Selasa, September 01, 2009

NYEPI SEBAGAI MEDIA MELATIH KETAHANAN DIRI

Pendahuluan
”Lakukanlah kewajiban / swadarmamu, jangan mengharapkan balasan”, demikian kalimat bijak dari Weda yang selalu mengawali pemutaran Kisah Mahabaratha di Media TV. Kalimat ini yang juga merupakan ajaran ”Karma Marga” mengajak kita untuk tidak henti-hentinya berbuat sesuai dengan swadarma atau fungsi kita masing-masing, yang Guru jadilah guru yang baik, yang Polisi jadilah Polisi yang baik, yang Pegawai jadilah pegawai yang baik, yang petani juga jadilah petani yang baik, dan fungsi lainnya. Walaupun sekarang ini kehidupan semakin berat namun kita harus tetap melakukan kewajiban dan selalu memohon petunjuk Hyang Widhi. Seperti kita semua alami ; harga kebutuhan bahan pokok meningkat, bagi yang punya anak sekolah terasa, bahwa biaya pendidikan semakin tinggi, disisi lain pendapatan masyarakat semakin surut nilainya karena dengan sejumlah uang yang sama mendapatkan barang yang lebih sedikit. Hal ini terkait dengan situasi negara kita yang belum baik ditambah dengan bencana terjadi dimana-mana, seperti Tsunami, Gempa, banjir, kecelakaan Pesawat, Kapal Laut , Kereta api, dan lainnya yang mengakibatkan negara harus mengeluarkan dana yang seharusnya untuk kesejahtraan rakyat, memajukan pendidikan, dan kebutuhan vital lainnya, akhirnya masyarakat tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pemerintah dan harus mandiri untuk mampu survive dalam kehidupan ini.

Umat Hindu sebagai bagian dari masyarakat Indonesia tentu juga ikut merasakan situasi yang tidak enak ini, sehingga perlu menata diri dengan baik agar tidak terjerumus kepada tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu. Umat Hindu memiliki Hari Raya NYEPI atau Tahun Baru Saka, yang untuk tahun ini jatuh pada 07 Maret 2008, yang menjadi pertanyaan adalah : ”Bagaimana kita menjadikan NYEPI sebagai media melatih ketahanan diri untuk memperkuat Sradha (Iman) dan Bhakti (Taqwa) agar kita mampu menjalani kehidupan ini dengan benar.”

Tarik Saka, Bangsa Saka dan Hubungannya dengan Indonesia
Sebelumnya mari kita mengenal dulu apa itu NYEPI atau Tahun Baru Saka. Tahun Baru Saka sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan Bangsa Saka di India. Pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, suku-suku bangsa di Asia Selatan yang sekarang kita kenal dengan anak benua Asia, meliputi Nepal sampai ke Tibet selalu diliputi suasana permusuhan. Suku-suku bangsa yang saling memperebutkan Haegemoni terdiri dari Saka, Palawa, Yuk-Chi, Yawana, Malawa, dan lainnya meliputi wilayah Persia, lembah sungai Sindhu, Iran Selatan, Kashmir, India utara, dan India Barat yang daerahnya dikenal subur. Suku-suku bangsa itu saling bergantian memenangkan perang dan saling menaklukkan, dan pada sekitar tahun 138 sebelum masehi suku bangsa Saka menang atas suku bangsa Palawa. Suku Bangsa Saka adalah pengembara yang dikenal ramah dan selalu riang dalam menghadapi setiap tantangan. Ketika Bangsa Saka memegang kekuasaan dan dihormati serta ditaati oleh suku-suku lainnya, maka dilakukan perubahan strategi perjuangan demi stabilitas dan persatuan. Orientasi kekuatan politik dan militer dirubah menjadi strategi budaya. Dengan strategi yang baru bangsa Saka berhasil memasyarakatkan kebudayaan dikalangan suku-suku yang ada dan menjadikannya menjadi kebudayaan negara/bangsa. Saat itulah merupakan jaman kejayaan suku bangsa Saka.

