MEMAKNAI PERSELISIHAN
DAN BELAJAR MENJADI SABAR (KSAMAWAN)
Tidak seorangpun bisa mulus menjalani kehidupan karena pasti akan pernah mengalami benturan-benturan atau perselisihan-perselisihan. Jika kita amati perjalanan hidup kita dari kecil sampai sekarang ini, maka hal itu selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Waktu kecil kita pernah berselisih dengan teman bermain, teman sekolah, teman kuliah, dikantor, dikeluarga, dimasyarakat. Perselisihan ini bukan hanya bisa terjadi pada perorangan, bahkan perusahaan, juga lembaga umat, kalau lebih jauh lagi negarapun bisa terlibat perselisihan. Cara menyelesaikan perselisihanpun beraneka ragam, ada yang melalui perantara (orang/lembaga yang netral), diselesaikan antar yang bersangkutan, atau secara hukum. Pada kesempatan ini saya tidak akan mengupas bentuk perselisihan atau cara mengatasi perselisihan, tetapi mengajak untuk ”memaknai” suatu perselisihan.
Perselisihan umumnya diawali karena adanya ”Perbedaan” pemahaman akan suatu hal. Anak kecil sering menjadi berselisih karena berbeda menafsirkan suatu bentuk permaianan misalnya, anak satu ingin seperti ini tetapi anak yang lain ingin yang lain. Suami istri bisa sering berselisih karena berbeda cara mengatur anak, bahkan suatu lembaga umatpun bisa berselisih karena tidak adanya kesamaan pemahaman.
Untuk mengatasi perselisihan, memang yang berselisih faham harus sabar, atau minimal salah satu ada yang bisa mengendalikan diri agar tidak berkembang menjadi lebih besar yang justru akan memberi kesempatan kepada banyak hal, misalnya : bhuta kala/angkara murka, fihak yang mencari keuntungan, dan fihak yang malah akan melakukan provokasi. Jika ada yang memang menyadari kekeliruan, maka tidak ada salahnya minta maaf. Bagi sebagian orang ”maaf” ini menjadi sangat tabu. maaf juga bisa diartikan sebagai ”kelemahan” bahkan ada sebagian yang mengartikan sebagai ”kekalahan” . Kalau kita sempitkan hal ini kepada perselisihan keluarga, apakah suami dan istri itu perlu saling mengalahkan. Dalam kisah yang lain, saya pernah mengalami ”ketakutan” ketika akan memasuki dunia Ke-Pemangkuan/Pinandita, karena sudah membayangkan banyak hal yang perlu dijaga , misalnya : makanan, prilaku, pengabdian yang tulus, dll. yang mana saya khawatir tidak bisa menjalaninya dan merasa itu memerlukan suatu pemahaman kejiwaan yang baik. Kekawatiran/ketakutanl itu saya sampaikan pada Penglingsir saya (Pandita Mpu Nabe Pemuteran). Nak Lingsir kenapa saya takut menjadi Pinandita. Dijawab oleh beliau; Nanak, inti suatu hal itu bukan pada takut atau berani, nanak jangan takut tetapi jangan pula berani. Kalimat singkat itu yang disampaikan tahun 2003 sampai sekarang masih mendengung terus dihati saya. Dalam kehiidupan ini selalu ada dua hal, tetapi intinya justru pada diantara keduanya itu. Purusa – Pradana menghasilkan kehidupan, positif – negatif menghasilkan energi listrik, dan diantara takut dan berani juga terdapat suatu sikap yang benar, apakah itu ? apakah itu yang disebut ”Ksamawan” (sabar) saya sendiri tidak tahu. Mengenai Ksamawan ini kita coba lihat pada Sloka 94 Sarasamuccaya, disebutkan :”Apabila tidak ada yang Ksamawan, niscaya tidak ada kepastian akan adanya persahabatan, melainkan jiwa murka menyelubungi diri sekalian mahluk karenanya pasti akan bertengkar satu sama lain”. Ksamawan juga berarti Ibu Pertiwi sebagai simbul kesabaran.. Itu kata Sarusmacaya, saya mungkin belum termasuk kategori itu karena dalam kehidupan saya kadang masih ada perselisihan, karena saya belum sabar dan sedang belajar menjadi Ksamawan.
Perselisihan demi perselisihan jika di ’Manaje” dengan baik juga akan bisa menjadikan kita Ksamawan, karena latihan mental seperti ini sangat berat bagi kita yang masih makan daging, kata kawan yang senang bergurau. Untuk melatih menjadi ”Ksamawan” dalam setiap kesempatan pertemuan/rapat warga, saya selalu menyampaikan perbedaan : Debat dan diskusi. Saya katakan, bahwa saya tidak menyukai berdebat, kenapa ? karena debat umumnya didasari oleh menang-kalah, padahal nafsu untuk menang ini akan mengundang orang melakukan segala sesuatu untuk membuat orang lain kalah, jadi hasil akhir dari debat ini adalah akan ada yang kalah dan akan ada yang tersakiti hatinya, karena manusia umumnya tidak bisa menerima kekalahan, ini adalah salah satu bentuk Superioritas manusia. Tetapi melalui Duskusi, maka masing-masing akan diperlukan peranannya dan pada akhirnya diperoleh suatu keputusan yang memberi kepuasan kepada semua fihak. Pengertian Debat dan Diskusi ini adalah pengertian saya pribadi, anda-anda tentu punya konsep yang lain.
Kembali kepada takut-berani diatas, saya belum tahu apakah karena penjiwaan pesan yang saya peroleh dari Nak Lingsir atau memang pribadi saya, maka aplikasi dimasyarakat saya artikan sebagai ”Kesetaraan”. Saya menjadi sangat terganggu jika melihat terjadi pembedaan manusia. Saya menjadi tertarik berbicara : Kesetaraan Sulinggih, kesetaraan Trah, dll. Ketika tinggal di Bekasi sekitar tahun 1989 – 1998 dirumah saya sering berkumpul teman-teman dari berbagai agama bahkan sampai menginap, mereka bukan tokoh tetapi umat biasa dan kita bisa bertemu dalam satu pemahaman jika berdiskusi, karena kita berbicara tidak membawa bendera agama, tetapi dengan bendera manusia sebagai mahluk yang sama dimata Tuhan. Kadang teman Muslim, saya persilahkan untuk Sholat dirumah saya dengan alas Koran Bersih. Sekarang jika saya kadang berbicara tentang Kesetaraan Trah misalnya , juga dalam pengertian “Kesetaraan Manusia” bukan menghina atau mendiskriditkan Trah/Soroh tertentu. Setiap penulis memang perlu “Warna” dalam tulisannya walaupun yang disampaikan sebenarnya Ajaran, ada yang dengan Warna Pendidikan, Warna Sastra Agama dan untuk saya, saya senang memakai Warna Bhakti, sebagai sarana untuk terjadinya persatuan guna tercipta “Keharmonisan”. Mari kita publikasikan “Tat Twam Asi” supaya kita memperolah kebahagian dalam kehidupan, sesuai dengan tujuan dasar Agama Hindu “Moksartam Jagadhita Ya Ca Ithi Dharma”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
01-10-2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)