POSISI SULINGGIH DIMATA UMAT
Sulinggih adalah orang yang sangat dihormati dan disucikan oleh umat (Para Walaka). Setelah di Dwi Jati, beliau telah lahir kembali untuk kedua kali dari Brahman, karena setelah “Mati Raga” beliau hidup kembali melalui pelantunan Mantra-mantra suci Weda. Seorang Sulinggih sudah tidak terikat lagi dengan asal-usul keluarga atau Wangsa (Mepamit), sehingga seorang Sulinggih adalah “Lintas Golongan”. Hal-hal seperti ini harus dimengerti oleh Para Walaka.
Fenomena yang ada dimasyarakat, pemahaman umat terhadap seorang Sulinggih masih tidak sama. Sulinggih satu dengan yang lain masih dilihat secara berbeda, Asal-usul Wangsa seorang Sulinggih masih menjadi perhatian, sehingga nama/gelar dari Sulinggih justru menjadi point utama jika umat ingin mengundang beliau untuk “Muput”. Bahkan ada ke-fanatikan terhadap Sulinggihnya. Seorang Ida Bagus akan mengatakan “Pedanda Anu” Sulinggih saya, seorang Pasek akan mengatakan “Mpu Anu” Sulinggih saya, seorang Anak Agung mengatakan “Bhagawan Anu” Sulinggih saya, seorang Gusti mengatakan “Rsi Anu” Sulinggih saya, dst.dst. Yang lebih aneh lagi masing-masing mengatakan Sulinggih-nya yang terbaik, ini ibarat penggemar bola yang membanggakan kesebelasannya. Umat belum sampai pada pengertian, bahwa “Sulinggih-Sulinggih diatas adalah sama, yaitu sama-sama Brahmana yang tugas utama adalah membimbing umat kejalan yang benar sesuai ajaran Weda”. Kedepan akan sangat membahagiakan sekali jika terjadi Fenomena seorang Ida Bagus berani membanggakan “Mpu”, seorang Pasek berani membanggakan “Bhagawan”, seorang Anak Agung berani membanggakan “Rsi” dan seorang Gusti berani membanggakan “Pedanda” dan pada akhirnya “Umat bangga dan hormat dengan semua Sulinggih”. Dalam hal per-guruan, maka akan sangat baik jika terjadi seorang Bhagawan Nabenya Mpu, seorang Pedanda Nabenya Rsi, seorang Mpu Nabenya Pedanda, dst.dst. Jadi seorang Ida Bagus jangan sungkan belajar pada Mpu, seorang Anak Agung jangan sungkan belajar pada Rsi, seorang Pasek jangan sungkan belajar pada Bhagawan, dan seorang Gusti jangan sungkan belajar pada Pedanda. Lama kelamaan akan terjadi “Kristalisasi” terhadap Sulinggih itu sendiri dan pandangan kita satu focus, bahwa “Rohaniawan kita yang mampu Muput dan memberi kita yang haus akan ajaran Weda adalah “Sulinggih/ Pandita”. Jika ini terjadi berarti umat Hindu khususnya di Bali dan khususnya Para Walaka, sudah meningkat pemahamannya tentang “Shadaka”.
Per-detik ini, penulis belum melihat hal itu secara menyeluruh, hanya beberapa gelintir Walaka yang sudah sampai pada Tataran itu. Ada contoh yang terkini yaitu kebanggan umat terhadap seorang Sulinggih, kawan-kawan yang merasa memiliki Sulinggih ini dengan sangat berapi-api menceritrakan kemampuan beliau, bangga bukan karena kemampuan beliau, tetapi bangga karena kefanatikan buta. Pen-Darma Wacana yang baik bukan hanya Ida Pedanda Made Gunung, tetapi juga sebut saja, “Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha” (Seririt), “Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi” , dan beberapa yang lainnya. Masing-masing memiliki gaya tersendiri. Ida Pedanda Gde Made Gunung memang memiliki kemampuan untuk mengambil gaya/acting yang banyak diselingi humor, contoh-contoh sederhana dan keseharian yang digeluti masyarakat sehingga gampang dicerna oleh masyarakat awam. Sementara Pen-Darma Wacana yang lain dengan gaya yang berbeda, yang bisa dinikmati oleh tingkat pemahaman umat tertentu. Jadi masing-masing punya lahan atau sasaran umat sendiri-sendiri. Masalah gaya adalah masalah pribadi masing-masing Sulinggih dan itu tidak problem, yang penting adalah apapun gayanya sasaran akhir yang perlu dijadikan focus adalah “Adanya peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran Weda pada masyarakat”, jangan sampai saking asiknya ber-acting lupa dengan focus sehingga umat bukan menyimak Darma Wacana tetapi menonton Dagelan, ini berarti tidak terjadi plus point pada Darma Wacana tersebut. Para Walaka khususnya yang terkait dengan penyiaran, jangan mempolitisir atau membedakan para Sulinggih, karena niat tidak baik pada Sulinggih adalah suatu “Dosa”. Yang ingin ditekankan disini, adalah Para Walaka harus bangga dan hormat dengan siapapun Sulinggih yang memberikan Darma Wacana karena mereka adalah Sulinggih kita semua. Penulis masih memaklumi jika Para Walaka bangga atau fanatik dengan Sulinggihnya karena mereka adalah manusia-manusia yang rohaninya dibawah Sulinggih. Tetapi akan tidak habis mengerti jika yang “Mengkotak-kan diri” adalah Sulinggih itu sendiri. Penulis akan sangat bersyukur jika seorang Sulinggih mampu menempatkan dirinya dengan benar dan memberi contoh yang baik pada Para Walaka, seorang Sulinggih sebaiknya menarik diri dari organisasi umat yang bertentangan dan mengambil peran ‘Perdamaian”, Para Sulinggih sebaiknya sering dilihat umat berkumpul bersama baik dalam Pemujaan maupun acara-acara tertentu, seperti : Dharma Shanti, dll.. Jika Sulinggih sering ber-Dharma Wacana, jangan lupa juga, bahwa penggemarnya adalah dari berbagai kalangan, ada Ida Bagus, ada Pasek, ada Anak Agung, ada Gusti, dll. sehingga berilah contoh pada mereka tentang keselarasan hubungan antar-manusia, sebab jika mereka dikecewakan, maka mereka tidak akan mau lagi mendengar Dharma Wacana berikutnya, seperti yang terjadi di umat agama lain . Berarti, apa-apa yang telah diberikan sebelumnya akan sirna ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari.
Terakhir, melalui tulisan ini penulis mohon maaf kepada Para Sulinggih atas keberanian menulis artikel ini, sebab penulis menyadari dosa besar jika berbuat tidak baik pada Sulinggih. Penulis melakukan hal ini semata-mata kecintaan pada umat manusia, yang sering lupa, bahwa mereka sebanarnya adalah sama dimata Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
24-09-2003.
Selasa, Desember 01, 2009
PERLU KEJUJURAN PENGUNGKAPAN
SEJARAH PARA LELUHUR
Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Para Pendahulunya, kalimat tersebut sering kita dengar sebagai bentuk penghargaan kepada para pendahulu karena banyak pelajaran yang berharga yang bisa dipetik daripadanya dan dijadikan pengalaman sekaligus ditiru hal-hal yang positif dan meninggalkan yang negatif. Pada tulisan kali ini penulis mencoba menggugah sekaligus mengajak kita untuk sama-sama berani mengungkap, menyampaikan, dan mengambil hikmah akan kehidupan para leluhur orang bali jaman dahulu agar kita bisa memperoleh menfaat daripadanya.
Sejarah para leluhur jaman dahulu oleh beberapa penulis dimasukkan pada kategori Babad atau apalah namanya ditinjau dari segi penulisan sejarah, namun penulis tidak ingin mempermasalahkan hal itu karena yang penting adalah adanya catatan-catatan atau peninggalan-peninggalan yang bisa menjelaskan kehidupan para leluhur kita itu. Banyak penulis yang sudah berhasil menulis kembali dari peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa lontar, batu bertulis, prasasti-prasasti dan lain sebagainya sehingga kita menjadi tahu kehidupan para leluhur kita dahulu. Kita jadi tahu kehidupan Rsi Markandya, Rsi Agastya, Panca Tirta khususnya Mpu Kuturan, Kisah Airlangga dan Anak Wungsu, Kisah Dalem, Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh), Raja-Raja setelah runtuhnya Dalem, Ibunda Presiden Sukarno, dan banyak kisah lainnya yang sudah berhasil dijadilkan buku, untuk itu kita harus bersyukur karena kalau tidak atas jasa-jasa dari para penulis atau peneliti sejarah baik lembaga atau perorangan, maka kita tidak akan tahu apa yang terjadi dahulu. Mungkin kalau tidak ada yang mencatat kita akan lupa kapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu dikumandangkan. Dari membaca itu juga kita jadi tahu ternyata Airlangga itu orang Bali, juga untung Suropati, dan Ibunda Presiden Sukarno. Kita jadi tahu ternyata ada hubungan persaudaran antara orang Bali dan Jawa khususnya jawa timur dari membaca sejarah para leluhur, dan banyak manfaat lainnya. Tapi ada satu hal yang tidak pernah kita ketahui, apakah sejarah para leluhur yang ditulis itu dan sudah banyak dijadikan buku itu, benar adanya ? kalau lebih spesifik lagi sudah jujurkah para penulis itu mengungkap dan menyampaikan sejarah para leluhur itu ?. Kejujuran ini adalah sesuatu yang sangat luas yang mengandung makna : menulis sebagai Jnana Punia, menulis tanpa prasangka dan kebencian, menulis tanpa tujuan politis atau melindungi kepentingan tertenu, menulis tidak memutar balikkan fakta, dan lain-lainnya, jadi intinya menulis dengan dilandasi oleh niat yang suci untuk menyampaikan sejarah para leluhur dengan benar sesuai dengan kemampuan yang ada dan sumber-sumber yang diperoleh. Untuk melihat hal ini, mari kita sama-sama mencoba melihat fenomena tulisan-tulisan yang ada dimasyarakat, misalnya saja tentang Panca Tirta, sebagian dari kita mungkin sudah tahu, bahwa kedatangan mereka ke Bali atas undangan Raja Udayana Warmadewa dan Gunapriya darmapatni pada abad XI dan hal ini adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan kehidupan di Bali dikemudian waktu, tapi belum pernah ada yang mengungkap keberadaan Panca Tirta ini secara lengkap mungkin karena keterbatasan sumber data atau faktor lainnya. Yang sering dimuat hanya tentang Mpu Kuturan walaupun ini juga masih ada beberapa kekeliruan, misalnya saja tentang pembangunan pura-pura yang banyak terjadi pada jaman beliau, contohnya saja Pura Ponjok Batu dan Pura Uluwatu, jelas-jelas itu dibuat oleh Mpu Kuturan tetapi sekarang ini banyak yang menganggap itu bukan dibuat beliau (Pura Uluwatu disebutkan ditemukan Danghyang Nirarta). Contoh lain adalah Jaman Keemasan Bali yang dikatakan terjadi pada Jaman Dalem Waturenggong dengan Purohita waktu itu Danghyang Nirarta, masih terngiang tulisan dari Kembar Kerepun yang mengatakan ”Apakah benar jaman Dalem Waturenggong itu Bali mencapai jaman keemasan ?”. Orang sekaliber beliau tentu tidak sembarangan memberi pernyataan seperti itu, sayangnya beliau sudah meninggal. Ada lagi penulis yang menyampaikan, bahwa jaman kerajaan di Bali pernah terjadi penjualan budak-budak keluar Bali sehingga di Jakarta sekarang ada Kampung Bali. Tentang Presiden Sukarno juga ada pengertian yang berbeda tentang asal-usul beliau sampai sesepuh keluarga Baleagung Buleleng, perlu meng-klarifikasi dan menyampaikan kebenaran asal-usul beliau itu, dan masih banyak mungkin hal-hal yang tidak benar yang bisa jadi tidak kita ketahui.
Dalam situasi seperti ini kita hanya memerlukan penulis sejarah para leluhur yang ”Jujur”, disamping tentunya memiliki sumber-sumber yang akurat dan dapat dipercaya, tapi kejujuran menjadi hal yang pokok disini. Penulis sengaja tidak menggunakan kata ”Profesional” karena dengan ”kejujuran” ini akan sangat membantu penulisan sejarah para leluhur, kenapa begitu ? Penulis meyakini, bahwa mengungkap keberadaan para leluhur jaman dahulu tidak akan bisa lepas dengan hal-hal yang berbau Niskala. Bagi yang meyakini maka penulis sangat percaya akan banyak bantuan spiritual yang diperoleh sehingga kita bisa melakukan peran itu dengan benar, Itulah sebabnya beberapa penulis sejarah leluhur justru bukan orang yang sengaja mendalami sejarah dibangku pendidikan formal tetapi adalah orang biasa yang bersih hatinya, sehingga memperoleh ”Panugraha” untuk menyampaikan sejarah para leluhur. Mungkin dikemudian waktu akan ada diantara kita yang diberi tugas untuk mengungkap dan menyampaikan dengan jujur keberadaan leluhur jaman dahulu agar kita bisa mengambil suri tauladan dari hal-hal yang positif dan membuang yang negatif. Mutiara tetaplah mutiara walaupun ada didalam lumpur, dan kebenaran pastilah akan muncul kepermukaan. Sebagai akhir kata masih dalam suasana ”Galungan & Kuningan” penulis ingin menyampaikan ”Satyam Evam Jayate” .