Dinasti Kusana adalah Bangsa Saka yang memantapkan pembangunan kebudayaan , merangkul bekas-bekas musuhnya serta mengambil puncak puncak budaya dari suku yang ada dan dijadikan unsur pemersatu bagi budaya kerajaan (bangsa). Raja Kaniska I adalah Dinasti Kusana yang dinobatkan pada tahun 78 Masehi, yaitu tepatnya pada 21 Maret 79, sekaligus mengawali Tarik Caka yang kemudian kita kenal sebagai ”TAHUN BARU SAKA”.

Bagaimana dengan Indonesia ? Bangsa Saka adalah bangsa pengembara yang juga datang ke Indonesia membawa ajaran Hindu dengan budaya bangsa Saka. Masuknya kebudayaan Hindu mengantarkan perubahan yang mendasar karena pada saat itu penduduk masih dalam budaya pra sejarah. Setelah kemajuan itu, kita mengenal kerajaan Hindu, seperti : Mulawarman (Kutai), Sriwijaya (Sumatra), Mataram (Jawa Tengah), dan Tarumanagara (Jawa Barat). Pada jaman itu nama pulau yang dikenal adalah: Swarna Dwipa (Sumatra) dan Jawa Dwipa (Jawa). Prasasti yang ditemukan berhuruf Palawa dengan bahasa Sansekerta, dan prasasti yang sudah mempergunakan tahun Saka adalah dari Kerajaan Sriwijaya. Di Jawa Timur kerajaan Singosari, Kediri, sampai Majapahit sudah mempergunakan tarik saka yang tercantum pada prasasti dan peninggalan sejarah lainnya. Ketika kebudayaan Hindu sudah demikian memasyarakat dan menjadi kebudayaan Nusantara, aksara yang dipakai di Pulau Jawa dan Bali lebih dikenal dengan Ha-Na-Ca-Ra-Ka yang diperkenalkan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Ajisaka. Ajisaka adalah seorang Sanyasin yang datang ke Indonesia pada sekitar pemerintahan Raja Kaniska I di India. Ajisaka memperkenalkan aksara baru tersebut yang bersumber dari aksara Dewanagari, dimana pada saat itu penggunaan tarik saka sangat populer di India.

Di Bali, pengaruh India juga terasa. Seperti diketahui Hubungan Bali, Nusantara, India, dan China sudah terjadi sejak lama dan ini sangat terkait dengan perkembangan agama Hindu di Bali. Jika dewasa ini ada hubungan kembali masyarakat Indonesia, Bali, dan India itu merepeleksikan situasi masa lalu yang saat itu berjalan sangat baik. Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Apakah mereka langsung menjadi leluhur orang bali ? belum tentu, kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi Manusia Papua melanesoid adalah penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah mencapai kehidupan lebih baik dengan kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. Mereka disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga dan bahasanya Bahasa melayu-Polinesia. Mereka adalah pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja. Untuk kepentingan itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakat austronesia ini disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing. Persekutuan hukum orang-orang Austronesia ini diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali dan mereka disebut orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem.

Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan Bangsa India ke Indonesia termasuk ke Bali. Tersebutlah seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Beliau pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa Tengah lalu berdharmayatra ketimur sampai ke Gunung Raung jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Beliau pertama datang dengan rombongan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak pengikutnya meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan ber Yoga Semadi lalu kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya melakukan ritual sebelum membuka hutan dengan menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro. Beliau diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa. Pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Pandita dari Warga Bujangga Waisnawa selelu menjadi Purohita Kerajaan. Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sriwijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988M – 1011M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Keturunan Raja Udayana adalah Airlangga dan Anak Wungsu, dimana Airlangga menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara) dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau (Pada kedatangan Danghyang Nirartha pura peninggalan Mpu Kuturan menjadi perjalanan Tirtayatra beliau seperti : Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, dan Pura Sakenan). Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah.  Keturunan para Mpu ini masih ada di Bali, seperti : Mpu Gnijaya (tertua) keturunannya dikenal dengan Pasek,Bendesa,Tangkas, Mpu Semeru putra angkatnya menurunkan Pasek Kayu Selem, Mpu Kuturan Putrinya Dyah Ratna Menggali Kawin dengan Mpu Bahula Putra Mpu Baradah keturunannya di Bali dikenal dengan Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa,dll. jadi mereka keturunan para Mpu ini bersaudara semua. Umat Jawa bisa jadi adalah trah dari mereka tetapi karena di Jawa dahulu putus informasi atau tidak ada catatan sementara di Bali masih tercatat dengan baik, maka umat Jawa tidak mengenal hal itu, tetapi tetap sama-sama merupakan ciptaan Hyang Widhi.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit dan berakhir kekuasaan Wangsa Warmadewa di Bali. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi).  Pasek Gelgel adalah Keturunan Sapta Pandita yang keempat yaitu ”Mpu Witadharma. Tujuh Pandita Putra Mpu Gnijaya-Leluhur Pasek ini selalu menjadi Rohaniawan Raja di Daha/Kediri sampai kepada Raja Kertajaya/Dandang Gendis pada 1222M dan tetap di Jawa. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karangpandan-Karanganyar-Jateng adalah keturunan Sapta Pandita yang tertua , yaitu Mpu Ketek, Sapta Pandita yang ketiga adalah Mpu Wiradnyana-keturunan beliau beberapa tingkat adalah Mpu Purwa dan Ken Dedes (Menurunkan raja-raja Jawa) selanjutnya keturunan Mpu Purwa dikenal dengan Pasek Tatar, dimana Ibunda Presiden Sukarno (Ida Ayu Nyoman Rai Srimben/Nama Ida Ayu pemberian Soekarno tahun 1958 di Tampaksiring) adalah trah Pasek Tatar . Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali.  Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, di Jawa ada Arya Wiraraja . Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Sri Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Kepempimpinan Sri Kresna Kepakisan berlanjut sampai kepada keturunannya dengan sebutan ”Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa inilah datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau. Pada masa ini fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Sedangkan Keturunan Dalem mengambil porsi Ksatrya, para Mantri mengambil porsi Wesya dan lainnya Sudra.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil tetapi tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya sampai tenggelam. Ketika Belanda masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya dengan me-legalkan Kasta (Penyimpangan dari Catur Warna, seperti yang dilakukan penjajah di India), bahkan kemudian muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.

Jadi kesimpulannya Bali tetap mempertahankan Hindu dengan adatnya termasuk Perayaan Tahun Baru Saka/ Nyepi ini. Istilah NYEPI memang adalah istilah yang dikenal di Bali namun bukan berarti Perayaan Nyepi ini hanya milik orang Bali dan bukan acara agama Hindu, tetapi karena hal yang tidak bisa dipungkiri adalah di Balilah agama Hindu dipertahankan. Jaman Republik setelah kemerdekaan juga dilalui dan terbentuklah PHDI sebagai Lembaga Hindu pada 23 Februari 1959, maka semakin dikenal Perayaan Nyepi/ Tahun Baru Saka oleh umat Hindu bukan hanya Suku Bali saja, tetapi seluruh Indonesia.



