MENCERMATI ORGANISASI KEAGAMAAN HINDU
”Permasalahan membuat kita dewasa dan timbulnya ide-ide baru”, kalimat itu kelihatannya sangat pantas buat sebuah organisasi keagamaan yang namanya PHDI. Dualisme PHDI Bali yang menjadi pembicaraan yang tidak memberi kebanggaan apapun walau bisa dijadikan pelajaran berharga. Hindu itu skupnya Nusantara bahkan dunia bukan hanya dianut oleh orang Bali semata, namun ada Suku Jawa, Dayak Kaharingan, Sulawesi, bahkan juga pada tingkat dunia yang mungkin tidak paham apa sebenarnya yang diperebutkan di Bali. Pada tulisan ini jika prolognya masalah dualisme PHDI Bali, bukan berarti ikut meramaikan wacana yang lalu terkait dengan hal itu, tetapi karena topik yang dibicarakan diatas adalah ”Organisasi Keagamaan Hindu”, dimana kita menjadi bertanya apa perlu Organisasi keagamaan Hindu dan bagaimana sebenarnya kiprah organisasi tersebut dalam memajukan Hindu di Nusantara ini bahkan ketika berhubungan dengan penganut Hindu di Negara lain, seperti : India, Malaysia, dll.
Munculnya organisasi keagamaan Hindu sangat dibutuhkan karena semakin banyak muncul organisasi serupa ini akan banyak permasalahan umat Hindu yang bisa diatasi yang tidak mungkin bisa dilakukan sendiri oleh PHDI ataupun Dirjen Agama Hindu. Jadi munculnya Organisasi Keagamaan Hindu harus dilihat dari sisi yang positif. Yang penting adalah kehadiran sebuah organisasi itu memang punya niat yang mulia, tidak asal diada-adakan atau hanya asal berbeda, apalagi jika karena egoisme atau sikap tidak mau kalah anggotanya, maka ini tidak baik bagi perkembangan Hindu ditanah air. Jika kita menoleh kebelakang Organisasi keagamaan Hindu pasca tenggelamnya Raja-Raja Hindu (Majapahit Abad XV) sampai kepada jaman Republik, boleh dikatakan hampir tidak ada. Kalaupun pada sekitar tahun 1920 ada Perkumpulan Surya Kanta juga Bali Adnyana di Singaraja, itu lebih bersifat organisasi pembaharuan yang terkait dengan pembedaan hak-hak dan previlese yang waktu itu terbelah menjadi Tri Wangsa dan Jaba/diluar Puri (Sebutan yang sering dipakai oleh Surya kanta), walaupun akhirnya dua perkumpulan ini sama-sama tenggelam. Di era reformasi ini istilah Tri Wangsa dan Jaba sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman masyarakat Bali akan hakekat manusia menurut Weda juga pemahaman sejarah para leluhurnya yang masih satu keluarga. Organisasi Keagamaan yang jelas wujudnya adalah PHDI yang berdiri pada 23 Februari 1959. Organisasi Keagamaan ini sangat berperan besar dalam diplomasi sampai Hindu muncul dipermukaan sebagai salah satu agama di Indonesia. Sayangnya di abad XX ini kita mendapatkan kemunduran dengan terpecahnya PHDI Bali versi Campuan dan Besakih. Perbedaan yang pokok adalah Ketua Umum yang satu menginginkan Sulinggih (Versi Campuan) yang satu lagi Walaka, dimana Sulinggih di Sabha Pandita (Versi Besakih/ Ketetapan PHDI Pusat). Perbedaan lain tentu ada tetapi tidak perlu disampaikan karena kita tidak membahas itu.
