IDE PENYATUAN SEKTE HINDU DALAM SUATU MAJELIS
Wacana Pejabat Dinas Hindu untuk menyatukan Hindu Nusantara kedalam suatu Majelis perlu ditelaah dengan baik dan penuh kehati-hatian karena jika salah tindakan ini dapat mencerminkan tindakan yang terburu nafsu atau tergesa-gesa. Seperti sudah dimuat pada Raditya beberapa edisi yang lalu, banyak tanggapan yang kemudian muncul yang beberapa juga terkesan tergesa-gesa. Ada juga yang begitu khawatir jerih payah Mpu Kuturan yang sudah berhasil mempersatukan (Fusi) sekte-sekte Hindu pada masa Raja Udayana, akan gagal justru dijaman moderen ini. Sebelum sesuatunya menjadi tidak baik bagi perkembangan umat Hindu, maka Ada beberapa pertanyaan yang seharusnya dijawab dulu sebelum kita me-wacanakan sesuatu, seperti : Apakah di Indonesia, Hindu Nusantara ini sudah sangat spesifik menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Kaharingan,dll.?, Jika dilihat dari segi Ista Dewata yang ditonjolkan apakah Hindu di Indonesia sekarang ini, sudah spesifik ada sekte-sektenya, seperti : Siwa Sidanta, Sekte Waisnawa, dll ? dimana pada jaman Mpu Kuturan sudah di-fusi sehingga kita bisa bersatu dalam pemujaan Tri Murti di Kemulan atau Desa Pakaraman. Cukup dua hal itu dulu diperjelas walaupun banyak hal yang harus ditelaah sebelum menarik kesimpulan itu. Menurut wacana yang dimuat pada Raditya beberapa edisi lalu, Pejabat tersebut menyampaikan, karena sudah ada Organisasi Komunitas warga Hindu India di Indonesia dalam wadah SDN, Majapahid sebagai wadah umat Hindu Jawa di Jakarta, PDHB dan lain-lain di Bali, dan katanya dengan Hindu Kaharingan terbentuk misalnya, sudah bisa dibentuk organisasi atau majelis ini, yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini sudah begitu mendesak atau prioritas ?. Majapahid adalah murni sebagai organisasi keumatan jadi tidak berbicara sekte atau Ista dewata yang ditonjolkan, jadi ini hanya murni Hindu, komunitas warga India (SDN) adalah amanat dari rapat besar mereka di-tingkat dunia dan ini juga organisasi keumatan Hindu bukan Sekte, dan kalau Hindu Kaharingan, serta lain-lain dibentuk juga tetap Hindu, disini tidak berbicara sekte atau Ista Dewata yang ditonjolkan. Kalau ternyata maksudnya organisasi keumatan yang diwadahi dalam Majelis ini dan bukan sekte-sekte, kita sudah ada PHDI yang bisa menjadi payungnya. Kalau misalnya PHDI belum maksimal, maka ini yang harus dibantu atau dimaksimalkan bersama supaya menjadi effektif. Penyatuan organisa Hindu Nusantara dalam majelis ini bukan tidak ada masalah, misalnya di Bali saja, mana yang dimaksud dengan Hindu Bali atau organisasi mana yang akan mewakili. Bagaimana dengan umat Hindu orang Bali yang ikut kedalam Hare Kresna atau Sai Baba misalnya, kemana mereka akan bergabung. Lalu umat Jawa apakah mereka sudah murni tradisi Jawanya dalam aplikasi ke-Hindu-annya, seperti kita ketahui karena ratusan tahun Hindu tenggelam di Jawa, maka di Jawa tidak bisa secara utuh ditemukan tradisi Jawa Hindu itu, hanya baru di-gali sedikit-sedikit, seperti Pitra Yadnya dengan Entas Pitulus atau Entas-entas, dan tradisi lainnya yang sedang diangkat kembali, sehingga sekarang keseharian mereka sembahyang dengan Canang yang diajarkan orang Bali, Pelinggihnya Padmasana atau Meru yang biasa dipergunakan di Bali, walau sudah ada yang menerapkan Candi sebagai peninggalan di Jawa, jadi tidak bisa murni Hindu Jawa. Itu baru dari sisi pengelompokan secara suku. Dari sisi Ista dewata yang ditonjolkan rasanya hanya saudara-saudara dari India yang bisa jelas atau spesifik, seperti Hare Krisna walau pasti juga memuja Siwa, Brahma dan lainnya. Di Bali tidak bisa disebut Siwa Sidanta karena dalam Surya Sawana atau pemujaan lainnya, Ista Dewata lain juga ditonjolkan, inilah karena keberhasilan fusi yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada abad 10-11.
