SECERCAH HARAPAN KEPADA UMAT HINDU JAWA
Menyebut Umat Hindu Jawa bukan maksud penulis untuk mengkotak-kotakkan umat Hindu berdasarkan kedaerahan tetapi hanya untuk lebih focus karena secara factual umat Hindu di Indonesia memang berasal bukan cuma suku Bali tetapi beberapa suku yang lain di Indonesia seperti : Dayak Kaharingan, Batak, Bugis, Jawa, dan lain-lain. Karena penulis berada di Jawa maka interaksi baru pada umat Hindu Jawa. Orang Jawa mempunyai hubungan kekerabatan (garis keturunan) yang sama dengan orang Bali minimal prasasti-prasasti menyebutnya demikian. Sehingga orang Bali yang datang ke Jawa tidak mau dikatakan merantau tetapi dengan bangga mengatakan kembali ke tanah leluhurnya. Bisa jadi memang benar adanya.
Jika kita buka-buka sejarah keleluhuran yang tersimpan di Bali, maka memang jelas sekali terlihat hubungan yang begitu dekatnya antara Jawa-Bali, sampai pada abad XIV dimana Islam masuk ke Majapahit yang mengakibatkan putusnya ikatan kekerabatan Jawa dan Bali namun di Bali garis-garis keturunan itu tersimpan dengan baik dan dilanjutkan dokumentasinya secara turun temurun. Bukti kuatnya hubungan Jawa-Bali bisa dilihat dengan adanya Perayaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang dilaksanakan umat Hindu di Bali pada Maret 2005 lalu. Karena ketaatan orang Bali pada pendahulunya menyebabkan perayaan itu terus dijalankan tanpa banyak yang tahu apa makna dibalik perayaan itu. Yang paling berkesan bagi penulis adalah ketika melaksanakan Sugihan Jawa di Jawa. Perayaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali bisa dijadikan moment menyatunya Jawa-Bali. Disamping sebagai tersambungnya kekerabatan yang putus ratusan tahun tetapi juga bangkitnya Hindu di Tanah Jawa. Kata-kata Bali-Jowone yang umum dikalangan orang Jawa mengandung makna kembalinya sikap “Arjawan (Jujur)” yang menjadi prilaku leluhur kita dahulu dan diajarkan secara turun temurun. Jalan kearah ini seperti sudah dipersiapkan oleh leluhur kita dulu sehingga Sang Sapta Pandita (Leluhur Pasek) tetap tinggal di Jawa walaupun dahulu sering ke Bali memuja leluhurnya di Besakih dan Parhyangan lainnya seperti di Padang Bai (Mpu Kuturan), Lempuyang Madya (Mpu Gnijaya), dan lain-lain. Di abad XX ini dan sebelumnya, kedatangan orang Bali ke Jawa seperti menjadi pendamping umat Hindu Jawa. Banyak Pura-Pura yang sudah didirikan yang melibatkan perpaduan antara umat Jawa-Bali. Jadi ke Hinduan umat Jawa sudah mulai bangkit. Diawal tentu tidak mudah, walaupun dijaman sekarang ini saja penulis masih mendengar pertanyaan dari umat Jawa, berupa : Kalau masuk Hindu Kastanya apa ? pertanyaan senada juga akan menjadi pertanyaan umat selain Jawa bahkan yang bukan orang Indonesia jika ingin masuk Hindu. Pertanyaan itu tidak perlu ditanyakan karena jelas agama Hindu tidak mengenal Kasta. Jika dimasyarakat terutama di Bali hal ini masih ada, maka itu adalah kesalahan masa lalu yang mari sama-sama kita perbaiki. Umat Hindu Jawa sekarang juga sudah ada yang menjadi Sulinggih dan pantas disebut Brahmana. Sulinggih dari Umat Jawa setara dengan Sulinggih dari umat Bali yang disebut : Mpu, Pedanda, Rsi, Bhagawan, Bujangga, dan lain-lain.
Umat hindu Jawa memberi secercah harapan bagi kemajuan Hindu dimasa mendatang, Umat Hindu Jawa bisa mengembalikan sejarah, bahwa di Jawa inilah tempatnya penganut-penganut agama yang benar seperti Panca Tirta misalnya, yang pada abad X diutus ke Bali untuk mengajarkan masyarakat Bali. Mungkin dikemudian hari umat Hindu Jawa akan mengajarkan kembali umat Hindu Bali akan arti Tat Twam Asi, ajaran Catur Warna, dan lain lain. Kemungkinan itu bukan hal yang mustahil karena roda sejarah akan terus berputar. Umat Hindu Jawa menurut pengamatan penulis sangat luwes menerima bentuk sarana persembahyangan secara Bali karena memang itu adalah warisan leluhur dari Jawa yang dipertahankan dan dikembangkan di Bali yang sekarang dibawa kembali ke Jawa. Memang ada yang masih mempertentangkan banten Jawa dan Banten Bali tetapi prosentasenya tidak banyak dan cermin, bahwa masih bergelut pada tataran banten, kita kedepan perlu juga masuk ke tataran Tattwa sehingga tidak berkutat pada hal banten saja, masalah banten adalah masalah sarana untuk bhakti biarlah hal ini berproses secara alamiah.
Secercah Harapan kepada Umat Hindu Jawa adalah ibarat hadiah buat penulis saat merenung pada Perayaan Nyepi Saka 1927, Semoga Hyang Widhi dan Para Leluhur yang suci yang sudah manunggal dengan Paramaatma membimbing saudara-saudara kita umat Hindu Jawa agar dapat kembali menjalankan perannya untuk kemajuan Hindu dimasa-mendatang seperti yang telah diberi panutan oleh Para Rsi, Mpu, dan orang suci terdahulu.
Penulis,
Nyoman Sukadana 12-03-2005
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Kamis, Juli 23, 2009
BERBAGAI SEBUTAN ”PANDITA”
Dikalangan umat Hindu baik di Bali maupun diluar Bali masih banyak umat yang tidak tahu atau tidak jelas, bahwa seorang ”Pandita” memiliki sebutan yang berbeda-beda. Umat yang belum faham ini setiap melihat Pandita dengan salah satu ciri rambut panjang diikat dikepala/ubun-ubun (Me-Prucut Bahasa Bali) akan menyebut ”Pedanda”.
Pandita, (sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya), khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”, saya tidak tahu bagaimana dengan umat Sulawesi, Kalimantan, atau suku lainnya yang beragama Hindu bagaimana mereka menyebut Panditanya. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Kita kembali kepada sebutan Pandita yang biasa dipakai di Bali, sebutan yang berbeda-beda itu sayangnya dilatar belakangi oleh sejarah yang sesungguhnya menyimpang dengan ajaran Catur Warna, tetapi apa boleh buat kita coba mundur kemasa lalu agar ada gambaran akan hal itu. Kita ambil saja titik pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja dinasty Warmadewa sebelumnya. Pada masa dinasty Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita (Leluhur Pasek), juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU. Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, sebelum itu yaitu pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya, bahkan selanjutnya ada pembagian porsi dimana : Fungsi Brahmana (Purohita) selalu dari keturunan Mpu Nirarta sehingga disebut Warga Brahmana sampai sekarang walaupun lebih tepat disebut ”Warga Ida Bagus” saja. Porsi Ksatrya adalah Dalem dan keturunannya, porsi Wesya para Mantri kerajaan dengan sebutan I Gusti, dan porsi Sudra diluar itu. Porsi ini menjadi benar jika memang keturunannya, misalnya Ida bagus menjadi Brahmana, atau keturunan Dalem menjadi Raja, anak Mantri (I Gusti) juga menjadi Mantri, jika tidak mengikuti tugas orang tuanya, maka porsi ini menjadi menyimpang dengan ajaran Catur Warna yang melihat manusia berdasarkan ”Guna(Bakat)” dan ”Karma(tugas/pekerjaannya)”. Pembagian porsi ini kemudian berlanjut menjadi sebutan yang berbeda untuk seorang Pandita. Keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga. Sebutan ini tentu hanya untuk umat Bali . Para leluhur di Jawa menyebut ”Mpu” untuk seorang Pandita, cuma karena Hindu sempat tenggelam di Jawa sebutan itu tidak dipakai lagi tetapi menyebut ”Romo”. Untuk sekarang jika ada umat Jawa yang jadi Pandita dengan Nabe (Guru Rohani) dari Bali akan disebut apa ? Ada yang disebut Rsi dan untuk wanita sebutan ”Ratu” seperti Ratu Gayatri dari Boyolali Jawa Tengah, atau sebutan yang lain seperti ”Pandita Broto Sejati” yang lebih dikenal dengan ”Romo Maming” dari Cirebon.
Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali (umumnya kepada Mpu), ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Ukuran ini ada dasar sastranya sehingga agak aneh jika ada Pandita yang membawa tongkat setinggi dirinya saat berdiri. Saat ini ada wacana (tentu dengan dasar satra yang benar) membawa tongkat pendek seperti tongkat komando yang biasa dibawa militer atau biasa dibawa Presiden Sukarno, walau belum terlihat Pandita yang membawanya. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar. Kedepan semoga para umat tidak salah lagi menyebut Pandita apalagi membeda-bedakan mereka dengan Pandita lainnya karena berdosa kita jika melakukan hal itu, bahkan seharusnya kita mulai melaksanakan ajaran ”Rsi Yadnya” yang saat ini sangat lemah dalam keseharian umat Hindu, dikalahkan oleh Pitra Yadnya yang sering melampaui batas kewajaran atau akal sehat Akhirnya semoga dengan penjelasan ini semakin tumbuh rasa hormat kepada Para Pandita yang kita sucikan.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-09-2007
Dikalangan umat Hindu baik di Bali maupun diluar Bali masih banyak umat yang tidak tahu atau tidak jelas, bahwa seorang ”Pandita” memiliki sebutan yang berbeda-beda. Umat yang belum faham ini setiap melihat Pandita dengan salah satu ciri rambut panjang diikat dikepala/ubun-ubun (Me-Prucut Bahasa Bali) akan menyebut ”Pedanda”.
Pandita, (sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya), khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”, saya tidak tahu bagaimana dengan umat Sulawesi, Kalimantan, atau suku lainnya yang beragama Hindu bagaimana mereka menyebut Panditanya. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Kita kembali kepada sebutan Pandita yang biasa dipakai di Bali, sebutan yang berbeda-beda itu sayangnya dilatar belakangi oleh sejarah yang sesungguhnya menyimpang dengan ajaran Catur Warna, tetapi apa boleh buat kita coba mundur kemasa lalu agar ada gambaran akan hal itu. Kita ambil saja titik pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja dinasty Warmadewa sebelumnya. Pada masa dinasty Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita (Leluhur Pasek), juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU. Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, sebelum itu yaitu pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya, bahkan selanjutnya ada pembagian porsi dimana : Fungsi Brahmana (Purohita) selalu dari keturunan Mpu Nirarta sehingga disebut Warga Brahmana sampai sekarang walaupun lebih tepat disebut ”Warga Ida Bagus” saja. Porsi Ksatrya adalah Dalem dan keturunannya, porsi Wesya para Mantri kerajaan dengan sebutan I Gusti, dan porsi Sudra diluar itu. Porsi ini menjadi benar jika memang keturunannya, misalnya Ida bagus menjadi Brahmana, atau keturunan Dalem menjadi Raja, anak Mantri (I Gusti) juga menjadi Mantri, jika tidak mengikuti tugas orang tuanya, maka porsi ini menjadi menyimpang dengan ajaran Catur Warna yang melihat manusia berdasarkan ”Guna(Bakat)” dan ”Karma(tugas/pekerjaannya)”. Pembagian porsi ini kemudian berlanjut menjadi sebutan yang berbeda untuk seorang Pandita. Keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga. Sebutan ini tentu hanya untuk umat Bali . Para leluhur di Jawa menyebut ”Mpu” untuk seorang Pandita, cuma karena Hindu sempat tenggelam di Jawa sebutan itu tidak dipakai lagi tetapi menyebut ”Romo”. Untuk sekarang jika ada umat Jawa yang jadi Pandita dengan Nabe (Guru Rohani) dari Bali akan disebut apa ? Ada yang disebut Rsi dan untuk wanita sebutan ”Ratu” seperti Ratu Gayatri dari Boyolali Jawa Tengah, atau sebutan yang lain seperti ”Pandita Broto Sejati” yang lebih dikenal dengan ”Romo Maming” dari Cirebon.
Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali (umumnya kepada Mpu), ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Ukuran ini ada dasar sastranya sehingga agak aneh jika ada Pandita yang membawa tongkat setinggi dirinya saat berdiri. Saat ini ada wacana (tentu dengan dasar satra yang benar) membawa tongkat pendek seperti tongkat komando yang biasa dibawa militer atau biasa dibawa Presiden Sukarno, walau belum terlihat Pandita yang membawanya. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar. Kedepan semoga para umat tidak salah lagi menyebut Pandita apalagi membeda-bedakan mereka dengan Pandita lainnya karena berdosa kita jika melakukan hal itu, bahkan seharusnya kita mulai melaksanakan ajaran ”Rsi Yadnya” yang saat ini sangat lemah dalam keseharian umat Hindu, dikalahkan oleh Pitra Yadnya yang sering melampaui batas kewajaran atau akal sehat Akhirnya semoga dengan penjelasan ini semakin tumbuh rasa hormat kepada Para Pandita yang kita sucikan.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-09-2007
DIBALIK NYANYIAN “BEBEK PUTIH JAMBUL”
Pada kesempatan liburan penulis menyempatkan diri untuk hadir ke Geria Pandita/ Brahmana yang penulis kenal, ini adalah kebiasaan yang penulis coba jadikan prilaku pribadi. Kebiasaan mengunjungi Pandita/ Brahmana adalah sesuatu yang baik, karena dengan selalu mendekatkan diri kepada Pandita/Brahmana yang kita percaya, maka banyak manfaat yang bisa diperoleh baik berupa ajaran kebenaran, filosofi hidup, dan wejangan-wejangan lainnya yang sering tidak kita jumpai dalam buku-buku bacaan atau dharma wacana di TV/langsung. Pandita yang benar akan selalu mengarahkan kita untuk menjadi lebih baik, hormat pada sesama, dan bakti pada Hyang Widhi atau leluhur. Jika ada kesempatan luas penulis ingin bisa hadir pada Pandita-Pandita yang lain yang penulis kenal.
Kesempatan kali ini, penulis mengunjungi Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra dari Geria Taman Agung Wilaya Asrama, Baleagung, Desa adat Buleleng, Singaraja untuk memperoleh wejangan. Beberapa lama berada di Geria banyak sekali hal-hal yang disampaikan sehingga semakin menambah wawasan penulis akan hakekat kehidupan ini. Disela-sela wejangan, beliau menyanyikan sebuah lagu yang sudah penulis kenal sejak kecil, sebagian dari bait lagu tersebut adalah sebagai berikut : “Bebekke putih jambul mekeber kaje kanginan ( Bebek berbulu putih dan ada jambul dikepala terbang menuju arah tenggara /bagi bali utara). Pada awalnya penulis agak heran kenapa beliau menyanyikan lagu anak-anak seperti itu padahal beliau adalah seorang Pandita, walaupun demikian penulis tetap mendengarkan dengan sabar kata demi kata dari lagu yang dinyanyikan sekaligus bernostalgia masa kecil penulis dulu ketika duduk dibangku SD (Sekolah Dasar). Setelah selesai menyanyi lalu beliau mengupas makna lagu tersebut sebagai berikut : Bagi kita yang sudah memakai baju putih (seprang Pinandita maupun Pandita), maka jiwa dan raga harus sepenuhnya diarahkan kepada pemujaan Hyang Widhi (Arah tenggara adalah salah satu arah sakral ). Mendengar Makna dibalik nyanyian bebek putih jambul penulis yang sudah meninggalkan SD 30 tahun yang lalu, baru tahu akan tingginya makna yang terkandung didalam nyanyian tersebut. Pandita Mpu tidak bermaksud mengkritik siapa-siapa, tetapi beliau seperti ingin menunjukkan kepada penulis, inilah pegangan sebagai Pandita, Seorang Pandita hanya mendoakan kesejahtraan orang lain, bahkan kata beliau orang Amerika atau teroris sekalipun didoakan, karena dalam pemujaan (Nyurya Sewana/ Tri Sandhya bagi Walaka) yang didoakan adalah agar terciptanya kerahayuan jagat (Dunia dan segala isinya) , bahkan seorang Pandita kadang lupa mendoakan dirinya sendiri. Inilah makna yang terkandung dibalik Nyanyian bebek putih jambul.
Selesai mengunjungi Pandita Mpu, Penulis masih terkagum dengan pengarang nyanyian bebek putih jambul. Jika dia adalah seorang Pandita pastilah dia adalah Brahmana yang bijaksana yang sangat faham akan hakekat kawikon (Ageman Pandita). Jika dia adalah seorang Walaka, maka pasti dia melihat ada kekeliruan dalam prilaku Pandita dimasyarakat waktu itu sehingga perlu dinasehati, tetapi karena dia mengerti sesana/etika, maka nasehatnya dalam bentuk sindiran yang halus. Si walaka pengarang nyanyian itu sudah bisa dikategorikan berprilaku Brahmana atau Pandita Dang Acarya (Pandita yang lebih banyak ber-darma wacana atau Jnana Punia lainnya dibandingkan dengan Muput Karya).
Kini penulis jadi rajin menyanyikan lagu bebek putih jambul dan menyampaikan maknanya kepada kawan-kawan juga melalui tulisan ini agar kita dapat mengambil hikmahnya. Mari kita lihat bersama-sama bebek putih jambul mekeber kaje-kanginan.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
25-11-2004.
Pada kesempatan liburan penulis menyempatkan diri untuk hadir ke Geria Pandita/ Brahmana yang penulis kenal, ini adalah kebiasaan yang penulis coba jadikan prilaku pribadi. Kebiasaan mengunjungi Pandita/ Brahmana adalah sesuatu yang baik, karena dengan selalu mendekatkan diri kepada Pandita/Brahmana yang kita percaya, maka banyak manfaat yang bisa diperoleh baik berupa ajaran kebenaran, filosofi hidup, dan wejangan-wejangan lainnya yang sering tidak kita jumpai dalam buku-buku bacaan atau dharma wacana di TV/langsung. Pandita yang benar akan selalu mengarahkan kita untuk menjadi lebih baik, hormat pada sesama, dan bakti pada Hyang Widhi atau leluhur. Jika ada kesempatan luas penulis ingin bisa hadir pada Pandita-Pandita yang lain yang penulis kenal.
Kesempatan kali ini, penulis mengunjungi Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra dari Geria Taman Agung Wilaya Asrama, Baleagung, Desa adat Buleleng, Singaraja untuk memperoleh wejangan. Beberapa lama berada di Geria banyak sekali hal-hal yang disampaikan sehingga semakin menambah wawasan penulis akan hakekat kehidupan ini. Disela-sela wejangan, beliau menyanyikan sebuah lagu yang sudah penulis kenal sejak kecil, sebagian dari bait lagu tersebut adalah sebagai berikut : “Bebekke putih jambul mekeber kaje kanginan ( Bebek berbulu putih dan ada jambul dikepala terbang menuju arah tenggara /bagi bali utara). Pada awalnya penulis agak heran kenapa beliau menyanyikan lagu anak-anak seperti itu padahal beliau adalah seorang Pandita, walaupun demikian penulis tetap mendengarkan dengan sabar kata demi kata dari lagu yang dinyanyikan sekaligus bernostalgia masa kecil penulis dulu ketika duduk dibangku SD (Sekolah Dasar). Setelah selesai menyanyi lalu beliau mengupas makna lagu tersebut sebagai berikut : Bagi kita yang sudah memakai baju putih (seprang Pinandita maupun Pandita), maka jiwa dan raga harus sepenuhnya diarahkan kepada pemujaan Hyang Widhi (Arah tenggara adalah salah satu arah sakral ). Mendengar Makna dibalik nyanyian bebek putih jambul penulis yang sudah meninggalkan SD 30 tahun yang lalu, baru tahu akan tingginya makna yang terkandung didalam nyanyian tersebut. Pandita Mpu tidak bermaksud mengkritik siapa-siapa, tetapi beliau seperti ingin menunjukkan kepada penulis, inilah pegangan sebagai Pandita, Seorang Pandita hanya mendoakan kesejahtraan orang lain, bahkan kata beliau orang Amerika atau teroris sekalipun didoakan, karena dalam pemujaan (Nyurya Sewana/ Tri Sandhya bagi Walaka) yang didoakan adalah agar terciptanya kerahayuan jagat (Dunia dan segala isinya) , bahkan seorang Pandita kadang lupa mendoakan dirinya sendiri. Inilah makna yang terkandung dibalik Nyanyian bebek putih jambul.
Selesai mengunjungi Pandita Mpu, Penulis masih terkagum dengan pengarang nyanyian bebek putih jambul. Jika dia adalah seorang Pandita pastilah dia adalah Brahmana yang bijaksana yang sangat faham akan hakekat kawikon (Ageman Pandita). Jika dia adalah seorang Walaka, maka pasti dia melihat ada kekeliruan dalam prilaku Pandita dimasyarakat waktu itu sehingga perlu dinasehati, tetapi karena dia mengerti sesana/etika, maka nasehatnya dalam bentuk sindiran yang halus. Si walaka pengarang nyanyian itu sudah bisa dikategorikan berprilaku Brahmana atau Pandita Dang Acarya (Pandita yang lebih banyak ber-darma wacana atau Jnana Punia lainnya dibandingkan dengan Muput Karya).
Kini penulis jadi rajin menyanyikan lagu bebek putih jambul dan menyampaikan maknanya kepada kawan-kawan juga melalui tulisan ini agar kita dapat mengambil hikmahnya. Mari kita lihat bersama-sama bebek putih jambul mekeber kaje-kanginan.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
25-11-2004.
PERAN-PERAN DALAM KEHIDUPAN
Berperan apa kita dalam kehidupan ? adalah sebuah pertanyaan yang sangat susah untuk dijawab, karena jika manusia sudah tahu jawabannya, maka sebenarnya dia sudah mengenal Jati Dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang begitu damai, kesana-kemari memberikan nasihat, bantuan keuangan, dll. sehingga orang seperti itu akan banyak menarik simpati orang lain. Dilain fihak ada orang yang kehidupannya diwarnai dengan kritik, mendebat, dan kekerasan wacana lainnya. Orang seperti ini akan mudah menimbulkan antipati terutama bagi orang atau fihak yang dikritik atau didebat. Kalau kita mencoba bertanya kepada orang yang kedua ini kita akan heran, karena ternyata tindakan yang dilakukannya tidak yang dia inginkan, karena naluri manusianya juga menginginkan kedamaian, lalu apa atau siapa yang mengatur semua ini yang telah menyebabkan orang bisa berlaku damai ataupun penuh kritikan ?.
Jika kita mencoba menelaah dengan bahasa hati atau lebih jauhnya dengan bahasa rohani, akan terlihat ada Peran-Peran yang harus dilakoni oleh manusia. Peran ini sangat bervariasi yang kadang-kadang peran satu dengan lainnya saling tarik menarik atau bertentangan. Mungkinkah ini yang disebut Rwa Bhineda, Pradana-Purusa, atau positif-negatif, yang telah mengakibatkan kehidupan ini bergerak atau berkelanjutan. Jika kita cermati lagi tetapi dipersempit pada dua hal diatas (Damai dan penuh kritik/debat), maka peran yang berciri nasihat muncul, karena memang ada yang perlu dinasehati, jika peran itu berciri bantuan materiil karena memang ada kemiskinan yang perlu bantuan materiil, dan jika peran kritik yang tajam atau debat yang keras cirinya, itupun karena ada yang perlu dikritik dengan tajam. Kalau manusia tidak melakukan peran itu, mungkinkah kehidupan ini berlanjut ?. Dalam keseharian kehidupan manusia, bagi yang sedang menjalani Peran Damai, maka akan menganggap Peran pendebat, pengkritik adalah cara yang salah dan tidak perlu dilakukan, padahal kemampuan manusia sangat terbatas untuk tahu bahwa peran orang lain itu salah atau benar, karena siapapun kita, maka sebenarnya adalah alat yang tugasnya memainkan Peran yang sudah digariskan buat kita. Intinya adalah bagaimana kita menjalani peran kita itu dengan benar sesuai dengan ajaran agama dan hati nurani. Apakah artinya itu ? dalam bahasa rohani, hati nurani itu selalu benar, dan akan mengarahkan kita melakukan hal yang benar , sehingga jangan pernah ragu untuk menjalankannya. Dalam ajaran Hindu Tri Kaya Parisudha adalah pencuci yang paling ampuh untuk membuat hati nurani ini bersinar terang benderang laksana mutiara, sehingga memberi petunjuk pada kita akan Peran kita yang sesungguhnya.
