”Ajeg Bali” yang sejak lama
didengungkan sesungguhnya punya tujuan yang baik untuk melestarikan Bali dengan
tradisinya sehingga tidak lekang ditelan jaman mengingat Bali ini sangat
penting baik bagi bali sendiri, bagi Indonesia, bahkan bagi dunia, kesadaran
ini perlu ditumbuhkan. Wacana Ajeg Bali ini diawal kemunculannya sempat
dicurigai akan meng-ajegkan budaya-budaya Feodal sehingga tidak memperoleh
dukungan dari sebagian masyarakat yang anti feodalisme, malah muncul wacana Ajeg
Hindu karena agama Hindu-lah yang menjiwai setiap tradisi bali sehingga yang
bertentangan dengan ajaran Hindu seperti budaya Feodal tidak perlu
dipertahankan. Ajeg Hindu ini tidak perlu menjadi counter karena Hindu tidak
perlu di ajegkan keberadaan ajaran Hindu justru untuk memberi rasa damai
(pribadi yang ajeg), jadi tetaplah dengan konotasi Ajeg Bali namun perlu di-revitalisasi,
perlu disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali secara umum
dan benar-benar meng-Ajegkan budaya Bali dengan jati diri Hindu.
Sampai hari ini wacana Ajeg Bali
terus dikumandangkan walau kadang menumpang pada kepentingan lain seperti tolak
reklamasi dengan dalih Ajeg Bali, sehingga menjadi pertanyaan apakah Ajeg Bali
berarti tidak boleh ngurug pantai atau boleh ngurug tetapi ditata dengan budaya
bali, atau bagaimana? ini menjadi membingungkan dan kesan yang ditangkap justru
ketidak puasan dengan fihak lain. Berita terbaru dengan protes ketika
perusahaan di Bali mewajibkan memakai jilbab bagi seluruh karyawan wanita yang
akhirnya diluruskan, inipun dengan alasan Ajeg Bali, dan bentuk lainnya dengan
pengertian semua itu demi Ajeg Bali. Walau lantang disuarakan tetapi keberadaan
wacana ini secara organisasi/lembaga belum jelas keberadaannya, apakah dibawah
Pemda Bali, dibawah Desa Pakraman, atau berupa LSM ? semua itu mencerminkan,
bahwa cara yang dilakukan guna ajeg Bali belum terorganisir dengan baik, belum
ter-strategi dengan matang, dan belum ter-integrasi, sehingga untuk
keberhasilannya jauh panggang dengan api. Sekarang ini wacana Ajeg Bali mulai
mendapat tantangan dengan interaksi masyarakat luar Bali yang datang ke Bali
terutama 5-10 tahun terakhir yang telah merubah tatanan kehidupan masyarakat
Bali dengan tradisinya, sehingga timbul pertanyaan apakah masih diperlukan keberadaannya
? Bahasan berikut ini tidak membicarakan agama atau keyakinan para pendatang,
juga tidak bermaksud mengadu domba antar umat beragama tetapi mengajak semua
untuk bekerja-sama memahami dan mengimplementasikan Ajeg Bali jika ingin langgeng
dan Bali masih mampu menyumbangkan devisa dari Pariwisata. Tulisan ini juga
tidak mengungkit umat non Hindu yang sudah lama di Bali yang sudah berinteraksi
juga saling ke juang lewat perkawinan, bahkan mereka sudah menjadi bagian dari
Bali. Yang ingin kita sampaikan adalah apa dampak kedatangan pendatang ini
terhadap Ajeg Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu.