Dengan melihat hal-hal seperti itu, maka wacana untuk membentuk majelis baru yang mewadahi Hindu Nusantara selayaknya tidak perlu diteruskan karena lebih banyak dampak pemecah belah daripada persatuannya. Kita sebaiknya kosentrasi kepada Lembaga umat yang sudah ada yaitu PHDI ini harus didukung bersama dan diberdayakan supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh umat Hindu secara keseluruhan. Kita perlu juga punya majelis yang berwibawa sehingga didengar oleh pemerintah, jangan malah dibuatkan tandingannya. Kita harus bersyukur dengan kebesaran jiwa para umat di Bali sehingga kasus dua PHDI Bali sudah terselesaikan dan lahir PDHB, jangan ini kemudian dikembangkan lagi menjadi perpecahan ketingkat yang lebih tinggi (nasional) karena ini akan membuat malu kita sendiri. Bagi para umat, sudah seharusnya sadar, bahwa dunia sudah berubah dan akan selalu berubah, bola juga akan bergulir terus, jadi kita harus siap dan legowo menghadapi keadaan kedepan yang perlu dipersiapkan dengan kedewasaan. Majelis Hindu adalah PHDI, dan umat Hindu Nusantara biar berkembang dengan sendirinya tanpa perlu di-kotak-kotakkan menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu India, dan lainnya. Biarlah Hindu hanya dipayungi secara filosofi (tatwa) oleh Weda, dan biarlah budaya yang merupakan balutannya berkembang terus mengikuti perkembangan jaman, sehingga orang Jawa silahkan menggunakan Canang, orang Bali di Jawa ke Pura tidak apa memakai Blangkon (Beskap lengkap), orang Bali silahkan ikut Hare Krisna dan berpakaian sembahyang atau saat Bajan dengan pakaian India, orang India silahkan ke Pura dengan pakaian Bali dan membawa canang sari, jadi hal ini terlihat begitu penuh warna dan inilah keunikan Hindu yang sangat demokratis dan sangat memberi kebebasan kepada penganutnya. Janganlah begitu khawatir Bali akan hancur karena budayanya tergerus oleh budaya lain, misalnya masuknya tradisi India, karena yang kita warisi sekarang juga adalah akibat berbaurnya nenek moyang kita dulu dengan para rohanian dan masyarakat awam dari India yang otomatis membawa budayanya sendiri. Tirulah kebijaksanaan para leluhur dahulu sehingga tradisi yang kita warisi sekarang tidak secara utuh terlihat sebagai tradisi India atau China, walau kita dahulu berbaur yang berarti saling mempengaruhi. Kedepan juga akan seperti itu, akibat berbaurnya umat Hindu dari berbagai suku dan dengan warga hindu India, akan menjadikan suatu saat nanti akan muncul suatu tradisi yang tidak akan disebut tradisi India, tetapi akan disebut tradisi Jawa, tradisi Bali, tradisi Sunda, dan lain-lain yang dipayungi oleh Weda.
Sebagai akhir kata, maka berhati-hatilah kita memberikan suatu wacana apalagi oleh tokoh yang dampak suaranya akan berpengaruh kepada masyarakat, sebab seorang tokoh harus super hati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan apalagi melakukan tindakan. Semoga Hindu semakin diterima di hati masyarakat sehingga semuanya dapat menikmati kedamaian yang diajarkannya.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
14-12-2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)