Ada seorang kawan yang mengirimkan penulis sebentuk kisah yang isinya adalah nasihat yang sangat baik untuk dijalankan dan dijadikan bahan renungan, inti ceritra itu mengajarkan kita untuk introspeksi sebelum melakukan sesuatu. Kriman tersebut penulis simpan baik-baik dan akan ditularkan kepada orang yang dalam Perannya membutuhkan itu. Dari cara yang dilakukan Si kawan itu, maka dia termasuk pemeran damai dan akan tidak sejalan dengan Pemeran yang kedua diatas. Ada lagi kisah seorang kawan yang mencoba untuk arif dan bijaksana tenang tentram tanpa ada perselisihan. Dia mencoba menasehati kawannya yang dinilai terlalu vocal atau kritis terhadap orang lain. Sang kawan yang dinasehati yang rupanya melakukan sesuatu murni atas dorongan hati nurani tanpa pamrih apapun, balik mengajak untuk refleksi diri sambil menuntun dengan ceritra-ceritra dan pertanyaan-pertanyaan, apa yang terjadi kemudian, ternyata si kawan yang ingin berlaku arif dan bijaksana ini ternyata Takut dan Ewuh Pakewuh/ sungkan. Sehingga berbalik sang kawan yang vocal ini yang kemudian menasehatinya, bahwa DALAM MENYAMPAIKAN KEBENARAN TIDAK BOLEH ADA PAMRIH ATAU KEPENTINGAN APALAGI KETAKUTAN dan hal ini baru bisa dihayati jika kita sering berdialog dengan hati nurani. Jika kita belum mencapai tataran itu, maka sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah kita ini benar atau salah. Dua kisah diatas jelas terlihat, bahwa rasa takut, sungkan, pamrih, kepentingan atau tidak mengenal peran orang lain, telah membutakan kita untuk menyampaikan kebenaran, yang berarti kita telah keliru atau kurang sempurna dalam menjalankan Peran kita, sehingga tidak akan mengakibatkan perbaikan disekitar kita
Terakhir, memalui tulisan ini penulis mengajak kita sama-sama untuk belajar menuju Profesionalisme dalam Peran, dan mencoba mengerti Peran orang lain, kita mungkin bisa salah juga bisa benar tapi biarlah hati nurani yang membimbing. Khrisna sendiri dalam Peran memberi keadilan kepada Pandawa dan menghukum Korawa, tetap memperoleh hukuman dengan musnahnya negeri Dwaraka setelah Perang Bharata Yudha usai, tetapi Khrisna telah berhasil menjalankan Peran sehingga Pandawa yang ditindas dapat memperoleh haknya dan Korawa juga memperoleh haknya. Kita tidak perlu seperti Khrisna, yang penting lakukan saja Peran kita dengan benar, maka kita telah menyumbang perdamaian bagi umat manusia. Biarlah hati ini menggambar kedamaian supaya badan ini bisa mewarnai dengan tindakan. MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITHI DHARMA.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Berperan apa kita dalam kehidupan ? adalah sebuah pertanyaan yang sangat susah untuk dijawab, karena jika manusia sudah tahu jawabannya, maka sebenarnya dia sudah mengenal Jati Dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang begitu damai, kesana-kemari memberikan nasihat, bantuan keuangan, dll. sehingga orang seperti itu akan banyak menarik simpati orang lain. Dilain fihak ada orang yang kehidupannya diwarnai dengan kritik, mendebat, dan kekerasan wacana lainnya. Orang seperti ini akan mudah menimbulkan antipati terutama bagi orang atau fihak yang dikritik atau didebat. Kalau kita mencoba bertanya kepada orang yang kedua ini kita akan heran, karena ternyata tindakan yang dilakukannya tidak yang dia inginkan, karena naluri manusianya juga menginginkan kedamaian, lalu apa atau siapa yang mengatur semua ini yang telah menyebabkan orang bisa berlaku damai ataupun penuh kritikan ?.
Jika kita mencoba menelaah dengan bahasa hati atau lebih jauhnya dengan bahasa rohani, akan terlihat ada Peran-Peran yang harus dilakoni oleh manusia. Peran ini sangat bervariasi yang kadang-kadang peran satu dengan lainnya saling tarik menarik atau bertentangan. Mungkinkah ini yang disebut Rwa Bhineda, Pradana-Purusa, atau positif-negatif, yang telah mengakibatkan kehidupan ini bergerak atau berkelanjutan. Jika kita cermati lagi tetapi dipersempit pada dua hal diatas (Damai dan penuh kritik/debat), maka peran yang berciri nasihat muncul, karena memang ada yang perlu dinasehati, jika peran itu berciri bantuan materiil karena memang ada kemiskinan yang perlu bantuan materiil, dan jika peran kritik yang tajam atau debat yang keras cirinya, itupun karena ada yang perlu dikritik dengan tajam. Kalau manusia tidak melakukan peran itu, mungkinkah kehidupan ini berlanjut ?. Dalam keseharian kehidupan manusia, bagi yang sedang menjalani Peran Damai, maka akan menganggap Peran pendebat, pengkritik adalah cara yang salah dan tidak perlu dilakukan, padahal kemampuan manusia sangat terbatas untuk tahu bahwa peran orang lain itu salah atau benar, karena siapapun kita, maka sebenarnya adalah alat yang tugasnya memainkan Peran yang sudah digariskan buat kita. Intinya adalah bagaimana kita menjalani peran kita itu dengan benar sesuai dengan ajaran agama dan hati nurani. Apakah artinya itu ? dalam bahasa rohani, hati nurani itu selalu benar, dan akan mengarahkan kita melakukan hal yang benar , sehingga jangan pernah ragu untuk menjalankannya. Dalam ajaran Hindu Tri Kaya Parisudha adalah pencuci yang paling ampuh untuk membuat hati nurani ini bersinar terang benderang laksana mutiara, sehingga memberi petunjuk pada kita akan Peran kita yang sesungguhnya.
Ada seorang kawan yang mengirimkan penulis sebentuk kisah yang isinya adalah nasihat yang sangat baik untuk dijalankan dan dijadikan bahan renungan, inti ceritra itu mengajarkan kita untuk introspeksi sebelum melakukan sesuatu. Kriman tersebut penulis simpan baik-baik dan akan ditularkan kepada orang yang dalam Perannya membutuhkan itu. Dari cara yang dilakukan Si kawan itu, maka dia termasuk pemeran damai dan akan tidak sejalan dengan Pemeran yang kedua diatas. Ada lagi kisah seorang kawan yang mencoba untuk arif dan bijaksana tenang tentram tanpa ada perselisihan. Dia mencoba menasehati kawannya yang dinilai terlalu vocal atau kritis terhadap orang lain. Sang kawan yang dinasehati yang rupanya melakukan sesuatu murni atas dorongan hati nurani tanpa pamrih apapun, balik mengajak untuk refleksi diri sambil menuntun dengan ceritra-ceritra dan pertanyaan-pertanyaan, apa yang terjadi kemudian, ternyata si kawan yang ingin berlaku arif dan bijaksana ini ternyata Takut dan Ewuh Pakewuh/ sungkan. Sehingga berbalik sang kawan yang vocal ini yang kemudian menasehatinya, bahwa DALAM MENYAMPAIKAN KEBENARAN TIDAK BOLEH ADA PAMRIH ATAU KEPENTINGAN APALAGI KETAKUTAN dan hal ini baru bisa dihayati jika kita sering berdialog dengan hati nurani. Jika kita belum mencapai tataran itu, maka sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah kita ini benar atau salah. Dua kisah diatas jelas terlihat, bahwa rasa takut, sungkan, pamrih, kepentingan atau tidak mengenal peran orang lain, telah membutakan kita untuk menyampaikan kebenaran, yang berarti kita telah keliru atau kurang sempurna dalam menjalankan Peran kita, sehingga tidak akan mengakibatkan perbaikan disekitar kita
Terakhir, memalui tulisan ini penulis mengajak kita sama-sama untuk belajar menuju Profesionalisme dalam Peran, dan mencoba mengerti Peran orang lain, kita mungkin bisa salah juga bisa benar tapi biarlah hati nurani yang membimbing. Khrisna sendiri dalam Peran memberi keadilan kepada Pandawa dan menghukum Korawa, tetap memperoleh hukuman dengan musnahnya negeri Dwaraka setelah Perang Bharata Yudha usai, tetapi Khrisna telah berhasil menjalankan Peran sehingga Pandawa yang ditindas dapat memperoleh haknya dan Korawa juga memperoleh haknya. Kita tidak perlu seperti Khrisna, yang penting lakukan saja Peran kita dengan benar, maka kita telah menyumbang perdamaian bagi umat manusia. Biarlah hati ini menggambar kedamaian supaya badan ini bisa mewarnai dengan tindakan. MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITHI DHARMA.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
JALAN PERJUANGAN ITU SAMA
Banyak Jalan Menuju Roma, ini adalah kata-kata dari lagu salah seorang penyanyi terkenal di Indonesia. Penulis tidak bermaksud menceritrakan syair lagu tetapi ingin membuka wawasan untuk terciptanya persamaan persepsi mengenai penyampaian pesan lewat tulisan. Di majalah ,Koran, atau internet, terutama yang berbasiskan Hindu, sering para penulis memakai ajaran Weda langsung sebagai pesan yang disampaikan pada masyarakat, disamping itu ada yang dengan bahasa pendidikan atau etika, ada juga dengan bahasa seni budaya, bahkan ada dengan bahasa politik. Penulis sampai saat ini masih memakai bahasa ‘Keleluhuran” untuk menyampaikan pesan-pesan , karena penulis tidak mempunyai sesuatu yang lebih dibandingkan kawan-kawan penulis lainnya dalam hal ajaran Weda misalnya atau tentang seni budaya apalagi politik, tetapi penulis punya landasan bhakti pada leluhur sehingga selalu ada ide-ide untuk ditulis.
Bagi para penulis yang menyampaikan ajaran dari Weda secara langsung sebagai materi pesannya maka akan gamblang dan jelas dasar-dasar atau sumbernya , bagi yang memakai bahasa pendidikan, maka sebenarnya juga menyampaikan ajaran Weda hanya disampaikan dengan gaya pendidik atau berujud etika , ajaran yang disampaikan bisa Catur Guru atau yang lainnya. Bagi yang memakai bahasa seni budaya bisa simbul-simbul Tuhan yang disampaikan atau yang lainnya. Bagi yang memakai bahasa politik mungkin ajaran Asta Bratha yang disampaikan , sedang bagi yang memakai bahasa keleluhuran (kawitan) bisa ajaran Catur Marga, Tri Hita Karana, atau Tat Twam Asi yang menjadi fokusnya. Dengan demikian apapun bahasa yang disampaikan sebenarnya sari /inti nya adalah Ajaran Weda. Jika ditegaskan, bahwa apa yang dikerjakan penulis-penulis ini adalah suatu perjuangan, maka “Jalan Perjuangan Itu sama” .