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-10-2005.
SEJARAH PARA LELUHUR
Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Para Pendahulunya, kalimat tersebut sering kita dengar sebagai bentuk penghargaan kepada para pendahulu karena banyak pelajaran yang berharga yang bisa dipetik daripadanya dan dijadikan pengalaman sekaligus ditiru hal-hal yang positif dan meninggalkan yang negatif. Pada tulisan kali ini penulis mencoba menggugah sekaligus mengajak kita untuk sama-sama berani mengungkap, menyampaikan, dan mengambil hikmah akan kehidupan para leluhur orang bali jaman dahulu agar kita bisa memperoleh menfaat daripadanya.
Sejarah para leluhur jaman dahulu oleh beberapa penulis dimasukkan pada kategori Babad atau apalah namanya ditinjau dari segi penulisan sejarah, namun penulis tidak ingin mempermasalahkan hal itu karena yang penting adalah adanya catatan-catatan atau peninggalan-peninggalan yang bisa menjelaskan kehidupan para leluhur kita itu. Banyak penulis yang sudah berhasil menulis kembali dari peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa lontar, batu bertulis, prasasti-prasasti dan lain sebagainya sehingga kita menjadi tahu kehidupan para leluhur kita dahulu. Kita jadi tahu kehidupan Rsi Markandya, Rsi Agastya, Panca Tirta khususnya Mpu Kuturan, Kisah Airlangga dan Anak Wungsu, Kisah Dalem, Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh), Raja-Raja setelah runtuhnya Dalem, Ibunda Presiden Sukarno, dan banyak kisah lainnya yang sudah berhasil dijadilkan buku, untuk itu kita harus bersyukur karena kalau tidak atas jasa-jasa dari para penulis atau peneliti sejarah baik lembaga atau perorangan, maka kita tidak akan tahu apa yang terjadi dahulu. Mungkin kalau tidak ada yang mencatat kita akan lupa kapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu dikumandangkan. Dari membaca itu juga kita jadi tahu ternyata Airlangga itu orang Bali, juga untung Suropati, dan Ibunda Presiden Sukarno. Kita jadi tahu ternyata ada hubungan persaudaran antara orang Bali dan Jawa khususnya jawa timur dari membaca sejarah para leluhur, dan banyak manfaat lainnya. Tapi ada satu hal yang tidak pernah kita ketahui, apakah sejarah para leluhur yang ditulis itu dan sudah banyak dijadikan buku itu, benar adanya ? kalau lebih spesifik lagi sudah jujurkah para penulis itu mengungkap dan menyampaikan sejarah para leluhur itu ?. Kejujuran ini adalah sesuatu yang sangat luas yang mengandung makna : menulis sebagai Jnana Punia, menulis tanpa prasangka dan kebencian, menulis tanpa tujuan politis atau melindungi kepentingan tertenu, menulis tidak memutar balikkan fakta, dan lain-lainnya, jadi intinya menulis dengan dilandasi oleh niat yang suci untuk menyampaikan sejarah para leluhur dengan benar sesuai dengan kemampuan yang ada dan sumber-sumber yang diperoleh. Untuk melihat hal ini, mari kita sama-sama mencoba melihat fenomena tulisan-tulisan yang ada dimasyarakat, misalnya saja tentang Panca Tirta, sebagian dari kita mungkin sudah tahu, bahwa kedatangan mereka ke Bali atas undangan Raja Udayana Warmadewa dan Gunapriya darmapatni pada abad XI dan hal ini adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan kehidupan di Bali dikemudian waktu, tapi belum pernah ada yang mengungkap keberadaan Panca Tirta ini secara lengkap mungkin karena keterbatasan sumber data atau faktor lainnya. Yang sering dimuat hanya tentang Mpu Kuturan walaupun ini juga masih ada beberapa kekeliruan, misalnya saja tentang pembangunan pura-pura yang banyak terjadi pada jaman beliau, contohnya saja Pura Ponjok Batu dan Pura Uluwatu, jelas-jelas itu dibuat oleh Mpu Kuturan tetapi sekarang ini banyak yang menganggap itu bukan dibuat beliau (Pura Uluwatu disebutkan ditemukan Danghyang Nirarta). Contoh lain adalah Jaman Keemasan Bali yang dikatakan terjadi pada Jaman Dalem Waturenggong dengan Purohita waktu itu Danghyang Nirarta, masih terngiang tulisan dari Kembar Kerepun yang mengatakan ”Apakah benar jaman Dalem Waturenggong itu Bali mencapai jaman keemasan ?”. Orang sekaliber beliau tentu tidak sembarangan memberi pernyataan seperti itu, sayangnya beliau sudah meninggal. Ada lagi penulis yang menyampaikan, bahwa jaman kerajaan di Bali pernah terjadi penjualan budak-budak keluar Bali sehingga di Jakarta sekarang ada Kampung Bali. Tentang Presiden Sukarno juga ada pengertian yang berbeda tentang asal-usul beliau sampai sesepuh keluarga Baleagung Buleleng, perlu meng-klarifikasi dan menyampaikan kebenaran asal-usul beliau itu, dan masih banyak mungkin hal-hal yang tidak benar yang bisa jadi tidak kita ketahui.
Dalam situasi seperti ini kita hanya memerlukan penulis sejarah para leluhur yang ”Jujur”, disamping tentunya memiliki sumber-sumber yang akurat dan dapat dipercaya, tapi kejujuran menjadi hal yang pokok disini. Penulis sengaja tidak menggunakan kata ”Profesional” karena dengan ”kejujuran” ini akan sangat membantu penulisan sejarah para leluhur, kenapa begitu ? Penulis meyakini, bahwa mengungkap keberadaan para leluhur jaman dahulu tidak akan bisa lepas dengan hal-hal yang berbau Niskala. Bagi yang meyakini maka penulis sangat percaya akan banyak bantuan spiritual yang diperoleh sehingga kita bisa melakukan peran itu dengan benar, Itulah sebabnya beberapa penulis sejarah leluhur justru bukan orang yang sengaja mendalami sejarah dibangku pendidikan formal tetapi adalah orang biasa yang bersih hatinya, sehingga memperoleh ”Panugraha” untuk menyampaikan sejarah para leluhur. Mungkin dikemudian waktu akan ada diantara kita yang diberi tugas untuk mengungkap dan menyampaikan dengan jujur keberadaan leluhur jaman dahulu agar kita bisa mengambil suri tauladan dari hal-hal yang positif dan membuang yang negatif. Mutiara tetaplah mutiara walaupun ada didalam lumpur, dan kebenaran pastilah akan muncul kepermukaan. Sebagai akhir kata masih dalam suasana ”Galungan & Kuningan” penulis ingin menyampaikan ”Satyam Evam Jayate” .
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-10-2005.
MERENUNGI WEJANGAN PARA PANDITA MPU
Sejak kecil penulis menyukai mendengarkan orang tua yang sedang berceritra atau berdiskusi hal-hal yang bersifat kebenaran/susila. Sesudah dewasa sering tanpa sengaja penulis bertemu dengan rohaniawan baik dari umat Jawa atau Bali, yang mana dari mereka banyak hal-hal positif yang bisa diambil untuk pegangan hidup. Kesempatan yang sangat langka adalah ketika penulis dapat bertatap muka dengan beberapa Pandita Mpu, menjadi pendengar, kadang aktif bertanya hal-hal kehidupan dan sosial masyarakat. Ada wejangan yang terkait dengan “Keselarasan Hubungan Antar Manusia” yang penulis ingin sampaikan disini.
Diawali oleh kegundahan penulis melihat fenomena dimasyarakat tentang kurang baiknya pemahaman tentang keselarasan hubungan antar manusia yang merupakan ajaran “Tri Hita Karana”. Begitu dihadapkan pada masalah Wangsa di Bali, maka ajaran Weda ini menjadi tidak ampuh lagi. Ada umat yang masih membedakan dirinya dengan yang lain, ada Rohaniawan yang larut dalam pengkotakan diri. Ada Abdi Negara yang sebenarnya merupakan tangan-tangan untuk terciptanya keselarasan hubungan antar manusia membiarkan organisasi umat terbelah dua, membedakan Sulinggih dalam Persembahyangan. Untuk hal-hal seperti ini pionir-pionir keselarasan hubungan antar manusia ini telah tidak tepat menilai porsi riil dimasyarakat dan mesti banyak belajar sejarah leluhurnya khususnya sejak abad 10 – 16 Masehi..
Kegundahan-kegundahan seperti ini adalah sesuatu yang wajar, dan hal seperti ini akan bisa muncul pada diri siapa saja yang ingin menghayati dirinya . Namun…apa yang penulis rasakan dengan apa yang penulis peroleh berupa wejangan dari Para Pandita Mpu, adalah ibarat orang yang kehausan dipadang tandus dan mendapat suguhan air yang bening dan sejuk. Para Pandita Mpu memberi wejangan :
Jadilah kamu “Paling Pasek” (PASEK = Patitis Sesana Kawitan ) atau Meneladani Prilaku Leluhur dengan sangat baik,. Jangan menjadi “Pasek Paling” atau Pasek yang bingung, yang tidak pernah sujud bakti pada leluhur, tidak mengenal diri. Sapta Pandita dan ayahndanya, Mpu Gnijaya (yang tertua dari Panca Tirta) selalu mengajarkan agar keturunannya menjadi orang yang bakti pada leluhur, tidak melupakan saudara dan menjalankan swadarma leluhur yang sangat taat menjalankan ajaran agama. Terhadap sesama Trah Panca Tirta agar tetap menjaga persaudaraan walaupun mungkin mereka tidak menganggap kamu saudara, itu tidak apa-apa. (Trah Panca Tirta yang lain adalah : Mpu Bharada/terkecil – keturunannya : Soroh Ida Bagus, Anak Agung, Arya Pinatih,Arya Sidemen, dll dan Trah Mpu Semeru-keturunanya Suputra/Anak angkat adalah : Soroh Kayu Selem, Pelinggih Mpu Semeru ada di Pura Catur Lawa Besakih dengan Meru Tumpang Pitu.) .Nasihat beliau lagi, …..kamu harus bangga jika saudaramu bisa Muja di lokasi Bom Bali (Penulis : walaupun Mpu tidak diajak) karena itu untuk keselamatan umat manusia dan kamu memujalah di tempatmu masing-masing, kamu juga harus bangga jika saudaramu bisa tampil dengan President Amerika, seperti bangganya seorang kakak pada adiknya. Sebagai yang lebih tua (Mpu Gnijaya-tertua) memang harus siap menderita dan membuka jalan untuk kesuksesan seorang adik.
Mendengar wejangan seperti itu, hati penulis tersentuh dan menjadi sangat simpati dan kagum akan kebijaksanaan beliau-beliau itu. Wejangan-wejangan yang keluar sangat menjejukkan hati, kadang-kadang tegas dan keras tapi masih dalam koridor kebenaran. Dalam penjabaran Dharma Para Pandita Mpu bersifat “Low Profile” walaupun banyak bukti nyata yang dihasilkan, seperti : Pembangunan beberapa Pura di Tanah Jawa yang kadang-kadang bergandengan dengan Para Pedanda yang lain. Dengan fenomena seperti itu penulis seperti memperoleh gambaran akan keberadaan Sang Sapta Pandita dan Mpu Gnijaya dalam diri Para Pandita Mpu. Ternyata…… banyak dari beliau yang “Patitis” menjalankan Sesana leluhurnya. Dilain fihak dengan pengalaman seperti itu penulis malah telah banyak meluruskan pandangan dari beberapa kawan yang menganggap Trah Sapta Pandita hanya membicarakan tinggi rendah dan menganggap diri lebih tinggi, karena bagi Trah Sapta Pandita tidak ada prestise yang hilang atau dihilangkan, malah telah membuka wawasan bhakti yang sebenarnya pada leluhur, yaitu dengan “Meniru sesana leluhur yang baik”.
Terakhir, penulis perlu menyampaikan, bahwa sudah sepantasnya kita menata kembali bangunan simakrama dengan siapa saja asalkan dapat menghasilkan kebaikan pada sesama, sebab jalan ini adalah jalan kebenaran . Semakin besar keinginan kita untuk meraih keduniawian, seperti harta, sanjungan, dll. apalagi dengan cara yang tidak benar , akan semakin menjauhkan kita dari kehidupan rohani padahal pada kehidupan/prilaku rohani itu justru sangat dekat dengan “kebahagiaan”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-12-2003.
Sejak kecil penulis menyukai mendengarkan orang tua yang sedang berceritra atau berdiskusi hal-hal yang bersifat kebenaran/susila. Sesudah dewasa sering tanpa sengaja penulis bertemu dengan rohaniawan baik dari umat Jawa atau Bali, yang mana dari mereka banyak hal-hal positif yang bisa diambil untuk pegangan hidup. Kesempatan yang sangat langka adalah ketika penulis dapat bertatap muka dengan beberapa Pandita Mpu, menjadi pendengar, kadang aktif bertanya hal-hal kehidupan dan sosial masyarakat. Ada wejangan yang terkait dengan “Keselarasan Hubungan Antar Manusia” yang penulis ingin sampaikan disini.