Seperti kita ketahui 5 – 10 tahun
terakhir kedatangan para pendatang sangat melonjak sayangnya data akurat
penulis belum punya namun sebagi orang yang baru kembali menjadi masyarakat
Bali setelah lama merantau sangat jelas melihat
perbedaan itu. Apakah kedatangan mereka karena Bali dengan
Pariwisatanya, sehingga ingin berinteraksi seperti pepatah dimana ada gula
disana ada semut, yang jelas kebanyakan dari mereka adalah pedagang kecil dan
buruh serta lainnya yang tidak semua ada relasinya dengan Pariwisata. Jadi
kelihatannya mereka para pencari kerja dari Jawa, Lombok, dan lain daerah karena
persaingan atau kesempatan kerja yang terbatas di daerahnya. Kebiasaan para
pedagang ini adalah mencari tempat dipinggir jalan, diemper rumah atau tempat
kosong lainnya sehingga minim cost (tidak perlu menyewa). Situasi ini jika
dibiarkan akan menyebabkan Bali tidak bedanya dengan di Jawa atau kota lainnya
diluar bali, lagipula lama kelamaan akan susah memindahkannya dan akan ada
perlawanan. Bagi para buruh kasar biasanya tarifnya lebih murah dan mereka
lebih rajin, sehingga pengusaha lebih suka memilih tenaga luar itu karena murah
sementara orang bali (Hindu) disebut malas dan banyak libur, apakah itu benar?
Secara umum mungkin ada benarnya tetapi tidak semuanya seperti itu. Anehnya
pengusaha yang adalah orang Bali lebih memilih tenaga orang luar daripada
semeton Bali, seharusnya beri mereka kesempatan libur piodalan misalnya dan
titip doa agar usahanya lancar. Jangan dikira tenaga luar tidak libur, mereka
libur setiap minggu beberapa jam sementara semeton bali biasanya piodalan 6
bulan sekali, jika dibiarkan maka kedepan buruh luar ini yang rajin dan hemat
bisa akan menjadi bosnya dan orang bali tetap menjadi buruh. Usaha kavling juga
menjadi penyebab banyaknya pendatang yang bisa menjadi penduduk bali hanya
karena membeli kavling atau sudah rumah jadi, bahkan di TV lokal ada promosi
perumahan di bali selatan yang terang terangan menyebut walau ktp anda diluar
Bali boleh membeli propertry ini. Dengan situasi seperti itu, maka di area
busines seperti pasar, lapangan, dan tempat strategis lainnya, bahkan di objek
wisata seperti Pancasari sudah dominan pendatang sehingga kita seperti bukan di
Bali. Akibat dari semuanya, maka lahan-lahan di bali khusunya didekat pusat
ekonomi, di bali utara kearah barat (Gilimanuk), Negara, dll sudah berdiri
tempat ibadah yang sebenarnya baik dibandingkan mereka tidak sembahyang, namun
tentu perlun ijin sesuai ketentuan undang undang seperti halnya orang Bali
(Hindu) diluar bali yang melakukan hal yang sama dan memperhatikan
letaknya/lokasinya agar tidak merubah
tatanan budaya bali karena sekarang ini kebanyakan dipinggir jalan. Bedanya adalah
jika orang Bali Hindu untuk keseharian sembahyang di Mrajan (Pura keluarga)
hanya pada hari tertentu ke Pura misalnya Galungan, kuningan, Piodalan, maka
para pendatang ini yang beragama Muslim memerlukan tempat ibadah berupa Mushola
atau yang lebih besar berupa Masjid sementara umat Krsitiani ke Gereja pada
hari minggu. Lama kelamaan tempat ibadah ini akan semakin banyak karena
proporsional dengan jumlah kedatangan mereka ke Bali. Pola berpikir yang baik
adalah semua mahluk adalah sama sehingga bisa berdampingan dengan damai tanpa
memandang apa agamanya, namun tingkat spiritual masyarakat tidak sama, bibit-bibit
ketidak setujuan sudah mulai terlihat, bahkan sudah mengemuka, seperti
bermunculan penolakan-penolakan lewat lembaga masyarakat yang dikhawatirkan
justru terjadi benturan dan keluar dari jati diri budaya bali yang bersahabat,
moderat, damai. Bentuk-bentuk penolakan mulai mengarah kepada sara seperti
mengkritisi pembangunan tempat ibadah, protes masalah pemakaian jilbab bagi
umat Hindu dan bentuk penolakan lainnya, ini bukan masalah sederhana sehingga
perlu pemikiran yang baik dari semuanya.
