Rabu, Januari 13, 2010

TIRTAYATRA KE PURA SEDALEMAN – MUNGGUR – MOJOGEDANG - KARANGANYAR


Didaerah Karanganyar-Jawa Tengah banyak terdapat kantong-kantong Hindu umat asal Suku Jawa, mereka tersebar dibeberapa dukuh dan dusun dimana umumnya masuk kedalam dilereng Gunung Lawu dan agak jauh dari pusat kota Karanganyar. Sesuai Program yang dicanangkan untuk terbinanya komunikasi dengan Umat Hindu dipedesaan ini, maka Umat Hindu yang tergabung dalam Banjar Solo Timur rutin setiap 3 bulan mengadakan Tirtayatra dan pada minggu 30 Juli 2006 Tirtayatra ke Pura Sedalemen, di Dukuh Siwalan, Dusun Munggur, Kec.Mojogedang, Karanganyar yang jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota Karanganyar. Rombongan yang berangkat sekitar pukul 08.30 wib sampai sekitar pukul 09.00 diterima oleh umat Hindu di Dusun Munggur ini dengan ramah. Acara dimulai dengan Persembahyangan bersama dipimpin oleh Jro Mangku Pasek, disertai Jro mangku Made Murti dan Pinandita setempat yaitu Jro Mangku Suminto (73 th) dan Jro Mangku Wayan Puja. Selesai persembahyangan acara ramah tamah dimulai dengan moderator Sekretaris Banjar Solo Timur Nyoman Chaya. Sambutan diawali oleh tuan rumah diwakili oleh Jro Mangku Suminto dan dari Banjar Solo Timur oleh Ketua Banjar Made Suastika. Acara selanjutnya adalah ramah tamah dan berbagi pengalaman dengan diawali oleh Suyitno yang merupakan sesepuh yang menguraikan keberadaan umat Hindu ditempat itu dan sekitarnya serta proses pembangunan Pura Sedaleman. Dari Banjar Solo Timur diwakili oleh Nyoman Sukadana, Jro Mangku Pasek, dan I Gusti Bagus Natapati. Selesai bertukar pengalaman dilakukan serah terima sekedar dana punia umat Banjar Solo Timur. Acara diakhiri dengan Parama Santi dan menyantap makanan yang disediakan umat setempat berbaur dengan makanan yang dibawa sendiri oleh pemedek, dan sekitar pukul 14.00 umat Banjar Solo Timur berpamitan dengan harapan apa yang telah terjadi hari itu dapat membuahkan suatu kebaikan dimasa mendatang.

