Pada buda keliwon Sinta atau setiap
210 hari, umat Hindu di Bali khususnya daerah Bali utara merayakan salah satu
hari raya yang penting yaitu Pagerwesi. Hari
raya ini secara umum difahami sebagai persembahan kepada Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Paramesti Guru, hal ini sesuai dengan yang
tertulis dalam Lontar Sundarigama, menjelaskan bahwa Pagerwesi sebagai hari
pemujaan kepada Sanghyang Paramesti Guru yaitu Hyang Widhi yang diwujudkan
dalam bentuk guru. Makna Pagerwesi ini diwujudkan dalam bentuk perayaan yang
menguatkan ikatan kasih sayang antara putra (Anak/sentana) dengan Guru Rupaka,
juga orang tua lainnya seperti paman,dan bibi, dibeberapa keluarga
menerapkannya dalam wujud Sungkem (Pada Samskara) kepada orang tua, kebiasaan
sungkem ini perlu dibudayakan karena ini adalah ajaran Hindu yang sudah jarang
dipraktekkan yang perlu dikembalikan sebagai bagian dari prilaku kehidupan beragama
Hindu. Upacara Pagerwesi ini rupanya tidak hanya dilaksanakan di Indonesia saja
namun juga di Jambu dwipa atau ditanah Bharata yaitu India sebagai sumber
ajaran Hindu tempat diterima Wahyu lewat Sapta Maha Resi. Pagerwesi di India
disebut dengan Raksa Bandha dengan tujuan yang sama yaitu mengikat atau
menguatkan tali kasih antara Sentana dengan orang tua (ayah, ibu, paman, bibi,
dll), ikatan kasih sayang ini lebih luas antara suami dengan istri, anak dengan
bibi/paman, dan sebagainya sehingga Pagerwesi ini ibaratkan Valentine Day atau
hari kasih sayang yang sekarang ini menjadi trend khususnya anak muda, jadi
Hindu sudah punya Pagerwesi sebagai hari raya untuk menguatkan ikatan kasih
sayang.
Hubungan antara India dengan
Indonesia khususnya Bali sebenarnya sangat kuat sehingga hampir semua hari raya
yang ada di Indonesia, seperti Galungan-Kuningan, sampai Tumpek juga di India
ada, namun karena perbedaan tradisi budaya serta letak geografis, maka secara
Makna sama namun secara budaya dan waktu berbeda, dimana kita menganut tiga Pangalantaka :
Surya Premana (Solar System), Candra Pramana (Lunar System), dan Sasih
(Climate/Dawuh). Di Indonesia kebanyakan memakai Sasih/Dawuh/Pawukon, sementara
di India : Surya Pramana dan Candra Pramana. Dengan demikian kita agar
bijaksana menyikapi hal ini bahwa tradisi yang kita anut berbeda dan jangan hal
itu menjadi sebuah pertentangan namun fokuskan pada Tattwa atau ajarannya maka
kita akan merasa sama sebagai umat Hindu walau dengan tradisi yang berbeda.
Kembali kepada Pagerwesi, bahwa jika disimak lebih dalam, ada hubungan yang
erat antara setiap upacara yang dilakukan di Bali, seperti Hari raya Pagerwesi
ada kaitannya dengan hari raya Saraswati dan Soma ribek/ Sabuh Mas/ sabuh pipis.
Ketiga perayaan ini merupakan kebutuhan manusia sehingga perwujudan Dewa Dewi
dalam ketiga perayaan ini menjadi satu kesatuan (unity) atau disebut juga
Trinitas seperti halnya Trinitas lainnya yaitu Brahma-Wisnu-Siwa. Berikut mari
kita simak dari sisi Makna setiap upacara tersebut dalam kaitannya dengan
kehidupan karena hubungan antara Hyang Widhi dengan Bhakta yaitu kita umat
Hindu sangatlah erat, karena Atman dalam diri kita adalah bagian dari Brahman
itulah sebabnya diajarkan kepada kita untuk melakukan Upacara dimana Upa
artinya dekat, dan Cara/Caru artinya Manis/harmonis, sehingga Upacara adalah suatu
cara membina keharmonisan sesuai ajaran Tri Hita Karana antara manusia dengan
Hyang Widhi dan alam (termasuk bhuta). Sementara alat yang kita pergunakan
untuk melaksanakan upacara disebut Upakara (Bebantenan) dimana Upa berarti
dekat dan Kara berarti tangan, yang makna umumnya Upakara merupakan perwujudan
bhakti minimal dengan “Nyakupang tangan” dan bentuk hasil usaha manusia dengan
tangannya berwujud hasil karya banten dengan ukirannya, bentuk bhakti berupa
buah dan hasil bumi lainnya termasuk kemampuan seni dengan menari yang
dipersebahkan yang juga bermakna persembahan bhakti. Upacara-upacara pemujaan
kepada Dewa-Dewi ini perlu difahami maknanya bukan hanya menjalankan saja (mule
keto) agar setiap pelaksanaan upacara menjadi dijiwai dengan dalam, mantap dan
tidak tergerus oleh jaman atau berubah wujud dan makna menjadi tidak sesuai
dengan sejatinya. Kembali kepada hubungan antara Saraswati – Pagerwesi – Soma
ribek/sabuh Mas, ketiganya merupakan kebutuhan manusia yang hakiki, yaitu :
Hari
Raya SARASWATI, yang dilaksanakan pada setiap Saniscara Umanis Watugunung atau
setiap 210 hari sekali (6 bulan) tujuannya memuja Dewi Saraswati sebagi sumber
ilmu pengetahuan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, karena Weda menyebutkan
tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia ibarat orang buta yang berjalan dalam
kegelapan tidak tahu kemana arah tujuannya. Hari raya Saraswati di Bali
diwujudkan dengan melakukan persembahan lewat buku/ilmu pengetahuan dan menjadi
kebiasaan yang salah diartikan bahwa hari itu tidak boleh membaca justru hari
itu perlu menyadari sumber ilmu pengetahuan itu dari Hyang Widhi, maka dimaknai
agar hari itu kita focus memuja Dewi Saraswati dengan merenung/memuja dan
belajar kerohanian sehingga memperoleh Ilmu pengetahuan yang keesokan harinya
diwujudkan dalam Banyu Pinaruh (Banyu Pini-Weruh) atau air ilmu pengetahuan. Di
Mrajan Dewi Saraswati dilinggihkan dan disebut sebagai Taksu, maka ada Taksu
Dalang, Taksu Pemangku, Taksu Pragine, yang mana makna Taksu tersebut adalah
Pengetahuan karena pengetahuan menyebabkan manusia me-taksu.
