DESA ADAT vs DESA HINDU
Mpu Kuturan boleh dikatakan sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Apakah Bali jaman dulu menghadapi Chaos atau terjadi demo dimana-mana sehingga raja justru membutuhkan rohaniawan bukan Polisi anti huru hara. Apa yang sebenarnya menjadi masalah Bali waktu itu? Masalahnya bukan perebutan kursi partai atau tuntutan turun tahta (lengser) Raja Udayana, tetapi adalah enam sekte yang ada waktu itu saling menganggap paling baik, sehingga menimbulkan konflik horizontal. Konflik seperti ini memang bukan bagiannya Raja tetapi bagian para rohaniawan untuk mengatasinya. Melalui pertemuan 3 kelompok dari 3 paham di Samuan Tiga Gianyar, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari oarng Bali Mula, seluruh peserta bisa diadopsi dan bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Dilanjutkan lagi pada abad XIV (Tahun 1350 Masehi) ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai bawahan Majapahit sekaligus berakhirnya era Warmadewa, maka perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa umumnya keluarga Pasek yang masih ada hubungan saudara dengan Kresna Kepakisan, suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Setelah Majapahit runtuh pada abad XV karena masuknya agama islam di Majapahit, dan berakhir pula era ”Dalem” ini telah memunculkan kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat di Bali. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, mobilisasi umat/warga desa yang masih meneruskan tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun kemudian adat ini menjadi komoditas kekuasaan karena sering dimasukkan adat-adat yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu, seperti kasus-kasus, kesekepang, asu-pundung, anglakahi karanghulu, kawin dengan keris, dll. Sampai akhirnya masuk ke fase penjajahan abad XVI, desa adat atau Desa Pakraman secara praktek tetap dipertahankan dan hal positif penjajah banyak melarang adat yang tidak sesuai, seperti ”Pati Gni” yaitu seorang janda akan menceburkan diri ke kobaran api setelah suaminya meninggal.
Sekarang ini Bali kembali menghadapi kekhawatiran karena dominasi Budaya Bali yang ruhnya Agama Hindu sedikit demi sedikit mulai digeser oleh faham lainnya yang dianggap bisa mempengaruhi bahkan lebih ektreem lagi mencemari budaya Bali itu sendiri. Wacana Ajeg Bali yang belakangan ditegaskan menjadi Ajeg Hindu sebagai salah satu alternatif digulirkan, sebagai salah satu alternatif digulirkan. Adat itu ruhnya adalah Ajaran Hindu sehingga Adat dan Agama ibarat Raga dan Jiwa. Wacana Ajeg Bali/Ajeg Hindu ini kelihatannya belum memuaskan para fihak yang ingin agar segera dibuat langkah-langkah yang effektif, instant karena dianggap permasalahan Bali ini sudah berada di ufuk barat (Sandyakala). Sekarang muncul pemikiran apakah desa pakraman ini masih layak dipertahankan disela-sela perkembangan jaman globalisasi, atau apakah Hindu bisa jalan tanpa desa adat ?.
Jika coba dirangkum, maka permasalahan Bali ini dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu : Sisi vertikal dan horizontal. Vertikal, yaitu : konsep bakti, meliputi pemahaman akan bhakti itu sendiri dan sarana bhakti berupa Pelinggih-Pelinggih. Dari sisi horizontal seperti Hubungan Sosial masyarakat, jika jaman Mpu Kuturan hamya ada kelompok masyarakat Bali Mula dan Bali Dataran (keturunan dari Jawa), maka Bali sekarang banyak terdapat kelompok wangsa (soroh/clan}, disamping kelompok lainnya (pendatang) Kelompok wangsa ini pada dasarnya baik yaitu mempersatukan keluarga sehingga bisa lebih baik komunikasinya secara horizontal juga secara vertical (Bhatara Kawitan). Celakanya adalah ketika yang satu menganggap lebih tinggi dari yang lain. Pola ini telah menyebabkan masyarakat Bali kurang ada ikatan emosional yang sama sehingga terkesan kurang bersatu. Warisan sosial masyarakat jaman dulu berupa pelapisan strata masyarakat yang memunculkan adanya Ratu dan Parekan juga akan membatasi munculnya jiwa kewirausahaan (entrepreneur) dan kepemimpinan (Leadership) pada masyarakat yang bermental abdi ini. Jadi kepuasan segelintir masyarakat membawa dampak mental yang kurang baik pada banyak masyarakat. Mental seperti ini juga akan memunculkan sikap melayani (pelayan) sehingga orang Bali dikenal sangat ramah dengan para pendatang. Ketika ada yang mengangkat permasalahan ini dan dikaitkan dengan Catur Warna, malah banyak muncul tanggapan yang cendrung bukan perbaikan apalagi moderat, bahkan setiap membicarakan hal ini