Senin, April 05, 2010

DIHORMATI KARENA KELUHURAN BUDI

Membaca tanggapan umat disebuah Media terkait dengan kritikan hal Abhiseka disebuah tempat (Puri) di Bali selatan yang berbau feodal oleh seorang Jro Mangku. Umat ini menjadi sangat bersemangat menanggapinya bahkan dengan sekuat tenaga membelanya. Saking bersemangatnya sehingga saya kurang sependapat dan terpaksa perlu menyampaikan dalam tulisan ini, adalah ketika Jro Mangku diundang untuk membuktikan keadaan yang ada (Mangde panggih fungsi Ida ... ring luhur) yang ingin menunjukkan bagaimana wibawa dari orang yang dimaksud tersebut, dan cerita panjang lainnya yang berbau feodalisme. Intisari dari pengalaman diatas adalah, setiap keritikan seharusnya dimaknai sebagai sesuatu masukkan yang baik karena orang biasanya lebih tahu dari kita. Dengan memamerkan kewibawaan apalagi kewisesan itu adalah bentuk kesombongan dan kegelapan hati. Suatu kemasyuran atau kewibawaan tidak perlu ditunjuk-tunjukkan yang akan melunturkan wibawa itu sendiri. Kewibawaan sejati akan memancar dari orang yang memiliki keluhuran budi sehingga secara otomatis akan dihormati. Kewibawaan karena keluhuran budi berbeda dengan memamerkan kesaktian atau kekuasaan, karena itu adalah dorongan kelemahan manusia yang ingin lebih dari yang lain, atau mungkinkah begitu cara menjaga kewibawaan ?

Terkait hal itu, penulis teringat ketika kecil, ibu dan paman selalu menceritakan tentang kehebatan tokoh Puri di Bali Timur karena tetua-tetua penulis sebelumnya memang tinggal di bali Timur, walau sekarang di Singaraja. Mendengar cerita itu penulis biasa-biasa saja, tetapi setelah dewasa baru mengerti diri ternyata penulis memang tidak pernah kagum atau takut (bukan dalam pengertian menantang) kepada hal yang berbau ”kesaktian”, tetapi sangat kagum dengan orang yang memiliki keluhuran budi. Dalam daftar tokoh-tokoh yang penulis hormati adalah orang-orang rohani, baik pada jaman dahulu seperti Mpu Kuturan, atau dijaman milineum seperti Pandita, tokoh-tokoh spiritual, bahkan motivator moderen yang banyak berbicara tentang hati. Dari hal ini penulis jadi memahami, bahwa manusia itu tidak ada yang sakti karena semua kekuatan itu bersumber dari Hyang Widhi. Apalagi ”Pajenengan (Keris,tombak, atau wujud lainnya) sebarapa mampu menyimpan energi kekuatan Hyang Maha Kuasa, Jangan-jangan itu hanya energi tertentu dan terbatas yang bernama Bhuta Kala. Hati yang bersih/suci adalah kekuatan yang luar biasa karena menurut ajaran Hindu disana bisa hadir Hyang Widhi yang merupakan sumber kekuatan, sehingga jika diidentikkan dengan kesaktian, maka orang yang sakti adalah orang yang memiliki kebersihan hati. Jika kita selalu memuja kesaktian, maka godaan pamer akan muncul menggoda dan ini sama dengan kesombongan, sedangkan dari kesucian hati akan memancar sikap rendah hati, hormat pada sesama, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan ini adalah bentuk ”Keluhuran Budi” sehingga orang lain akan hormat. Bagi kita sudah selayaknya tidak lagi terjebak pada kekaguman akan kesaktian tetapi merunduklah pada mereka yang memiliki keluhuran budi. Leluhur sebagian besar orang bali adalah orang-orang suci, seperti : Hyang Gni jaya, Hyang Puntranjaya, Panca Tirta, Sapta Pandita, Manik Angkeran, Ki Dukuh Suladri, dan banyak lainnya yang bisa dijadikan panutan. Dijaman Kali Yuga atau jaman kegelapan ini, dapat menimbulkan vibrasi kegelapan hati pada manusia, yang menimbulkan kesombongan, maka diajarkan agar kita lebih introspeksi diri, merenung, atau sering melakukan ”Japa”, semoga dengan itu kita terhindar dari keangkuhan, dan memancar ”keluhuran budi”.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa tengah
16-05-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)