Selasa, Desember 01, 2009

MERENUNGI WEJANGAN PARA PANDITA MPU

Sejak kecil penulis menyukai mendengarkan orang tua yang sedang berceritra atau berdiskusi hal-hal yang bersifat kebenaran/susila. Sesudah dewasa sering tanpa sengaja penulis bertemu dengan rohaniawan baik dari umat Jawa atau Bali, yang mana dari mereka banyak hal-hal positif yang bisa diambil untuk pegangan hidup. Kesempatan yang sangat langka adalah ketika penulis dapat bertatap muka dengan beberapa Pandita Mpu, menjadi pendengar, kadang aktif bertanya hal-hal kehidupan dan sosial masyarakat. Ada wejangan yang terkait dengan “Keselarasan Hubungan Antar Manusia” yang penulis ingin sampaikan disini.

Diawali oleh kegundahan penulis melihat fenomena dimasyarakat tentang kurang baiknya pemahaman tentang keselarasan hubungan antar manusia yang merupakan ajaran “Tri Hita Karana”. Begitu dihadapkan pada masalah Wangsa di Bali, maka ajaran Weda ini menjadi tidak ampuh lagi. Ada umat yang masih membedakan dirinya dengan yang lain, ada Rohaniawan yang larut dalam pengkotakan diri. Ada Abdi Negara yang sebenarnya merupakan tangan-tangan untuk terciptanya keselarasan hubungan antar manusia membiarkan organisasi umat terbelah dua, membedakan Sulinggih dalam Persembahyangan. Untuk hal-hal seperti ini pionir-pionir keselarasan hubungan antar manusia ini telah tidak tepat menilai porsi riil dimasyarakat dan mesti banyak belajar sejarah leluhurnya khususnya sejak abad 10 – 16 Masehi..

Kegundahan-kegundahan seperti ini adalah sesuatu yang wajar, dan hal seperti ini akan bisa muncul pada diri siapa saja yang ingin menghayati dirinya . Namun…apa yang penulis rasakan dengan apa yang penulis peroleh berupa wejangan dari Para Pandita Mpu, adalah ibarat orang yang kehausan dipadang tandus dan mendapat suguhan air yang bening dan sejuk. Para Pandita Mpu memberi wejangan :

Jadilah kamu “Paling Pasek” (PASEK = Patitis Sesana Kawitan ) atau Meneladani Prilaku Leluhur dengan sangat baik,. Jangan menjadi “Pasek Paling” atau Pasek yang bingung, yang tidak pernah sujud bakti pada leluhur, tidak mengenal diri. Sapta Pandita dan ayahndanya, Mpu Gnijaya (yang tertua dari Panca Tirta) selalu mengajarkan agar keturunannya menjadi orang yang bakti pada leluhur, tidak melupakan saudara dan menjalankan swadarma leluhur yang sangat taat menjalankan ajaran agama. Terhadap sesama Trah Panca Tirta agar tetap menjaga persaudaraan walaupun mungkin mereka tidak menganggap kamu saudara, itu tidak apa-apa. (Trah Panca Tirta yang lain adalah : Mpu Bharada/terkecil – keturunannya : Soroh Ida Bagus, Anak Agung, Arya Pinatih,Arya Sidemen, dll dan Trah Mpu Semeru-keturunanya Suputra/Anak angkat adalah : Soroh Kayu Selem, Pelinggih Mpu Semeru ada di Pura Catur Lawa Besakih dengan Meru Tumpang Pitu.) .Nasihat beliau lagi, …..kamu harus bangga jika saudaramu bisa Muja di lokasi Bom Bali (Penulis : walaupun Mpu tidak diajak) karena itu untuk keselamatan umat manusia dan kamu memujalah di tempatmu masing-masing, kamu juga harus bangga jika saudaramu bisa tampil dengan President Amerika, seperti bangganya seorang kakak pada adiknya. Sebagai yang lebih tua (Mpu Gnijaya-tertua) memang harus siap menderita dan membuka jalan untuk kesuksesan seorang adik.

Mendengar wejangan seperti itu, hati penulis tersentuh dan menjadi sangat simpati dan kagum akan kebijaksanaan beliau-beliau itu. Wejangan-wejangan yang keluar sangat menjejukkan hati, kadang-kadang tegas dan keras tapi masih dalam koridor kebenaran. Dalam penjabaran Dharma Para Pandita Mpu bersifat “Low Profile” walaupun banyak bukti nyata yang dihasilkan, seperti : Pembangunan beberapa Pura di Tanah Jawa yang kadang-kadang bergandengan dengan Para Pedanda yang lain. Dengan fenomena seperti itu penulis seperti memperoleh gambaran akan keberadaan Sang Sapta Pandita dan Mpu Gnijaya dalam diri Para Pandita Mpu. Ternyata…… banyak dari beliau yang “Patitis” menjalankan Sesana leluhurnya. Dilain fihak dengan pengalaman seperti itu penulis malah telah banyak meluruskan pandangan dari beberapa kawan yang menganggap Trah Sapta Pandita hanya membicarakan tinggi rendah dan menganggap diri lebih tinggi, karena bagi Trah Sapta Pandita tidak ada prestise yang hilang atau dihilangkan, malah telah membuka wawasan bhakti yang sebenarnya pada leluhur, yaitu dengan “Meniru sesana leluhur yang baik”.

Terakhir, penulis perlu menyampaikan, bahwa sudah sepantasnya kita menata kembali bangunan simakrama dengan siapa saja asalkan dapat menghasilkan kebaikan pada sesama, sebab jalan ini adalah jalan kebenaran . Semakin besar keinginan kita untuk meraih keduniawian, seperti harta, sanjungan, dll. apalagi dengan cara yang tidak benar , akan semakin menjauhkan kita dari kehidupan rohani padahal pada kehidupan/prilaku rohani itu justru sangat dekat dengan “kebahagiaan”.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
29-12-2003.

2 komentar:

  1. Anonim bilang bila dihadapkan pada masalah wangsa di Bali, Weda Tidak Ampuh Lagi???????? Maksudnya?????
    Apa Tidak setiap ada persoalan Weda adalah cermin yang ampuh untuk menjernihkan persoalan.....
    Weda di wahyukan agar manusia saat gelap Weda adalah cahaya terang,
    Dari Weda meyakini kebenaran itu,.....
    Permasalahanya mungkin yang begitu tidak baca weda Kali......
    Maaf sebelumnya bila ada yang keliru.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Secara praktek begitulah adanya di Bali, contoh nyata adalah hal : Wangsa, Warna, Kasta, dimana Kasta ini karena produk penjajah seharusnya punah dari Bali sehingga yang tersisa dan tetap bisa dijalankan adalah : Wangsa (ikatan pesemetonan) dan Warna (Profesi sesuai Guna/Bakat dan Karma/laku/aktifitasnya), namun masih saja ditataran masyarakat menerapkan Kasta ini yang seharusnya Warna, inilah bukti Weda tidak ampuh dalam hal ini karena manusianya memilih prestise daripada menjalankan ajaran Weda (cq. Catur Warna).

      Hapus

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)