MELURUSKAN PEMAKAIAN KATA ”RATU – AJI”
Sebagai orang Bali yang tinggal diluar Bali (Jawa), maka kedatangan di Bali walaupun hanya dalam rangka liburan tentu menjadi hal yang sangat berharga dan tidak untuk disia-siakan, apalagi ketika menonton siaran TV daerah dimana acaranya bernuansa Bali sungguh sangat menyenangkan. Acara seperti itu tidak bisa penulis dapatkan diluar Bali. Hari itu penulis nonton acara ”Pabiblagan” sejenis acara interaktif dimana pemirsa bisa ikut terlibat. Yang dibahas masalah ”Cafe” dan pembawa acaranya Ida Bagus, narasumbernya Anak Agung sayang keduanya penulis lupa nama lengkapnya. Seorang lagi wanita sebagai narasumber bidang hukum. Waktu itu ada juga dua pasang teruna-teruni Bali dan tamu lainnya. Pemaparan demi pemaparan dilakukan dengan sangat baiknya karena memang masalah Cafe ini sudah meresahkan di Bali karena sudah menjangkau kampung dan pedesaan sehingga dikhawatirkan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Suasana pembahasan sangat mengasyikkan bagi penulis karena disampaikan dengan bahasa Bali halus kadang ada bahasa indonesianya, benar-benar senang mengikutinya. Akhirnya sampailah pada sessi tanya-jawab dimana penanyanya adalah pemirsa dirumah melalui sambungan telepon. Para penanya juga tidak kalah menariknya, wawasan mereka cukup baik dan cara menyampaikannya juga jelas, sopan dan banyak juga yang memakai bahasa bali halus. Yang paling penting lagi mereka adalah orang-orang yang berani dan peduli terhadap lingkungan. Keasyikan penulis menyaksikan acara tersebut sedikit terganggu ketika sebagian dari penanya memakai kata ”Atu” dan ada memakai kata ”Ratu Aji”. Disebelah penulis kebetulan ikut menonton kawan yang sering dipercaya sebagai juru bicara kalau ada orang menikah, dll., penulis bertanya ; apa Ratu Aji itu kata-kata bali halus untuk penghargaan kepada seorang tamu (dalam hal ini Narasumber) ? jawaban kawan dengan polos ; tidak, itu karena narasumbernya orang ”Menak” (maksudnya Triwangsa, seperti yang masih dikenal di masyarakat). Sebagai orang yang tinggal diluar Bali, maka ibaratnya berada diluar aquarium, maka sangat cepat menangkap adanya suatu keanehan dengan kata Ratu Aji tersebut, yang tidak akan terasa aneh bagi kawan penulis yang sudah menyatu dengan kebiasaan di Bali. Penulis menangkap ada bentuk perbedaan manusia satu dengan lainnya, jadi apa yang selama ini sering dikemukakan tentang penyimpangan Catur Varna penulis lihat sendiri. Kejadian diatas menarik minat untuk menyampaikan suatu gagasan/ ide dengan tidak menghilangkan kata-kata yang sudah mendarah daging tersebut, tetapi bersifat meluruskan penggunaannya agar menjadi benar, tidak menyimpang dengan kesetaraan sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi.
Penggunaan kata ”Ratu Aji” perlu diulas sedikit. ”Ratu” atau Raja adalah pemimpin yang mampu mensejahtraan umat, sementara narasumber atau pembawa acara bukanlah Raja. Selanjutnya ”Aji” yang berarti Ayah atau orang yang dituakan, jangan-jangan sipenanya mungkin usianya lebih tua dari narasumber atau pembawa acara. Dengan demikian sipenanya memperlakukan narasumber dan pembawa acara begitu tingginya yang sekaligus berarti juga merendahkan dirinya atau jangan-jangan sipenanya tidak merasa telah merendahkan dirinya. Sementara yang disebut Ratu Aji juga tenang-tenang saja tanpa berusaha meluruskan kepada penanya agar kata itu jangan diucapkan. Jika kita tanya orang yang disebut Ratu Aji itu, maka jawabannya pasti ; dia tidak meminta untuk dipanggil seperti itu, walaupun semestinya bisa meluruskan dengan dasar kesetaraan manusia dimata Hyang Widhi. Untuk sipenanya sangat penulis sayangkan, dibalik pertanyaan-pertanyaan yang begitu baiknya, sopan, berwawasan, berani, dan peduli lingkungan, justru ada ganjalan yaitu menodai penghargaan pada dirinya, tapi itulah fakta yang masih ada dimasyarakat. Hal itu sesungguhnya bisa diluruskan jika ada ”kerjasama” antara yang dipanggil Ratu Aji dengan yang menyebut hal itu, jangan justru menikmati sebutan itu dan membiarkan saudara kita merendahkan dirinya. Lalu apa ”solusinya” ?. Menurut penulis sebutan ”Ratu Aji” jangan dihilangkan karena itu sudah mengakar dimasyarakat dan suatu bentuk penghormatan kepada orang lain, namun diluruskan menjadi ”bentuk penghormatan tanpa merendahkan harga diri”, apa maksudnya ?. Jadikan kata Ratu Aji itu sebutan untuk semua tamu atau orang yang ingin kita hormati tetap dalam koridor tanpa merendahkan diri, misalnya : Narasumber seperti contoh diatas, pejabat negara yang datang mengunjungi desa, dll. sehingga jika kebetulan narasumbernya adalah Prof Gede A, maka boleh saja disebut Ratu Aji, bukankah kita masih ingin menjaga tata-krama sebagai orang timur, lagipula didalam bahasa Indonesia kita juga memakai kata Tuan, Bapak, jadi padanannya dalam bahasa bali halus adalah ”Ratu Aji” itu. Dengan demikian perbendaharaan bahasa bali juga akan bertambah. Memang ada yang berpendapat menjadi celaka bahasa bali menganut perbedaan/ tingkatan halus dan tidak, tidak seperti bahasa inggris katanya. Namun dalam kasus ini sangat sulit merubah bahasa yang sudah menjadi bagian kehidupan orang bali, yang bisa dilakukan adalah ’meluruskan penggunaannya agar tidak menyimpang dari koridor agama Hindu”. Tanpa bermaksud menghina para narasumber atau pembawa acara tersebut, maka penulis berharap mereka bisa menjadi pelopor agar penggunaan bahasa bali sesuai dengan porsinya dan ikut meluruskan kekeliruan-kekeliruan atau penyimpangan ajaran Weda. Apalagi berada dilingkungan Media TV yang punya akses besar dan langsung kemasyarakat, jika niatnya ada maka hal itu sangat effektif untuk terjadinya perbaikan dimasyarakat, seperti keinginan untuk meluruskan keberadaan Cafe di Bali.
Sebagai akhir kata penulis kutip ”Sarasamuccaya Sloka 98” yang berbunyi sebai berikut :
”Atmopamastu bhutesu yo bhavediha purusah, tyaktadando jitakrodhah sa pretya sukhamedhate” (Artinya : Orang yang berhati sabar, berpendapat sekalian mahluk hidup itu tiada beda dengan dirinya sendiri, orang yang dapat melaksanakan itu, itulah merupakan sumber atau asal mula kesenangan dan kepuasan hati, sebab sekarang ia mendapat kebahagiaan pun didunia lain diperolehnya pula)
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.
Paradigam ini masih kental utamanya di wilayah selatan dan tengah Bali. Bahkan sering kita dengar kata "parekan" disandangkan untuk dirinya sehingga menambah subur "kasta" yang sebanarnya secara agama tidak pernah ada. Good, menulis lah lebih banyak lagi tentang hal-hal begini.
BalasHapus