MENGAPA MENGENAL LELUHUR
( Dukutip dari Wayan Supartha – Penyunting Buku Mengenal Leluhur dari Dunia Babad oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi )
Seseorang teman pernah menginap di kampung saya.Ia ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di Pura Panti saya.Ia mengaku senang melihat tradisi yang tidak pernah ia lihat di kota (namun lantaran berbagai pertimbangan,saya tidak tulis tradisi itu).Nah,pada saat melakukan acara muspa, teman saya tidak ikut serta.
“Mengapa tidak ikut muspa?”Tanya saya beberapa menit seusai muspa.
“Soroh saya kan berbeda dengan soroh Anda.“jawabnya.“Kalau saya ikut muspa,kan berarti saya menyembah roh leluhur orang lain.“
Saya tertegun,tapi hanya sebentar. Saya tidak mau memperpanjang masalah itu demi menjaga hubungan “diplomatik”.Saya pikir muspa atau tidak itu hak azasinya.Lagi pula,apa ruginya saya jika ia tidak mau muspa di pura saya?
Saat minum kopi,saya pun menyuguhkan buah dan jajan,lungsuran dari persembahan tadi.
„Maaf,saya tidak boleh makan lunsuran dari pura orang lain.”
Saya tidak menjawab.Saya kemudian mengambil roti tawar dan mentega lalu menawarkan kepada dia.Suguhan itu ia terima dengan baik.
Suatu hari,giliran saya menginap di kampungnya,juga dengan tujuan ingin melihat tradisi odalan yang berlangsung di merajan-nya. Saat acara muspa, saya ikut muspa. Ketika acara santai minum kopi,teman saya itu menyuguhkan pisang goreng yang yang baru dibeli di warung.
“Kok saya disuguhi pisan goreng.Kau kan punya jajan lungsuran?”
“Wah kalau mau,jajannya banyak,”kata teman saya itu bergegas mengambil bermacam-macam jajan,seperti sirat,talin kereta, matahari,roti kukus, gipang,apem,bantal,dan sesisir pisang.Saya pun menyikat suguhan itu dan teman saya itu tampak senang.
“Jadi kau memang berani makan lungsuran,di pura orang lain lagi,“tanya teman saya itu.
„Lungsuran adalah makanan yang kita mohon setelah dipersembahkan.Bahasa lainnya disebut prasadam.Prasadam adalah makanan suci karena dianugerahkan oleh Yang Maha Suci,“kata saya berlagak seorang guru.
„Tapi kan dari pura orang lain?“tanya teman saya.
„Di puramu, atau di pura mana saja Tuhan kan sama.Itu pula sebabnya aku mau muspa.Kita kan dengar,bunyi mantranya sama yang berarti Tuhan yang dipuja sama.Misalnya kepada Siwaraditya,kepada Samodaya dsb.’
„Tapi kan ada roh leluhurku yang berbeda dengan leluhurmu.“
„Agama mengajarkan,kita hendaknya kasih mengasihi,hormat menghormati.Orangtuamu yang masih hidup saja kuhormati apa lagi yang telah malinggih di merajan yang telah menjadi Dewa Pitra.Apa salahnya aku menghormati roh leluhur orang lain dengan cara menyembah mereka?Bukankah ajaran tatwamasi berarti itu adalah saya sehingga satu sama lain mesti sama-sama dihormati?Maaf,ini hanya keyakinanku dan aku tidak memaksakan kamu memiliki kepercayaan serupa.“
Saya pun melontarkan hasil keputusan dan ketetapan Parisada yang antara lain menyatakan bahwa yang dapat disembah adalah: da Hyang Widhi Wasa,para dewa,para resi,bhatara/leluhur,manusa dan bhuta.Saya merasa perlu melontarkan itu,lantaran saya pernah mendengar ucapan seseorang (bahkan banyak yang sudah bergelar sarjana)bahwa manusia itu tidak perlu disembah.“Kok manusia disembah?Apa kau sudah gila,“kata seseorang teman suatu kali.
***
KAPAN persisnya saya menginap di rumah teman saya itu, saya sudah betul-betul lupa.Namun saya tidak pernah lupa pada sebait kekawin Ramayana ini:
Gunamanta Sang Dasarata
Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja
masih ta sireng swagotra kabeh
Sebait kekawin itu rupanya cukup memberikan gambaran kepada kita,bahwa Sang Dasarata adalah seorang tokoh panutan di segala zaman.Raja Ayodhya itu disebutkan ahli Weda,seorang bhakta(pemuja Tuhan yang taat),tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya.Lantaran kualitas Dasarata itu,mungkin itu pulalah sebabnya Dewa Wisnu memilih raja Ayodya itu sebagai „bapak“-nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana,“Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma.“
Dalam Hindu ada disebutkan,bahwa kita memiliki utang kepada leluhur yang disebut Pitra Rna.Mengapa berutang,karena dari beliaulah kita lahir dan dibesarkan.Utang tersebut kemudian dibayar dengan Pitra Yadnya.Dalam arti sempit,Pitra Yadnya sering disamakan dengan upacara Ngaben atau upacara yang berkenaan dengan kematian.Namun dalam arti luas,ada orang mengatakan,setiap memuja roh leluhur disebut Pitra Yadnya.
Nah,agar dapat memuja roh leluhur dengan baik,maka alangkah baiknya para pemuja mengenal siapa leluhurnya itu.Seperti halnya memuja Tuhan,leluhur yang dipuja itu sebaiknya dikenal baik nama maupun riwayat hidupnya.Jika perlu sampai wajahnya dapat dibayangkan saat memuja.
Dikutip oleh :
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo, Jateng
Mohon maaf.. apakah wanita dari pande yg menikah dengan pria non pande, apa si wanita bisa disebut lupa dengan leluhur?
BalasHapusApakah wanita pande menikah dgn pria non pande.. apakah wanita itu bisa disebut lupa dengan leuluhur?
BalasHapus