan Bhuda, sehingga kita harus bijaksana dan pikiran jernih memilah-nilah kasus ini. Yang perlu kita cermati adalah ”Personnya” ini adalah masalah person-person atau kelompok yang memang tidak mengenal arti nikmatnya keselarasan hubungan antar manusia, ini yang perlu diwaspadai. Jika ada oknum yang memang sengaja agar terjadi perselisihan agama di Bali juga di Indonesia, maka ini yang diwaspadai. Jika ada umat yang menyebarkan agama kepada umat yang sudah beragama Hindu dengan iming-iming materi, maka ini yang harus kita tentang, tapi kita jangan salahkan Agamanya, karena masih banyak umat yang benar mengamalkan ajaran agamanya dan mereka mengenal Tat Twam Asi..
Bagi kita mungkin ini adalah pelajaran berharga yang perlu diambil segi positifnya. Sejalan dengan Slogan ”Ajeg Bali” yang lebih dikuatkan menjadi ”Ajeg Hindu”, maka sudah waktunya kita kembali kepada ajaran Hindu yang benar, mungkin kita mulai memikirkan sektor selain Pariwisata misalnya pertanian, mungkin kita perlu lebih hati-hati menjual tanah/rumah atau menerima tamu kost orang luar bali, mungkin kita mulai lebih mengefektifkan ”Pecalang” yang biasanya muncul pada Nyepi tapi sekarang lebih difungsikan yang bisa membuka lapangan kerja baru bagi penduduk Bali, mungkin kita perlu lebih mempererat ikatan Soroh dan jangan merasa lebih tinggi karena kita sesama orang Bali dan dulunya juga bersaudara, dan banyak hal positif yang bisa dilakukan jika kita bisa mengambil manfaat dari setiap kejadian. Juga bagi orang Bali yang ada di perantauan , sudah saatnya juga mulai merapatkan barisan sebagai sesama saudara yang merantau, walaupun bukan berarti kita menjadi fanatisme suku karena ada suku yang lebih besar lagi, yaitu : Bangsa Indonesia.
Terakhir, saya jadi teringat dengan kisah-kisah Mpu Kuturan pada abad XI, begitu ahlinya beliau mempersatukan sekte-sekte Hindu yang bertentangan sehingga pulau Bali waktu itu menjadi aman sejahtra, begitu strategis pemikiran beliau sebagai ”Arsitek Desa Pekraman”, sehingga mampu membuat Bali tidak bisa dimasuki oleh penyebaran agama lain yang sudah menguasai Majapahit, tapi dijaman globalisasi ini ternyata ada pekerjaan rumah buat kita untuk bersama meimikirkan suatu strategi yang tepat agar Bali kembali aman dan damai seperti jaman Mpu Kuturan, karena jika Bali aman sehingga Wisatawan semakin banyak yang berkunjung ke Bali berati juga sesuatu yang baik bagi Indonesia melalui sumbangan dari sektor Pariwisata. Selamat berbenah Bali, bangunlah dari tidurmu dan bukalah pandangannmu sampai jauh melintasi pulau-pulau lainnya di Indonesia dan kepelosok dunia.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-10-2005.
Langganan:
Postingan (Atom)