Sekilas Sejarah Keberadaan Umat Hindu Dusun Munggur dan Pura Sedaleman

Umat Hindu Dusun Munggur dan umat Hindu disekitar Lawu lainnya adalah orang-orang yang luar biasa. Keyakinan mereka terhadap agama Hindu sangat kuat dan loyalitasnya sangat tinggi. Hal itu bisa dibuktikan kalau kita mengikuti sejarah keberadaan mereka. Sebelum tahun 1968 keberadaan umat Hindu ini masih belum terlihat dipermukaan namun keinginan dari para tokoh waktu itu sangat kuat agar eksistensi mereka bisa terlihat publik. Melalui pertemuan-pertemuan kecil oleh tokoh-tokoh umat di Dusun Munggur dan tokoh umat lainnya dari Dusun lain seperti Jenawi, Ngargoyoso, dll .dengan tokohnya Supanggih, Sudarsono, dan lain-lain, maka pada Tahun 1968 melalui rapat dirumah Sudarsono terbentuklah PHDI Karanganyar. Dengan terbentuknya PHDI ini yang merupakan lembaga tertinggi umat Hindu, maka secara legal umat Hindu di Karanganyar ini sudah memiliki payung. Kembali ke Dusun munggur, maka generasi berikutnya seperti Suparno dan Suyitno pada tahun 1971 ikut melakukan pembinaan-pembinaan kedusun-dusun lainnya, seperti Jenawi dan Kemuning untuk mengobarkan semangat ke Hinduan warga yang memang mendapat banyak tantangan seperti masalah perkawinan, KTP, dan lainnya juga tuduhan tokoh-tokoh ini mengagamakan orang lain. Pada tahun 1980 dengan diawali oleh ketiadaan Guru Agama Hindu anak SD di Dusun Munggur, maka Suyitno dan kawan-kawan mendirikan Yayasan untuk mengadakan Kursus kilat Guru Agama Hindu dan akhirnya keluar Surat Rekomendasi dari Dept.Agama Karanganyar Marzuki, Bupati Waluyo dan Dept.Pendidikan. Atas hal itu, maka dari Pusat yang waktu itu dipimpin Gede Puja mengijinkan untuk menjadi Guru Agama Hindu dan keluar SK dengan siswa pertama sekitar 30 orang. Pada tahun 1980 itu juga berdiri Pura Sedaleman yang melalui perjuangan yang cukup keras, dimana para tokoh sampai perlu mendatangi Bali untuk memperoleh donatur dari Gubernur Bali, dan donatur lainnya, bahkan sampai menghubungi Pejabat orang Hindu di Sekretariat Negara untuk memperoleh gambar karena umat ini belum tahu bentuk bangunan Pelinggih seperti apa, walau akhirnya gambar diperoleh dari Ketut Wiana. Akhirnya lewat Yayasan PGA Hindu Negeri yang diketuai Gede Sura dikirim kebutuhan Pura dari Bali. Untuk keamanan diperjalanan sampai disiapkan Surat Ijin dari Putra Astaman yang waktu itu masih aktif. Pembangunan pagar dilakukan oleh DPU (Dinas pekerjaan Umum) yang memang ketentuan waktu itu sehingga tidak sesuai dengan keinginan umat setempat, selain pagar, maka tangga masuk ke Utama mandala yang justru turun (bukan meninggi) seperti umumnya, walau dicoba diberi penjelasan oleh Wayan Puja sebagai pertanda semakin keatas kita seharusnya semakin rendah hati. Atas restu Hyang Widhi, maka pada tahun 1980 itu berdiri Pura dan diberi nama PURA SEDALEMAN. Nama Sedaleman ini diambil dari nama Hyang Sedaleman yang diakui sebagi cikal-bakal umat disana yang petilasannya masih ada disebelah Pura (sekitar 15 M depan gapura Nista Mandala). Penghormatan kepada Hyang Sedaleman ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur (Kawitan di Bali), karena seperti diketahui jika silsilah keleluhuran di Bali tercatat dengan baik tetapi di Jawa hal itu putus setelah Majapahit masuk Agama Islam dan mereka tersebar kedaerah-daerah terpencil dan tidak meneruskan lagi dokumentasi garis keturunan seperti yang dilakukan leluhur di bali, sehingga yang paling dituakan dianggap sebagai cikal bakal (Kawitan) mereka dan itu adalah tidak keliru. Pada era 1990 banyak terlibat Romo Maming yang selalu terjun kelapangan membantu dengan tangan sendiri dan sebatas kemampuan yang ada sehingga bangunan sekarang ini terlihat kombinasi antara Bali dan Jawa buatan Romo Maming. Sekarang umat Hindu ini berjumlah 73 KK walau yang masih kuat Sradha dan Bhakti hanya 40KK, dimana disamping Sradha tadi maka penurunan terjadi karena perkawinan dengan suami umat non Hindu. Umat Hindu ini tersebar di 6 Dukuh, yaitu : Dk. Nglebak, Ngrau, Siwalan, Kauman, Munggur, Pojok. Persembahyangan biasa diadakan Selasa malam dan kegiatan khusus pada Kemis malam. Kedepan umat Hindu ini masih memerlukan informasi Media-media Hindu baik berupa buku, majalah, juga darmawacana/darmatula. Kebutuhan lainnya adalah perangkat untuk acara Kematian dan gemelan Jawa/Bali.




Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
31-07-2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)