Jalan perjuangan yang sama itu adalah sama-sama menyampaikan pesan yang diharapkan berguna bagi orang lain untuk tercipta perbaikan kualitas hidup. Ini juga merupakan ajakan kepada kawan-kawan sepaham agar melakukan “Jnana Marga” sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, bukankah guna dan widya seseorang itu tidak sama dan ini adalah anugrah atau karunia, maka sumbangkan kembali untuk kesejahtraan orang banyak. Jika anda mampu dibidang tertentu, maka lakukan saja karena dengan cara itu anda telah melakukan karma (perbuatan) yang pasti akan membawa manfaat pada orang lain asalkan didasari oleh niat baik.
Pada pengamalan Karma Marga yang merupakan ajaran Catur Marga, maka Jalan perjuangan yang sama, bisa dibuktikan pada suatu aktifitas kemasyarakatan. Didalam organisasi ,team, atau panitia, maka ajaran Catur Warna pasti ada. Aktifitas tersebut akan memerlukan : Pemikir/cendekiawan (Brahmana), perlu kepemimpinan lapangan (Ksatrya), perlu pengusahaan dana (Wesya), dan perlu tenaga fisik (Sudra). Pada aktifitas diatas, guna-widya seperti ini akan ada pada orang-orang yang terlibat didalamnya, dan masing-masing merupakan suatu kesatuan yang sama pentingnya. Disini terlihat, bahwa kita harus mulai mebiasakan diri mengerti guna-widya orang yang berbeda-beda dan yang lebih penting adalah kesadaran, bahwa orang yang guna-widyanya kekuatan gerak/tenaga kasar bukan lebih rendah dari pemikir ataupun kepemimpinan lapangan, kenapa demikian ? karena jika salah satu saja tidak ada atau semuanya sama, misalnya pemikir semua, maka roda organisasi atau aktifitas tersebut tidak akan berjalan atau macet. Terkait dengan judul tulisan ini, maka anda yang merasa punya kemampuan seperti salah satu diatas, maka lakukan itu dengan iklas karena itu guna-widya anda dan ini adalah The Right Man on The Right Place. Jika masing-masing kita melakukan itu sesuai dengan apa yang kita mampu, maka sesungguhnya tidak ada sekat-sekat atau sentris-sentris dalam kehidupan masyarakat, hal itu hanya ada pada pikiran dari orang-orang. Sekat-sekat seperti ini perlu dihilangkan agar tidak menghalangi Karma Marga. Jika semuanya bergerak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki yang merupakan anugrah dari Hyang Maha Kuasa, maka inilah cirri-ciri suatu perputaran roda kehidupan yang benar, dan karena benar sudah pasti akan membawa kebahagiaan kepada orang banyak.
Akhirnya, semoga kita diberi kearifan untuk mensyukuri anugrah dari Hyang Widhi dengan mengembalikannya lagi untuk kesejahtraan orang banyak, dan …. Jalan Perjuangan Itu Sama tetap menjadi tidak sama pada tingkat dan bentuk pemahaman yang berbeda. Selamat menghayati jalan masing-masing semoga kita berjumpa pada muara yang sama secara bersama-sama, yaitu muara kebahagiaan jasmani & rohani, moksartam jagadhita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo-Jawa Tengah
21-03-2004.
Banyak Jalan Menuju Roma, ini adalah kata-kata dari lagu salah seorang penyanyi terkenal di Indonesia. Penulis tidak bermaksud menceritrakan syair lagu tetapi ingin membuka wawasan untuk terciptanya persamaan persepsi mengenai penyampaian pesan lewat tulisan. Di majalah ,Koran, atau internet, terutama yang berbasiskan Hindu, sering para penulis memakai ajaran Weda langsung sebagai pesan yang disampaikan pada masyarakat, disamping itu ada yang dengan bahasa pendidikan atau etika, ada juga dengan bahasa seni budaya, bahkan ada dengan bahasa politik. Penulis sampai saat ini masih memakai bahasa ‘Keleluhuran” untuk menyampaikan pesan-pesan , karena penulis tidak mempunyai sesuatu yang lebih dibandingkan kawan-kawan penulis lainnya dalam hal ajaran Weda misalnya atau tentang seni budaya apalagi politik, tetapi penulis punya landasan bhakti pada leluhur sehingga selalu ada ide-ide untuk ditulis.
Bagi para penulis yang menyampaikan ajaran dari Weda secara langsung sebagai materi pesannya maka akan gamblang dan jelas dasar-dasar atau sumbernya , bagi yang memakai bahasa pendidikan, maka sebenarnya juga menyampaikan ajaran Weda hanya disampaikan dengan gaya pendidik atau berujud etika , ajaran yang disampaikan bisa Catur Guru atau yang lainnya. Bagi yang memakai bahasa seni budaya bisa simbul-simbul Tuhan yang disampaikan atau yang lainnya. Bagi yang memakai bahasa politik mungkin ajaran Asta Bratha yang disampaikan , sedang bagi yang memakai bahasa keleluhuran (kawitan) bisa ajaran Catur Marga, Tri Hita Karana, atau Tat Twam Asi yang menjadi fokusnya. Dengan demikian apapun bahasa yang disampaikan sebenarnya sari /inti nya adalah Ajaran Weda. Jika ditegaskan, bahwa apa yang dikerjakan penulis-penulis ini adalah suatu perjuangan, maka “Jalan Perjuangan Itu sama” .
Jalan perjuangan yang sama itu adalah sama-sama menyampaikan pesan yang diharapkan berguna bagi orang lain untuk tercipta perbaikan kualitas hidup. Ini juga merupakan ajakan kepada kawan-kawan sepaham agar melakukan “Jnana Marga” sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, bukankah guna dan widya seseorang itu tidak sama dan ini adalah anugrah atau karunia, maka sumbangkan kembali untuk kesejahtraan orang banyak. Jika anda mampu dibidang tertentu, maka lakukan saja karena dengan cara itu anda telah melakukan karma (perbuatan) yang pasti akan membawa manfaat pada orang lain asalkan didasari oleh niat baik.
Pada pengamalan Karma Marga yang merupakan ajaran Catur Marga, maka Jalan perjuangan yang sama, bisa dibuktikan pada suatu aktifitas kemasyarakatan. Didalam organisasi ,team, atau panitia, maka ajaran Catur Warna pasti ada. Aktifitas tersebut akan memerlukan : Pemikir/cendekiawan (Brahmana), perlu kepemimpinan lapangan (Ksatrya), perlu pengusahaan dana (Wesya), dan perlu tenaga fisik (Sudra). Pada aktifitas diatas, guna-widya seperti ini akan ada pada orang-orang yang terlibat didalamnya, dan masing-masing merupakan suatu kesatuan yang sama pentingnya. Disini terlihat, bahwa kita harus mulai mebiasakan diri mengerti guna-widya orang yang berbeda-beda dan yang lebih penting adalah kesadaran, bahwa orang yang guna-widyanya kekuatan gerak/tenaga kasar bukan lebih rendah dari pemikir ataupun kepemimpinan lapangan, kenapa demikian ? karena jika salah satu saja tidak ada atau semuanya sama, misalnya pemikir semua, maka roda organisasi atau aktifitas tersebut tidak akan berjalan atau macet. Terkait dengan judul tulisan ini, maka anda yang merasa punya kemampuan seperti salah satu diatas, maka lakukan itu dengan iklas karena itu guna-widya anda dan ini adalah The Right Man on The Right Place. Jika masing-masing kita melakukan itu sesuai dengan apa yang kita mampu, maka sesungguhnya tidak ada sekat-sekat atau sentris-sentris dalam kehidupan masyarakat, hal itu hanya ada pada pikiran dari orang-orang. Sekat-sekat seperti ini perlu dihilangkan agar tidak menghalangi Karma Marga. Jika semuanya bergerak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki yang merupakan anugrah dari Hyang Maha Kuasa, maka inilah cirri-ciri suatu perputaran roda kehidupan yang benar, dan karena benar sudah pasti akan membawa kebahagiaan kepada orang banyak.
Akhirnya, semoga kita diberi kearifan untuk mensyukuri anugrah dari Hyang Widhi dengan mengembalikannya lagi untuk kesejahtraan orang banyak, dan …. Jalan Perjuangan Itu Sama tetap menjadi tidak sama pada tingkat dan bentuk pemahaman yang berbeda. Selamat menghayati jalan masing-masing semoga kita berjumpa pada muara yang sama secara bersama-sama, yaitu muara kebahagiaan jasmani & rohani, moksartam jagadhita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo-Jawa Tengah
21-03-2004.
BRAHMACARI PONDASI PERJALANAN HIDUP MANUSIA
Menjadi apa kita dalam kehidupan didunia itu sudah ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Manusia disebutkan sudah memiliki “Talenta”, yaitu bakat yang diturunkan oleh orang tua atau pendahulunya dan dibawa sejak masih dalam kandungan, namun bakat itu tidak serta-merta bisa menjadi profesinya atau spesialisnya. Jika orang tuanya dokter tidak otomatis anaknya pasti jadi dokter, jika orang tuanya president juga tidak otomatis anaknya jadi presiden walaupun dijaman kerajaan tahta kerajaan itu biasanya diturunkan namun sianak tetap harus digembleng dulu dan bakat kepemimpinan mereka tetap tidak sama, termasuk disini adalah jika orang tuanya Pandita tidak otomatis anaknya bisa jadi Pandita . Semuanya memerlukan usaha dan ketekunan luar biasa, sehingga bakat yang ada pada diri orang tersebut bisa diwujudkan menjadi : Keahlian, profesionalisme, atau dalam bahasa rohani disebut menjadi “jati dirinya”.
Dalam Agama Hindu ada salah satu ajaran yang mengatur kehidupan manusia dari baru lahir sampai mencapai usia senja, ajaran itu adalah : “Catur Asrama”, yaitu : Brahmacari (Masa menuntut ilmu), Grahasta (Masa berumah tangga), Wanaprasta (Masa mempelajari ajaran-ajaran kerohanian), dan Biksuka/Sanyasa (Masa mengamalkan ajaran rohani atau menjadi rohaniawan). Fase-fase ini diajarkan agar kehidupan manusia menjadi berguna, bermutu, atau mendatangkan kebahagiaan skala/niskala. Dalam tulisan ini penulis lebih menekankan ajaran Brahmacari sebagai bahasan tetapi bukan menjadikan satu-satunya ajaran Hindu yang harus dijalankan, tetapi ingin menunjukkan, bahwa Ajaran Brahmacari bisa menjadi “Pondasi Perjalanan Hidup Manusia”. Proses belajar itu sebenarnya sudah dimulai sejak Balita dan terus sampai memasuki pendidikan formal dan juga dalam pergaulan dimasyarakat.. Apa yang dialami seseorang akan menjadi hal penting dalam perjalanan hidup manusia setelah dewasa nanti . Berikut kita coba urutkan fase belajar/ atau mencari ilmu ini dari Balita sampai memasuki sekolah formal dan pergaulan dimasyarakat.
KETIKA ANAK BALITA MULAI MELANGKAH
Proses kelahiran manusia adalah proses yang unik, sampai sebelum bayi mulai melangkah dalam tulisan ini belum mempunyai makna-makna apa-apa karena bayi hanya menangis, tertawa, menyusui, tengkurap, dan lain-lain yang semuanya dilakukan dalam posisi belum sempurna sebagai manusia (berdiri tegak). Setelah sekitar 11 bulan, maka mulailah seorang bayi memperlihatkan jati dirinya sebagai manusia yang tegak berdiri siap menghadapi masa depannya. Jati diri sebagai manusia baru pada tingkat fisik belum pada tingkat rohani. Balita ini adalah seorang manusia, sudah tumbuh keinginan-keinginan yang mendorongnya untuk melangkahkan kakinya, seperti : mengambil benda disekitarnya yang menarik perhatiannya, mendekati ibunya untuk memperoleh kasih-sayang, dan banyak daya tarik lainnya . Kesimpulannya “ada suatu keadaan yang mendorong manusia itu melakukan suatu tindakan”, Apa yang mendorong seorang balita melangkahkan kakinya ? yaitu adanya suatu “keinginan” . Jadi “keinginan” adalah daya tarik luar biasa yang menyebabkan manusia itu melakukan suatu tindakan, jika tidak ada keinginan, maka apa yang ada disekitarnya tidak dapat mendorong dirinya untuk melakukan suatu tindakan. Pada saat balita keinginan ini masih belum terkontaminasi, masih bersih/suci. Seorang balita hanya ingin memenuhi nalurinya saja.