Perbedaan ini berlanjut, sampai beberapa waktu lalu PHDI versi Campuan mengganti nama menjadi PDHB (Parisadha Dharma Hindu Bali) pada LokasabhaV di Pura Samuan Tiga Minggu 28 Januari 2007. Kata Samuan Tiga mengingatkan kita pada Mpu Kuturan yang atas permintaan Raja Udayana Warmadewa/ Gunapriya Darmapatni pada abad XI, datang bersama saudaranya Panca Tirta (kecuali Mpu Bharadah) dan mempersatukan 6 sekte Hindu di Bali, perwakilan Budha, dan Jawa (oleh Mpu Kuturan sendiri) sehingga Bali Dwipa aman, semoga kiprah para leluhur tersebut menjadi inspirasi para umat sekarang untuk mengutamakan persatuan dalam kedamaian. Organisasi keagamaan baru atau lama tapi nama baru silahkan saja yang penting apakah sudah benar mengambil perannya mengisi relung-relung permasalahan umat, sebaiknya kita belajar dan melihat Organisasi keumatan yang lain, misalnya saja yang banyak berkiprah pemudanya, seperti : FIFMD, WHYO (World Hindu Youth Organization), juga Peradah (Pemudanya PHDI) dan lainnya yang kiprahnya jelas untuk kemajuan Hindu. Juga apakah organisasi yang ada sudah benar saripatinya adalah Hindu yang bersumber pada Weda, baik Sruti berupa Mantra, Brahmana, Upanisad, dst, maupun Smerti berupa Wedangga, Upaweda, dst. Termasuk Bhagawadgita. Hal ini perlu dicermati. PDHB salah satu piagamnya menyebutkan: Identitas Agama Hindu Bali yang dilaksanakan dengan ciri-ciri menggunakan ”lontar” yang harinya diisi dari Sruti, Smrti, Darsana, Tantra dan unsur kearifan lokal. Dasar lontar tentu sesuatu yang aneh ditelinga kita megingat Weda dengan Sruti dan Smertinya juga Bhagawadgita sudah ada dalam bentuk Buku, namun biarlah jika PDHB memakai dasar itu dengan segala argumentasinya. Jika PDHB ini dilihat sebagai sebuah organisasi keagamaan Hindu, maka tidak perlu terlalu dipermasalahkan apalagi menjadikan polemik karena dasarnya pastilah Hindu, tentang apakah itu lontar, sebutan sulinggih, dan lainnya, yang perlu menjadi pegangan masyarakat adalah kewenangan PHDI Pusat dengan Paruman Sulinggihnya (Sabha Pandita). Jika kita menjadikan ini polemik, maka khawatir bisa muncul pikiran-pikiran yang ditunggangi oleh praduga atau analisa yang tidak jernih, misalnya : soliditas Sulinggih, padahal penulis sering tangkil (menghadap) ke Sulinggih Mpu maupun Pedanda dari mereka yang penulis dapatkan banyak justru ajaran kerohanian dan kehidupan, jadi jangan-jangan walaka ini yang terlalu jauh analisanya, atau seolah ada dikotomi antara Pedanda dan Non Pedanda, padahal di PHDI Pusat juga PHDI Bali (Besakih) ada Pedanda, Mpu, Bhagawan,Rsi. Lalu ketika ada kejadian katakan saja pemukulan di Pura yang notabene adalah oknum tidak perlu dikembangkan ke Soroh/Clan, juga praduga lainnya yang mungkin muncul misal seolah ada usaha dari ”Menak sebelum Majapahit / sebelum abad XIII” (Pasek, Pande, Bujangga) ingin mengambil alih ”Menak Pasca Majapahit” (Tri Wangsa), dan bentuk analisis lainnya, yang sebenarnya bisa disederhanakan, bahwa organisasi yang muncul baik itu PDHB atau organisasi lainnya bahkan yang akan muncul kemudian adalah terdiri dari orang atau kelompok orang yang sepaham yang tidak perlu dikaitkan menjadi kelompok, dikotomi soroh, dikotomi Sulinggih, dan sebagainya, sehingga organisasi itu perlu disambut secara positif. Umat Hindu di Bali khususnya yang diperantauan sudah banyak tahu sejarah para leluhur juga kebenaran masa lalu yang kadang ditutupi sehingga perlu diluruskan, namun sebagai informasi perlu juga dicermati keberadaan sebuah organisasi keagamaan Hindu, dengan cara : Yakini bahwa organisasi keagamaan itu membawa perbaikan skala-niskala, jika mendengar kata Ajeg baik Ajeg Bali/Hindu cermati apa yang di Ajegkan, jangan-jangan banten yang mahal (padahal Weda menyebut cukup Air,Api,Bunga,Buah) atau adat-adat yang tidak benar, cermati apa bersedia Muput dengan sesama Sulinggih yang berbeda asal sorohnya, cermati apa masih membedakan manusia (Hindu mengenal Tat Twam Asi), cermati apa ada tujuan Politik/ Money Politic, dan lain sebagainya. Terhadap organisasi keagamaan Hindu katakan PHDI, terlalu jauhlah kalau kita mencoba membandingkan dengan NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhamadiyah di Umat Islam. NU dan Muhamadiyah intinya tetap adalah Islam / Quran, walau NU masih menerima tradisi dalam kesehariannya, seperti Tahlilan 7 hari/40 hr, sementara Muhamadiyah tidak Tahlilan walau tetap ada Doa secara Islam, Bagaimana dengan Hindu, apa kita juga latah dan ingin ada perbedaan dari organisasi keagamaan kita. Apa kita senang kalau Nyepi ada 2 kali karena tokoh umatnya ingin berbeda, walaupun di India juga Nyepi dilaksanakan 3 kali, bagi penganut Kalender Candra, Surya-Candra, dan Pemerintah (21 Maret), tetapi tentu akan lebih baik jika merayakan sama-sama pada hari yang sama dengan : akur, Adung, Guyub (bahasa Jawa). Kata orang bijak : ”Vas Bunga yang berisi bunga yang berwarna warni akan terlihat Indah”, namun bagi kita tetap lebih indah kalau bunga yang berbeda-beda itu menjadikan dirinya menyatu dalam persembahan kepada Sang Pencipta.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-02-2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)