Diawali oleh kegundahan penulis melihat fenomena dimasyarakat tentang kurang baiknya pemahaman tentang keselarasan hubungan antar manusia yang merupakan ajaran “Tri Hita Karana”. Begitu dihadapkan pada masalah Wangsa di Bali, maka ajaran Weda ini menjadi tidak ampuh lagi. Ada umat yang masih membedakan dirinya dengan yang lain, ada Rohaniawan yang larut dalam pengkotakan diri. Ada Abdi Negara yang sebenarnya merupakan tangan-tangan untuk terciptanya keselarasan hubungan antar manusia membiarkan organisasi umat terbelah dua, membedakan Sulinggih dalam Persembahyangan. Untuk hal-hal seperti ini pionir-pionir keselarasan hubungan antar manusia ini telah tidak tepat menilai porsi riil dimasyarakat dan mesti banyak belajar sejarah leluhurnya khususnya sejak abad 10 – 16 Masehi..
Kegundahan-kegundahan seperti ini adalah sesuatu yang wajar, dan hal seperti ini akan bisa muncul pada diri siapa saja yang ingin menghayati dirinya . Namun…apa yang penulis rasakan dengan apa yang penulis peroleh berupa wejangan dari Para Pandita Mpu, adalah ibarat orang yang kehausan dipadang tandus dan mendapat suguhan air yang bening dan sejuk. Para Pandita Mpu memberi wejangan :
Jadilah kamu “Paling Pasek” (PASEK = Patitis Sesana Kawitan ) atau Meneladani Prilaku Leluhur dengan sangat baik,. Jangan menjadi “Pasek Paling” atau Pasek yang bingung, yang tidak pernah sujud bakti pada leluhur, tidak mengenal diri. Sapta Pandita dan ayahndanya, Mpu Gnijaya (yang tertua dari Panca Tirta) selalu mengajarkan agar keturunannya menjadi orang yang bakti pada leluhur, tidak melupakan saudara dan menjalankan swadarma leluhur yang sangat taat menjalankan ajaran agama. Terhadap sesama Trah Panca Tirta agar tetap menjaga persaudaraan walaupun mungkin mereka tidak menganggap kamu saudara, itu tidak apa-apa. (Trah Panca Tirta yang lain adalah : Mpu Bharada/terkecil – keturunannya : Soroh Ida Bagus, Anak Agung, Arya Pinatih,Arya Sidemen, dll dan Trah Mpu Semeru-keturunanya Suputra/Anak angkat adalah : Soroh Kayu Selem, Pelinggih Mpu Semeru ada di Pura Catur Lawa Besakih dengan Meru Tumpang Pitu.) .Nasihat beliau lagi, …..kamu harus bangga jika saudaramu bisa Muja di lokasi Bom Bali (Penulis : walaupun Mpu tidak diajak) karena itu untuk keselamatan umat manusia dan kamu memujalah di tempatmu masing-masing, kamu juga harus bangga jika saudaramu bisa tampil dengan President Amerika, seperti bangganya seorang kakak pada adiknya. Sebagai yang lebih tua (Mpu Gnijaya-tertua) memang harus siap menderita dan membuka jalan untuk kesuksesan seorang adik.
Mendengar wejangan seperti itu, hati penulis tersentuh dan menjadi sangat simpati dan kagum akan kebijaksanaan beliau-beliau itu. Wejangan-wejangan yang keluar sangat menjejukkan hati, kadang-kadang tegas dan keras tapi masih dalam koridor kebenaran. Dalam penjabaran Dharma Para Pandita Mpu bersifat “Low Profile” walaupun banyak bukti nyata yang dihasilkan, seperti : Pembangunan beberapa Pura di Tanah Jawa yang kadang-kadang bergandengan dengan Para Pedanda yang lain. Dengan fenomena seperti itu penulis seperti memperoleh gambaran akan keberadaan Sang Sapta Pandita dan Mpu Gnijaya dalam diri Para Pandita Mpu. Ternyata…… banyak dari beliau yang “Patitis” menjalankan Sesana leluhurnya. Dilain fihak dengan pengalaman seperti itu penulis malah telah banyak meluruskan pandangan dari beberapa kawan yang menganggap Trah Sapta Pandita hanya membicarakan tinggi rendah dan menganggap diri lebih tinggi, karena bagi Trah Sapta Pandita tidak ada prestise yang hilang atau dihilangkan, malah telah membuka wawasan bhakti yang sebenarnya pada leluhur, yaitu dengan “Meniru sesana leluhur yang baik”.
Terakhir, penulis perlu menyampaikan, bahwa sudah sepantasnya kita menata kembali bangunan simakrama dengan siapa saja asalkan dapat menghasilkan kebaikan pada sesama, sebab jalan ini adalah jalan kebenaran . Semakin besar keinginan kita untuk meraih keduniawian, seperti harta, sanjungan, dll. apalagi dengan cara yang tidak benar , akan semakin menjauhkan kita dari kehidupan rohani padahal pada kehidupan/prilaku rohani itu justru sangat dekat dengan “kebahagiaan”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-12-2003.
MELURUSKAN PEMAKAIAN KATA ”RATU – AJI”
Sebagai orang Bali yang tinggal diluar Bali (Jawa), maka kedatangan di Bali walaupun hanya dalam rangka liburan tentu menjadi hal yang sangat berharga dan tidak untuk disia-siakan, apalagi ketika menonton siaran TV daerah dimana acaranya bernuansa Bali sungguh sangat menyenangkan. Acara seperti itu tidak bisa penulis dapatkan diluar Bali. Hari itu penulis nonton acara ”Pabiblagan” sejenis acara interaktif dimana pemirsa bisa ikut terlibat. Yang dibahas masalah ”Cafe” dan pembawa acaranya Ida Bagus, narasumbernya Anak Agung sayang keduanya penulis lupa nama lengkapnya. Seorang lagi wanita sebagai narasumber bidang hukum. Waktu itu ada juga dua pasang teruna-teruni Bali dan tamu lainnya. Pemaparan demi pemaparan dilakukan dengan sangat baiknya karena memang masalah Cafe ini sudah meresahkan di Bali karena sudah menjangkau kampung dan pedesaan sehingga dikhawatirkan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Suasana pembahasan sangat mengasyikkan bagi penulis karena disampaikan dengan bahasa Bali halus kadang ada bahasa indonesianya, benar-benar senang mengikutinya. Akhirnya sampailah pada sessi tanya-jawab dimana penanyanya adalah pemirsa dirumah melalui sambungan telepon. Para penanya juga tidak kalah menariknya, wawasan mereka cukup baik dan cara menyampaikannya juga jelas, sopan dan banyak juga yang memakai bahasa bali halus. Yang paling penting lagi mereka adalah orang-orang yang berani dan peduli terhadap lingkungan. Keasyikan penulis menyaksikan acara tersebut sedikit terganggu ketika sebagian dari penanya memakai kata ”Atu” dan ada memakai kata ”Ratu Aji”. Disebelah penulis kebetulan ikut menonton kawan yang sering dipercaya sebagai juru bicara kalau ada orang menikah, dll., penulis bertanya ; apa Ratu Aji itu kata-kata bali halus untuk penghargaan kepada seorang tamu (dalam hal ini Narasumber) ? jawaban kawan dengan polos ; tidak, itu karena narasumbernya orang ”Menak” (maksudnya Triwangsa, seperti yang masih dikenal di masyarakat). Sebagai orang yang tinggal diluar Bali, maka ibaratnya berada diluar aquarium, maka sangat cepat menangkap adanya suatu keanehan dengan kata Ratu Aji tersebut, yang tidak akan terasa aneh bagi kawan penulis yang sudah menyatu dengan kebiasaan di Bali. Penulis menangkap ada bentuk perbedaan manusia satu dengan lainnya, jadi apa yang selama ini sering dikemukakan tentang penyimpangan Catur Varna penulis lihat sendiri. Kejadian diatas menarik minat untuk menyampaikan suatu gagasan/ ide dengan tidak menghilangkan kata-kata yang sudah mendarah daging tersebut, tetapi bersifat meluruskan penggunaannya agar menjadi benar, tidak menyimpang dengan kesetaraan sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi.
Penggunaan kata ”Ratu Aji” perlu diulas sedikit. ”Ratu” atau Raja adalah pemimpin yang mampu mensejahtraan umat, sementara narasumber atau pembawa acara bukanlah Raja. Selanjutnya ”Aji” yang berarti Ayah atau orang yang dituakan, jangan-jangan sipenanya mungkin usianya lebih tua dari narasumber atau pembawa acara. Dengan demikian sipenanya memperlakukan narasumber dan pembawa acara begitu tingginya yang sekaligus berarti juga merendahkan dirinya atau jangan-jangan sipenanya tidak merasa telah merendahkan dirinya. Sementara yang disebut Ratu Aji juga tenang-tenang saja tanpa berusaha meluruskan kepada penanya agar kata itu jangan diucapkan. Jika kita tanya orang yang disebut Ratu Aji itu, maka jawabannya pasti ; dia tidak meminta untuk dipanggil seperti itu, walaupun semestinya bisa meluruskan dengan dasar kesetaraan manusia dimata Hyang Widhi. Untuk sipenanya sangat penulis sayangkan, dibalik pertanyaan-pertanyaan yang begitu baiknya, sopan, berwawasan, berani, dan peduli lingkungan, justru ada ganjalan yaitu menodai penghargaan pada dirinya, tapi itulah fakta yang masih ada dimasyarakat. Hal itu sesungguhnya bisa diluruskan jika ada ”kerjasama” antara yang dipanggil Ratu Aji dengan yang menyebut hal itu, jangan justru menikmati sebutan itu dan membiarkan saudara kita merendahkan dirinya. Lalu apa ”solusinya” ?. Menurut penulis sebutan ”Ratu Aji” jangan dihilangkan karena itu sudah mengakar dimasyarakat dan suatu bentuk penghormatan kepada orang lain, namun diluruskan menjadi ”bentuk penghormatan tanpa merendahkan harga diri”, apa maksudnya ?. Jadikan kata Ratu Aji itu sebutan untuk semua tamu atau orang yang ingin kita hormati tetap dalam koridor tanpa merendahkan diri, misalnya : Narasumber seperti contoh diatas, pejabat negara yang datang mengunjungi desa, dll. sehingga jika kebetulan narasumbernya adalah Prof Gede A, maka boleh saja disebut Ratu Aji, bukankah kita masih ingin menjaga tata-krama sebagai orang timur, lagipula didalam bahasa Indonesia kita juga memakai kata Tuan, Bapak, jadi padanannya dalam bahasa bali halus adalah ”Ratu Aji” itu. Dengan demikian perbendaharaan bahasa bali juga akan bertambah. Memang ada yang berpendapat menjadi celaka bahasa bali menganut perbedaan/ tingkatan halus dan tidak, tidak seperti bahasa inggris katanya. Namun dalam kasus ini sangat sulit merubah bahasa yang sudah menjadi bagian kehidupan orang bali, yang bisa dilakukan adalah ’meluruskan penggunaannya agar tidak menyimpang dari koridor agama Hindu”. Tanpa bermaksud menghina para narasumber atau pembawa acara tersebut, maka penulis berharap mereka bisa menjadi pelopor agar penggunaan bahasa bali sesuai dengan porsinya dan ikut meluruskan kekeliruan-kekeliruan atau penyimpangan ajaran Weda. Apalagi berada dilingkungan Media TV yang punya akses besar dan langsung kemasyarakat, jika niatnya ada maka hal itu sangat effektif untuk terjadinya perbaikan dimasyarakat, seperti keinginan untuk meluruskan keberadaan Cafe di Bali.
Sebagai akhir kata penulis kutip ”Sarasamuccaya Sloka 98” yang berbunyi sebai berikut :
”Atmopamastu bhutesu yo bhavediha purusah, tyaktadando jitakrodhah sa pretya sukhamedhate” (Artinya : Orang yang berhati sabar, berpendapat sekalian mahluk hidup itu tiada beda dengan dirinya sendiri, orang yang dapat melaksanakan itu, itulah merupakan sumber atau asal mula kesenangan dan kepuasan hati, sebab sekarang ia mendapat kebahagiaan pun didunia lain diperolehnya pula)
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
Sebagai orang Bali yang tinggal diluar Bali (Jawa), maka kedatangan di Bali walaupun hanya dalam rangka liburan tentu menjadi hal yang sangat berharga dan tidak untuk disia-siakan, apalagi ketika menonton siaran TV daerah dimana acaranya bernuansa Bali sungguh sangat menyenangkan. Acara seperti itu tidak bisa penulis dapatkan diluar Bali. Hari itu penulis nonton acara ”Pabiblagan” sejenis acara interaktif dimana pemirsa bisa ikut terlibat. Yang dibahas masalah ”Cafe” dan pembawa acaranya Ida Bagus, narasumbernya Anak Agung sayang keduanya penulis lupa nama lengkapnya. Seorang lagi wanita sebagai narasumber bidang hukum. Waktu itu ada juga dua pasang teruna-teruni Bali dan tamu lainnya. Pemaparan demi pemaparan dilakukan dengan sangat baiknya karena memang masalah Cafe ini sudah meresahkan di Bali karena sudah menjangkau kampung dan pedesaan sehingga dikhawatirkan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Suasana pembahasan sangat mengasyikkan bagi penulis karena disampaikan dengan bahasa Bali halus kadang ada bahasa indonesianya, benar-benar senang mengikutinya. Akhirnya sampailah pada sessi tanya-jawab dimana penanyanya adalah pemirsa dirumah melalui sambungan telepon. Para penanya juga tidak kalah menariknya, wawasan mereka cukup baik dan cara menyampaikannya juga jelas, sopan dan banyak juga yang memakai bahasa bali halus. Yang paling penting lagi mereka adalah orang-orang yang berani dan peduli terhadap lingkungan. Keasyikan penulis menyaksikan acara tersebut sedikit terganggu ketika sebagian dari penanya memakai kata ”Atu” dan ada memakai kata ”Ratu Aji”. Disebelah penulis kebetulan ikut menonton kawan yang sering dipercaya sebagai juru bicara kalau ada orang menikah, dll., penulis bertanya ; apa Ratu Aji itu kata-kata bali halus untuk penghargaan kepada seorang tamu (dalam hal ini Narasumber) ? jawaban kawan dengan polos ; tidak, itu karena narasumbernya orang ”Menak” (maksudnya Triwangsa, seperti yang masih dikenal di masyarakat). Sebagai orang yang tinggal diluar Bali, maka ibaratnya berada diluar aquarium, maka sangat cepat menangkap adanya suatu keanehan dengan kata Ratu Aji tersebut, yang tidak akan terasa aneh bagi kawan penulis yang sudah menyatu dengan kebiasaan di Bali. Penulis menangkap ada bentuk perbedaan manusia satu dengan lainnya, jadi apa yang selama ini sering dikemukakan tentang penyimpangan Catur Varna penulis lihat sendiri. Kejadian diatas menarik minat untuk menyampaikan suatu gagasan/ ide dengan tidak menghilangkan kata-kata yang sudah mendarah daging tersebut, tetapi bersifat meluruskan penggunaannya agar menjadi benar, tidak menyimpang dengan kesetaraan sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi.