Anak Balita Melangkah, dapat memberi pelajaran pada kita, bahwa keinginan-keinginan yang merupakan sifat manusia bisa dikejar, dicari, direngkuh, diperoleh, dengan kebersihan jiwa tanpa merugikan orang lain. Seorang balita karena kebersihan jiwanya malah akan mendorong orang lain untuk membantu Sang balita untuk mencapai tujuannya, jadi kebersihan jiwa ini akan melahirkan kebersihan-kebersihan jiwa disekitarnya. Setiap manusia pernah mengalami menjadi balita,yang berarti juga pada awalnya manusia itu bersih/suci yang selalu membuat bahagia orang lain terutama kedua orang tuanya, jika kita mencoba mem-prediksi seharusnya setelah bayi itu dewasa akan tetap memancarkan kedamaian dimana-mana, tapi kenapa dimana-mana kita jumpai manusia-manusia pembohong, pemfitnah, bahkan pembunuh sesamanya, apa yang salah dari proses balita menjadi dewasa. Mari kita sama-sama mencari jawabannya, untuk itu kita harus masuk kediri sendiri jangan mencari kemana-mana, bayangkan ketika anda masih bayi yang bisa anda ingat, mungkin juga dengan melihat album masa kecil, ceritra-ceritra ibu-bapak dan saudara kita, sehingga sampai benar-benar terkulminasi dan anda “Menjadi balita lagi”.
KETIKA ANAK KECIL MELANGKAH KE SEKOLAH
Di era dimana pendidikan sudah menjadi kebutuhan pokok terbukti dimana-mana setiap orang tua akan berusaha dengan segala upaya agar anaknya bisa bersekolah. Di daerah-daerah miskin dan terbelakang, bantuan-bantuan pemerintah, masyarakat, bahkan badan dunia seperti Unesco, turun membantu mencerdaskan masyarakat agar tidak ketinggalan dengan masyarakat lainnya dibelahan dunia ini. Ditempat-tempat yang sekolah sudah menjadi kebutuhan, maka orang tua menyekolahkan anaknya agar anaknya dapat “Ijasah” dan besok gampang mencari kerja. Ini adalah pemikiran materialistis dan keamanan masa depan, ini bukan suatu kesalahan dan ini tingkat keinginan yang lumrah dari orang tua pada anaknya.
Anak Kecil Melangkah Ke Sekolah, mempunyai makna yang demikian besar bagi anak itu sendiri, bagi orang tua, keluarga, dan masyarakat. Kembali keinginan adalah factor yang mendorong manusia itu melangkah, dalam hal ini adalah “keinginan menambah/memperluas pengetahuan” . Keinginan menambah/memperluas pengetahuan tidak sama dengan keinginan bersekolah. Banyak anak yang justru tidak ingin ber-sekolah, tetapi tidak hilang keinginannya menambah pengetahuan. Anak kecil akan melakukan suatu kegiatan-kegiatan yang bisa menambah pengetahuannya melalui bermain, melakukan percobaan sendiri, yang sering oleh orang tuanya dianggap membuang-buang waktu dan dapat mengabaikan sekolah. Jika berlebihan bermain memang, tapi kita sebaiknya sepakat, bahwa mereka sedang menambah pengetahuannya melalui bermain atau eksperimen. Ada makna dalam yang dialami oleh anak kecil yang melangkah ke sekolah. Anda tentu masih ingat pada saat memasuki bangku sekolah pertama (TK atau SD), maka ada sesuatu yang baru yang kita lihat, kita bertemu orang-orang yang berpakaian yang sama, kita disuruh berbaris oleh guru, bahkan sampai dudukpun diatur, disamping itu kita diajarkan berdoa memulai dan mengakiri pelajaran, diajarkan menghormati teman-teman dan guru, dan kita juga diajarkan membaca, menulis, dan berbagai macam pengetahuan. Anak kecil menerima pelajaran dengan wajar, ada yang susah, ada yang gampang, tetapi pada akhirnya semua anak ditargetkan untuk memperoleh nilai tertentu yang akan menunjukkan, bahwa dia akan naik ke-kelas berikutnya yang lebih tinggi. Jika anak kecil menerima pelajaran dengan wajar, kenapa yang terjadi justru pengetahuan sering menjadi sumber mala-petaka. Pengetahuan tentang senjata dipakai untuk mencelakakan sesama, pengetahuan ilmu politik, ilmu hukum dipergunakan untuk mengalahkan sesama. Jadi apa yang salah disini. Coba anda kembali ketika anda duduk di bangku sekolah, adakah dalam benak anda untuk mencelakakan sesama, saya yakin jawabannya “tidak”. Lalu kenapa ada diantara-anda yang menyelewengkan diri sendiri dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencelakan orang lain. Seharusnya anda meng-interseksikan diri anda sekarang dengan saat anda dulu bersekolah, mana yang lebih membuat anda senang dan bahagia.
Dari gambaran repleksi diatas, maka banyak hal yang bisa kita pelajari dari diri sendiri dalam suasana mengejar ilmu pengetahuan (Brahmacari), yaitu :
• Manusia memang memiliki bakat bawaan yang bisa digali untuk menjadikan dirinya sebagai „Pribadinya“.
• Untuk mejadi diri sendiri yang profesional, maka perlu ada keinginan, yang menyebabkan timbulnya suatu tindakan untuk mencapai keinginan tersebut. Keinginan ini tetap harus terkendali dan berada pada garis yang benar.
• Proses belajar itu ternyata sudah dimulai sebelum memasuki pendidikan formal, bahkan semasih Balita.
• Pada masa kecil dan anak-anak proses belajar (Brahmacari) ini dijalani dengan wajar tanpa terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan yang bisa membawa dampak tidak baik.
• Setelah manusia berpengetahuan, maka bisa terjadi perubahan dalam aplikasi pengetahuannya yang kadang merugikan fihak lain, sehingga perlu repleksi diri ketika kita masih kecil yang bersih, suci, dan membawa kebahagiaan sekitar kita.
• Proses belajar (Brahmacari) yang benar bisa menjadikan kita orang yang berguna bagi orang lain, profesional, bersih/suci, sehingga pantas kalau kita jadaikan „FASE BRAHMACARI SEBAGAI PONDASI PERJALANAN HIDUP“ untuk meraih kebahagian skala/niskala, Moksartam Jagadhita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo – Jateng 57771 31-10-2004
Menjadi apa kita dalam kehidupan didunia itu sudah ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Manusia disebutkan sudah memiliki “Talenta”, yaitu bakat yang diturunkan oleh orang tua atau pendahulunya dan dibawa sejak masih dalam kandungan, namun bakat itu tidak serta-merta bisa menjadi profesinya atau spesialisnya. Jika orang tuanya dokter tidak otomatis anaknya pasti jadi dokter, jika orang tuanya president juga tidak otomatis anaknya jadi presiden walaupun dijaman kerajaan tahta kerajaan itu biasanya diturunkan namun sianak tetap harus digembleng dulu dan bakat kepemimpinan mereka tetap tidak sama, termasuk disini adalah jika orang tuanya Pandita tidak otomatis anaknya bisa jadi Pandita . Semuanya memerlukan usaha dan ketekunan luar biasa, sehingga bakat yang ada pada diri orang tersebut bisa diwujudkan menjadi : Keahlian, profesionalisme, atau dalam bahasa rohani disebut menjadi “jati dirinya”.
Dalam Agama Hindu ada salah satu ajaran yang mengatur kehidupan manusia dari baru lahir sampai mencapai usia senja, ajaran itu adalah : “Catur Asrama”, yaitu : Brahmacari (Masa menuntut ilmu), Grahasta (Masa berumah tangga), Wanaprasta (Masa mempelajari ajaran-ajaran kerohanian), dan Biksuka/Sanyasa (Masa mengamalkan ajaran rohani atau menjadi rohaniawan). Fase-fase ini diajarkan agar kehidupan manusia menjadi berguna, bermutu, atau mendatangkan kebahagiaan skala/niskala. Dalam tulisan ini penulis lebih menekankan ajaran Brahmacari sebagai bahasan tetapi bukan menjadikan satu-satunya ajaran Hindu yang harus dijalankan, tetapi ingin menunjukkan, bahwa Ajaran Brahmacari bisa menjadi “Pondasi Perjalanan Hidup Manusia”. Proses belajar itu sebenarnya sudah dimulai sejak Balita dan terus sampai memasuki pendidikan formal dan juga dalam pergaulan dimasyarakat.. Apa yang dialami seseorang akan menjadi hal penting dalam perjalanan hidup manusia setelah dewasa nanti . Berikut kita coba urutkan fase belajar/ atau mencari ilmu ini dari Balita sampai memasuki sekolah formal dan pergaulan dimasyarakat.
KETIKA ANAK BALITA MULAI MELANGKAH
Proses kelahiran manusia adalah proses yang unik, sampai sebelum bayi mulai melangkah dalam tulisan ini belum mempunyai makna-makna apa-apa karena bayi hanya menangis, tertawa, menyusui, tengkurap, dan lain-lain yang semuanya dilakukan dalam posisi belum sempurna sebagai manusia (berdiri tegak). Setelah sekitar 11 bulan, maka mulailah seorang bayi memperlihatkan jati dirinya sebagai manusia yang tegak berdiri siap menghadapi masa depannya. Jati diri sebagai manusia baru pada tingkat fisik belum pada tingkat rohani. Balita ini adalah seorang manusia, sudah tumbuh keinginan-keinginan yang mendorongnya untuk melangkahkan kakinya, seperti : mengambil benda disekitarnya yang menarik perhatiannya, mendekati ibunya untuk memperoleh kasih-sayang, dan banyak daya tarik lainnya . Kesimpulannya “ada suatu keadaan yang mendorong manusia itu melakukan suatu tindakan”, Apa yang mendorong seorang balita melangkahkan kakinya ? yaitu adanya suatu “keinginan” . Jadi “keinginan” adalah daya tarik luar biasa yang menyebabkan manusia itu melakukan suatu tindakan, jika tidak ada keinginan, maka apa yang ada disekitarnya tidak dapat mendorong dirinya untuk melakukan suatu tindakan. Pada saat balita keinginan ini masih belum terkontaminasi, masih bersih/suci. Seorang balita hanya ingin memenuhi nalurinya saja.
Anak Balita Melangkah, dapat memberi pelajaran pada kita, bahwa keinginan-keinginan yang merupakan sifat manusia bisa dikejar, dicari, direngkuh, diperoleh, dengan kebersihan jiwa tanpa merugikan orang lain. Seorang balita karena kebersihan jiwanya malah akan mendorong orang lain untuk membantu Sang balita untuk mencapai tujuannya, jadi kebersihan jiwa ini akan melahirkan kebersihan-kebersihan jiwa disekitarnya. Setiap manusia pernah mengalami menjadi balita,yang berarti juga pada awalnya manusia itu bersih/suci yang selalu membuat bahagia orang lain terutama kedua orang tuanya, jika kita mencoba mem-prediksi seharusnya setelah bayi itu dewasa akan tetap memancarkan kedamaian dimana-mana, tapi kenapa dimana-mana kita jumpai manusia-manusia pembohong, pemfitnah, bahkan pembunuh sesamanya, apa yang salah dari proses balita menjadi dewasa. Mari kita sama-sama mencari jawabannya, untuk itu kita harus masuk kediri sendiri jangan mencari kemana-mana, bayangkan ketika anda masih bayi yang bisa anda ingat, mungkin juga dengan melihat album masa kecil, ceritra-ceritra ibu-bapak dan saudara kita, sehingga sampai benar-benar terkulminasi dan anda “Menjadi balita lagi”.