Pelaksanaan Hari Raya NYEPI / TAHUN BARU SAKA
Dimulainya tahun Saka pada 21 Maret 79 Masehi mempunyai makna astronomis dan antropologis. Pada saat itu matahari sedang dalam posisi menuju ke utara (Utarayana). Bagi wilayah belahan bumi utara pada saat ini memasuki musim semi, musim mulai bertani. Sedangkan bagi daerah khatulistiwa musim hujan mulai reda dan musim tanam dimulai, jadi saat ini tepat untuk memulai kegiatan baru. Dengan demikian setiap perubahan tahun Saka merupakan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka. Di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Nyepi di Indonesia menggunakan perhitungan TANGGAL (Suklapaksa) dan PANGLONG (Krsnapaksa) dan SASIH. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”, sedangkan proses perjalanan satu hari sesudah Tilem menuju satu hari sebelum Purnama disebut dengan ”Tanggal”. Jadi Nyepi dilaksanakan pada Tanggal Apisan (Satu hari sesudah Tilem Ke Sanga) dan masuk Sasih kadasa (Mesha).

Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
• Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
• Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21 Maret
• Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.

Upacara NYEPI dimulai pada Panglong 13 (Tilem-Kesanga/sehari sebelum Nyepi) dengan Melasti atau pensucian Pratima dan Pralingga yaitu perwujudan Dewa/Dewi atau Leluhur serta Orang Suci yang distanakan di Pura Kahyangan umum atau Pura Kawitan/Leluhur. Pratima ini di bawa kelaut atau kesumber air suci dan kembali lagi dengan membawa tirtha amerta (air suci) yang dianggap sarining bumi. Acara dilanjutkan dengan ”Tawur Kesanga” yang maknanya untuk pensucian dan keseimbangan alam semesta melalui api suci dan air suci untuk melebur segala kekotoran dan kebatilan yang menyelimuti bumi. Jadi Tawur Kesanga dilaksanakan pada Tilem satu hari sebelum Nyepi/Tahun Baru Saka, biasanya sore hari menjelang matahari tenggelam.

Pada keesokan harinya (Tanggal Apisan-Sasih Kedasa), sejak fajar menyingsing setiap umat Hindu melakukan Tapa,Brata, Yoga, dan Semadhi. Bentuknya adalah ”Mona Brata” (Diam/tanpa bicara), dan ”Upawasa” (tidak makan & minum), juga ”Yoga-Semadhi” (Meditasi atau ber-Japa). Brata ini dilakukan sejak matahari terbit pada Hari Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya (24 Jam). Pada Hari Nyepi umat Hindu melakukan :

• Amati Geni  tidak menyalakan api, tidak memasak, tidak menyalakan lampu penerangan.
• Amati Karya  tidak melakukan kegiatan fisik
• Amati Lelanguan  tidak menikmati segala keindahan yang mengasyikkan atau mempesona.
• Amati Lelungaan  tidak bepergian keluar rumah atau pekarangan

Di Bali, pada saat Hari Raya Nyepi semua orang mematuhi untuk tidak keluar rumah, tidak menyetel radio/TV, tidak ada kendaraan mondar-mandir, tidak ada kegiatan fisik, sehingga suasana yang hening dan tenang dapat membantu umat Hindu yang sedang melakukan Brata. Keesokan harinya adalah ”Ngembak Gni”, pagi-pagi membersihkan diri terlebih dahulu, dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan dan membuka Upawasa yang sudah dimulai dari saat matahari terbit waktu Hari Raya Nyepi. Biasanya kemudian dilakukan kunjung-mengunjungi sesama saudara atau teman bahkan sekarang sudah umum diadakan ”DharmaShanti” yang dilaksanakan umumnya tidak melewati Sasih Kedasa.