Penggunaan kata ”Ratu Aji” perlu diulas sedikit. ”Ratu” atau Raja adalah pemimpin yang mampu mensejahtraan umat, sementara narasumber atau pembawa acara bukanlah Raja. Selanjutnya ”Aji” yang berarti Ayah atau orang yang dituakan, jangan-jangan sipenanya mungkin usianya lebih tua dari narasumber atau pembawa acara. Dengan demikian sipenanya memperlakukan narasumber dan pembawa acara begitu tingginya yang sekaligus berarti juga merendahkan dirinya atau jangan-jangan sipenanya tidak merasa telah merendahkan dirinya. Sementara yang disebut Ratu Aji juga tenang-tenang saja tanpa berusaha meluruskan kepada penanya agar kata itu jangan diucapkan. Jika kita tanya orang yang disebut Ratu Aji itu, maka jawabannya pasti ; dia tidak meminta untuk dipanggil seperti itu, walaupun semestinya bisa meluruskan dengan dasar kesetaraan manusia dimata Hyang Widhi. Untuk sipenanya sangat penulis sayangkan, dibalik pertanyaan-pertanyaan yang begitu baiknya, sopan, berwawasan, berani, dan peduli lingkungan, justru ada ganjalan yaitu menodai penghargaan pada dirinya, tapi itulah fakta yang masih ada dimasyarakat. Hal itu sesungguhnya bisa diluruskan jika ada ”kerjasama” antara yang dipanggil Ratu Aji dengan yang menyebut hal itu, jangan justru menikmati sebutan itu dan membiarkan saudara kita merendahkan dirinya. Lalu apa ”solusinya” ?. Menurut penulis sebutan ”Ratu Aji” jangan dihilangkan karena itu sudah mengakar dimasyarakat dan suatu bentuk penghormatan kepada orang lain, namun diluruskan menjadi ”bentuk penghormatan tanpa merendahkan harga diri”, apa maksudnya ?. Jadikan kata Ratu Aji itu sebutan untuk semua tamu atau orang yang ingin kita hormati tetap dalam koridor tanpa merendahkan diri, misalnya : Narasumber seperti contoh diatas, pejabat negara yang datang mengunjungi desa, dll. sehingga jika kebetulan narasumbernya adalah Prof Gede A, maka boleh saja disebut Ratu Aji, bukankah kita masih ingin menjaga tata-krama sebagai orang timur, lagipula didalam bahasa Indonesia kita juga memakai kata Tuan, Bapak, jadi padanannya dalam bahasa bali halus adalah ”Ratu Aji” itu. Dengan demikian perbendaharaan bahasa bali juga akan bertambah. Memang ada yang berpendapat menjadi celaka bahasa bali menganut perbedaan/ tingkatan halus dan tidak, tidak seperti bahasa inggris katanya. Namun dalam kasus ini sangat sulit merubah bahasa yang sudah menjadi bagian kehidupan orang bali, yang bisa dilakukan adalah ’meluruskan penggunaannya agar tidak menyimpang dari koridor agama Hindu”. Tanpa bermaksud menghina para narasumber atau pembawa acara tersebut, maka penulis berharap mereka bisa menjadi pelopor agar penggunaan bahasa bali sesuai dengan porsinya dan ikut meluruskan kekeliruan-kekeliruan atau penyimpangan ajaran Weda. Apalagi berada dilingkungan Media TV yang punya akses besar dan langsung kemasyarakat, jika niatnya ada maka hal itu sangat effektif untuk terjadinya perbaikan dimasyarakat, seperti keinginan untuk meluruskan keberadaan Cafe di Bali.
Sebagai akhir kata penulis kutip ”Sarasamuccaya Sloka 98” yang berbunyi sebai berikut :
”Atmopamastu bhutesu yo bhavediha purusah, tyaktadando jitakrodhah sa pretya sukhamedhate” (Artinya : Orang yang berhati sabar, berpendapat sekalian mahluk hidup itu tiada beda dengan dirinya sendiri, orang yang dapat melaksanakan itu, itulah merupakan sumber atau asal mula kesenangan dan kepuasan hati, sebab sekarang ia mendapat kebahagiaan pun didunia lain diperolehnya pula)
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
MENYATUNYA UMAT HINDU JAWA-BALI
Pada jaman dahulu Mpu Sidhimantra sampai perlu memisahkan pulau Jawa dan Bali dan membiarkan putranya Ida Manik Angkeran untuk tetap di Bali karena ketika di Jawa sangat senang berjudi. Pemisahan pulau Jawa dan Bali ini bisa saja merupakan perumpamaan tetapi bukti-bukti keberadaan Manik Angkeran bisa ditelusuri di Bali. Beliau akhirnya menjadi Pemangku di Besakih dan distanakan di Pura Batumadeg Besakih. Dari perkawinannya dengan Ni Luh Pasek Prateka/Warsiki putri Ki Dukuh Blatung keturunan dari Mpu Prateka, akhirnya menurunkan keturunan yang di Bali dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Dauh, dan Arya Pinatih. Dijaman sekarang ini keadaan berbalik yaitu terjadinya penyatuan Bali dan Jawa, tentunya bukan pulau Bali dan Pulau Jawa yang bersatu tetapi mengalirnya umat Hindu suku Bali ke Jawa karena tugas atau faktor lain dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa. Ketika Islam menguasai majapahit sekitar abad XIV Hindu yang ketika itu lebih dikenal dengan Sekte/Mazab, seperti : sekte Siwa, Sekte Brahma, Bhairawa, Indra, dan seterusnya, telah menyebabkan Hindu yang dulu satu kepercayaan menjadi terpecah-pecah, ada yang berkembang di Bali, di beberapa tempat di Jawa, dan daerah lain di Indonesia secara sendiri-sendiri sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dalam pelaksanaannya. Hubungan dengan India sebagai sumbernya Agama hindu menjadi terputus. Keadaan seperti itu berjalan sekitar 500 tahun sejak abad XIV. Keruntuhan Majapahit Hindu itu dimuat dalam sebuah buku yang disebut ”Darmagandul” yang masih dijadikan pegangan oleh Suku Jawa baik yang Hindu maupun yang sudah beralih agama, tetapi peredaran buku ini sangat tertutup karena ada kekhawatiran akan bermasalah dengan umat Agama Baru yang menguasai Majapahit. Dijaman moderen ini seharusnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan walau kenyataannya buku ini belum terdapat di toko-toko Buku. Sekarang Hindu sudah berkembang walau dihiasi dengan budaya lokal, seperti : budaya Bali, Jawa, Dayak, Sulawesi, dll. Hindu dengan budaya lokal ini saling bertemu ibarat ranting-ranting yang mengarah kepada batangnya dan akhirnya akan terpusat pada akarnya sebagai filosofi Hindu yang tunggal. Umat Hindu suku Bali bertemu dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa dan lain-lain suku di Nusantara, bahkan bertemu dengan umat Hindu India melalui Sampradya (Garis perguruan/Aguron-Guron). Pertemuan ranting-ranting ini pasti menimbulkan pergesekan tetapi kedepan hal ini akan bisa menemukan titik temu karena pergaulan budaya adalah sebuah proses dan akan menjadi bentuk apa dikemudian hari tidak perlu dipikirkan, biarlah itu berjalan dengan sendirinya yang penting semuanya dijiwai oleh Inti yang sama yaitu : Ajaran Hindu.
Dibeberapa pedesaan di Jawa yang umatnya masih mempertahankan ageman leluhur yaitu Hindu, sudah bisa bersembahyang atau berintraksi dengan umat Hindu asal Bali. Jika sedang melakukan persembahyangan bersama maka kita mendengar Puja Mantra Pinandita termasuk Puja Tri Sandhya yang sama dengan yang biasa dilakukan di Bali. Pinanditanya juga dari Umat Jawa kadang bersama dengan Pinandita dari Bali. Sarana persembahyangan seperti Banten memang sulit untuk diterima oleh umat Jawa karena kesulitan membuatnya, tetapi yang paling mudah seperti ”Canang” sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Jawa ketika mereka bersembahyang. Ada yang memakai sesaji secara Jawa tetapi tidak banyak yang ditemukan karena sudah ratusan tahun Hindu tenggelam di tanah Jawa, semoga saja ada umat yang bisa meng-inventarisir Sesaji Jawa dan dikupas makna Tattwa Wedanya. Lagipula banten bali juga warisan leluhur Jawa yang menetap di Bali. Umat Hindu asal Bali juga tidak mempermasalahkan jika umat Jawa mempersembahkan ”Tumpengan” atau bentuk sesaji Jawa lainnya, karena Sesaji/banten hanyalah sarana menunjukkan rasa Bhakti pada Hyang Widhi jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umat Hindu suku Jawa juga mengenal bhakti pada leluhur seperti halnya umat Hindu suku Bali, karena ”Lelintihan/ Silsilah” mereka tidak selengkap di Bali, biasanya Petilasan/ Makan orang dituakan sering disebut sebagai cikal-bakal yang pada hakekatnya adalah Kawitan. Kadang ada yang menyebutnya ”Danghyang” yang bagi umat Jawa adalah juga asal-usul (Wit) yang tidak lain adalah Hyang Widhi. Perkawinan antar suku Jawa dan Bali juga sudah banyak terjadi dan acara perkawinan sering dilakukan dalam dua Budaya, termasuk tarian juga kidung yang diperdengarkan. Umat India juga ikut meramaikan pencarian Spiritual umat ini dengan adanya Hare Krisna, Sai Baba, Ganesha Pooja, dan lain-lainnya. Kembali disampaikan, bahwa kedepan akan terjadi budaya baru bagi mereka yang sudah berbaur ini yang bentuknya seperti apa tidak perlu menjadi pikiran kita karena hal ini akan berjalan seiring waktu dan berproses terus menerus. Yang penting bagi kita adalah ”Ruh” dari semua diatas tetap adalah Hindu. Jadi sesungguhnya ”Hindu Nusantara” itu sudah ada dan sudah terbetuk, jika kita tidak melihatnya itu karena kita melihat dari luarnya yaitu cara mereka melakukan kontak dengan Sang pencipta dengan berbagai budayanya. Tetapi jika kita melihat dari spiritualnya, maka Hindu sudah menjadi Ageman mereka, baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
Jika kemudian muncul suatu pemikiran untuk mengkotak-kotakan lagi umat hindu ini, maka itu tidak ubahnya seperti abad XIV ketika Islam menguasai Majapahit dan umat Hindu terpecah menjadi Hindu Bali, Hindu Jawa, dan lainnya, itu berarti Hindu akan tenggelam lagi dan itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikannya. Jika ada yang ingin mengkotak-kotakkan Hindu ini, maka jelas karena orientasinya adalah budaya, misalnya agar Budaya Bali tetap Ajeg. Kita boleh berhitung jika akibat meng-Ajeg-kan Bali kemudian mengakibatkan Hindu ini menjadi terpecah-pecah lagi, maka tidak sepadan antara hasil yang diperoleh dengan pengorbanan yaitu : mundurnya bahkan punahnya Hindu dari Nusantara, jadi Ajeg-kan Hindu. Pemikiran lainnya adalah apakah kita masih mampu tetap meng-Ajeg-kan Bali di-era Globalisasi ini, walaupun bukan berarti kita membiarkan budaya-budaya yang tidak cocok dengan kepribadian kita untuk berkembang di Nusantara ini, tetapi setidak-tidaknya dengan fokus pada intinya yaitu Ajaran Hindu, maka kita bisa selamat menjalani kehidupan Globalisasi ini karena kita kuat ke-Hinduannya sementara budaya itu akan berubah dan ber-proses terus menerus, dimana Ajaran Agama akan selalu bisa menyesuaikan tanpa kehilangan sarinya. Marilah satukan Hindu, jangan pecah-pecah lagi, yang dapat merugikan umat Hindu sendiri, jangan pisahkan lagi umat Hindu Jawa dan Bali yang sudah menyatu dalam nuansa ke Hinduan yang sudah semakin membaik.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-11-2006
Pada jaman dahulu Mpu Sidhimantra sampai perlu memisahkan pulau Jawa dan Bali dan membiarkan putranya Ida Manik Angkeran untuk tetap di Bali karena ketika di Jawa sangat senang berjudi. Pemisahan pulau Jawa dan Bali ini bisa saja merupakan perumpamaan tetapi bukti-bukti keberadaan Manik Angkeran bisa ditelusuri di Bali. Beliau akhirnya menjadi Pemangku di Besakih dan distanakan di Pura Batumadeg Besakih. Dari perkawinannya dengan Ni Luh Pasek Prateka/Warsiki putri Ki Dukuh Blatung keturunan dari Mpu Prateka, akhirnya menurunkan keturunan yang di Bali dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Dauh, dan Arya Pinatih. Dijaman sekarang ini keadaan berbalik yaitu terjadinya penyatuan Bali dan Jawa, tentunya bukan pulau Bali dan Pulau Jawa yang bersatu tetapi mengalirnya umat Hindu suku Bali ke Jawa karena tugas atau faktor lain dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa. Ketika Islam menguasai majapahit sekitar abad XIV Hindu yang ketika itu lebih dikenal dengan Sekte/Mazab, seperti : sekte Siwa, Sekte Brahma, Bhairawa, Indra, dan seterusnya, telah menyebabkan Hindu yang dulu satu kepercayaan menjadi terpecah-pecah, ada yang berkembang di Bali, di beberapa tempat di Jawa, dan daerah lain di Indonesia secara sendiri-sendiri sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dalam pelaksanaannya. Hubungan dengan India sebagai sumbernya Agama hindu menjadi terputus. Keadaan seperti itu berjalan sekitar 500 tahun sejak abad XIV. Keruntuhan Majapahit Hindu itu dimuat dalam sebuah buku yang disebut ”Darmagandul” yang masih dijadikan pegangan oleh Suku Jawa baik yang Hindu maupun yang sudah beralih agama, tetapi peredaran buku ini sangat tertutup karena ada kekhawatiran akan bermasalah dengan umat Agama Baru yang menguasai Majapahit. Dijaman moderen ini seharusnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan walau kenyataannya buku ini belum terdapat di toko-toko Buku. Sekarang Hindu sudah berkembang walau dihiasi dengan budaya lokal, seperti : budaya Bali, Jawa, Dayak, Sulawesi, dll. Hindu dengan budaya lokal ini saling bertemu ibarat ranting-ranting yang mengarah kepada batangnya dan akhirnya akan terpusat pada akarnya sebagai filosofi Hindu yang tunggal. Umat Hindu suku Bali bertemu dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa dan lain-lain suku di Nusantara, bahkan bertemu dengan umat Hindu India melalui Sampradya (Garis perguruan/Aguron-Guron). Pertemuan ranting-ranting ini pasti menimbulkan pergesekan tetapi kedepan hal ini akan bisa menemukan titik temu karena pergaulan budaya adalah sebuah proses dan akan menjadi bentuk apa dikemudian hari tidak perlu dipikirkan, biarlah itu berjalan dengan sendirinya yang penting semuanya dijiwai oleh Inti yang sama yaitu : Ajaran Hindu.