seperti ada dikotomi warisan dahulu antara Tri Wangsa dan Jaba, padahal penyinpangan ini bisa dilakukan oleh siapa saja apakah yang disebut Tri Wangsa atau bukan karena ini masalah mental. Jadi disadari atau tidak masalah ini menjadi salah satu faktor kurang menguntungkan. Kalau antara sesama orang Bali ada dikotomi, ada kotak-kotak, ada lapis-lapis, maka persatuan itu tidak akan diperoleh. Mungkin saja kelemahan ini sudah dibaca oleh orang luar yang ingin berkiprah di Bali sesuai keinginannya yang bisa jadi tidak menguntungkan, seperti kasus Bom Bali, maka masalah ini bukan isapan jempol belaka . Dalam hubungan sosial spiritual, leluhur kita sudah mengajarkan sarana persatuan melalui langkah bhakti. Datang dan bersembahyanglah ke Besakih disana ada Pemujaan Tri Murti, hadir ke Lempuyang Luhur disana berstana leluhur orang Bali Hyang Gnijaya, hadirlah di Lempuyang Madya disana ada Pelinggih Mpu Gnijaya, hadirlah ke Pura Catur Lawa (Besakih) disana ada Pelinggih Ratu Pasek (Mpu Semeru/Meru Tumpang Pitu), hadirlah ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung disana ada Pelinggih Ratu Pasek (Mpu Ghana/Meru Tumpang Tiga), dan hadirlah ke Pura Silayukti Padangbai disana ada Tempat Pemujaan Mpu Kuturan dan peristirahatan Mpu Bharadah. Sisi horizontal lainnya adalah perubahan masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri, seperti industri Pariwisata. Bali yang dominan sektor industri pariwisata justru tidak banyak menikmati hasil dari industri Pariwisata ini khususnya dilevel pemimpin atau pengusaha (wiraswasta) kebanyakan hanya tenaga menengah kebawah. Masalah kemampuan sumber daya manusia bisa jadi alasannya, tetapi dengan kesadaran kemakmuran bagi masyarakat Bali, maka prioritas pendidikan ketrampilan dan kesempatan kepada masyarakat Bali harus diupayakan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah.
Itulah fenomena yang bisa dilihat dibali sekarang ini, bagaimana dengan orang Bali yang merantau apakah ada perubahan sikap mentalnya ? Hubungan sosial sesama orang Bali diluar Bali relatif lebih baik, lebih moderat, walaupun masih ada segelintir orang yang membawa peninggalan hub sosial berlapis ke luar Bali, tetapi itu tidak ada manfaatnya. Keakraban ini mungkin karena merasa senasib sesama perantau, ini adalah hal yang umum secara psychologis. Umumnya mereka menikmati hidup diluar Bali dan sesekali ke Bali menengok keluarga, tidak ubahnya seperti wisata. Ada sebuah keluarga yang tidak bersedia pindah ke Bali ketika ditawari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar dengan keadaannya sekarang. Alasannya dia tidak kuat dengan kehidupan adat di Bali, seperti contohnya pada Hari Raya Galungan, persiapan persembahyangan sangat banyak dan menyita aktifitas fisik yang banyak untuk pembuatan banten, dll. padahal diluar Bali dia cukup menyiapkan Canang dan buah lalu ke Pura bersama keluarga sudah cukup dan mantap bersembahyang. Sehari-hari cukup dengan Gayatri Mantram kadang dilanjutkan dengan ”Japa” memegang Gnitri, terasa sangat baik komunikasi dengan Sang Pencipta, yang mana tidak bisa dia dapatkan jika menjadi masyarakat Bali. Pada hari-hari tertentu belajar mekidung baik Bali atau kidung setempat dan anak-anak mereka belajar menari dan agama Hindu di Pura, jadi suasana yang sederhana, akrab, tanpa menghilangkan kadar ke-Hinduan. Terhadap permasalahan Bali ini, secara umum orang Bali di rantau bukannya tidak peduli dengan keadaan di Bali, tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk merubah cara-cara di Bali yang kurang pas dijaman sekarang ini karena sudah mendarah-daging dimasyarakat, jadi mereka berpendapat biarlah Bali seperti itu diluar Bali kita beda. Apalagi diluar Bali akan berinteraksi dengan etnis lainnya seperti : Jawa, Dayak kaharingan, Batak, Bugis, dll yang pasti juga punya adat dan tata-cara sendiri dalam berkomunikasi kepada sang Pencipta, sehingga perlu format yang lain dalam ber-sosial masyarakat tidak seperti di Bali murni. Masalah diluar Bali lebih kepada ”kearifan untuk ber-interkasi dengan etnis lainnya dalam satu payung agama Hindu”. Untuk diluar Bali mungkin suatu saat nanti ketika perwujudan doa bukan lagi tertuang kedalam bentuk banten tetapi tertuang pada Mantram Sang Pandita (Brahmana/Sulinggih) atau Pinandita (Pemangku), maka banten nanti akan sangat sederhana dan murni sebagai persembahan, bukan perwujudan Doa.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-01-2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)