Nyepi di Zaman Millinnium
Keempat brata penyepian diatas sangat sulit dilakukan diluar Bali bagi orang Bali, apalagi dizaman millinium ini. Kalau di Bali, lebih mudah, karena semua orang melakukan itu (walaupun tidak 100% benar) karena mayoritas Hindu. Tetapi di luar Bali, masyarakat umum tidak melakukan brata penyepian, karena mereka non Hindu. Bagi umat Hindu non Bali misalnya umat Jawa jika mayoritas di desa kantong Hindu, maka sebaiknya Nyepi Desa seperti dilakukan di Bali kecuali para tetua disana sudah punya cara pelaksanaan Nyepi yang turun temurun dan sejalan dengan ajaran Hindu. Mungkin ada baiknya disampaikan sebagai perbandingan melaksanakan Nyepi di luar Bali baik bagi umat Bali atau Non Bali seperti Jawa yang kebetulan tinggal berbaur dengan umat non Hindu , sebagai berikut :
• Permisi tidak masuk kerja. Sekarang syukurlah Nyepi sudah libur nasional. Namun bila ada yang karena tugasnya tidak otomatis libur seperti pilot, perawat, dokter, pemadam kebakaran, operator telpon, dll maka perlu minta cuti di hari Nyepi itu.
• Pagar gerbang depan dikunci agar tidak ada tamu datang, dan bila perlu digantungi karton bertulis : MAAF TIDAK TERIMA TAMU KARENA SEDANG NYEPI. Hal ini perlu dilakukan karena teman-teman beragama lain yang tidak mengerti bisa datang kerumah persis di hari Nyepi, karena mengira itulah waktu yang tepat berkunjung memberi ucapan selamat tahun baru. Padahal kesempatan memberi selamat tahun baru adalah pada hari Ngembak Gni yaitu esok harinya.
• Matikan listrik di seluruh rumah dan dapat gunakan lampu minyak tanah/lilin, atau lampu redup (5W) khususnya bagi yang punya anak kecil atau orang sakit.
• Tidak menghidupkan radio, tv, tape, dll
• Tidak keluar ke halaman, dan tetap dalam ruangan
• Jangan ribut, bercanda, ketawa ngakak, menangis, dll
• Tidak masak, karena sangat baik jika berpuasa selama 24 jam penuh mulai matahari terbit saat Nyepi sampai matahari terbit keesokan harinya.
• Sambungan telepon di cabut, Handphone dimatikan.
• Tidak mencari hiburan : berjudi, membaca novel, dll
• Tidak mengadakan hubungan suami-istri.


Hal-hal yang disarankan untuk dilakukan :
• Membersihkan diri dengan mandi, berpakaian bersih.
• Sembahyang boleh menggunakan dupa, dan bagi para Sulinggih biasanya menggunakan gentha. Kidung tanpa sound system.
• Berpuasa total 24 jam
• Kalau bisa tidak tidur selama 24 jam
• Waktu-waktu sepenuhnya digunakan untuk berjapa, bersamadhi. Boleh menggunakan earphone. Jika ingin berjapa dibantu tembang Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll.
• Membaca buku-buku yang berkaitan dengan agama Hindu.
• Sembahyang dengan Sarana yang ada , atau Mebanten saiban
• Segenap keluarga : istri, anak-anak, pembantu diberitahu sebelumnya. Anak-anak agar dilatih cara kita melaksanakan Nyepi seperti itu.

Makna Spiritual NYEPI
Nyepi memiliki Makna : ”Pengendalian dan melatih ketahanan diri agar jauh dari sikap yang tidak dibenarkan oleh ajaran Hindu juga menimbulkan sikap tenggang rasa / empati kepada penderitaan sesama”

Dengan menghayati ”Makna” Nyepi, maka diharapkan kita :
1. Lebih kuat menghadapi godaan sifat-sifat negatif yang selalu mengganggu keseharian kita, karena manusia memiliki ”Rwa Bhineda”.
2. Lebih kuat menghadapi problema kehidupan dalam situasi ekonomi yang belum baik ini.
3. Lebih punya tenggang rasa terhadap sesama baik keluarga, masyarakat, juga bangsa.
4. Dengan kesederhanaan, sepi, jauh dari kebisingan dan glamour, akan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
5. Lebih kuat Sradha dan Bhakti bagi umat Hindu baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
6. Dan lain sebagainya.




(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber untuk Perayaan Tahun Baru Saka 1930 di Karanganyar/Solo-Jawa Tengah)



Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
06-03-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)