Dibeberapa pedesaan di Jawa yang umatnya masih mempertahankan ageman leluhur yaitu Hindu, sudah bisa bersembahyang atau berintraksi dengan umat Hindu asal Bali. Jika sedang melakukan persembahyangan bersama maka kita mendengar Puja Mantra Pinandita termasuk Puja Tri Sandhya yang sama dengan yang biasa dilakukan di Bali. Pinanditanya juga dari Umat Jawa kadang bersama dengan Pinandita dari Bali. Sarana persembahyangan seperti Banten memang sulit untuk diterima oleh umat Jawa karena kesulitan membuatnya, tetapi yang paling mudah seperti ”Canang” sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Jawa ketika mereka bersembahyang. Ada yang memakai sesaji secara Jawa tetapi tidak banyak yang ditemukan karena sudah ratusan tahun Hindu tenggelam di tanah Jawa, semoga saja ada umat yang bisa meng-inventarisir Sesaji Jawa dan dikupas makna Tattwa Wedanya. Lagipula banten bali juga warisan leluhur Jawa yang menetap di Bali. Umat Hindu asal Bali juga tidak mempermasalahkan jika umat Jawa mempersembahkan ”Tumpengan” atau bentuk sesaji Jawa lainnya, karena Sesaji/banten hanyalah sarana menunjukkan rasa Bhakti pada Hyang Widhi jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umat Hindu suku Jawa juga mengenal bhakti pada leluhur seperti halnya umat Hindu suku Bali, karena ”Lelintihan/ Silsilah” mereka tidak selengkap di Bali, biasanya Petilasan/ Makan orang dituakan sering disebut sebagai cikal-bakal yang pada hakekatnya adalah Kawitan. Kadang ada yang menyebutnya ”Danghyang” yang bagi umat Jawa adalah juga asal-usul (Wit) yang tidak lain adalah Hyang Widhi. Perkawinan antar suku Jawa dan Bali juga sudah banyak terjadi dan acara perkawinan sering dilakukan dalam dua Budaya, termasuk tarian juga kidung yang diperdengarkan. Umat India juga ikut meramaikan pencarian Spiritual umat ini dengan adanya Hare Krisna, Sai Baba, Ganesha Pooja, dan lain-lainnya. Kembali disampaikan, bahwa kedepan akan terjadi budaya baru bagi mereka yang sudah berbaur ini yang bentuknya seperti apa tidak perlu menjadi pikiran kita karena hal ini akan berjalan seiring waktu dan berproses terus menerus. Yang penting bagi kita adalah ”Ruh” dari semua diatas tetap adalah Hindu. Jadi sesungguhnya ”Hindu Nusantara” itu sudah ada dan sudah terbetuk, jika kita tidak melihatnya itu karena kita melihat dari luarnya yaitu cara mereka melakukan kontak dengan Sang pencipta dengan berbagai budayanya. Tetapi jika kita melihat dari spiritualnya, maka Hindu sudah menjadi Ageman mereka, baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
Jika kemudian muncul suatu pemikiran untuk mengkotak-kotakan lagi umat hindu ini, maka itu tidak ubahnya seperti abad XIV ketika Islam menguasai Majapahit dan umat Hindu terpecah menjadi Hindu Bali, Hindu Jawa, dan lainnya, itu berarti Hindu akan tenggelam lagi dan itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikannya. Jika ada yang ingin mengkotak-kotakkan Hindu ini, maka jelas karena orientasinya adalah budaya, misalnya agar Budaya Bali tetap Ajeg. Kita boleh berhitung jika akibat meng-Ajeg-kan Bali kemudian mengakibatkan Hindu ini menjadi terpecah-pecah lagi, maka tidak sepadan antara hasil yang diperoleh dengan pengorbanan yaitu : mundurnya bahkan punahnya Hindu dari Nusantara, jadi Ajeg-kan Hindu. Pemikiran lainnya adalah apakah kita masih mampu tetap meng-Ajeg-kan Bali di-era Globalisasi ini, walaupun bukan berarti kita membiarkan budaya-budaya yang tidak cocok dengan kepribadian kita untuk berkembang di Nusantara ini, tetapi setidak-tidaknya dengan fokus pada intinya yaitu Ajaran Hindu, maka kita bisa selamat menjalani kehidupan Globalisasi ini karena kita kuat ke-Hinduannya sementara budaya itu akan berubah dan ber-proses terus menerus, dimana Ajaran Agama akan selalu bisa menyesuaikan tanpa kehilangan sarinya. Marilah satukan Hindu, jangan pecah-pecah lagi, yang dapat merugikan umat Hindu sendiri, jangan pisahkan lagi umat Hindu Jawa dan Bali yang sudah menyatu dalam nuansa ke Hinduan yang sudah semakin membaik.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-11-2006
TIRTAYATRA KE PURA BUANA AGUNG MAHENDRA JATI
DUKUH DEMPING-KARANGANYAR
Untuk menjalin komunikasi dengan umat Hindu di lereng Gunung Lawu dan sekitarnya, maka sebagai kegiatan rutin tiga-bulanan, maka pada Minggu 10 Desember 2006 Banjar Solo-Timur melakukan lagi Tirtayatra yang kali ini dipilih ke Pura Buana Agung Mahendra Jati, Dukuh Demping, Dusun Anggrasmanis, kec. Jenawi, Kab.Karanganyar, Jateng. Perjalanan ke Dukuh Demping ini berjarak sekitar 60 km itupun dipilih lewat jalur Sragen dari arah Solo dan berbelok kekanan menuju ke Kec.jenawi. Jika ditempuh dari Karanganyar jaraknya lebih dekat tetapi medannya lebih sulit karena Dukuh Demping ini tempatnya diketinggian walau lebih rendah dari Candi Ceto. Perjalanan melalui Sragen jalannya bagus dan cukup datar tetapi mendekati tujuan jalan mulai menanjak dan yang terberat ketika akan memasuki Dukuh Demping dengan tanjakan yang cukup tinggi, tetapi syukur dengan semangat yang tinggi rombongan bisa sampai dengan selamat. Perjalanan sempat melewati kantong umat Hindu penyungsung Pura Buana Agung Lingga Bhuana dan juga Pura Kalisodo, yang masih berada di Kec.Jenawi, dimana total Pura di Kec Jenawi saja ada 13 buah., Sampai ditujuan rombongan langsung menuju ke areal Pura dengan melalui jalan setapak lebar sekitar satu meter dan berupa tangga semen sampai kepuncak atau Lokasi Pura. Ternyata areal Pura ini tidak besar luasnya sekitar 18M x 9M, dan berada di Ketinggian sehingga dapat melihat pemandangan dibawah dengan baik. Kami diterima umat Hindu disana dan oleh Pemangku Pura Mahendra Jati, yaitu : Pinandita Djito dan Pinandita Widodo. Setelah melepaskan lelah sebentar, maka sekitar pukul 11. rombongan melakukan persembahyangan bersama dipandu Pinandita Djito dan Mangku Pasek. Sementara Pinandita melakukan Puja Stawa juga Ngarga Tirta, maka umat melantunkan kidung pujian memuja kebesaran Hyang Widhi. Kidung Asmorondono yang dilantunkan umat membuat suasana yang sejuk dan tenang menjadi lebih khusuk dan menimbulkan aura religi yang tinggi dan membuat umat semakin larut dalam pemujaan akan kebesaran Hyang Widhi. Sekitar satu jam persembahyangan selesai dilanjutkan dengan ramah tamah dan sambutan-sambutan dipandu oleh Supardi dari PHDI Jenawi. Sambutan dari tuan rumah dilakukan oleh Pinandita Djito dan juga sejarah keberadaan umat disampaikan oleh Sukiman dilengkapi oleh Pinandita Djito. Dari umat Solo Timur disampaikan sambutan Ketua banjar Made Suastika, darmawacana oleh Nyoman Suendi, dan Darmatula dipandu oleh Nyoman Chaya. Serah terima sekedar bantuan dana serta sedikit buku-buku diserahkan oleh Pengurus Banjar kepada Pinandita Djito. Sebelum pamitan, maka umat menikmati suguhan dari tuan rumah. Dengan wajah-wajah cerah walau sedikit capai, rombongan kembali kerumah masing-masing setelah mengucapkan Parama Santih.
Sejarah Keberadaan Pura Buana Agung Mahendra jati
Seperti yang dipaparkan oleh Sukiman dan dilengkapi Pinandita Djito, Pada tahun 1985 umat Dukuh Demping sedianya menjadikan Pura Giriloka di Dukuh Temuireng sebagai tempat sembahyang, namun muncul ide untuk membuat Pura dimasing-masing tempat.yang bisa lebih dekat dan memudahkan pembinaan umat. Waktu terus berjalan dan Pura belum berdiri sampai pada tahun 1991 umat mendapat petunjuk spiritual, yang akhirnya berdiri pertama justru Pura Buana Agung Lingga Buana. yang maish di Kec. Jenawi. Petunjuk sunia kembali diperolah umat tertentu, bahwa Pura BA Lingga Buana mempunyai “pasangan” dan diyakini tempatnya di Dukuh demping. Bukti yang pertama adalah dengan Hibah tanah 6M x 9M oleh Cilik seorang warga Demping, yang dilanjutkan dengan hibah kedua dari Wiryo sehingga luas tanah Pura menjadi 18M x 9M, cukup untuk sarana pemujaan umat Dukuh Demping yang berjumlah 49KK, walau sayang sekali 2 kk sudah beralih ke agama lain, yaitu satu Islam, satu Kristen. Hal ini perlu mendapat perhatian para tokoh umat. Sebagai Pelinggih awal distanakan Hyang Ismaya dimana setelah keterlibatan umat dari Bali dan berdiri Padmasana, Pelinggih Hyang Ismaya ini ingin di pralina tetapi tidak jadi karena Pemangku setempat Kerauhan (trance) dan ada yang sakit, sehingga sampai sekarang Pelinggih ini masih ada walau bentuknya sederhana. Ngenteg Linggih Pura BA Mahendra Jati dilakukan pada 18 Mei 2000 Purnama Sidhi Caka 1922 (1933 Saka jawa), dengan Manggala Upacara Ida Pedanda Gde Putra Sidemen. Di Dukuh Demping juga ada 3 sendang (mata air/telaga) yang diyakini punya aura spiritual, yaitu : Sendang Batu belah, yang dipercaya merupakan Tirta Dasamala, Sendang Ananta Bhoga yang mengeluarkan Tirta Panguripan dan ada pohon Kantil/Cempaka berbunga dua warna,, dan yang ketiga Sendang Banyu Kuwum yang merupakan Tirta Amertha Buana. Persembahyangan di Pura BA Mahendra Jati dilakukan dua kali yaitu : Jumat Kliwon dan Sabtu Kliwon, yang biasanya dilakukan juga pembinaan umat oleh Pinandita Djito. Piodalan pada Kamis Wage Watugunung (Purnama Kasa). Sesuai penuturan Supardi, umat di Demping khususnya dan Jenawi pada umumnya tidak lepas dari masalah. Yang pokok adalah social ekonomi yang rendah, sehingga tidak cukup dana untuk membuat Pura yang bagus bahkan jalan setapak (tangga ke Pura) sebagian belum disemen. Guru agama Hindu di Jenawi dulu 80% sekarang tinggal 10%, dan umat Hindu yang dulunya sekitar 19.000 orang, sekarang tinggal sekitar 2000 orang. Penurunan ini bukan lagi pada masalah KTP atau pembuatan Akte Perkawinan seperti dulu-dulu, tetapi pada “Bargaining/daya tawar” yang intinya lemahnya Sradha/keyakinan akan KeHinduannya . Umat terutama pemudanya sekarang mengikuti fihak perempuan atau laki mempelai ketika terjadi perkawinan beda agama, yang perlu menjadi perhatian para tokoh umat dimanapun berada. Tetapi ada optimisme dari tokoh umat setempat yang menarik yaitu : “Jika dulu kita tinggi kuantitas tetapi rendah kualitas, maka sekarng ini walau rendah kuantitas tetapi tinggi kualitas”.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-12-2006.
