”Hidup adalah Menjalani Karma”, kalimat tersebut jika dilihat secara keliru, maka tersirat hidup ini adalah suatu hukuman dan dunia ini adalah penjara besar karena setiap yang terlahir adalah orang-orang atau mahluk hidup yang pernah melakukan kesalahan dikelahiran sebelumnya. Jika kita berpikir seperti itu, maka demikianlah adanya yang kita rasakan dan kehidupan ini menjadi begitu membosankan, tidak menggairahkan, namun jika kita berpikir yang sebaliknya atau yang lebih optimist, bahwa hidup adalah suatu kesempatan untuk memperbaiki karma kita pada kelahiran lalu, maka tentu perasaan terhukum ini akan tidak ada karena Weda menyebut dalam ajaran Tri Pramana, bahwa kelahiran sebagai manusia lebih mulia dari kelahiran sebagai binatang ataupun tumbuhan karena manusia memiliki ”Suba dan Asuba Karma” artinya manusia bisa berbuat baik atau buruk dan manusia juga mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri, jadi mari kita sepakati, bahwa hidup adalah kesempatan yang sangat baik untuk memperbaiki diri.
Jika kita sepakat atas hal itu, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya sikap kita dikehidupan sekarang ? point ini akan menjadi sasaran/target utama bagi kita guna mendapatkan kehidupan lebih baik dikelahiran ini. Jawabannya adalah dengan mengikuti petunjuk Hyang Widhi yang tertuang dalam Weda, sehingga kita menuai karma yang baik atas karma yang kita lakukan sekarang. Untuk lebih jelas, mari kita melihat proses pitra yadnya yang merupakan bagian dari Panca Yadnya, dalam proses ini setelah dilakukan Ngaben (Ngabu,Ngapiin) maka sthula sarira (badan wadag) sudah dilebur dan setelah dilakukan Nyekah/memukur, suksma sarira (badan rohani) sudah dilebur, maka yang tertinggal adalah Atman yang masih diliputi oleh hasil perbuatan (Karma Wasana) sehingga terjadi penitisan kembali (re-inkarnasi) entah menjadi apa tergantung kepada karma wasana tersebut. Jadi walaupun Atma merupakan percikan Brahman yang menyebabkan adanya kehidupan, ada manusia, binatang, tumbuhan, sesungguhnya ”Karmalah yang ber-inkarnasi”. Inkarnasi sebagai apa? Itu rahasia Hyang Widhi namun yang dapat dipelajari dari kitab suci, bahwa jika berprilaku buruk lebih menonjol rajasika (Pemarah, membunuh, dan sejenisnya) akan lahir sebagai binatang buas, beracun, dan lainnya. Jika lebih menonjol Tamasika (Pemalas) maka bisa saja lahir sebagai babi atau binatang sejenis lainnya atau lahir sebagai manusia yang hina dina, pengemis, dan sebagainya, dan jika satwika dalam kehidupan maka dapat reinkarnasi menjadi manusia utama atau ketingkat yang lebih baik sesuai tujuan agama Hindu yaitu moksartham jagaditha. Untuk itulah ajaran agama yang diajarkan kepada kita baik dengan membaca, mendengar, melalui budaya (tarian, tabuh, dll) merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia semasih hidup untuk meningkatkan kualitas diri dalam kehidupan sekarang. Usaha tersebut terus berlanjut, bahkan ketika meninggal dan dilakukan keluarga atau kerabatnya yang dapat dilihat pada proses memandikan layon/jenasah. Pesan-pesan kebaikan dilakukan secara simbolis, seperti kebiasaan beragama bagi umat Hindu di Bali. Saat proses memandikan tersebut, maka alis ditempelkan daun intaran mengandung harapan agar dikelahiran nanti alisnya melengkung indah seperti daun intaran, kedua mata ditaruh cermin/kaca agar bersinar terang seperti kaca, didada ditaruh daun gadung, dihidung ditaruh