Bali adalah asset nasional yang
perlu dijaga tidak saja oleh orang bali yang beragama Hindu tetapi non Hindu
yang sudah menjadi warga Bali dan sebagai antisipasi dan solusi bagi
kepentingan Ajeg Bali, maka banyak hal yang bisa dilakukan, yang paling utama sebagai
mayoritas maka orang bali Hindu harus punya jiwa mengayomi umat beragama lain
yang sudah ada di Bali, kemudian bersaing secara sehat baik dalam kapasitas
sebagai pe-busines, karyawan, atau buruh kasar, Ajeg Bali jadikan lembaga
formal dan jelas, menurut penulis jadikan sebagi bagian dari Desa Pakraman
karena kalau di bawah Gubernur, maka secara birokratis Gubernur akan tunduk
kepada Mentri Dalam Negeri dan juga tugas Gubernur yang mengayomi semuanya,
jika menjadi bagian dari LSM kalau itu LSM yang berkiblat ke partai juga tidak
independent, maka yang paling tepat Ajeg Bali bagian dari visi Desa Pakraman
walaupun tetap perlu didukung oleh Perda agar bisa menyeluruh ke pelosok bali. Komposisi
karyawan/pekerja dengan tetap menjunjung profesionalisme perlu diatur, idealnya
terlibat minimal 60% di perusahaan-perusahaan di bali. Pengusaha Bali perlu
didukung baik dengan permodalan atau dukungan lain khususnya oleh Bank Daerah
seperti BPD (Bank Pembangunan Daerah Bali), atau BPR yang banyak tumbuh di
Bali, tumbuhkan rasa persaudaran seperti
semeton Chinese berbelanjalah pada warung semeton Bali, warung Bakso Haram merupakan perwujudan dari
jengah yang positif, para birokrasi seperti Deperindag, Depnaker, dll perlu
mendorong sistem atau aturan yang memberi peluang lebih besar kepada orang bali
dibandingkan pendatang, para lurah/kepala desa sebagai pintu pertama perlu
selektif dan hati hati, orang bali yang
sukses diluar bali perlu investasi di Bali dan mempekerjakan orang Bali, semeton
bali jangan saling mecongkrah sama semeton sendiri baik secara pribadi maupun
dengan lembaganya, jangan terlalu mendewakan keturunan sehingga merasa lebih tinggi dari sesama
orang bali lainnya karena itu kesalahan masa lalu yang tidak perlu diteruskan,
apalagi secara keleluhuran sebagian besar orang bali adalah semeton (menyame). Kesimpulan dari semuanya adalah jika ingin
Ajeg Bali bisa di terapkan dengan baik, maka mayority dalam segala lapisan
perlu diupayakan, dan sebagai mayority harus punya jiwa mengayomi, namun dengan
kondisi sekarang justru menjadi pertanyaan, apakah Ajeg Bali masih perlu
diterapkan? Yang bisa menjawab ini adalah kita sendiri orang Bali Hindu, baik
yang duduk di Birokrasi, di LSM, yang jadi pengusaha, yang jadi karyawan,
buruh, rohaniawan, intelektual Hindu, yang ada di Bali maupun diluar Bali,
bagaimana ? apakah masih diperlukan ?
Sebagai renungan terakhir buat kita
semua, mari kita mengingat kembali beliau Ida Mpu Kuturan yang sangat visioner
yang ada pada era tahun 1000 yang telah mewariskan kepada kita konsep
kemasyarakan dengan tradisi Hindu yang disebut Desa Pakraman, mari kita
kembalikan itu jika ternyata kita keliru menerapkannya, jangan dikotori dengan
feodalisme, dan tegakkan kembali sebagai bentuk rasa hormat kita kepada beliau.
Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam
Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De
Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha
Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha
Penulis,
JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja
13-11-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)