DUKUH DEMPING-KARANGANYAR
Untuk menjalin komunikasi dengan umat Hindu di lereng Gunung Lawu dan sekitarnya, maka sebagai kegiatan rutin tiga-bulanan, maka pada Minggu 10 Desember 2006 Banjar Solo-Timur melakukan lagi Tirtayatra yang kali ini dipilih ke Pura Buana Agung Mahendra Jati, Dukuh Demping, Dusun Anggrasmanis, kec. Jenawi, Kab.Karanganyar, Jateng. Perjalanan ke Dukuh Demping ini berjarak sekitar 60 km itupun dipilih lewat jalur Sragen dari arah Solo dan berbelok kekanan menuju ke Kec.jenawi. Jika ditempuh dari Karanganyar jaraknya lebih dekat tetapi medannya lebih sulit karena Dukuh Demping ini tempatnya diketinggian walau lebih rendah dari Candi Ceto. Perjalanan melalui Sragen jalannya bagus dan cukup datar tetapi mendekati tujuan jalan mulai menanjak dan yang terberat ketika akan memasuki Dukuh Demping dengan tanjakan yang cukup tinggi, tetapi syukur dengan semangat yang tinggi rombongan bisa sampai dengan selamat. Perjalanan sempat melewati kantong umat Hindu penyungsung Pura Buana Agung Lingga Bhuana dan juga Pura Kalisodo, yang masih berada di Kec.Jenawi, dimana total Pura di Kec Jenawi saja ada 13 buah., Sampai ditujuan rombongan langsung menuju ke areal Pura dengan melalui jalan setapak lebar sekitar satu meter dan berupa tangga semen sampai kepuncak atau Lokasi Pura. Ternyata areal Pura ini tidak besar luasnya sekitar 18M x 9M, dan berada di Ketinggian sehingga dapat melihat pemandangan dibawah dengan baik. Kami diterima umat Hindu disana dan oleh Pemangku Pura Mahendra Jati, yaitu : Pinandita Djito dan Pinandita Widodo. Setelah melepaskan lelah sebentar, maka sekitar pukul 11. rombongan melakukan persembahyangan bersama dipandu Pinandita Djito dan Mangku Pasek. Sementara Pinandita melakukan Puja Stawa juga Ngarga Tirta, maka umat melantunkan kidung pujian memuja kebesaran Hyang Widhi. Kidung Asmorondono yang dilantunkan umat membuat suasana yang sejuk dan tenang menjadi lebih khusuk dan menimbulkan aura religi yang tinggi dan membuat umat semakin larut dalam pemujaan akan kebesaran Hyang Widhi. Sekitar satu jam persembahyangan selesai dilanjutkan dengan ramah tamah dan sambutan-sambutan dipandu oleh Supardi dari PHDI Jenawi. Sambutan dari tuan rumah dilakukan oleh Pinandita Djito dan juga sejarah keberadaan umat disampaikan oleh Sukiman dilengkapi oleh Pinandita Djito. Dari umat Solo Timur disampaikan sambutan Ketua banjar Made Suastika, darmawacana oleh Nyoman Suendi, dan Darmatula dipandu oleh Nyoman Chaya. Serah terima sekedar bantuan dana serta sedikit buku-buku diserahkan oleh Pengurus Banjar kepada Pinandita Djito. Sebelum pamitan, maka umat menikmati suguhan dari tuan rumah. Dengan wajah-wajah cerah walau sedikit capai, rombongan kembali kerumah masing-masing setelah mengucapkan Parama Santih.
Sejarah Keberadaan Pura Buana Agung Mahendra jati
Seperti yang dipaparkan oleh Sukiman dan dilengkapi Pinandita Djito, Pada tahun 1985 umat Dukuh Demping sedianya menjadikan Pura Giriloka di Dukuh Temuireng sebagai tempat sembahyang, namun muncul ide untuk membuat Pura dimasing-masing tempat.yang bisa lebih dekat dan memudahkan pembinaan umat. Waktu terus berjalan dan Pura belum berdiri sampai pada tahun 1991 umat mendapat petunjuk spiritual, yang akhirnya berdiri pertama justru Pura Buana Agung Lingga Buana. yang maish di Kec. Jenawi. Petunjuk sunia kembali diperolah umat tertentu, bahwa Pura BA Lingga Buana mempunyai “pasangan” dan diyakini tempatnya di Dukuh demping. Bukti yang pertama adalah dengan Hibah tanah 6M x 9M oleh Cilik seorang warga Demping, yang dilanjutkan dengan hibah kedua dari Wiryo sehingga luas tanah Pura menjadi 18M x 9M, cukup untuk sarana pemujaan umat Dukuh Demping yang berjumlah 49KK, walau sayang sekali 2 kk sudah beralih ke agama lain, yaitu satu Islam, satu Kristen. Hal ini perlu mendapat perhatian para tokoh umat. Sebagai Pelinggih awal distanakan Hyang Ismaya dimana setelah keterlibatan umat dari Bali dan berdiri Padmasana, Pelinggih Hyang Ismaya ini ingin di pralina tetapi tidak jadi karena Pemangku setempat Kerauhan (trance) dan ada yang sakit, sehingga sampai sekarang Pelinggih ini masih ada walau bentuknya sederhana. Ngenteg Linggih Pura BA Mahendra Jati dilakukan pada 18 Mei 2000 Purnama Sidhi Caka 1922 (1933 Saka jawa), dengan Manggala Upacara Ida Pedanda Gde Putra Sidemen. Di Dukuh Demping juga ada 3 sendang (mata air/telaga) yang diyakini punya aura spiritual, yaitu : Sendang Batu belah, yang dipercaya merupakan Tirta Dasamala, Sendang Ananta Bhoga yang mengeluarkan Tirta Panguripan dan ada pohon Kantil/Cempaka berbunga dua warna,, dan yang ketiga Sendang Banyu Kuwum yang merupakan Tirta Amertha Buana. Persembahyangan di Pura BA Mahendra Jati dilakukan dua kali yaitu : Jumat Kliwon dan Sabtu Kliwon, yang biasanya dilakukan juga pembinaan umat oleh Pinandita Djito. Piodalan pada Kamis Wage Watugunung (Purnama Kasa). Sesuai penuturan Supardi, umat di Demping khususnya dan Jenawi pada umumnya tidak lepas dari masalah. Yang pokok adalah social ekonomi yang rendah, sehingga tidak cukup dana untuk membuat Pura yang bagus bahkan jalan setapak (tangga ke Pura) sebagian belum disemen. Guru agama Hindu di Jenawi dulu 80% sekarang tinggal 10%, dan umat Hindu yang dulunya sekitar 19.000 orang, sekarang tinggal sekitar 2000 orang. Penurunan ini bukan lagi pada masalah KTP atau pembuatan Akte Perkawinan seperti dulu-dulu, tetapi pada “Bargaining/daya tawar” yang intinya lemahnya Sradha/keyakinan akan KeHinduannya . Umat terutama pemudanya sekarang mengikuti fihak perempuan atau laki mempelai ketika terjadi perkawinan beda agama, yang perlu menjadi perhatian para tokoh umat dimanapun berada. Tetapi ada optimisme dari tokoh umat setempat yang menarik yaitu : “Jika dulu kita tinggi kuantitas tetapi rendah kualitas, maka sekarng ini walau rendah kuantitas tetapi tinggi kualitas”.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-12-2006.
LOKA SABHA PHDI KARANGANYAR-JATENG
Pada minggu, 06 Juli 2008 bertempat di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan-Karanganyar, telah dilangsungkan suatu kejadian penting berupa Loka Sabha PHDI Kab. Karanganyar-Jateng. Ditempat yang sama juga pernah terpilih melalui Loka Sabha Pengurus PHDI periode sebelumnya yang merupakan Pengurus PHDI pertama tingkat Kabupaten, jadi Pengurus terpilih periode ini adalah Kepengurusan ke-dua.
Keberadaan PHDI Kab. Karanganyar menjadi sangat penting mengingat Kab.Karanganyar, tepatnya Kec.Jenawi,Ngargoyoso,Kemuning,Kawasan Ceto,dll merupakan kantong Hindu dengan umat Hindu suku Jawa yang jumlahnya cukup besar dan tersebar dibeberapa desa, apalagi Karanganyar banyak menyimpan peninggalan Hindu seperti : Candi Ceto, Candi Sukuh, dan banyak tempat bernuansa spiritual lainnya sehingga Pemda Karanganyar menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wiisata Budaya dan Spiritual bahkan telah bergandengan dengan Pemda Bali (Gianyar) melalui kegiatan wisata dan perjalanan rohani (persembahyangan). Semua hal ini sebenarnya merupakan hal positif yang seharusnya bisa dimanfaatkan kearah pengembangan umat Hindu khususnya di wilayah Karanganyar. Kedatangan umat dari daerah lain yang tertarik dengan keindahan alam Karanganyar, kedatangan umat dari Bali yang umumnya untuk melakukan persembahyangan karena sejak leluhur dulu sudah ada ikatan batin dengan Candi Ceto misalnya, akan menggerakkan Pemda Karanganyar untuk lebih memperhatikan sarana-sarana yang ada, utamanya peninggalan Hindu. Umat Hindu suku Jawa juga bisa berinteraksi dengan umat dari Bali sehingga terjadi saling memahami cara masing-masing dalam melakukan bhakti kepada Hyang Widhi, sehingga umat Jawa tidak perlu lagi tertutup dalam melakukan kegiatan ritual apalagi sudah dipayungi oleh Lembaga Umat Hindu (PHDI). Ada catatan-catatan kecil tetepi mengandung makna penting khususnya kepada semeton dari Bali yang sudah mulai banyak dan sering mengunjungi Karanganyar (Candi Ceto). Jangan lupa, bahwa wilayah Karanganyar adalah tempat bermukim umat Hindu suku Jawa yang memiliki balutan budaya Jawa dalam meng-interpretasikan bhaktinya pada Yang Maha Kuasa, sehingga ”Warna Budaya Jawa” harus menjadi ciri utama setiap kegiatan ritual yang dilaksanakan di Karanganyar karena Candi Ceto atau Candi Sukuh bukan Pura Besakih atau Pura Lempuyang. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan Pura di Desa-desa di Karanganyar banyak terjadi lewat keterlibatan umat dari Bali sehingga bentuk Pelinggih yang ada seperti yang umumnya di Bali seperti Padmasana, Penglurah, atau Candi Gelung (Gapura). Seperti dimaklumi karena sudah ratusan tahun umat Jawa ini tidak mengenal lagi ajaran nenek moyangnya dan kedatangan umat Hindu dari Bali ibarat mengingatkan kembali ajaran leluhurnya namun sifatnya hanya sebagai pemicu, pendorong dan Tut Wuri Handayani. Umat dari Bali lebih baik membantu pengembangan umat Hindu Jawa seperti : pembangunan atau menyempurnakan Pelinggih-Pelinggih, bantuan Buku-buku/ Majalah Hindu, Darmawacana/Darmatula, dan bentuk Punia lainnya, dibandingkan mendirikan Patung Saraswati yang hanya menjadi objek Pariwisata dibandingkan Spiritual. Jadi Karanganyar tidak perlu lagi dibangun Pelinggih umum lainnya karena sudah memiliki Candi Ceto, Candi Sukuh, dan lainnya yang merupakan peninggalan leluhur yang punya makna philosofis yang tinggi. Para Pandita atau cendekiawan Hindu bisa membantu mencari relevansi budaya Jawa dengan ajaran Weda sehingga semua yang dilakukan jelas landasan tattwa-nya. Jika kita bisa membantu umat Jawa menghidupkan kembali Budaya leluhurnya yang bernuansa Hindu dan bisa tampil di Candi Ceto, maka kita seperti melihat kembali masyarakat Majapahit, Singosari, Daha, Kediri, Mataram Hindu, yang sedang mengadakan ritual pemujaan kepada Hyang Agung, hal ini akan dapat menggetarkan umat lainnya di Tataran Tanah Jawi apalagi jika sempat diliput oleh media TV atau majalah/surat kabar. Umat Hindu dari Bali bukan tidak boleh mengadakan kegiatan persembahyangan, silahkan saja bahkan jika perlu membawa Pandita dan bebantenan lengkap, tetapi sifatnya adalah tamu yang ingin bersembahyang, jangan sampai mengibarkan ”Warna Budaya Bali” dalam kegiatan persembahyangan di Ceto seperti pernah dilakukan sebelumnya, bahkan dengan dimuat berbagai media, hal itu hanya memperlihatkan dominasi Bali ketanah Jawa yang tidak berdampak baik bagi umat setempat khususnya bagi perkembangan Hindu kedepan. Partisifasi umat dari Bali untuk pengembangan Hindu di Jawa, bisa dilakukan di Pura lainnya seperti : di Semeru dan Gunung Salak. Seperti diketahui di areal Pura di Gunung Salak disana ada tempat beryoga semadi tokoh Hindu Ayahnda Prabu Siliwangi (Sri Baduga) yang sangat dihormati di Tanah Sunda, sehingga jika kita bisa kembalikan kejayaan Tanah Pasundan dengan menghidupkan seni budaya jaman dahulu termasuk arsitekturnya, ini sangat positif bagi perkembangan Hindu. Hal yang sama bisa dilakukan untuk Pura di Gunung Semeru dan Pura Umum peninggalan leluhur lainnya di Tanah Jawa. Kembali kepada Karanganyar, maka peran PHDI Kab Karanganyar yang baru terbentuk ini harus memahami, bahwa keberadaannya adalah untuk mengayomi umat Hindu di Karanganyar yang berlatar belakang budaya Jawa sehingga langkahnya adalah ”Menjadikan umat Hindu berkembang baik dengan budaya lokal (local genius)”. Semoga kepengurusan PHDI Kab Karanganyar periode ini bisa melakukan fungsinya dengan baik dan didukung oleh umat serta memperoleh wara nugraha Hyang Widhi.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-07-2008.