KETIKA ANAK KECIL MELANGKAH KE SEKOLAH
Di era dimana pendidikan sudah menjadi kebutuhan pokok terbukti dimana-mana setiap orang tua akan berusaha dengan segala upaya agar anaknya bisa bersekolah. Di daerah-daerah miskin dan terbelakang, bantuan-bantuan pemerintah, masyarakat, bahkan badan dunia seperti Unesco, turun membantu mencerdaskan masyarakat agar tidak ketinggalan dengan masyarakat lainnya dibelahan dunia ini. Ditempat-tempat yang sekolah sudah menjadi kebutuhan, maka orang tua menyekolahkan anaknya agar anaknya dapat “Ijasah” dan besok gampang mencari kerja. Ini adalah pemikiran materialistis dan keamanan masa depan, ini bukan suatu kesalahan dan ini tingkat keinginan yang lumrah dari orang tua pada anaknya.
Anak Kecil Melangkah Ke Sekolah, mempunyai makna yang demikian besar bagi anak itu sendiri, bagi orang tua, keluarga, dan masyarakat. Kembali keinginan adalah factor yang mendorong manusia itu melangkah, dalam hal ini adalah “keinginan menambah/memperluas pengetahuan” . Keinginan menambah/memperluas pengetahuan tidak sama dengan keinginan bersekolah. Banyak anak yang justru tidak ingin ber-sekolah, tetapi tidak hilang keinginannya menambah pengetahuan. Anak kecil akan melakukan suatu kegiatan-kegiatan yang bisa menambah pengetahuannya melalui bermain, melakukan percobaan sendiri, yang sering oleh orang tuanya dianggap membuang-buang waktu dan dapat mengabaikan sekolah. Jika berlebihan bermain memang, tapi kita sebaiknya sepakat, bahwa mereka sedang menambah pengetahuannya melalui bermain atau eksperimen. Ada makna dalam yang dialami oleh anak kecil yang melangkah ke sekolah. Anda tentu masih ingat pada saat memasuki bangku sekolah pertama (TK atau SD), maka ada sesuatu yang baru yang kita lihat, kita bertemu orang-orang yang berpakaian yang sama, kita disuruh berbaris oleh guru, bahkan sampai dudukpun diatur, disamping itu kita diajarkan berdoa memulai dan mengakiri pelajaran, diajarkan menghormati teman-teman dan guru, dan kita juga diajarkan membaca, menulis, dan berbagai macam pengetahuan. Anak kecil menerima pelajaran dengan wajar, ada yang susah, ada yang gampang, tetapi pada akhirnya semua anak ditargetkan untuk memperoleh nilai tertentu yang akan menunjukkan, bahwa dia akan naik ke-kelas berikutnya yang lebih tinggi. Jika anak kecil menerima pelajaran dengan wajar, kenapa yang terjadi justru pengetahuan sering menjadi sumber mala-petaka. Pengetahuan tentang senjata dipakai untuk mencelakakan sesama, pengetahuan ilmu politik, ilmu hukum dipergunakan untuk mengalahkan sesama. Jadi apa yang salah disini. Coba anda kembali ketika anda duduk di bangku sekolah, adakah dalam benak anda untuk mencelakakan sesama, saya yakin jawabannya “tidak”. Lalu kenapa ada diantara-anda yang menyelewengkan diri sendiri dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencelakan orang lain. Seharusnya anda meng-interseksikan diri anda sekarang dengan saat anda dulu bersekolah, mana yang lebih membuat anda senang dan bahagia.
Dari gambaran repleksi diatas, maka banyak hal yang bisa kita pelajari dari diri sendiri dalam suasana mengejar ilmu pengetahuan (Brahmacari), yaitu :
• Manusia memang memiliki bakat bawaan yang bisa digali untuk menjadikan dirinya sebagai „Pribadinya“.
• Untuk mejadi diri sendiri yang profesional, maka perlu ada keinginan, yang menyebabkan timbulnya suatu tindakan untuk mencapai keinginan tersebut. Keinginan ini tetap harus terkendali dan berada pada garis yang benar.
• Proses belajar itu ternyata sudah dimulai sebelum memasuki pendidikan formal, bahkan semasih Balita.
• Pada masa kecil dan anak-anak proses belajar (Brahmacari) ini dijalani dengan wajar tanpa terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan yang bisa membawa dampak tidak baik.
• Setelah manusia berpengetahuan, maka bisa terjadi perubahan dalam aplikasi pengetahuannya yang kadang merugikan fihak lain, sehingga perlu repleksi diri ketika kita masih kecil yang bersih, suci, dan membawa kebahagiaan sekitar kita.
• Proses belajar (Brahmacari) yang benar bisa menjadikan kita orang yang berguna bagi orang lain, profesional, bersih/suci, sehingga pantas kalau kita jadaikan „FASE BRAHMACARI SEBAGAI PONDASI PERJALANAN HIDUP“ untuk meraih kebahagian skala/niskala, Moksartam Jagadhita.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo – Jateng 57771 31-10-2004
MEMAKNAI PERSELISIHAN
DAN BELAJAR MENJADI SABAR (KSAMAWAN)
Tidak seorangpun bisa mulus menjalani kehidupan karena pasti akan pernah mengalami benturan-benturan atau perselisihan-perselisihan. Jika kita amati perjalanan hidup kita dari kecil sampai sekarang ini, maka hal itu selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Waktu kecil kita pernah berselisih dengan teman bermain, teman sekolah, teman kuliah, dikantor, dikeluarga, dimasyarakat. Perselisihan ini bukan hanya bisa terjadi pada perorangan, bahkan perusahaan, juga lembaga umat, kalau lebih jauh lagi negarapun bisa terlibat perselisihan. Cara menyelesaikan perselisihanpun beraneka ragam, ada yang melalui perantara (orang/lembaga yang netral), diselesaikan antar yang bersangkutan, atau secara hukum. Pada kesempatan ini saya tidak akan mengupas bentuk perselisihan atau cara mengatasi perselisihan, tetapi mengajak untuk ”memaknai” suatu perselisihan.
Perselisihan umumnya diawali karena adanya ”Perbedaan” pemahaman akan suatu hal. Anak kecil sering menjadi berselisih karena berbeda menafsirkan suatu bentuk permaianan misalnya, anak satu ingin seperti ini tetapi anak yang lain ingin yang lain. Suami istri bisa sering berselisih karena berbeda cara mengatur anak, bahkan suatu lembaga umatpun bisa berselisih karena tidak adanya kesamaan pemahaman.
Untuk mengatasi perselisihan, memang yang berselisih faham harus sabar, atau minimal salah satu ada yang bisa mengendalikan diri agar tidak berkembang menjadi lebih besar yang justru akan memberi kesempatan kepada banyak hal, misalnya : bhuta kala/angkara murka, fihak yang mencari keuntungan, dan fihak yang malah akan melakukan provokasi. Jika ada yang memang menyadari kekeliruan, maka tidak ada salahnya minta maaf. Bagi sebagian orang ”maaf” ini menjadi sangat tabu. maaf juga bisa diartikan sebagai ”kelemahan” bahkan ada sebagian yang mengartikan sebagai ”kekalahan” . Kalau kita sempitkan hal ini kepada perselisihan keluarga, apakah suami dan istri itu perlu saling mengalahkan. Dalam kisah yang lain, saya pernah mengalami ”ketakutan” ketika akan memasuki dunia Ke-Pemangkuan/Pinandita, karena sudah membayangkan banyak hal yang perlu dijaga , misalnya : makanan, prilaku, pengabdian yang tulus, dll. yang mana saya khawatir tidak bisa menjalaninya dan merasa itu memerlukan suatu pemahaman kejiwaan yang baik. Kekawatiran/ketakutanl itu saya sampaikan pada Penglingsir saya (Pandita Mpu Nabe Pemuteran). Nak Lingsir kenapa saya takut menjadi Pinandita. Dijawab oleh beliau; Nanak, inti suatu hal itu bukan pada takut atau berani, nanak jangan takut tetapi jangan pula berani. Kalimat singkat itu yang disampaikan tahun 2003 sampai sekarang masih mendengung terus dihati saya. Dalam kehiidupan ini selalu ada dua hal, tetapi intinya justru pada diantara keduanya itu. Purusa – Pradana menghasilkan kehidupan, positif – negatif menghasilkan energi listrik, dan diantara takut dan berani juga terdapat suatu sikap yang benar, apakah itu ? apakah itu yang disebut ”Ksamawan” (sabar) saya sendiri tidak tahu. Mengenai Ksamawan ini kita coba lihat pada Sloka 94 Sarasamuccaya, disebutkan :”Apabila tidak ada yang Ksamawan, niscaya tidak ada kepastian akan adanya persahabatan, melainkan jiwa murka menyelubungi diri sekalian mahluk karenanya pasti akan bertengkar satu sama lain”. Ksamawan juga berarti Ibu Pertiwi sebagai simbul kesabaran.. Itu kata Sarusmacaya, saya mungkin belum termasuk kategori itu karena dalam kehidupan saya kadang masih ada perselisihan, karena saya belum sabar dan sedang belajar menjadi Ksamawan.
Perselisihan demi perselisihan jika di ’Manaje” dengan baik juga akan bisa menjadikan kita Ksamawan, karena latihan mental seperti ini sangat berat bagi kita yang masih makan daging, kata kawan yang senang bergurau. Untuk melatih menjadi ”Ksamawan” dalam setiap kesempatan pertemuan/rapat warga, saya selalu menyampaikan perbedaan : Debat dan diskusi. Saya katakan, bahwa saya tidak menyukai berdebat, kenapa ? karena debat umumnya didasari oleh menang-kalah, padahal nafsu untuk menang ini akan mengundang orang melakukan segala sesuatu untuk membuat orang lain kalah, jadi hasil akhir dari debat ini adalah akan ada yang kalah dan akan ada yang tersakiti hatinya, karena manusia umumnya tidak bisa menerima kekalahan, ini adalah salah satu bentuk Superioritas manusia. Tetapi melalui Duskusi, maka masing-masing akan diperlukan peranannya dan pada akhirnya diperoleh suatu keputusan yang memberi kepuasan kepada semua fihak. Pengertian Debat dan Diskusi ini adalah pengertian saya pribadi, anda-anda tentu punya konsep yang lain.
Kembali kepada takut-berani diatas, saya belum tahu apakah karena penjiwaan pesan yang saya peroleh dari Nak Lingsir atau memang pribadi saya, maka aplikasi dimasyarakat saya artikan sebagai ”Kesetaraan”. Saya menjadi sangat terganggu jika melihat terjadi pembedaan manusia. Saya menjadi tertarik berbicara : Kesetaraan Sulinggih, kesetaraan Trah, dll. Ketika tinggal di Bekasi sekitar tahun 1989 – 1998 dirumah saya sering berkumpul teman-teman dari berbagai agama bahkan sampai menginap, mereka bukan tokoh tetapi umat biasa dan kita bisa bertemu dalam satu pemahaman jika berdiskusi, karena kita berbicara tidak membawa bendera agama, tetapi dengan bendera manusia sebagai mahluk yang sama dimata Tuhan. Kadang teman Muslim, saya persilahkan untuk Sholat dirumah saya dengan alas Koran Bersih. Sekarang jika saya kadang berbicara tentang Kesetaraan Trah misalnya , juga dalam pengertian “Kesetaraan Manusia” bukan menghina atau mendiskriditkan Trah/Soroh tertentu. Setiap penulis memang perlu “Warna” dalam tulisannya walaupun yang disampaikan sebenarnya Ajaran, ada yang dengan Warna Pendidikan, Warna Sastra Agama dan untuk saya, saya senang memakai Warna Bhakti, sebagai sarana untuk terjadinya persatuan guna tercipta “Keharmonisan”. Mari kita publikasikan “Tat Twam Asi” supaya kita memperolah kebahagian dalam kehidupan, sesuai dengan tujuan dasar Agama Hindu “Moksartam Jagadhita Ya Ca Ithi Dharma”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
01-10-2005.
