PENCARIAN LELUHUR ADALAH BENTUK BHAKTI
Sejak sesudah tahun 1965 di Bali, menurut ceritra orang-tua karena belum ada penelitian khusus mengenai hal ini, disebutkan bahwa di Bali orang-orang banyak melakukan pencarian leluhur, asal-usul atau wit-nya. Pencarian ini umumnya melalui : Balian metuunang, meneliti prasasti yang dimiliki oleh keluarga atau desa, mendatangi ahli babad, atau melakukan laku spiritual seperti meditasi di Pura-Pura Kawitan sampai pada ritual Yadnya untuk memperoleh petunjuk .Setelah ketahuan siapa leluhur atau Kawitannya itu belum cukup karena ketika orang tersebut mendatangi Mrajan Agung atau Pura Kawitan biasanya disana ada pengujiam-pengujian secara niskala misalnya kontak Pemangku dengan Bhatara Kawitan sampai melalui pusaka-pusaka peninggalan leluhur untuk disentuh atau bentuk penghormatan lainnya yang akan bisa meyakinkan Pemangku atau Sesepuh Mrajan Kawitan serta Sang pencari leluhur, bahwa memang benar wit-nya dari situ. Jadi pengujian spiritual/niskala biasanya banyak berperan dalam hal ini. Setelah jelas itu leluhurnya, maka ada upakara yang disebut ”Guru Piduka” yang tujuannya minta maaf karena tidak ingat atau tidak bhakti dengan leluhurnya untuk kurun waktu yang cukup lama. Penemuan leluhur yang tepat biasanya langsung dirasakan dalam kehidupan seseorang yang sering tidak bisa dijelaskan secara logika, seperti kenaikan pangkat, ekonomi dan kesehatan membaik, dan sebagainya. Ada pendapat seorang pengamat sejarah, yang mengatakan bahwa pencarian leluhur ini kadang-kadang menjadi salah , ketika setelah ditemukan leluhurnya ada yang kemudian menjadi angkuh/ sombong karena mengetahui, bahwa leluhurnya dahulu bernama depan I Gusti, I Dewa, atau lainnya, bahkan ada yang sampai membeli gelar, ini tentunya tidak benar.
Jika kita mundur kebelakang pada kenapa orang mencari leluhurnya, maka bisa diceritrakan sebagai berikut. Pada jaman dahulu sebut saja jaman Majapahit berkuasa di Jawa dan juga menguasai Bali, maka di Bali ditempatkan Adipati (bawahan Raja) yang disebut ”Dalem” yang pertama adalah Dalem Kresna kepakisan sekitar tahun 1350 M. Pada masa ini dan sesudahnya ada kejadian yang disebut ”Nyineb Wangsa” yaitu menyembunyikan asal-usulnya mungkin karena takut ketahuan orang lain atau penguasa waktu itu. Ada juga kejadian ”Petita Wangsa” yaitu dihilangkan asal-usulnya oleh penguasa mungkin karena faktor kesalahan atau juga politis. Atas kejadian ini banyak kemudian ”Damuh” (pratisantana kawitan/leluhur) tidak tahu asal-usulnya. Pada suatu jaman dimana damuh ingin tahu asal-usulnya yang karena kehendak Hyang Widhi atau karena orang tersebut mengalami ketidak nyamanan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : sakit-sakitan terus, sering kena musibah, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya, maka ada yang kemudian beralih ke faktor niskala untuk memperoleh jawabannya. Jadi perlu digaris bawahi ,bahwa niat awal pencarian leluhur umumnya adalah faktor-faktor ini, namun jika kemudian setelah diketahui leluhurnya adalah I Gusti, I Dewa, dll lalu menjadi sombong, tentu fenomena masyarakat yang mengangungkan diri itu yang keliru dan perlu diluruskan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu para orang tua (Tetua) mertua saya di Singaraja sepakat menghilangkan nama I Gusti didepan namanya walaupun mereka sesungguhnya keturunan I Gusti Ngurah Pinatih yang mengiringi Panji Sakti ke Singaraja. Keluarga Pinatih lainnya seperti di Denpasar misalnya tetap memakai I Gusti di depan namanya. Pada jaman itu menghilngkan nama I Gusti adalah suatu kesadaran yang luar biasa, tetapi untuk jaman sekarang sebaiknya nama I Gusti, I Dewa, Ida Bagus, dll tidak perlu dihilangkan karena itu adalah warisan leluhur dan pengingat keluarga, tetapi sikap-mental yang perlu ditingkatkan dengan merasa sesama saudara dengan lainnya. Ketika pulang ke Bali secara kebetulan saya melihat didepan mobil dijalanan ada tulisan : Sentana Arya Kenceng, Pasek Gaduh, dan mungkin ada tulisan seperti itu ditempat atau mobil lainnya, ini adalah sangat baik sebagai suatu bentuk kebanggaan pada leluhurnya, tetapi hal ini akan menjadi salah ketika kita merasa leluhur kita terbaik, tertinggi, termulia, karena ukuran itu hanya Hyang Widhi yang tahu.
Jadi kembali kepada Pencarian leluhur ini, maka para intelektual sebaiknya tidak melihat dari sisi pengetahuan atau intelektual saja melihat fenomena pencarian leluhur ini, perlu juga pendekatan rohani/spiritual, karena berbicara masalah ini adalah berbicara masalah niskala yang tidak cukup hanya dilihat dari sudut keilmuan dengan melihat fakta-fakta saja. Termasuk sebutan ”Priyayi” sebelum Era Majapahit yang ditujukan kepada : Pasek, Pande, dan Bujangga yang sama saja katanya dengan ”Priyayi” Pasca Majapahit yang dikenal dengan Tri Wangsa, ini juga tidak cukup dilihat dari sisi adanya usaha untuk mengembalikan Prestise jaman dulu, tetapi coba lihat juga dari sisi Bhakti, bahwa mereka ingin bhakti dan bangga pada leluhurnya. Jika Pasek, Pande, Bujangga, Ida bagus, I Dewa, Anak Agung, I Gusti, menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, maka ini baru kesalahan. Jadi bagi damuh, lakukan terus Bhakti pada Bhatara Kawitan termasuk mencari asal-usul/ Wit bagi yang belum menemukan atau yang masih ragu-ragu dan mohon petunjuk pada Bhatara Kawitan dengan selalu melantunkan Puja Mantra : ”Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham, Sapta Rsi catur yogam, Lingga Rsi mahalinggam, Om Ang Geng Gnijaya namah swaha, Om Ang Gnijaya jagat patya namah, Om Ung Manik Jayas’ca-Semerus’ca- Sa Ghanas ca, De Kuturan, Baradah ca ya namo namah swaha, Om Om Panca rsi Sapta Rsi paduka guru byoh namah swaha”
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar, Solo -Jawa Tengah
13-11-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)