MEMIMPIN DIRI SENDIRI
”Pemimpin” dalam masyarakat sangat diperlukan agar tata kehidupan masyarakat menjadi tertib, dan dapat mencapai kesejahtraan bersama. Pemimpin ibaratnya dapat merubah batu menjadi permata dan sebaliknya dapat merubah permata menjadi debu, sehingga berhati-hatilah memilih pemimpin dan berhati-hati pula menjadi pemimpin. Fenomena yang bisa kita lihat adalah begitu besarnya keinginan untuk memimpin orang lain (diluar dirinya/eksternal) dalam bentuk pimpinan partai, pejabat pemerintah, atau dilingkungan sosial kemasyarakatan/pempimpin umat, dimana keinginan ini telah mendominasi pemikiran para umat ini. Berbagai upaya dilakukan, seperti penggalangan massa, menarik simpati masyarakat, memanfaatkan prestise masa lalu, dan lain-lain, dimana kadang memerlukan dana yang tidak sedikit, bahkan melakukan segala cara untuk mencapai tujuan itu, ada yang benar kadang ada yang salah. Alasan moral juga bermacam-macam, ada yang memang panggilan jiwa namun ada juga guna kepentingan kekuasaan karena dengan berkuasa banyak hal yang bisa dilakukan. Rasa ingin memimpin orang lain secara hakekat manusia adalah lumrah dan manusiawi karena memang ada sifat superior pada manusia yang jika dominan akan mendorong untuk melakukan upaya apapun untuk memenuhinya. Para bijaksana mengatakan, sebelum kita memimpin orang lain, maka seharusnya dimulai dengan memimpin diri sendiri terlebih dahulu.
Kenapa kita harus memulai ”Memimpin diri sendiri” sebelum kita memimpin fihak lain? Karena memimpin itu sesungguhnya tidak mudah dan banyak syarat-syarat yang harus kita penuhi sehingga kita bisa memimpin dengan benar, bijak, adil, dan memberi kesejahtraan pada yang dipimpin (masyarakat). Jaman dulu seorang pemimpin masyarakat, sering disebut ”Ratu” dimana ratu ini bermakna ”dapat memberi kesejahtraan pada masyarakat”, jika tidak mampu memenuhi fungsi itu, maka tidak pantas disebut dengan ratu. Intinya adalah seorang pemimpin harus menempa diri dulu dengan ajaran-ajaran kepemimpinan sebelum memimpin orang lain. Untuk tujuan itu dalam ajaran Hindu ada ”Asta Brata Nateng Prabu” atau singkatnya ”Asta Brata”, dimana delapan sifat Dewa dijadikan pedoman yaitu : Indra, Yama, Surya, Candra, Wayu/Bayu, Pertiwi/Bhumi,Waruna, dan Agni, seperti : INDRA BRATA, yaitu seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat seperti hujan yang senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam setiap tindakannya dapat membawa kesejukan serta penuh kewibawaan. Dalam Ithiasa seorang pemimpin yang dapat dicontoh adalah ”Dasarata” Raja Ayodhya, beliau ahli Weda, seorang bhakta yang taat, tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini. Dalam sejarah kepemimpinan Bali abad X kita mengenal „Mpu Kuturan“ beliau adalah Brahmana (Mpu) namun juga Raja (Nateng Girah-Jawa timur) yang sangat berjasa bagi keamanan kerajaan Bali dibawah Raja Udayana (Ayah Airlangga). Indonesia memiliki pemimpin „Ir.Sukarno (Bung Karno)“ yang kebetulan ibunya Nyoman Rai Srimben adalah orang Bali dari Baleagung-Buleleng. Bung Karno adalah pemimpin kharismatik yang dapat menyumbangkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan masih banyak contoh pemimpin-pemimpin yang telah melalui proses kematangan diri sehingga dapat menjadi pemimpin bagi orang lain dan rela menyumbangkan segala miliknya untuk kesejahtraan masyarakat. Dalam materi kepemimpinan moderen, disebutkan pemimpin minimal memiliki tiga hal, yaitu : Disiplin, Open mind (jiwa terbuka), dan komunikasi. Seorang pemimpin perlu ”disiplin” terutama disiplin untuk tidak melakukan hal yang negatif dan selalu berbuat hal yang baik buat masyarakat, juga perlu memiliki ”keterbukaan batin” agar dapat merasakan permasalahan masyarakat dan juga mempunyai kemampuan ”komunikasi” yang baik sehingga mudah menangkap apa yang perlu dilakukan untuk kesejahtraan masyarakat. Jika seorang pemimpin memiliki sifat positif ini, maka barulah dia dapat disebut ”Leader” yang mempunyai makna dalam bukan sebatas memimpin (manaje) saja. Di Jepang seorang calon Kaisar, perlu memperoleh pendidikan khusus yang sangat ketat sebelum dia dapat ditetapkan menjadi Kaisar, walaupun secara kelahiran (trah) adalah putra kaisar namun tidak serta merta menjadi kaisar, perlu pembinaan mental dan pengetahuan kepemimpinan. Pemimpin ideal akan sangat susah didapatkan dijaman sekarang dimana orang lebih mementingkan kekuasaan, material, prestise daripada mengutamakan kesejahtraan masyarakat, apakah ini pesimistis? Kita bisa lihat bersama-sama, yang jelas jika musim Pemilu tiba, musim Pilkada datang, maka banyak muncul pemimpin-pemimpin yang menawarkan perbaikan bagi kehidupan masyarakat, walupun belum banyak yang bisa dibuktikan.
Akhirnya, manusia itu memang sudah dikodratkan untuk lahir menjadi pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri, maka sudah selayaknya kita mulai menata diri ini menjadi benar, sehingga berkembang menjadi keluarga yang benar, berikutnya menjadi masyarakat yang benar, dan akhirnya menjadi bangsa yang benar, demikian para pencinta kedamaiaan ber-angan-angan yang sesungguhnya bukan sesuatu yang mustahil karena „kebenaran“ dalam skup luas berasal dari kumpulan sesuatu yang benar dari skup yang kecil. Astungkara.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)