DAN BELAJAR MENJADI SABAR (KSAMAWAN)
Tidak seorangpun bisa mulus menjalani kehidupan karena pasti akan pernah mengalami benturan-benturan atau perselisihan-perselisihan. Jika kita amati perjalanan hidup kita dari kecil sampai sekarang ini, maka hal itu selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Waktu kecil kita pernah berselisih dengan teman bermain, teman sekolah, teman kuliah, dikantor, dikeluarga, dimasyarakat. Perselisihan ini bukan hanya bisa terjadi pada perorangan, bahkan perusahaan, juga lembaga umat, kalau lebih jauh lagi negarapun bisa terlibat perselisihan. Cara menyelesaikan perselisihanpun beraneka ragam, ada yang melalui perantara (orang/lembaga yang netral), diselesaikan antar yang bersangkutan, atau secara hukum. Pada kesempatan ini saya tidak akan mengupas bentuk perselisihan atau cara mengatasi perselisihan, tetapi mengajak untuk ”memaknai” suatu perselisihan.
Perselisihan umumnya diawali karena adanya ”Perbedaan” pemahaman akan suatu hal. Anak kecil sering menjadi berselisih karena berbeda menafsirkan suatu bentuk permaianan misalnya, anak satu ingin seperti ini tetapi anak yang lain ingin yang lain. Suami istri bisa sering berselisih karena berbeda cara mengatur anak, bahkan suatu lembaga umatpun bisa berselisih karena tidak adanya kesamaan pemahaman.
Untuk mengatasi perselisihan, memang yang berselisih faham harus sabar, atau minimal salah satu ada yang bisa mengendalikan diri agar tidak berkembang menjadi lebih besar yang justru akan memberi kesempatan kepada banyak hal, misalnya : bhuta kala/angkara murka, fihak yang mencari keuntungan, dan fihak yang malah akan melakukan provokasi. Jika ada yang memang menyadari kekeliruan, maka tidak ada salahnya minta maaf. Bagi sebagian orang ”maaf” ini menjadi sangat tabu. maaf juga bisa diartikan sebagai ”kelemahan” bahkan ada sebagian yang mengartikan sebagai ”kekalahan” . Kalau kita sempitkan hal ini kepada perselisihan keluarga, apakah suami dan istri itu perlu saling mengalahkan. Dalam kisah yang lain, saya pernah mengalami ”ketakutan” ketika akan memasuki dunia Ke-Pemangkuan/Pinandita, karena sudah membayangkan banyak hal yang perlu dijaga , misalnya : makanan, prilaku, pengabdian yang tulus, dll. yang mana saya khawatir tidak bisa menjalaninya dan merasa itu memerlukan suatu pemahaman kejiwaan yang baik. Kekawatiran/ketakutanl itu saya sampaikan pada Penglingsir saya (Pandita Mpu Nabe Pemuteran). Nak Lingsir kenapa saya takut menjadi Pinandita. Dijawab oleh beliau; Nanak, inti suatu hal itu bukan pada takut atau berani, nanak jangan takut tetapi jangan pula berani. Kalimat singkat itu yang disampaikan tahun 2003 sampai sekarang masih mendengung terus dihati saya. Dalam kehiidupan ini selalu ada dua hal, tetapi intinya justru pada diantara keduanya itu. Purusa – Pradana menghasilkan kehidupan, positif – negatif menghasilkan energi listrik, dan diantara takut dan berani juga terdapat suatu sikap yang benar, apakah itu ? apakah itu yang disebut ”Ksamawan” (sabar) saya sendiri tidak tahu. Mengenai Ksamawan ini kita coba lihat pada Sloka 94 Sarasamuccaya, disebutkan :”Apabila tidak ada yang Ksamawan, niscaya tidak ada kepastian akan adanya persahabatan, melainkan jiwa murka menyelubungi diri sekalian mahluk karenanya pasti akan bertengkar satu sama lain”. Ksamawan juga berarti Ibu Pertiwi sebagai simbul kesabaran.. Itu kata Sarusmacaya, saya mungkin belum termasuk kategori itu karena dalam kehidupan saya kadang masih ada perselisihan, karena saya belum sabar dan sedang belajar menjadi Ksamawan.
Perselisihan demi perselisihan jika di ’Manaje” dengan baik juga akan bisa menjadikan kita Ksamawan, karena latihan mental seperti ini sangat berat bagi kita yang masih makan daging, kata kawan yang senang bergurau. Untuk melatih menjadi ”Ksamawan” dalam setiap kesempatan pertemuan/rapat warga, saya selalu menyampaikan perbedaan : Debat dan diskusi. Saya katakan, bahwa saya tidak menyukai berdebat, kenapa ? karena debat umumnya didasari oleh menang-kalah, padahal nafsu untuk menang ini akan mengundang orang melakukan segala sesuatu untuk membuat orang lain kalah, jadi hasil akhir dari debat ini adalah akan ada yang kalah dan akan ada yang tersakiti hatinya, karena manusia umumnya tidak bisa menerima kekalahan, ini adalah salah satu bentuk Superioritas manusia. Tetapi melalui Duskusi, maka masing-masing akan diperlukan peranannya dan pada akhirnya diperoleh suatu keputusan yang memberi kepuasan kepada semua fihak. Pengertian Debat dan Diskusi ini adalah pengertian saya pribadi, anda-anda tentu punya konsep yang lain.
Kembali kepada takut-berani diatas, saya belum tahu apakah karena penjiwaan pesan yang saya peroleh dari Nak Lingsir atau memang pribadi saya, maka aplikasi dimasyarakat saya artikan sebagai ”Kesetaraan”. Saya menjadi sangat terganggu jika melihat terjadi pembedaan manusia. Saya menjadi tertarik berbicara : Kesetaraan Sulinggih, kesetaraan Trah, dll. Ketika tinggal di Bekasi sekitar tahun 1989 – 1998 dirumah saya sering berkumpul teman-teman dari berbagai agama bahkan sampai menginap, mereka bukan tokoh tetapi umat biasa dan kita bisa bertemu dalam satu pemahaman jika berdiskusi, karena kita berbicara tidak membawa bendera agama, tetapi dengan bendera manusia sebagai mahluk yang sama dimata Tuhan. Kadang teman Muslim, saya persilahkan untuk Sholat dirumah saya dengan alas Koran Bersih. Sekarang jika saya kadang berbicara tentang Kesetaraan Trah misalnya , juga dalam pengertian “Kesetaraan Manusia” bukan menghina atau mendiskriditkan Trah/Soroh tertentu. Setiap penulis memang perlu “Warna” dalam tulisannya walaupun yang disampaikan sebenarnya Ajaran, ada yang dengan Warna Pendidikan, Warna Sastra Agama dan untuk saya, saya senang memakai Warna Bhakti, sebagai sarana untuk terjadinya persatuan guna tercipta “Keharmonisan”. Mari kita publikasikan “Tat Twam Asi” supaya kita memperolah kebahagian dalam kehidupan, sesuai dengan tujuan dasar Agama Hindu “Moksartam Jagadhita Ya Ca Ithi Dharma”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
01-10-2005.
MENGAPA MENGENAL LELUHUR
( Dukutip dari Wayan Supartha – Penyunting Buku Mengenal Leluhur dari Dunia Babad oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi )
Seseorang teman pernah menginap di kampung saya.Ia ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di Pura Panti saya.Ia mengaku senang melihat tradisi yang tidak pernah ia lihat di kota (namun lantaran berbagai pertimbangan,saya tidak tulis tradisi itu).Nah,pada saat melakukan acara muspa, teman saya tidak ikut serta.
“Mengapa tidak ikut muspa?”Tanya saya beberapa menit seusai muspa.
“Soroh saya kan berbeda dengan soroh Anda.“jawabnya.“Kalau saya ikut muspa,kan berarti saya menyembah roh leluhur orang lain.“
Saya tertegun,tapi hanya sebentar. Saya tidak mau memperpanjang masalah itu demi menjaga hubungan “diplomatik”.Saya pikir muspa atau tidak itu hak azasinya.Lagi pula,apa ruginya saya jika ia tidak mau muspa di pura saya?
Saat minum kopi,saya pun menyuguhkan buah dan jajan,lungsuran dari persembahan tadi.
„Maaf,saya tidak boleh makan lunsuran dari pura orang lain.”
Saya tidak menjawab.Saya kemudian mengambil roti tawar dan mentega lalu menawarkan kepada dia.Suguhan itu ia terima dengan baik.
Suatu hari,giliran saya menginap di kampungnya,juga dengan tujuan ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di merajan-nya. Saat acara muspa, saya ikut muspa. Ketika acara santai minum kopi,teman saya itu menyuguhkan pisang goreng yang yang baru dibeli di warung.
“Kok saya disuguhi pisan goreng.Kau kan punya jajan lungsuran?”
“Wah kalau mau,jajannya banyak,”kata teman saya itu bergegas mengambil bermacam-macam jajan,seperti sirat,talin kereta, matahari,roti kukus, gipang,apem,bantal,dan sesisir pisang.Saya pun menyikat suguhan itu dan teman saya itu tampak senang.
“Jadi kau memang berani makan lungsuran,di pura orang lain lagi,“tanya teman saya itu.
„Lungsuran adalah makanan yang kita mohon setelah dipersembahkan.Bahasa lainnya disebut prasadam.Prasadam adalah makanan suci karena dianugerahkan oleh Yang Maha Suci,“kata saya berlagak seorang guru.
„Tapi kan dari pura orang lain?“tanya teman saya.
„Di puramu, atau di pura mana saja Tuhan kan sama.Itu pula sebabnya aku mau muspa.Kita kan dengar,bunyi mantranya sama yang berarti Tuhan yang dipuja sama.Misalnya kepada Siwaraditya,kepada Samodaya dsb.’
„Tapi kan ada roh leluhurku yang berbeda dengan leluhurmu.“
„Agama mengajarkan,kita hendaknya kasih mengasihi,hormat menghormati.Orangtuamu yang masih hidup saja kuhormati apa lagi yang telah malinggih di merajan yang telah menjadi Dewa Pitra.Apa salahnya aku menghormati roh leluhur orang lain dengan cara menyembah mereka?Bukankah ajaran tatwamasi berarti itu adalah saya sehingga satu sama lain mesti sama-sama dihormati?Maaf,ini hanya keyakinanku dan aku tidak memaksakan kamu memiliki kepercayaan serupa.“
Saya pun melontarkan hasil keputusan dan ketetapan Parisada yang antara lain menyatakan bahwa yang dapat disembah adalah: da Hyang Widhi Wasa,para dewa,para resi,bhatara/leluhur,manusa dan bhuta.Saya merasa perlu melontarkan itu,lantaran saya pernah mendengar ucapan seseorang (bahkan banyak yang sudah bergelar sarjana)bahwa manusia itu tidak perlu disembah.“Kok manusia disembah?Apa kau sudah gila,“kata seseorang teman suatu kali.
***
KAPAN persisnya saya menginap di rumah teman saya itu, saya sudah betul-betul lupa.Namun saya tidak pernah lupa pada sebait kekawin Ramayana ini:
Gunamanta Sang Dasarata
Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja
masih ta sireng swagotra kabeh
Sebait kekawin itu rupanya cukup memberikan gambaran kepada kita,bahwa Sang Dasarata adalah seorang tokoh panutan di segala zaman.Raja Ayodhya itu disebutkan ahli Weda,seorang bhakta(pemuja Tuhan yang taat),tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya.Lantaran kualitas Dasarata itu,mungkin itu pulalah sebabnya Dewa Wisnu memilih raja Ayodya itu sebagai „bapak“-nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana,“Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma.“
Dalam Hindu ada disebutkan,bahwa kita memiliki utang kepada leluhur yang disebut Pitra Rna.Mengapa berutang,karena dari beliaulah kita lahir dan dibesarkan.Utang tersebut kemudian dibayar dengan Pitra Yadnya.Dalam arti sempit,Pitra Yadnya sering disamakan dengan upacara Ngaben atau upacara yang berkenaan dengan kematian.Namun dalam arti luas,ada orang mengatakan,setiap memuja roh leluhur disebut Pitra Yadnya.
Nah,agar dapat memuja roh leluhur dengan baik,maka alangkah baiknya para pemuja mengenal siapa leluhurnya itu.Seperti halnya memuja Tuhan,leluhur yang dipuja itu sebaiknya dikenal baik nama maupun riwayat hidupnya.Jika perlu sampai wajahnya dapat dibayangkan saat memuja.