Pada minggu, 06 Juli 2008 bertempat di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan-Karanganyar, telah dilangsungkan suatu kejadian penting berupa Loka Sabha PHDI Kab. Karanganyar-Jateng. Ditempat yang sama juga pernah terpilih melalui Loka Sabha Pengurus PHDI periode sebelumnya yang merupakan Pengurus PHDI pertama tingkat Kabupaten, jadi Pengurus terpilih periode ini adalah Kepengurusan ke-dua.
Keberadaan PHDI Kab. Karanganyar menjadi sangat penting mengingat Kab.Karanganyar, tepatnya Kec.Jenawi,Ngargoyoso,Kemuning,Kawasan Ceto,dll merupakan kantong Hindu dengan umat Hindu suku Jawa yang jumlahnya cukup besar dan tersebar dibeberapa desa, apalagi Karanganyar banyak menyimpan peninggalan Hindu seperti : Candi Ceto, Candi Sukuh, dan banyak tempat bernuansa spiritual lainnya sehingga Pemda Karanganyar menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wiisata Budaya dan Spiritual bahkan telah bergandengan dengan Pemda Bali (Gianyar) melalui kegiatan wisata dan perjalanan rohani (persembahyangan). Semua hal ini sebenarnya merupakan hal positif yang seharusnya bisa dimanfaatkan kearah pengembangan umat Hindu khususnya di wilayah Karanganyar. Kedatangan umat dari daerah lain yang tertarik dengan keindahan alam Karanganyar, kedatangan umat dari Bali yang umumnya untuk melakukan persembahyangan karena sejak leluhur dulu sudah ada ikatan batin dengan Candi Ceto misalnya, akan menggerakkan Pemda Karanganyar untuk lebih memperhatikan sarana-sarana yang ada, utamanya peninggalan Hindu. Umat Hindu suku Jawa juga bisa berinteraksi dengan umat dari Bali sehingga terjadi saling memahami cara masing-masing dalam melakukan bhakti kepada Hyang Widhi, sehingga umat Jawa tidak perlu lagi tertutup dalam melakukan kegiatan ritual apalagi sudah dipayungi oleh Lembaga Umat Hindu (PHDI). Ada catatan-catatan kecil tetepi mengandung makna penting khususnya kepada semeton dari Bali yang sudah mulai banyak dan sering mengunjungi Karanganyar (Candi Ceto). Jangan lupa, bahwa wilayah Karanganyar adalah tempat bermukim umat Hindu suku Jawa yang memiliki balutan budaya Jawa dalam meng-interpretasikan bhaktinya pada Yang Maha Kuasa, sehingga ”Warna Budaya Jawa” harus menjadi ciri utama setiap kegiatan ritual yang dilaksanakan di Karanganyar karena Candi Ceto atau Candi Sukuh bukan Pura Besakih atau Pura Lempuyang. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan Pura di Desa-desa di Karanganyar banyak terjadi lewat keterlibatan umat dari Bali sehingga bentuk Pelinggih yang ada seperti yang umumnya di Bali seperti Padmasana, Penglurah, atau Candi Gelung (Gapura). Seperti dimaklumi karena sudah ratusan tahun umat Jawa ini tidak mengenal lagi ajaran nenek moyangnya dan kedatangan umat Hindu dari Bali ibarat mengingatkan kembali ajaran leluhurnya namun sifatnya hanya sebagai pemicu, pendorong dan Tut Wuri Handayani. Umat dari Bali lebih baik membantu pengembangan umat Hindu Jawa seperti : pembangunan atau menyempurnakan Pelinggih-Pelinggih, bantuan Buku-buku/ Majalah Hindu, Darmawacana/Darmatula, dan bentuk Punia lainnya, dibandingkan mendirikan Patung Saraswati yang hanya menjadi objek Pariwisata dibandingkan Spiritual. Jadi Karanganyar tidak perlu lagi dibangun Pelinggih umum lainnya karena sudah memiliki Candi Ceto, Candi Sukuh, dan lainnya yang merupakan peninggalan leluhur yang punya makna philosofis yang tinggi. Para Pandita atau cendekiawan Hindu bisa membantu mencari relevansi budaya Jawa dengan ajaran Weda sehingga semua yang dilakukan jelas landasan tattwa-nya. Jika kita bisa membantu umat Jawa menghidupkan kembali Budaya leluhurnya yang bernuansa Hindu dan bisa tampil di Candi Ceto, maka kita seperti melihat kembali masyarakat Majapahit, Singosari, Daha, Kediri, Mataram Hindu, yang sedang mengadakan ritual pemujaan kepada Hyang Agung, hal ini akan dapat menggetarkan umat lainnya di Tataran Tanah Jawi apalagi jika sempat diliput oleh media TV atau majalah/surat kabar. Umat Hindu dari Bali bukan tidak boleh mengadakan kegiatan persembahyangan, silahkan saja bahkan jika perlu membawa Pandita dan bebantenan lengkap, tetapi sifatnya adalah tamu yang ingin bersembahyang, jangan sampai mengibarkan ”Warna Budaya Bali” dalam kegiatan persembahyangan di Ceto seperti pernah dilakukan sebelumnya, bahkan dengan dimuat berbagai media, hal itu hanya memperlihatkan dominasi Bali ketanah Jawa yang tidak berdampak baik bagi umat setempat khususnya bagi perkembangan Hindu kedepan. Partisifasi umat dari Bali untuk pengembangan Hindu di Jawa, bisa dilakukan di Pura lainnya seperti : di Semeru dan Gunung Salak. Seperti diketahui di areal Pura di Gunung Salak disana ada tempat beryoga semadi tokoh Hindu Ayahnda Prabu Siliwangi (Sri Baduga) yang sangat dihormati di Tanah Sunda, sehingga jika kita bisa kembalikan kejayaan Tanah Pasundan dengan menghidupkan seni budaya jaman dahulu termasuk arsitekturnya, ini sangat positif bagi perkembangan Hindu. Hal yang sama bisa dilakukan untuk Pura di Gunung Semeru dan Pura Umum peninggalan leluhur lainnya di Tanah Jawa. Kembali kepada Karanganyar, maka peran PHDI Kab Karanganyar yang baru terbentuk ini harus memahami, bahwa keberadaannya adalah untuk mengayomi umat Hindu di Karanganyar yang berlatar belakang budaya Jawa sehingga langkahnya adalah ”Menjadikan umat Hindu berkembang baik dengan budaya lokal (local genius)”. Semoga kepengurusan PHDI Kab Karanganyar periode ini bisa melakukan fungsinya dengan baik dan didukung oleh umat serta memperoleh wara nugraha Hyang Widhi.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-07-2008.
LOKASABHA KE-2 PERADAH KABUPATEN KARANGANYAR JAWA TENGAH
Pada tanggal 15 Januari 2006 bertempat di Bale Banjar (Balairung) Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, dilaksanakan Lokasabha ke-2 Peradah tingkat Kabupaten Karanganyar. Lokasabha yang dimulai pukul 10 wib dan berakhir pukul 18.wib ini berjalan sangat tertib dengan mengikuti Tatib-Tatib yang ada dibawah komando pimpinan sidang Pardi,S.Ag. Lokasabha kali ini intinya adalah melaksanakan Pemilihan Pengurus DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Perlu diketahui, bahwa Pengurus DPK Peradah sebelumnya yang dibentuk pada Lokasabha ke-1 pada 11 Maret 1984 di Gedung Golkar Karanganyar, sampai dengan Lokasabha ke-2 ini sudah berusia 21 tahun. Menurut Ketua Peradah hasil Lokasabha ke-1 Cipto Martono, S.Ag. kesulitan mencari Kader pemimpin, kesulitan konsolidasi, dan juga masalah dana mengakibatkan Lokasabha ke-2 baru bisa dilaksanakan setelah 21 tahun, walaupun demikian selama waktu itu kegiatan Peradah tetap berjalan dengan kemampuan yang ada, bahkan sering dengan dana pribadi, semua itu karena dedikasi Pengurus agar Peradah tetap bisa berjalan mengingat Karanganyar merupakan daerah yang umat Hindu asal Jawa cukup banyak, berbaur dengan umat Hindu asal Bali, Lombok dan Lampung.
Sebelum Lokasabha ke-2 dimulai, para peserta melakukan sembahyang bersama di Utama Mandala Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita dengan dipimpin oleh Jro Mangku Ketut Pasek. Para peserta yang terdiri dari dari umat Hindu yang berasal dari Bali, Jawa dan lainnya, berbaur dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi. Sampai akhirnya Ketua Panitia Lokasabha ke-2 Sumarno S.Ag, memulai sidang pada pukul 10 wib. Lokasabha ke-2 ini dihadiri oleh Undangan, yaitu : Ketua DPD II KNPI Karanganyar Drs. Drajad Sri Widodo (dalam hal ini diwakili H.Suparmi), Ketua DPP Peradah Jateng Pande Putu Indra Widiyana,ST, Ketua PHDI Karanganyar Sujarwo, Ketua PHDI Kec. Mojogedang Suwinto- Kec.Jenawi Sukiman – Kec.Ngargoyoso Sularto – Kec.Jaten Sugito, juga dihadiri unsur Organisasi umat Hindu seperti : FORHIN Ngargoyoso Joko Supriyanto, dan Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid Yoko Toh Jiwo. Keseluruhan peserta yang hadir sekitar 50 orang. Urutan Pokok Acara Lokasabha ke-2 ini adalah : Sidang Pleno Pertanggung Jawaban Pengurus Peradah hasil Lokasabha ke-1 disampaikan ketua Cipto Martono, S.Ag. dan diterima oleh peserta sidang, dilanjutkan oleh Sidang Komisi yang membahas Program Kerja, dan puncaknya adalah Sidang Pleno Pemilihan Ketua DPK Peradah Kab.Karanganyar Masa Bhakti 2006-2009. Pada sessi Pemilihan Ketua DPK Peradah, pada tahap awal terjaring 4 kandidat selanjutnya menjadi 3 Kandidat dengan urutan suara terbanyak : Yoko Toh Jiwo, Eko Sulardi dan Atma Jatiningati. Yoko Toh Jiwo yang pada pemilihan awal telah menyampaikan penolakan untuk dicalonkan sebagai calon Ketua karena sedang menjabat sebagai Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid , oleh peserta sidang tetap diminta untuk maju. Juga ketika sessi penyampaian Visi & Misi oleh 3 kandidat Yoko Toh Jiwo tidak menyampaikan Visi & Misi nya karena pertimbangan diatas. Pemilihan Ketua DPK Peradah akhirnya berakhir dengan Eko Sulardi memperoleh suara terbanyak yaitu 14 suara, disusul Atma Jatiningati 12 suara, dan Yoko Toh Jiwo dengan 9 suara pada pukul 15.50 wib. Dengan demikian Eko Sulardi terpilih sebagai Ketua DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Acara dilanjutkan dengan Pembentukan Pengurus dan seksi-seksi melalui Formatur sebanyak 9 orang dimana 3 kandidat ikut didalamnya. Selengkapnya Susunan Pengurus DPK Peradah Kab.Karanganyar masa bhakti 2006-2009, adalah : Ketua : Eko Sulardi, Wakil Ketua : Sumarno, S.Ag., Sekretaris I : Atma Jatiningati, Sekretaris II : Sartono, S.Ag., Bendahara I : I Gede Yopi Saputra, Bendahara II : Dyah Ayu Retno Widiastuti. Akhir Acara adalah : Pelantikan Pengurus dan Seksi-Seksi oleh Ketua DPP Peradah Jateng, sambutan Ketua DPK Peradah terpilih, sambutan dan pesan Ketua DPP Peradah jateng, dan Penutupan Lokasabha ke-2 DPK Peradah Kab.Karanganyar dengan Parama Shanti.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-01-2006
Pada tanggal 15 Januari 2006 bertempat di Bale Banjar (Balairung) Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Dukuh Pasekan, Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, dilaksanakan Lokasabha ke-2 Peradah tingkat Kabupaten Karanganyar. Lokasabha yang dimulai pukul 10 wib dan berakhir pukul 18.wib ini berjalan sangat tertib dengan mengikuti Tatib-Tatib yang ada dibawah komando pimpinan sidang Pardi,S.Ag. Lokasabha kali ini intinya adalah melaksanakan Pemilihan Pengurus DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Perlu diketahui, bahwa Pengurus DPK Peradah sebelumnya yang dibentuk pada Lokasabha ke-1 pada 11 Maret 1984 di Gedung Golkar Karanganyar, sampai dengan Lokasabha ke-2 ini sudah berusia 21 tahun. Menurut Ketua Peradah hasil Lokasabha ke-1 Cipto Martono, S.Ag. kesulitan mencari Kader pemimpin, kesulitan konsolidasi, dan juga masalah dana mengakibatkan Lokasabha ke-2 baru bisa dilaksanakan setelah 21 tahun, walaupun demikian selama waktu itu kegiatan Peradah tetap berjalan dengan kemampuan yang ada, bahkan sering dengan dana pribadi, semua itu karena dedikasi Pengurus agar Peradah tetap bisa berjalan mengingat Karanganyar merupakan daerah yang umat Hindu asal Jawa cukup banyak, berbaur dengan umat Hindu asal Bali, Lombok dan Lampung.
