Tradisi
Bali yang Adiluhung, menjadi modal dasar perkembangan kehidupan umat di Bali
sehingga mendapat perhatian kita semua termasuk dari lembaga seperti PHDI. Tradisi
Bali ini tertuang dalam bentuk karya seni (tari, ukir, pahat), sastra (rontal),
juga dalam bentuk langsung berujud etika yang diajarkan oleh orang tua kepada
anaknya. Tradisi ini berkembang mengikuti jaman mulai dari jaman bali kuno,
jaman Wangsa Warmadewa seperti Udayana menguasai Bali (sekitar tahun 1.000), jaman
Majapahit menguasai Bali dengan menempatkan Dalem sebagai Adipati sekitar tahun
1350, kemandirian Bali sekitar tahun 1.500 karena Majapahit beralih kepercayaan
rajanya ke Islam sehingga Bali terbentuk kerajaan kecil di Sembilan tempat (8
kabupaten plus Mengwi), masuknya penjajah abad XVI dengan Kastanya, dan jaman
kemerdekaan 1945 dimana Bali dengan Desa Pakramannya mempertahankan tradisi
leluhur, namun pengaruh penjajahan terakhir dengan Kastanya tetap terbawa.
Untuk hal itu Lembaga umat yang disebut PHDI mengeluarkan Bhisama dengan
melarang untuk dilaksanakan tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu Tat
Twam Asi, seperti tradisi kesekepang, juga dalam perkawinan seperti :
Anglangkahi karang hulu, asu pundung, dan patiwangi, namun entah karena
sosialisasi PHDI yang belum baik atau karena masyarakat yang masih ingin menjalankannya, kasus
Patiwangi ini masih terjadi di tahun 2014 ini.
Seorang
teman bertanya pada penulis terkait anak lelakinya yang mengawini anak
perempuan yang disebut ber-Kasta, walaupun kasta ini salah kaprah yang perlu
diluruskan. Menurut teman ini ada dua upacara yang dilakukan di keluarga
perempuan yaitu : “Mepamit dan yang kedua istilah teman itu turun Kasta (cq.
Patiwangi)”, apakah ini sesuai dengan ajaran Hindu, demikian pertanyaan teman
itu. Saya menjawab : Acara mepamit sesuai ajaran Hindu karena dalam ajaran Weda
ada disebut ketika seorang anak perempuan menikah, maka orang tua si lelaki
akan menjadi orang tua si perempuan, maka di Bali diterjemahkan dengan Mepamit,
kemudian upacara Patiwangi (turun kasta) itu tidak ada dasar tattwanya, malah
kalau Hyang Widhi bisa kita dengar mungkin Beliau akan berkata “Hanya AKU yang
berhak menilai seseorang itu derajatnya tinggi atau rendah”. Disamping itu
orang tua seharusnya mendoakan anak perempuannya yang akan menikah bukan malah
menurunkan derajatnya (turun kasta). Karena penasaran dan juga dilandasi
pemikiran positif, bahwa warisan budaya leluhur tentu niatnya untuk kebaikan,
mungkin kita yang mencemari dengan faham feodal (Kasta) atau kita salah
menerapkannya, untuk itu penulis mencari info keteman yang sekali lagi disebut
ber-kasta, dan jawaban teman ini sangat benar dan masuk akal. Kata beliau, ini
bukan upacara turun kasta, namun “Upacara beralih Wangsa” tidak ubahnya seperti
berganti baju. Jawaban teman ini kemudian membuka wawasan lebih luas bahwa
“Pemurnian Wangsa” sangat menjadi konsen dari Umat Hindu di Bali.