Hari
raya PAGERWESI, yang jatuh pada Buda Keliwon Sinta atau setiap 210 hari sekali
adalah hari kasih sayang antara Sentana dengan Guru Rupaka atau pemujaan Hyang
Widhi dalam wujudnya sebagai Sanghyang Paramesti Guru. Pagerwesi juga bermakna
Pagar atau pelindung dan Wesi berarti Besi, sehingga pagar pelindung yang
paling utama adalah moral atau rohani yang baik, itulah sebabnya Pagerwesi
adalah pemujaan kepada Dewa Ganesa yang merupakan Dewa penembus segala halangan
dan juga simbul Spirituatas (rohani/moral yang baik). Manusia boleh saja
memiliki Ilmu pengetahuan namun perlu juga memiliki rohani/spiritualitas yang
baik agar ilmu pengetahuan bisa dipergunakan kejalan yang benar, jangan sampai
ilmu pengetahuan disalah gunakan sehingga korupsi besar justru dilakukan
kebanyakan oleh orang yang pintar, sementara orang bodoh tidak akan sampai
ketataran itu. Jadi rohani yang baik merupakan kebutuhan manusia untuk
memurnikan ilmu pengetahuan. Secara simbolis Dewa Ganesa memegang Lontar pengetahuan
suci dan Dewa Ganesa sebagai pembersih/penglukat sehingga Caru yang tinggi
adalah “Caru Rsi Ghana”. Sekarang ini salah kaprah dimasyarakat dimana Dewa
Ganesa disamakan dengan Penjaga atau Penunggun Karang sehingga dapat dilihat
ditembok atau diluar rumah dilinggihkan, seharusnya linggihkan di Mrajan atau
setelah pintu masuk karena ketika ada orang yang hadir/mampir disucikan oleh
Dewa Ganesa, walaupun sebenarnya sudah ada Pelinggih Lebuh didekat pintu masuk
sebagai pemujaan Dewa Baruna. Ciri pelinggih umat Hindu di Indonesia (khususnya
Bali) adalah berwujud “Stana/Linggih” Dewa-Dewi, sementara India berwujud
Personifikasi, sehingga Simbul Dewa Ganesa adalah adopsi dari India yang
sekarang sedang marak karena pola pikir masyarakat Bali secara umum yang selalu
khawatir (khawatir di leak tetangga, khawatir di kantor, dll) maka setiap
pemujaan diarahkan untuk menjaga, sehingga Dewa Ganesa diartiakan sama dengan
Penunggun Karang, padahal Rohani yang baiklah yang akan menyelamatkan atau
menjaga kita.
SABUH
MAS / Sabuh Pipis atau soma ribek dilaksanakan pada setiap 210 hari sekali
sebagai bentuk pemujaan kepada Dewi Sri (Sri Sedana) yaitu Dewi kemakmuran. Manusia
boleh saja memiliki Pengetahuan dan juga spiritualitas, namun jika tidak
memiliki kemakmuran artinya tidak memiliki Artha yang dalam Weda disebut alat
untuk mencapai tujuan, maka Pengetahuan dan Spiritualitas tersebut tidak
sempurna. Dalam bahasa awam kalau kita tidak ada dana bagaimana bisa mengejar
pengetahuan dan bagaimana spiritualitas bisa stabil kalau keuangan tidak
mencukupi untuk menata kehidupan, sehingga kemakmuran merupakan salah satu
kebutuhan pokok umat Hindu. Dewi Sri/Dewi Laksmi, di Bali disebut Dewa Ayu
Melanting yang dipuja di Pelinggih Gedong Sari/ Sri Sedana atau bagi pedagang
menyebut Bhatara Rambut Sedana. Di Mrajan dilinggihkan berderet dengan
Pelinggih Taksu.
Dengan
demikian bisa disimpulkan, bawa manusia membutuhkan : SARASWATI (Ilmu
Pengetahuan), GANESA (Spiritualitas/Pagerwesi) dan SRI MAHA LAKSMI (Kemakmuran/Sabuh
Mas)
Penulis,
JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja 13-10-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)