pusuh menur, dan sebagainya, semuanya itu punya maksud tunggal agar kelahiran kembali menjadi lebih baik secara fisik (cantik, ganteng). Bagaimana secara rohani ? orang tua kita tidak melakukan kegiatan khusus seperti saat memandikan layon tadi untuk membentuk agar rohaninya menjadi lebih baik (mungkin bagi yang sadar/ingat menyelipkan doa kebaikan ini ketika memandikan atau dikesempatan lainnya), ini bukan berarti leluhur kita pasif atau tidak berusaha agar kelahiran kembali dengan sifat-sifat yang baik, sebab mereka sangat yakin, bahwa Karma Wasana yang melekat akan dijalaninya pada kehidupan kemudian. Orang tua dan keluarga hanya sebatas, melakukan kewajibannya (Pitra Yadnya) dari pembakaran/penguburan, nyekah/memukur, Me-ajar-ajar, dan Ngelinggihang Dewa Hyang, selebihnya tergantung kepada Karma Wasana masing-masing. Untuk proses Ngelinggihang Dewa Hyang bukan dimaksudkan meningkatkan keluarganya yang di Pitra Yadnya menjadi Dewa, namun intinya adalah ngelinggihkan Atma yang pernah memberi kehidupan kepada keluarganya untuk melinggih kembali keasalnya di Kemulan sebagai Dewa (Brahman), sehingga salah besar jika ada umat yang tidak mau melakukan persembahyangan di Kemulan orang lain hanya karena menganggap di kemulan itu dipuja orang yang bukan keluarganya atau dianggap lebih rendah strata sosialnya, ini adalah kesalahan yang tidak boleh berlanjut, karena yang dipuja di Kemulan adalah Tuhan yang
sama yang kita puja dan agungkan.
Kembali kepada Karma yang inkarnasi, maka fenomena dimasyarakat yang menerima dengan baik, bahwa Karma wasana itu akan diturunkan pada kelahiran kembali, menjadi di-amini, bahwa perbuatan buruk yang menjadikan dosa itu akan diwarisi selama tujuh turunan, jadi seolah si bapak, si kakyang, si Kumpi, dan seterusnya yang jika kebetulan mempunyai dosa akan diturunkan secara turun temurun kepada keturunan berikutnya sampai tujuh tingkat. Hal ini ada benarnya namun banyak salahnya jika merujuk kepada ajaran Samsara/Penitisan/reinkarnasi. Karma wasana bersifat independent, bisa jadi orang yang dulu penuh dosa lahir dikeluarga lain dan disana menjalani karmanya, bisa juga dari keluarga lain turun dikeluarga kita dan menjalani karmanya, dan ini murni urusan yang bersangkutan. Jika didefinisikan, bahwa Karma wasana tersebut akan dicuci selama tujuh turunan karena saking beratnya dosa yang dilakukan mungkin masih dibenarkan, tetapi sekali lagi apa yang kita rasakan sekarang adalah karma kita dikelahiran dulu, bukan salahnya orang tua, kakyang, dan seterusnya, karena kita independent. Jadi mari kita luruskan apa yang salah pada sekitar kita dengan merujuk kepada sastra suci dan kitab suci yang kita jadikan panutan, dan yang paling penting dari semua itu adalah ”Mulailah berbuat baik mulai dari sekarang”, walau kita pernah melakukan kesalahan itu adalah hal yang wajar karena terlahir sebagai manusia pasti karena kita pernah melakukan karma yang tidak baik, namun berusaha untuk tidak melakukan hal yang buruk, bahkan selalu melakukan hal yang baik merupakan jalan terbaik yang bisa dirintis mulai sekarang, semoga kedepan sesuai dengan harapan semua orang kita bisa lahir kembali dengan jasmani dan rohani yang baik, bahkan tidak perlu lahir kembali atau menyatu Atman dengan Brahman. Om Ksama Sampurna ya Nama Swaha
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 15-11-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)