Dikutip oleh :
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo, Jateng
( Dukutip dari Wayan Supartha – Penyunting Buku Mengenal Leluhur dari Dunia Babad oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi )
Seseorang teman pernah menginap di kampung saya.Ia ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di Pura Panti saya.Ia mengaku senang melihat tradisi yang tidak pernah ia lihat di kota (namun lantaran berbagai pertimbangan,saya tidak tulis tradisi itu).Nah,pada saat melakukan acara muspa, teman saya tidak ikut serta.
“Mengapa tidak ikut muspa?”Tanya saya beberapa menit seusai muspa.
“Soroh saya kan berbeda dengan soroh Anda.“jawabnya.“Kalau saya ikut muspa,kan berarti saya menyembah roh leluhur orang lain.“
Saya tertegun,tapi hanya sebentar. Saya tidak mau memperpanjang masalah itu demi menjaga hubungan “diplomatik”.Saya pikir muspa atau tidak itu hak azasinya.Lagi pula,apa ruginya saya jika ia tidak mau muspa di pura saya?
Saat minum kopi,saya pun menyuguhkan buah dan jajan,lungsuran dari persembahan tadi.
„Maaf,saya tidak boleh makan lunsuran dari pura orang lain.”
Saya tidak menjawab.Saya kemudian mengambil roti tawar dan mentega lalu menawarkan kepada dia.Suguhan itu ia terima dengan baik.
Suatu hari,giliran saya menginap di kampungnya,juga dengan tujuan ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di merajan-nya. Saat acara muspa, saya ikut muspa. Ketika acara santai minum kopi,teman saya itu menyuguhkan pisang goreng yang yang baru dibeli di warung.
“Kok saya disuguhi pisan goreng.Kau kan punya jajan lungsuran?”
“Wah kalau mau,jajannya banyak,”kata teman saya itu bergegas mengambil bermacam-macam jajan,seperti sirat,talin kereta, matahari,roti kukus, gipang,apem,bantal,dan sesisir pisang.Saya pun menyikat suguhan itu dan teman saya itu tampak senang.
“Jadi kau memang berani makan lungsuran,di pura orang lain lagi,“tanya teman saya itu.
„Lungsuran adalah makanan yang kita mohon setelah dipersembahkan.Bahasa lainnya disebut prasadam.Prasadam adalah makanan suci karena dianugerahkan oleh Yang Maha Suci,“kata saya berlagak seorang guru.
„Tapi kan dari pura orang lain?“tanya teman saya.
„Di puramu, atau di pura mana saja Tuhan kan sama.Itu pula sebabnya aku mau muspa.Kita kan dengar,bunyi mantranya sama yang berarti Tuhan yang dipuja sama.Misalnya kepada Siwaraditya,kepada Samodaya dsb.’
„Tapi kan ada roh leluhurku yang berbeda dengan leluhurmu.“
„Agama mengajarkan,kita hendaknya kasih mengasihi,hormat menghormati.Orangtuamu yang masih hidup saja kuhormati apa lagi yang telah malinggih di merajan yang telah menjadi Dewa Pitra.Apa salahnya aku menghormati roh leluhur orang lain dengan cara menyembah mereka?Bukankah ajaran tatwamasi berarti itu adalah saya sehingga satu sama lain mesti sama-sama dihormati?Maaf,ini hanya keyakinanku dan aku tidak memaksakan kamu memiliki kepercayaan serupa.“
Saya pun melontarkan hasil keputusan dan ketetapan Parisada yang antara lain menyatakan bahwa yang dapat disembah adalah: da Hyang Widhi Wasa,para dewa,para resi,bhatara/leluhur,manusa dan bhuta.Saya merasa perlu melontarkan itu,lantaran saya pernah mendengar ucapan seseorang (bahkan banyak yang sudah bergelar sarjana)bahwa manusia itu tidak perlu disembah.“Kok manusia disembah?Apa kau sudah gila,“kata seseorang teman suatu kali.
***
KAPAN persisnya saya menginap di rumah teman saya itu, saya sudah betul-betul lupa.Namun saya tidak pernah lupa pada sebait kekawin Ramayana ini:
Gunamanta Sang Dasarata
Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja
masih ta sireng swagotra kabeh
Sebait kekawin itu rupanya cukup memberikan gambaran kepada kita,bahwa Sang Dasarata adalah seorang tokoh panutan di segala zaman.Raja Ayodhya itu disebutkan ahli Weda,seorang bhakta(pemuja Tuhan yang taat),tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya.Lantaran kualitas Dasarata itu,mungkin itu pulalah sebabnya Dewa Wisnu memilih raja Ayodya itu sebagai „bapak“-nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana,“Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma.“
Dalam Hindu ada disebutkan,bahwa kita memiliki utang kepada leluhur yang disebut Pitra Rna.Mengapa berutang,karena dari beliaulah kita lahir dan dibesarkan.Utang tersebut kemudian dibayar dengan Pitra Yadnya.Dalam arti sempit,Pitra Yadnya sering disamakan dengan upacara Ngaben atau upacara yang berkenaan dengan kematian.Namun dalam arti luas,ada orang mengatakan,setiap memuja roh leluhur disebut Pitra Yadnya.
Nah,agar dapat memuja roh leluhur dengan baik,maka alangkah baiknya para pemuja mengenal siapa leluhurnya itu.Seperti halnya memuja Tuhan,leluhur yang dipuja itu sebaiknya dikenal baik nama maupun riwayat hidupnya.Jika perlu sampai wajahnya dapat dibayangkan saat memuja.
Dikutip oleh :
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo, Jateng
Selasa, Juli 21, 2009
PENGHARGAAN SEORANG PRESIDEN KEPADA IBU
Kasih Ibu sepanjang jaman , demikian kalimat yang sering kita dengar yang bermakna betapa besarnya kasih sayang seorang ibu. Dalam ceritra Mahabharata juga kita saksikan bagaimana Pandawa Lima sangat menghormati ibundanya, yaitu Dewi Kunti, bahkan Duryudana yang dikenal dalam kisah Bharata Yudha sebagai fihak yang lalim/ jahat juga sangat menghormati ibunya sehingga mengikuti perintah ibunya agar datang kehadapannya dalam keadaan telanjang bulat seperti halnya waktu bayi, karena ibunya akan memberi anugrah kekuatan . walaupun akhirnya tingkat bakti Duryudana kepada ibunya ternyata tidak sepenuhnya karena ketika berjumpa dengan Kresna, maka Duryudana terpengaruh oleh perkataan Kresna yang mengatakan, bahwa adalah tidak sopan seorang anak datang menjumpai ibunya dalam keadaan seperti itu. Duryudana kemudian menutupi alat vitalnya dengan daun, sehingga kekuatan Ibu Gandari melalui pancaran matanya tidak bisa menyelimuti seluruh tubuh Duryudana karena alat vitalnya ditutupi daun pisang. Ini adalah strategi Kresna sehingga ini akan menjadi kelemahan Duryudana saat nanti bertarung dengan Bima di Kurusetra. Strategi Kresna ini benar disatu sisi, yaitu „Etika“ yang benar juga bagi Ibu Gandari dari sisi kasih-sayang seorang ibu pada anaknya, disinilah kebutaan Duryudana akan hakikat bakti pada Ibunya. Bentuk ketidak tulusan seorang Duryudana adalah cermin dari seorang anak yang tidak patuh pada orang tua sehingga akan menemui petaka dalam hidupnya. Budaya hormat pada orang tua terutama pada Ibu masih dipertahankan dalam tradisi Jawa sehingga bagi umat Jawa ada tradisi Sungkem seorang anak pada orang-tua terutama pada ibunya. Budaya hormat pada orang tua di Bali atau orang Bali yang sudah merantau bentuknya sedikit berbeda tetapi mempunyai makna yang sama dimana tradisi bakti ini diwujudkan dalam bentuk bakti pada leluhur /Kawitan baik melalui Pitra Yadnya (Ngaben) atau setelah leluhur meraga Dewa Hyang dan bentuk pemujaan kawitan lainnya.
Adalah Ir. Sukarno , Presiden I Indonesia yang sangat mendalami hakekat bakti pada orang-tua terutama Ibunya. Budaya Jawa yang dianut dari ayahnya R. Sukemi Sosrodihardjo, dilaksanakan dengan baik sehingga disetiap kesempatan beliau selalu Sungkem pada ayah-ibunya. Mungkin merasa belum cukup rasa bakti pada ibunya sehingga ada suatu kejadian yang luar biasa telah dilakukan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1958 di Tampaksiring Bali. Sesuai dengan ceritra yang disampaikan kepada penulis oleh Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra dari Geria Taman Agung Wilaya Asrama, Baleagung, Desa adat Buleleng, Singaraja. pada kesempatan penulis tangkil (hadir di Gria Pandita/Brahmana) beberapa waktu yang lalu, maka Pandita Mpu yang secara kekerabatan masih sepupu-mindon dengan Ibu Megawati, menceritrakan, bahwa pada tahun 1958 itu Presiden Sukarno mengundang beberapa keluarga Baleagung Singaraja asal ibunda Presiden Sukarno agar datang ke Tampaksiring. Seperti biasa setelah menanyakan keadaan keluarga di Baleagung Presiden Sukarno menyampaikan keinginannya untuk memberikan anugrah kepada Ibundanya. Oleh keluarga di Baleagung dijawab, bahwa sehubungan bapak adalah seorang Presiden dan sekaligus seorang anak dari ibu yang akan diberi anugrah, maka semua keputusan diserahkan kepada bapak. Presiden Sukarno tampak menyambut dengan gembira jawaban dari keluarga Baleagung, maka pada kesempatan yang sudah ditetapkan, dihadapan tamu undangan yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah Republik Indonesia dan juga tamu undangan dari pejabat tinggi Negara sahabat, maka Presiden Sukarno mengumumkan dengan ini memberi anugrah kepada Ibunda Ni Nyoman Rai Srimben dengan nama baru Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Setelah itu disetiap kesempatan nama tersebut selalu menjadi sebutan bagi ibunda Presiden Sukarno tercinta. Dikemudian hari banyak muncul otobiografi atau kisah singkat tentang Presiden Sukarno yang menyimpang dengan keadaan sebenarnya, ada yang mengatakan Ibunda presiden Sukarno keturunan Raja, keturunan bangsawan atau lainnya yang pada tahun 1970 telah diluruskan oleh Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra (sebelum beliau jadi Pandita). Jika disebutkan Ibunda Presiden Sukarno adalah keturunan Brahmana masih bisa dibenarkan, sebab keluarga Baleagung adalah Trah Pasek, dimana leluhur Pasek adalah Sapta Pandita (Tujuh Pandita bersaudara), sedangkan Sapta Pandita adalah keturunan dari Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah), jadi darah Brahmana/Pandita memang ada pada diri Ibunda Presiden Sukarno.
Penghargaan Presiden Sukarno pada ibunya , adalah contoh yang sangat baik untuk ditiru oleh siapa saja apalagi jika sudah menjadi orang terkenal. Didalam ajaran Weda banyak sekali ajaran-ajaran yang menekankan tentang pentingnya bakti seorang anak pada ibunya. Dalam ceritra Melayu Kisah Si Malinkundang juga diberi contoh bagaimana celakanya seorang anak yang tidak mengakui ibunya setalah dia sukses menjadi orang terpandang. Sehingga mari kita berlomba-lomba untuk meningkatkan bakti kita pada Ibu dengan berbagai cara secara tulus sesuai kemampuan kita, walaupun hanya sekedar menanyakan kesehatannya via telepon jika kita tinggal berjauhan, karena bagi seorang ibu perhatian adalah hal yang sangat penting yang kita sering malas atau lupa melakukannya karena disibukkan oleh kegiatan rutin, sehingga melupakan ibu kita, padahal sangat jelas disampaikan dalam ajaran Hindu, yang jika disimpulkan : Kebahagiaan dan kesuksesan seorang anak dalam perjalanan hidupnya sangat kuat didasari oleh tingkat bakti pada ibunya.
Penulis,
Nyoman Sukadana
25-11-2004.
Langganan:
Postingan (Atom)