MENYIMAK ERA KEPEMIMPINAN
KYAYI I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL
Tidak bermaksud mengungkap feodalisme atau nepotisme dimasa lalu, namun sejarah mencatat, bahwa ”Kepemimpinan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” banyak yang bisa diambil makna positif bagi ikatan pasametonan warga Pasek. Melalui membaca kisah-kisah jaman itu bahkan jaman sebelumnya seperti masa Sang Catur Sanak ke Bali, maka ada satu hal yang perlu disimak dan diteladani, yaitu ”Terjadi hubungan kekerabatan yang baik dan bersatu diantara semeton Pasek”, sebuah bentuk pendidikan hal pasemetonan yang sangat berhasil ditanamkan oleh leluhur kita dijaman itu. Dapat diketahui, bagaimana ketika pada abad XIII (sekitar tahun 1350) ”Dalem Kresna Kepakisan” memimpin Bali sebagai Adipati bawahan Majapahit menggantikan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel, dan terjadi pemberontakan beberapa desa oleh orang Bali Mula, karena Dalem terlalu memaksakan gaya Majapahit ke Bali dan menempatkan petinggi hanya dari para Arya Majapahit, yang akhirnya atas bantuan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel perselisihan dapat dihindari, sehingga suara rakyat Bali bisa di-adopsi. Untuk menghargai jasa Pasek Gelgel dan menjaga keamanan Bali, maka sekali lagi dengan kekerabatan yang baik semeton Pasek menempati pos-pos penting di Bali baik sebagai Bendesa, tameng wijang, bahkan Purohita karena memang demikian sebelumnya. Ahli sejarah menyebut yang dikatakan ”Priyayi” pada era sebelum Majapahit adalah semeton Pasek Pratisentana Mpu Gni Jaya. Dijaman sekarang, saudara kita para Ida Bagus terlihat menggunakan pola yang kurang lebih sama seperti Era Pasek Gelgel, karena dengan kesadaran yang sama sesama Ida Bagus memiliki ikatan persaudaraan dan kesamaan visi yaitu ingin tetap memberi andil kepada umat sehubungan mereka sudah dikenal sebagai Trah Brahmana, ini yang positif karena ingin tetap berguna buat umat manusia. Yang negatif tentunya kalau mereka aktif hanya sebatas mempertahankan statusquo (derajat), ini yang tidak perlu kita tiru. Kembali ahli sejarah menyebutkan Priyayi setelah era Majapahit adalah para ”Tri Wangsa” walaupun hal ini telah dimanfaatkan oleh penjajah yang masuk abad XVI dengan menjadikan Kasta.
Lalu bagaimana Semeton Pasek sekarang ini? Apakah hubungan kekerabatan yang sangat dekat itu masih ada dijaman sekarang? Jawabannya : Kekerabatan ada hanya belum sempurna seperti Era Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel. Memang sekarang sudah terbentuk Ikatan Pasametonan ”MGPSSR” namun ini baru sebatas organisasi saja, masih belum secara hati-nurani. Semeton Pasek sekarang ibarat baru bangun tidur, dimana sempat terlena selama ratusan tahun dan lupa dengan jati dirinya sebagai ”Trah Pandita Jati – Warih Mpu Gnijaya”, sebagian besar masih ada ditataran bawah yang masih belum mengenal dirinya (Pasek Paling) yang sering dimanfaatkan oleh para statusquo untuk menjadi Parekan atau Nyurya tidak pada sesane yang seharusnya. Para intelektual Pasek sering tidak bersatu bahkan saling menganggap diri lebih sehingga justru berdebat dengan sesama Pasek. Yang sangat menyedihkan ditataran Sulinggih juga kadang tidak nyaman, walau bukan dalam pengertian berseteru tetapi lebih pada ”ketersinggungan”. Atas dasar kegundahan ini ”penulis” mohon petunjuk kepada ”Pandita Mpu” lainnya kenapa ini bisa terjadi, kenapa semeton Pasek bahkan Sulinggih kadang belum satu rel, jawaban Pandita Mpu yang penulis renungkan adalah : ”Nanak, mungkin kita ini masih kena Bhisama (belum bersih) karena sudah sekian ratus tahun melupakan jati diri, biarkan waktu berjalan semoga kedepan keadaan akan menjadi lebih baik dan Pratisentana Pasek bisa menyatu seperti jaman para Mpu leluhur kita dulu”. Jawaban ini sedikit memberi ketenangan kepada penulis, sehingga muncul harapan untuk masa depan terciptanya pasemetonan yang baik. Yang perlu juga dijadikan renungan adalah pendapat dari para pejabat kita agar Ikatan Pasemetonan ini tidak menjadikan eklusif sehingga tidak menyatu dengan wangsa/clan lainnya, karena tujuan ikatan ini adalah mengenal jati diri leluhur kita dan meniru sesane yang baik sehingga ada ucapan ”Pasek = Patitis Sesane Kawitan”. Apakah kita perlu bangga dengan leluhur kita, jawabannya ”harus bangga”, tetapi jangan berhenti sampai disitu saja, karena kalau hanya sebatas bangga, maka kita akan pamer dan cendrung akan merendahkan clan lainnya tanpa membawa kemajuan bagi diri kita sendiri, jadi yang diperlukan meniru walau tidak persis sama minimal kita melatih diri untuk berjalan ditataran yang benar sesuai yang digariskan ajaran Hindu dan Bhisama Bhatara Kawitan. Yang patut disayangkan, masih banyak yang belum berani mengakui dirinya Pasek, bagaimana bisa orang yang tidak menghargai dirinya sendiri bisa meniru jati diri leluhurnya. Inilah pekerjaan rumah bagi kita ”Pratisentana Mpu Gnijaya”.
Diujung tulisan ini, penulis teringat kembali renungan disuatu malam pada tahun 2003, dimana sambil menulis artikel, penulis menangis tanpa sebab musabab seperti merasakan bagaimana sayangnya Bhatara Kawitan kepada kita semua yang seperti mengetahui, bahwa dikemudian hari kita akan melalaikan kewajiban sebagai warih Pandita Jati dan ratusan tahun akan menurun tingkat keutamaan kita, itulah sebabnya dari awal leluhur meminta untuk membuat silsilah pasemetonan dalam lontar dan diteruskan kepada generasi berikutnya, serta diikat oleh Bhisama seperti ”tidak boleh melupakan Catur Parhyangan” serta ”saling menghormati sesama purusa Pasek”. Roda jaman sudah berputar terus, lewat lahirnya Pandita Mpu tahun 1960-an maka perbaikan keutamaan semeton Pasek sudah dimulai, hanya memang seperti Wejangan diatas, mungkin kita masih belum bersih dari Bhisama, itu tidak apa yang penting mulai sekarang jangan lagi ada perselisihan sesama semeton Pasek, dan ampure kepada Para Sulinggih Mpu, jangan mudah tersinggung, sehingga kedepan kejayaan Warih Mpu Gni Jaya akan bangkit kembali dan setelah bangkit jangan lupa membantu orang lain dengan apa yang kita bisa : Punia, jnana punia, atau apapun.
Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam
Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha
Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
12-10-2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)