Tidak ada kebanggan sedikitpun ketika terdengar berita, bahwa di Desa Adat di bali masih terjadi ketidak harmonisan penghuninya, sehingga Desa Adat yang seharusnya menjadi tempat untuk terbinanya kerukunan justru menjadi konflik yang disebabkan karena aplikasi peraturan adat yang keluar dari prinsif keharmonisan. Mpu Kuturan sebagai arsitek Desa Adat/Desa Pakraman tentu sangat berduka jika beliau masih bisa menjelaskan kepada kita karena warisan beliau tidak bisa diamalkan sesuai dengan prinsif dasar Desa Pakraman yang beliau ciptakan, yaitu ”Keharmonisan”. Disela-sela pergolakan yang mulai terungkap kepermukaan, mari kita coba mundur sejenak akan apa dan kenapa Desa Pakraman tersebut dibentuk.
Mpu Kuturan, memang seorang arsitek Desa Adat/Desa Pakraman, capabilitas beliau sebagai seorang rohaniawan juga ahli tata masyarakat, karena Mpu Kuturan adalah juga Raja dari Girah (Nateng Girah). Beliau sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana Warmadewa pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Masalah Bali waktu itu bukan perebutan kursi partai atau tuntutan turun tahta/lengser Raja Udayana, tetapi adalah enam sekte yang ada waktu itu saling menganggap paling baik, sehingga menimbulkan konflik horizontal. Melalui pertemuan tiga paham, Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari oarng Bali Mula, di Samuan Tiga Gianyar, seluruh peserta bisa diadopsi dan bisa disatukan sehingga Bali menjadi aman. Dari Udayana dan keturunannya beralih kepada Majapahit (Abad XIV) telah menguasai Bali dengan menempatkan Kresna kepakisan sebagai Adipati. Majapahit runtuh pada abad XV karena masuknya agama islam di Majapahit, dan berakhir pula era ”Dalem”, ini telah memunculkan kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat di Bali. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, namun tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun kemudian adat ini menjadi komoditas kekuasaan karena sering dimasukkan adat-adat yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu,
seperti kasus-kasus kasekepang, asu-pundung, anglakahi karanghulu, kawin dengan keris, dll. Sampai akhirnya masuk ke fase penjajahan abad XVI, desa Pakraman secara praktek tetap dipertahankan, hal positif penjajah banyak melarang adat yang tidak sesuai, seperti ”Pati Gni”, walaupun banyak hal negatif seperti sistim Kasta yang diwarisi sampai sekarang.
Apa relevansinya dengan Bali jaman sekarang, apakah di Bali terjadi konflik sekte seperti abad XI ? Persisnya memang tidak, tetapi Bali sekarang sedang dihadapkan pada permasalahan yang bisa membuat Gubernur repot, jika dulu Raja Udayana. Konflik-konflik tersebut, seperti : masalah adat, lemahnya solidaritas sesama orang Bali, pemahaman akan ajaran sampradaya sehingga tidak perlu melarang, lemahnya dominasi ekonomi orang bali, lemahnya kepemimpinan di sektor swasta dan pemerintah, kedatangan para pendatang dari luar bali yang umumnya sektor informal seperti : tukang bakso, dan banyak permasalahan lainnya yang menyebabkan orang bali bisa menjadi tamu dinegeri sendiri, yang sedang ramai sekarang adalah ”Aplikasi Ketentuan Adat yang terlalu kaku dan keluar dari unsur keharmonisan”. Hubungan Sosial masyarakat dijaman Mpu Kuturan hanya ada kelompok masyarakat Bali Mula dan Bali Dataran (keturunan dari Jawa), Bali sekarang banyak terdapat kelompok wangsa (soroh/clan), disamping kelompok pendatang. Kelompok wangsa ini pada dasarnya baik yaitu mempersatukan keluarga sehingga bisa lebih baik komunikasinya secara horizontal juga secara vertical (Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan). Celakanya adalah ketika yang satu menganggap lebih tinggi dari yang lain. Pola Clan yang salah bisa menyebabkan masyarakat Bali kurang ada ikatan emosional yang sama sehingga terkesan kurang bersatu. Warisan sosial masyarakat jaman dulu berupa pelapisan strata masyarakat yang memunculkan adanya Ratu dan Parekan juga akan membatasi munculnya jiwa kewirausahaan (entrepreneur) dan