Minggu, Oktober 10, 2010

MANUNGGALING ”ANGKARA LAN BHUTA”

”Kebahagiaan” demikian makna satu kata yang paling dicari manusia dimanapun dan sampai kapanpun, sehingga segala upaya dilakukan untuk meraih hal itu namun sering karena keterbatasan manusia mengartikan kebahagiaan bisa menjadi keliru dalam proses mendapatkannya. Agama pun menegaskan, bahwa tujuan hidup manusia adalah ”Moksartam Jagadhita” yaitu kebahagiaan sesudah mati (moksartam) dan selama masih hidup (Jagadhita). Ciri-ciri kebahagiaan sejati dalam wujud Moksa juga dipertegas dengan ”menyatunya Atman dengan Brahman” yang mana dalam khasanah spiritual umat Jawa dikenal dengan ”Manunggaling Kawula Lan Gusti” yaitu menyatunya Manusia dengan Sang Pencipta. Sederet kata-kata pendek yang mengandung makna tinggi itu ternyata memerlukan pemahaman yang panjang dan dalam agar manusia yang memburu kebahagiaan tidak salah dalam pengejarannya. Fenomena mencari kebahagiaan ini bisa kita simak dalam kehidupan masyarakat, dimana kebehagiaan yang menyentuh lubuk hati yang paling dalam sering disamakan dengan kesenangan yang lebih bersifat individu dan kepuasaan sesaat bahkan kadang kesenangan ini tidak perduli apakah orang lain menderita. Dalam ajaran Catur Purusarta disebut : Kejarlah Artha (material), Kama (kesenangan, pengetahuan), dan Moksa (Kesejatian), tetapi landasi dengan Dharma untuk mensucikan apa yang kita kejar itu, namun landasan dharma ini ternyata tidak mudah juga untuk difahami karena artha, kama, dan moksa kadang diperoleh tidak dijalan kebenaran.

Ada satu fenomena dimasyarakat khususnya di bali yang ingin dijelaskan dari judul tulisan diatas, dari pengamatan penulis masyarakat tanpa disadari banyak yang untuk memenuhi angkara akhirnya menyatu dengan bhuta. Diawali oleh rasa curiga dengan tetangga sehingga perlu membentengi diri, untuk ”pelelantih” agar dagangannya laris, agar suami tunduk, agar atasan dikantor takut, agar sakti/wisesa, bahkan yang jelas dengan dasar tidak baik yaitu agar saingan di kantor sakit, atau agar tetangga yang tidak disenangi sakit/mati, maka mereka lalu datang ke Jero balian yang memang mau memenuhi harapan itu. Jero Balian yang seperti ini dimana hanya demi uang atau Jero Balian yang belum faham makna kebahagiaan sejati, berusaha memenuhi harapan dari umat yang datang ini. Dibuatkanlah sesikepan, tolak bala, pengasih, pelelantih, atau kekebalan yang berupa: rerajahan pada kain putih, bahkan rerajahan pada bagian tubuh, susuk, diminum, dan sebagainya, yang mana tanpa disadari oleh Sang Balian maupun umat yang datang, bahwa Sang Balian telah mencetak calon ”Leaker-leaker baru (ahli leak/istilah penulis)”. Kenapa hal itu bisa terjadi? Penjelasan sederhananya begini ; manusia yang datang dengan keinginan lebih dari orang lain (suami takut, tetangga sakit, dll) sesungguhnya telah diliputi energi negatif yang namanya ”Angkara”, ketika datang kepada Jero balian (yang negatif atau belum faham), karena manusia adalah mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, maka rerajahan, dll yang dibuat akan mengandung energi yang menyesuaikan dengan keinginan dari umat yang datang, karena niatnya adalah ”menguasai orang lain”, maka energi yang muncul adalah Bhutakala (dari berbagai tingkatan). Bhutakala ini dibawah kekuasaan Dewi Durga karena semua mahluk termasuk sarwa prani (tanaman), binatang, manusia, juga bhutakala ada dibawah kekuasaan Dewi Durga. Jero balian ini sesungghnya nge-bon Butakala kepada Dewi Durga yang mana akan dipertanggung jawabkan nanti oleh Jero balian maupun umat yang ingin memenuhi angkaranya. Sifat Bhuta ini adalah penurut/manut saja sekali lagi karena manusia adalah mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, angkara manusia tersebut dan butha yang ditarik dari kekuatan energi balian akan menyatu, sehingga ”Manunggaling Angkara Lan Bhuta” yaitu menyatunya sifat angkara dengan Bhuta. Menyatunya manusia (yang angkara) dengan bhuta ini akan menyebabkan terpenuhi apapun keinginan manusia ini, dagangan jadi laris, suami takut, tetangga sakit, dsb dan seperti minum air laut maka haus tidak akan hilang akhirnya sifat angkara akan justru semakin menjadi-jadi inilah yang kemudian menciptakan peng-leak baru walau jaman semakin moderen. Bagi Jero balian yang benar (sebut saja balian putih), maka Bhuta yang menyatu dengan manusia yang angkara ini dengan kekuatannya ditarik dan dilukat, Jero balian yang benar punya cara atau mantram penglukatan bhuta. Para Bhuta ini diarahkan untuk belajar kepada Guru sarwa Bhuta yaitu Dewa Sangkara, itulah sebabnya dalam pecaruan ada mantra ”... undurakne bhutanta dening doh apan gurunmu hana ring kene, Sangkara guruning sarwa bhuta, Om Sangkara bhuta ya namah swaha” . Bhuta juga seperti manusia perlu belajar untuk meningkatkan dirinya, maka dari hasil belajarnya Bhuta ini yang mungkin awalnya Sang Bhuta Dengen atau Bhuta yang tempatnya di tempat angker, tebing, gesing, dll lalu meningkat menjadi ”Bhuta Dewa” yang tempatnya di Penunggun Karang setiap rumah. Dengan penjelasan diatas, maka sebaiknya umat jangan memenuhi Angkara dengan ingin menguasai orang lain karena kedepan anda bisa jadi Leak-er baru, sadari bahwa hidup ini adalah kasih sayang, rejeki sudah ditentukan, berdagang adalah perlu ilmu marketing, hubungan suami-istri saling memahami dan yang penting tubuh ini sudah lengkap, jangan lagi ditambahkan sesikepan, cincin sakti, dan sebagainya, sering-sering mensucikan diri dengan ”Tri Kaya parisudha”, juga dengan sarana bebantenan Bayakaon (pembersihan perilaku), durmenggala (pembersihan kata-kata), dan Prayascita (pensucian pikiran), datanglah kepada Jero balian yang benar, atau datang kepada Jero Mangku, atau Sulinggih untuk nunas pensucian dan wejangan kebenaran agar kita jauh dari hal negatif. Jero balian agar hati-hati terhadap kemampuan yang dimiliki landasi kemampuan yang dimiliki dengan ajaran kebenaran agar tidak salah ngayah pada umat, Bhuta juga ciptaan Hyang Whidi yang perlu selaras dengan manusia sesuai ajaran tri Hita karana, bahkan kewajiban manusia untuk meningkatkan derajat sarwa bhuta jangan malah diperalat untuk kepuasaan angkara manusia. Om Ang kang kasol kaya swasti-swasti, kala bhuta predhana purusa bhoktya namah swaha.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 10-10-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)