Kamis, November 13, 2014

"PATIWANGI" adalah Pemurnian Wangsa


Tradisi Bali yang Adiluhung, menjadi modal dasar perkembangan kehidupan umat di Bali sehingga mendapat perhatian kita semua termasuk dari lembaga seperti PHDI. Tradisi Bali ini tertuang dalam bentuk karya seni (tari, ukir, pahat), sastra (rontal), juga dalam bentuk langsung berujud etika yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Tradisi ini berkembang mengikuti jaman mulai dari jaman bali kuno, jaman Wangsa Warmadewa seperti Udayana menguasai Bali (sekitar tahun 1.000), jaman Majapahit menguasai Bali dengan menempatkan Dalem sebagai Adipati sekitar tahun 1350, kemandirian Bali sekitar tahun 1.500 karena Majapahit beralih kepercayaan rajanya ke Islam sehingga Bali terbentuk kerajaan kecil di Sembilan tempat (8 kabupaten plus Mengwi), masuknya penjajah abad XVI dengan Kastanya, dan jaman kemerdekaan 1945 dimana Bali dengan Desa Pakramannya mempertahankan tradisi leluhur, namun pengaruh penjajahan terakhir dengan Kastanya tetap terbawa. Untuk hal itu Lembaga umat yang disebut PHDI mengeluarkan Bhisama dengan melarang untuk dilaksanakan tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu Tat Twam Asi, seperti tradisi kesekepang, juga dalam perkawinan seperti : Anglangkahi karang hulu, asu pundung, dan patiwangi, namun entah karena sosialisasi PHDI yang belum baik atau karena  masyarakat yang masih ingin menjalankannya, kasus Patiwangi ini masih terjadi di tahun 2014 ini.

Seorang teman bertanya pada penulis terkait anak lelakinya yang mengawini anak perempuan yang disebut ber-Kasta, walaupun kasta ini salah kaprah yang perlu diluruskan. Menurut teman ini ada dua upacara yang dilakukan di keluarga perempuan yaitu : “Mepamit dan yang kedua istilah teman itu turun Kasta (cq. Patiwangi)”, apakah ini sesuai dengan ajaran Hindu, demikian pertanyaan teman itu. Saya menjawab : Acara mepamit sesuai ajaran Hindu karena dalam ajaran Weda ada disebut ketika seorang anak perempuan menikah, maka orang tua si lelaki akan menjadi orang tua si perempuan, maka di Bali diterjemahkan dengan Mepamit, kemudian upacara Patiwangi (turun kasta) itu tidak ada dasar tattwanya, malah kalau Hyang Widhi bisa kita dengar mungkin Beliau akan berkata “Hanya AKU yang berhak menilai seseorang itu derajatnya tinggi atau rendah”. Disamping itu orang tua seharusnya mendoakan anak perempuannya yang akan menikah bukan malah menurunkan derajatnya (turun kasta). Karena penasaran dan juga dilandasi pemikiran positif, bahwa warisan budaya leluhur tentu niatnya untuk kebaikan, mungkin kita yang mencemari dengan faham feodal (Kasta) atau kita salah menerapkannya, untuk itu penulis mencari info keteman yang sekali lagi disebut ber-kasta, dan jawaban teman ini sangat benar dan masuk akal. Kata beliau, ini bukan upacara turun kasta, namun “Upacara beralih Wangsa” tidak ubahnya seperti berganti baju. Jawaban teman ini kemudian membuka wawasan lebih luas bahwa “Pemurnian Wangsa” sangat menjadi konsen dari Umat Hindu di Bali.


Selain membahas Pemurnian Wangsa, maka perlu disampaikan bahwa ada 3 hal yang dicampur-adukkan di Bali, yaitu : WARNA, WANGSA, KASTA. “Warna” adalah ajaran Weda yang berkenaan dengan profesi seseorang berdasarkan Guna (bakat) dan Karma (perbuatannya/karmanya), bisa menjadi Brahmana, Ksatrya, Wesya, Sudra, “bukan karena keturunan”. Kemudian   “Wangsa” adalah ikatan Pasemetonan/persaudaraan dalam satu trah/clan/wit, yang tujuannya mengikat tali persaudaraan sepurusa/garis lelaki. “Kasta” adalah produk penjajah abad XVI yang menjungkir balikkan Warna dan Wangsa menyimpang dari makna sesungguhnya karena dibentuk atas-bawah, tinggi-rendah. Yang masih menjadi problem di Bali adalah system Kasta ini yang justru masih ada di masyarakat walau sudah menurun dengan drastis tetapi masih ada, seperti upacara Patiwangi itu, dll.  Terkait dengan Wangsa, menurut penelitiaan Prof Pitana ada lebih dari 21 organisasi Soroh/Clan/Wangsa yang sudah terbentuk sejak tahun 1960 dan itu akan berkembang terus. Dengan demikian saat ini Wangsa menjadi hal penting bagi masyarakat Hindu di Bali yang tujuan utamanya untuk meningkatkan bhakti kehadapan Bhatara Kawitan yang
selanjutnya ingin “memurnikan” wangsa tersebut lewat acara Patiwangi. Jika Patiwangi adalah turun kasta, maka itu adalah kesalahan dan jangan diteruskan, namun jika Patiwangi adalah Pemurnian Wangsa, maka Wangsa lainnya seperti Pasek, Pande, dan lainnya yang karena kesalahan-fahaman Kasta disebut Sudra dapat juga melakukan acara Patiwangi bukankah sama situasinya, atau jika kita tidak memerlukan acara itu maka tidak perlu dilakukan apalagi acara itu bukan dasarnya Weda namun hanya dresta terkait Wangsa, agar kita kembali kepada Yadnya yang benar yaitu Panca Yadnya dimana perkawinan adalah bagian dari Manusa Yadnya. Ikatan Wangsa dewasa ini dicurigai sebagai bentuk peng-kotak kotakan masyarakat bali sehingga menjadi tidak bersatu, apalagi ditambah mindset yang keliru bahwa yang satu lebih tinggi dari yang lain itu harus dirubah mulai sekarang agar generasi penerus mewarisi sesuatu yang baik. Leluhur sudah mengajarkan kekuatan Wangsa ini di Bali seperti di Pura besakaih yang dilambangkan sebagai Padma Asta Dala (teratai berdaun delapan), kelopak kelopak teratai sebenarnya mencerminkan Wangsa di Bali sehingga pertama yang kita jumpai kalau kita ke Pura Besakih adalah banyaknya Kahyangan pemujaan kawitan (Atma pratista), ini berarti leluhur sudah menyadari bahwa Wangsa ini merupakan asset yang perlu dipertahankan dan diwariskan secara turun temurun, untuk itu dasar kebenaran sebagai intisari Wangsa harus dikembalikan kepada aslinya yaitu bhakti, karena bhakti pada Leluhur adalah paramo dharmah (dharma yang utama). Jangan ikatan Wangsa menjadikan kita terkotak, meninggi dari yang lain, apalagi ada kecendrungan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, maka sinyalemen bahwa Wangsa hanya akan memecah orang Bali bisa menjadi kenyataan.



Akhir kata  apapun itu maka “Pemurnian Wangsa” ini seperti mengembalikan kejaman leluhur kita dulu, semoga ini semakin meningkatkan Bhakti pada Bhatara Kawitan masing masing yang dapat memberi kebahagiaan kepada Prati sentana dan pada akhirnya ,memberi kebahagiaan pada masyarakat, karena kebahagiaan pada masyarakat dimulai dari kebahagiaan pada keluarga. Rahajeng


Penulis,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja                                                                        13-11-2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)