kepemimpinan (Leadership) pada masyarakat yang bermental abdi ini. Jadi kepuasan segelintir masyarakat membawa dampak mental yang kurang baik pada banyak masyarakat. Sisi horizontal lainnya adalah perubahan masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri, seperti industri Pariwisata. Bali yang dominan sektor industri pariwisata justru tidak banyak menikmati hasil dari industri Pariwisata ini khususnya dilevel pemimpin atau pengusaha (wiraswasta) kebanyakan hanya tenaga menengah kebawah. Masalah kemampuan sumber daya manusia bisa jadi alasannya, tetapi dengan kesadaran kemakmuran bagi masyarakat Bali, maka prioritas pendidikan ketrampilan dan kesempatan kepada masyarakat Bali harus diupayakan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. Jadi .. disadari atau tidak permasalahan Bali ini menjadi salah satu faktor kurang menguntungkan. Kalau antara sesama orang Bali ada dikotomi, ada kotak-kotak, ada lapis-lapis, maka persatuan itu tidak akan diperoleh. Mungkin saja kelemahan ini sudah dibaca oleh orang luar yang ingin berkiprah di Bali sesuai keinginannya, yang mungkin tidak menguntungkan, kasus Bom Bali telah terjadi, maka masalah ini bukan isapan jempol belaka. Jadi yang perlu dikuatkan justru adalah ikatan masyarakat paling bawah yaitu ditingkat Desa Pakraman, bukan malah terjadi keributan.
Itulah fenomena yang bisa dilihat di bali sekarang ini, bagaimana dengan orang Bali yang merantau apakah ada perubahan sikap mentalnya ? Hubungan sosial sesama orang Bali diluar Bali relatif lebih baik, lebih moderat, walaupun masih ada segelintir orang yang membawa peninggalan hub sosial berlapis ke luar Bali, tetapi itu tidak ada manfaatnya. Keakraban ini mungkin karena merasa senasib sesama perantau, ini adalah hal yang umum secara psychologis. Umumnya mereka menikmati hidup diluar Bali dan sesekali ke Bali menengok keluarga, tidak ubahnya seperti wisata. Ada sebuah keluarga yang tidak bersedia pindah ke Bali ketika ditawari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar dengan keadaannya sekarang, alasannya dia tidak kuat dengan kehidupan adat di Bali. Diluar Bali dia cukup menyiapkan Canang dan buah lalu ke Pura bersama keluarga sudah cukup mantap bersembahyang. Sehari-hari dengan Gayatri Mantram kadang dilanjutkan dengan ”Japa” memegang Gnitri, terasa sangat baik komunikasi dengan Sang Pencipta, yang mana tidak bisa dia dapatkan jika menjadi masyarakat Bali. Pada hari-hari tertentu belajar mekidung baik Bali atau kidung setempat dan anak-anak mereka belajar menari dan agama Hindu di Pura, jadi suasana yang sederhana, akrab, tanpa menghilangkan kadar ke-Hinduan. Terhadap permasalahan Bali ini, secara umum orang Bali di rantau bukannya tidak peduli dengan keadaan di Bali, tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk merubah cara-cara di Bali yang kurang pas dijaman sekarang ini karena sudah mendarah-daging dimasyarakat, jadi mereka berpendapat biarlah Bali seperti itu diluar Bali kita beda. Apalagi diluar Bali akan berinteraksi dengan etnis lainnya seperti : Jawa, Batak, Bugis, Menado, Padang, Kalimantan, dll yang pasti juga punya adat dan tata-cara sendiri dalam berkomunikasi kepada sesama dan Sang Pencipta, sehingga perlu format yang lain dalam ber-sosial masyarakat tidak seperti di Bali murni. Masalah diluar Bali lebih kepada ”kearifan untuk ber-interkasi dengan etnis lainnya dalam satu payung agama Hindu, tanpa merendahkan kepercayaan umat beragama lain (cq. Humanis)”.
Akhirnya, kepada kita semua yang bernaung dibawah payung Desa Adat, perlu kearifan dalam mengaplikasikan ketentuan adat, ketika ada sesuatu yang berkibat benturan, konflik horizontal, maka ingatlah kepada beliau Mpu Kuturan yang menciptakan Desa Adat dimana tujuan utamanya adalah untuk kesejahtraan dan kedamaian penghuninya.
Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam
Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha
Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
15-07-2011.