Sebelum Lokasabha ke-2 dimulai, para peserta melakukan sembahyang bersama di Utama Mandala Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita dengan dipimpin oleh Jro Mangku Ketut Pasek. Para peserta yang terdiri dari dari umat Hindu yang berasal dari Bali, Jawa dan lainnya, berbaur dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi. Sampai akhirnya Ketua Panitia Lokasabha ke-2 Sumarno S.Ag, memulai sidang pada pukul 10 wib. Lokasabha ke-2 ini dihadiri oleh Undangan, yaitu : Ketua DPD II KNPI Karanganyar Drs. Drajad Sri Widodo (dalam hal ini diwakili H.Suparmi), Ketua DPP Peradah Jateng Pande Putu Indra Widiyana,ST, Ketua PHDI Karanganyar Sujarwo, Ketua PHDI Kec. Mojogedang Suwinto- Kec.Jenawi Sukiman – Kec.Ngargoyoso Sularto – Kec.Jaten Sugito, juga dihadiri unsur Organisasi umat Hindu seperti : FORHIN Ngargoyoso Joko Supriyanto, dan Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid Yoko Toh Jiwo. Keseluruhan peserta yang hadir sekitar 50 orang. Urutan Pokok Acara Lokasabha ke-2 ini adalah : Sidang Pleno Pertanggung Jawaban Pengurus Peradah hasil Lokasabha ke-1 disampaikan ketua Cipto Martono, S.Ag. dan diterima oleh peserta sidang, dilanjutkan oleh Sidang Komisi yang membahas Program Kerja, dan puncaknya adalah Sidang Pleno Pemilihan Ketua DPK Peradah Kab.Karanganyar Masa Bhakti 2006-2009. Pada sessi Pemilihan Ketua DPK Peradah, pada tahap awal terjaring 4 kandidat selanjutnya menjadi 3 Kandidat dengan urutan suara terbanyak : Yoko Toh Jiwo, Eko Sulardi dan Atma Jatiningati. Yoko Toh Jiwo yang pada pemilihan awal telah menyampaikan penolakan untuk dicalonkan sebagai calon Ketua karena sedang menjabat sebagai Ketua Paguyuban Umat Hindu Majapahid , oleh peserta sidang tetap diminta untuk maju. Juga ketika sessi penyampaian Visi & Misi oleh 3 kandidat Yoko Toh Jiwo tidak menyampaikan Visi & Misi nya karena pertimbangan diatas. Pemilihan Ketua DPK Peradah akhirnya berakhir dengan Eko Sulardi memperoleh suara terbanyak yaitu 14 suara, disusul Atma Jatiningati 12 suara, dan Yoko Toh Jiwo dengan 9 suara pada pukul 15.50 wib. Dengan demikian Eko Sulardi terpilih sebagai Ketua DPK Peradah Masa Bhakti 2006-2009. Acara dilanjutkan dengan Pembentukan Pengurus dan seksi-seksi melalui Formatur sebanyak 9 orang dimana 3 kandidat ikut didalamnya. Selengkapnya Susunan Pengurus DPK Peradah Kab.Karanganyar masa bhakti 2006-2009, adalah : Ketua : Eko Sulardi, Wakil Ketua : Sumarno, S.Ag., Sekretaris I : Atma Jatiningati, Sekretaris II : Sartono, S.Ag., Bendahara I : I Gede Yopi Saputra, Bendahara II : Dyah Ayu Retno Widiastuti. Akhir Acara adalah : Pelantikan Pengurus dan Seksi-Seksi oleh Ketua DPP Peradah Jateng, sambutan Ketua DPK Peradah terpilih, sambutan dan pesan Ketua DPP Peradah jateng, dan Penutupan Lokasabha ke-2 DPK Peradah Kab.Karanganyar dengan Parama Shanti.
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-01-2006
PELANTIKAN PENGURUS PHDI JATEN
KARANGANYAR - JATENG
Karanganyar adalah sebuah Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan salah satu kantong Hindu yang sebagian besar adalah umat Jawa. Disini juga banyak peninggalan Hindu seperti Candi Ceto dan Candi Sukuh yang dapat menggambarkan sebuah peradaban adiluhung yang berintikan Hindu, juga Gunung Lawu yang punya kaitan erat dengan umat Hindu didaerah ini termasuk dengan Majapahit Jawa Timur. Hubungan umat Hindu disini dengan dari Bali sangat baik sehingga sering dilakukan event-event yang bernuansa spiritual seperti Persembahyangan di Candi Ceto, di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, dan di Pura-Pura kantong Hindu ini dimana umat Hindu Jawa dan Bali berbaur dalam suasana kekeluargaan yang baik. Birokrasi di Karanganyar juga sangat mendukung seperti Bupati dan Dinas Pariwisata karena Karanganyar memang cocok untuk Pariwisata Spiritual dan Pariwisata Budaya. Yang sangat penting adalah sudah terbentuknya PHDI Kabupaten Karanganyar sekitar 5 tahun yang lalu dilaksanakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan Karangpandan Karanganyar. Selanjutnya disusul dengan terbentuk PHDI – PHDI Kecamatan, bahkan ditempat yang sama pada 4 Februari 2006 juga dilantik Pengurus PERADAH Karanganyar pergantian dari pengurus lama yang dipegang selama 20 tahun karena kesulitan Kaderisasi.
Kecamatan Jaten adalah salah satu dari Kecamatan di Karanganyar yang boleh dibilang terlambat dibandingkan kecamatan lainnya dalam pembentukan PHDI padahal Jaten punya nilai strategis dan juga unik, dimana lokasinya berbatasan dengan Solo (Surakarta) dan umat Hindu etnis Bali banyak tinggal ditempat ini. Atas desakan yang tidak pernah henti-hentinya dari Sesepuh umat Hindu Jawa – Supanggih kepada umat Hindu di Jaten, maka akhirnya berhasil dibentuk PHDI Jaten yang pelantikannya dilakukan pada Hari Minggu, 17 Juni 2007 di Aula Kecamatan Jaten – Karanganyar. Pelantikan dilakukan oleh Sudjarwo Adipuro Ketua PHDI Karanganyar, dan dihadiri oleh Pengurus PHDI Jenawi, dan umat Hindu Ngargoyoso, Mojogedang serta Karangpandan dan Jaten. Acara juga dihadiri Tri Muspika Kecamatan Jaten. Prosesi acara cukup meriah dengan diawali Tari Sekarjagat dan Pembacaan Sastra Suci Weda. Sambutan diberikan oleh Wakil dari Camat Jaten, Ketua PHDI Karanganyar, juga Sesepuh Hindu Supanggih.
Susunan selengkapnya Personalia PHDI Jaten Masa Bhakti 2007 -2012 adalah :
Paruman Pandita : JM Katut Pasek, JM Made Murti, JM Nyoman Sukadana , Pndt Mudiarso,.
Paruman Walaka : Nyoman Murtana, IB Putu Santika, Kd Pardila, Ketut Pariarta, Dewa Gd Sutirta, Sugito, Ketut Yasa.
Pengurus Harian :
Ketua : Nyoman Suendi
Wakil Ketua : IB Arnawa
Sekretaris : Nyoman Chaya , Nyoman Sukirna
Bendahara : Gede Yopi Saputra, Made Suastika
Seksi-Seksi :
Sie Sosial Budaya : Kt Saba, Wy Sadra, Sulistyo Haryanti, Made Widani.
Sie Pend.Generasi Muda : Sumarno, Atmajatiningati, AA Sugiyanto, IB Alit Putra.
Sie Humas : Nengah Surata, Dewa Gd Wirantika
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007
KARANGANYAR - JATENG
Karanganyar adalah sebuah Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan salah satu kantong Hindu yang sebagian besar adalah umat Jawa. Disini juga banyak peninggalan Hindu seperti Candi Ceto dan Candi Sukuh yang dapat menggambarkan sebuah peradaban adiluhung yang berintikan Hindu, juga Gunung Lawu yang punya kaitan erat dengan umat Hindu didaerah ini termasuk dengan Majapahit Jawa Timur. Hubungan umat Hindu disini dengan dari Bali sangat baik sehingga sering dilakukan event-event yang bernuansa spiritual seperti Persembahyangan di Candi Ceto, di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, dan di Pura-Pura kantong Hindu ini dimana umat Hindu Jawa dan Bali berbaur dalam suasana kekeluargaan yang baik. Birokrasi di Karanganyar juga sangat mendukung seperti Bupati dan Dinas Pariwisata karena Karanganyar memang cocok untuk Pariwisata Spiritual dan Pariwisata Budaya. Yang sangat penting adalah sudah terbentuknya PHDI Kabupaten Karanganyar sekitar 5 tahun yang lalu dilaksanakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan Karangpandan Karanganyar. Selanjutnya disusul dengan terbentuk PHDI – PHDI Kecamatan, bahkan ditempat yang sama pada 4 Februari 2006 juga dilantik Pengurus PERADAH Karanganyar pergantian dari pengurus lama yang dipegang selama 20 tahun karena kesulitan Kaderisasi.
Kecamatan Jaten adalah salah satu dari Kecamatan di Karanganyar yang boleh dibilang terlambat dibandingkan kecamatan lainnya dalam pembentukan PHDI padahal Jaten punya nilai strategis dan juga unik, dimana lokasinya berbatasan dengan Solo (Surakarta) dan umat Hindu etnis Bali banyak tinggal ditempat ini. Atas desakan yang tidak pernah henti-hentinya dari Sesepuh umat Hindu Jawa – Supanggih kepada umat Hindu di Jaten, maka akhirnya berhasil dibentuk PHDI Jaten yang pelantikannya dilakukan pada Hari Minggu, 17 Juni 2007 di Aula Kecamatan Jaten – Karanganyar. Pelantikan dilakukan oleh Sudjarwo Adipuro Ketua PHDI Karanganyar, dan dihadiri oleh Pengurus PHDI Jenawi, dan umat Hindu Ngargoyoso, Mojogedang serta Karangpandan dan Jaten. Acara juga dihadiri Tri Muspika Kecamatan Jaten. Prosesi acara cukup meriah dengan diawali Tari Sekarjagat dan Pembacaan Sastra Suci Weda. Sambutan diberikan oleh Wakil dari Camat Jaten, Ketua PHDI Karanganyar, juga Sesepuh Hindu Supanggih.
Susunan selengkapnya Personalia PHDI Jaten Masa Bhakti 2007 -2012 adalah :
Paruman Pandita : JM Katut Pasek, JM Made Murti, JM Nyoman Sukadana , Pndt Mudiarso,.
Paruman Walaka : Nyoman Murtana, IB Putu Santika, Kd Pardila, Ketut Pariarta, Dewa Gd Sutirta, Sugito, Ketut Yasa.
Pengurus Harian :
Ketua : Nyoman Suendi
Wakil Ketua : IB Arnawa
Sekretaris : Nyoman Chaya , Nyoman Sukirna
Bendahara : Gede Yopi Saputra, Made Suastika
Seksi-Seksi :
Sie Sosial Budaya : Kt Saba, Wy Sadra, Sulistyo Haryanti, Made Widani.
Sie Pend.Generasi Muda : Sumarno, Atmajatiningati, AA Sugiyanto, IB Alit Putra.
Sie Humas : Nengah Surata, Dewa Gd Wirantika
Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007
Langganan:
Postingan (Atom)