Selain
membahas Pemurnian Wangsa, maka perlu disampaikan bahwa ada 3 hal yang
dicampur-adukkan di Bali, yaitu : WARNA, WANGSA, KASTA. “Warna” adalah ajaran
Weda yang berkenaan dengan profesi seseorang berdasarkan Guna (bakat) dan Karma
(perbuatannya/karmanya), bisa menjadi Brahmana, Ksatrya, Wesya, Sudra, “bukan
karena keturunan”. Kemudian “Wangsa”
adalah ikatan Pasemetonan/persaudaraan dalam satu trah/clan/wit, yang tujuannya
mengikat tali persaudaraan sepurusa/garis lelaki. “Kasta” adalah produk
penjajah abad XVI yang menjungkir balikkan Warna dan Wangsa menyimpang dari
makna sesungguhnya karena dibentuk atas-bawah, tinggi-rendah. Yang masih
menjadi problem di Bali adalah system Kasta ini yang justru masih ada di
masyarakat walau sudah menurun dengan drastis tetapi masih ada, seperti upacara
Patiwangi itu, dll. Terkait dengan
Wangsa, menurut penelitiaan Prof Pitana ada lebih dari 21 organisasi
Soroh/Clan/Wangsa yang sudah terbentuk sejak tahun 1960 dan itu akan berkembang
terus. Dengan demikian saat ini Wangsa menjadi hal penting bagi masyarakat
Hindu di Bali yang tujuan utamanya untuk meningkatkan bhakti kehadapan Bhatara
Kawitan yang
selanjutnya ingin “memurnikan” wangsa tersebut lewat acara
Patiwangi. Jika Patiwangi adalah turun kasta, maka itu adalah kesalahan dan
jangan diteruskan, namun jika Patiwangi adalah Pemurnian Wangsa, maka Wangsa
lainnya seperti Pasek, Pande, dan lainnya yang karena kesalahan-fahaman Kasta
disebut Sudra dapat juga melakukan acara Patiwangi bukankah sama situasinya,
atau jika kita tidak memerlukan acara itu maka tidak perlu dilakukan apalagi
acara itu bukan dasarnya Weda namun hanya dresta terkait Wangsa, agar kita
kembali kepada Yadnya yang benar yaitu Panca Yadnya dimana perkawinan adalah
bagian dari Manusa Yadnya. Ikatan Wangsa dewasa ini dicurigai sebagai bentuk
peng-kotak kotakan masyarakat bali sehingga menjadi tidak bersatu, apalagi
ditambah mindset yang keliru bahwa yang satu lebih tinggi dari yang lain itu
harus dirubah mulai sekarang agar generasi penerus mewarisi sesuatu yang baik.
Leluhur sudah mengajarkan kekuatan Wangsa ini di Bali seperti di Pura besakaih
yang dilambangkan sebagai Padma Asta Dala (teratai berdaun delapan), kelopak
kelopak teratai sebenarnya mencerminkan Wangsa di Bali sehingga pertama yang
kita jumpai kalau kita ke Pura Besakih adalah banyaknya Kahyangan pemujaan
kawitan (Atma pratista), ini berarti leluhur sudah menyadari bahwa Wangsa ini
merupakan asset yang perlu dipertahankan dan diwariskan secara turun temurun,
untuk itu dasar kebenaran sebagai intisari Wangsa harus dikembalikan kepada
aslinya yaitu bhakti, karena bhakti pada Leluhur adalah paramo dharmah (dharma
yang utama). Jangan ikatan Wangsa menjadikan kita terkotak, meninggi dari yang
lain, apalagi ada kecendrungan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, maka
sinyalemen bahwa Wangsa hanya akan memecah orang Bali bisa menjadi kenyataan.
Akhir
kata apapun itu maka “Pemurnian Wangsa”
ini seperti mengembalikan kejaman leluhur kita dulu, semoga ini semakin
meningkatkan Bhakti pada Bhatara Kawitan masing masing yang dapat memberi
kebahagiaan kepada Prati sentana dan pada akhirnya ,memberi kebahagiaan pada
masyarakat, karena kebahagiaan pada masyarakat dimulai dari kebahagiaan pada
keluarga. Rahajeng
Penulis,
JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja 13-11-2014