Selasa, November 30, 2010

ENTAS PITULUS – PITRA YADNYA PERTAMA
DI KLATEN JAWA TENGAH

Jatinom adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten Jateng yang merupakan salah satu Kantong Hindu di Jawa Tengah. Di Jatinom ada 4 Dusun yang umat Hindu etnis Jawa masih cukup banyak, yaitu di Dusun Tibayan, Dusun Purodesan/Desa Randualang, Dusun Socakangsi, dan Dusun Gambira/Desa Kraji. Di Jatinom ini ada 2 buah Pura, yaitu : Pura Dharma Santana, di Dusun Tibayan dan Pura Randu Agung, di Desa Randualang. Pada 14 Maret 2007 yang lalu ada kegiatan Yadnya yang sangat langka dilakukan di Dusun/Desa Tibayan, Kec.Jatinom, Kab.Klaten, yaitu : ”Entas Pitulus” (Pitra Yadnya/Ngaben di Tengger Entas-Entas) secara kebiasaan Jawa yang bisa dikatakan pertama dilakukan di Kab. Klaten sejak Hindu bukan lagi agama yang dianut secara sembunyi oleh umat Jawa. Umat Hindu yang diupacarai Entas Pitulus adalah ”Sukirno” seorang Guru agama Hindu di SD Blimbing I , Karangnangka yang meninggal pada usia 50 tahun. Pemrakarsa dari upacara ini adalah tokoh umat Hindu, seperti : Romo Pandita Pujo Broto Sejati yang lebih dikenal dengan Romo Maming, Mudiarso seorang Pelestari Budaya Jawa asal Jaten Karanganyar-Solo, Sugito seorang guru SD di Jaten Karanganyar yang juga sangat memahami budaya Jawa bersaripati Hindu dan juga Wayan Puja seorang umat juga Pinandita yang sangat aktif mengikuti kegiatan umat Hindu etnis Jawa dan tentunya juga atas pengarahan dari para tetua di Jatinom.

Prosesi ”Entas Pitulus”
Prosesi dibagi di dua tempat, yaitu di dalam rumah dan di Pendopo. Didalam rumah para keluarga berkumpul dan terdapat ”Wahana” atau kendaraan sang Atma yang berujud Kambing Kendit yaitu Kambing berwarna hitam, sabuk putih (kalau di Bali Wahana ini adalah Wadah Wujud Lembu atau bentuk lainnya). Juga ada ”Penguripan” berupa Ayam (mewakili Darat), bebek (air), dan Burung Dara (Udara). Di Pendopo terdapat Sanggar Surya, Sesaji Jawa berupa Nasi uduk (berisi timun,kedelai, brambang/bawang merah) , ingkung (Ayam Panggang), beras kuning, pisang raja, dan banten Bali lainnya untuk Pitra Yadnya karena pemimpin upacara (Romo Maming) Nabenya dari Bali, jadi kelihatan ada percampuran Sesaji Jawa dan Bali, ini juga salah fenomena Hindu kedepan yang tidak kaku dengan Banten Jawa atau Bali. Di Pendopo ini terdapat sarana seperti : Pancaka (Panca Saka/ Bade di Bali) yang berbentuk seperti Sanggar di Bali dengan 5 tiang/saka dan tanpa paku dengan bahan bambu dan diikat alang-alang, didalamnya ada bantal/guling. Bambu dalam bahasa Jawa adalah ”Deling” dan Alang-alang ada pada kisah Para Dewa menjaga tempat yang bernama ”Alang Kumitir” sehingga bambu dan alang ini bermakna ”Dedel Ing Alang Kumitir”. Di Pendopo juga terdapat ”Puspa Sarira” yaitu perwujudan dari orang yang diupacarai Entas Pitulus, berupa Kayu Jati dibentuk seperti manusia (Di Bali biasanya dari Lontar/daun Ental diukir berujud manusia).

Prosesi diawali dengan Manggala Upacara (Romo Maming) melakukan Puja diikuti oleh Gamelan Jawa dan gending : Kinanti Karuno, Panjang-Ilang, Layu-layu, dan lainnya. Dengan ”Nyiwe Rage/ Menyatukan Siwa kedalam diri sebagai kebiasaan Pandita”, Pandita memohon agar Sang Atma hadir walau dikuasai oleh Bhuta Dengen atau apapun untuk dilakukan Entas Pitulus dan ditempatkan di Puspa Sarira. Selanjutnya acara masuk kedalam rumah dengan urutan umat yang membawa Lampu, menggendong Puspa Sarira, dan gamelan dari Pendopo menuju ke dalam rumah. Didalam lalu dilakukan ”Pradaksina” yaitu upacara mengelilingi Wahana (Kambing Kendit) searah jarum jam sebanyak tiga kali, Puspasarira diletakkan diatas Wahana dipegang petugas. Selanjutnya keluarga melakukan Puja Bhakti/penghormatan terakhir kepada Sang Atma dan umat di Pendopo melakukan Persembahyangan bersama. Kegiatan diatas masih pada Pradaksina I. Pada Pradaksina II dengan kegiatan mengitari wahana seperti diatas, para keluarga menghaturkan makanan kesenangan yang diupacarai Entas Pitulus, seperti Rokok, kopi, kue, dll sementara diluar Pancaka disiapkan oleh umat lainnya serta membawa Panjang Ilang atau nampan Janur dan Blarak (Daun kelapa kering) yang berisi buah-buah dan Polowijo. Acara berikut ”Pradaksina III” dimana Pancaka dibawa masuk dan Romo Maming juga ikut masuk. Pada sessi ini Puspa Sarira dimasukkan kedalam Pancaka. Setelah Persembahyangan oleh keluarga, maka acara selanjutnya dilakukan acara keluar yaitu Keliling desa satu kali dan berputar tiga kali di Prapatan Dusun Tibayan. Urut-urutan dari depan kebelakang : Romo maming, Lampu, Wahana, Pancaka (Dipayungi), Pangurip, Keluarga, Gamelan, Masyarakat. Selesai mengelilingi dusun, dilanjutkan kembali kerumah dan prosesi dilakukan di Pekarangan Rumah . Pancaka diletakkan di Pekarangan setelah berputar tiga kali, diberi Klasah (Daun pisang kering), Sebelum dibakar keluarga membekali Nasi Uduk dan Uang (tidak dibakar/ Pada fase ini di Bali banyak kesalahan dengan membekali Emas bahkan mobil). Pembakaran dilakukan pertama kali oleh anak pertama Sukirno, yang bernama Dwi Fajar, diiringi oleh Gending Telutu dan Sirep Aji Pulang. Keesokan harinya Pinandita Pura dan keluarga memasukkan Abu Pancaka kedalam Cengkir (Kelapa Muda) dan dilarung di Kali di Dusun Tibayan. Pada Prosesi sesudah ini di Bali biasanya dilakukan Nyegara-Gunung, dan Ngelinggihang (menempatkan) Sang Atma di Kemulan menjadi Dewa Hyang, namun di Jawa ditempat dimakamkan biasanya dibuat Candi (bukan dirumah), namun pada Entas Pitulus ini Prosesi selesai sampai pada Larung ke Kali Tibayan. Semoga Sang Atma menyatu dengan Sang Paramaatman dan keluarga memperoleh ketenangan, namun yang lebih penting lagi ”Entas Pitulus” yang merupakan Pitra Yadnya dengan tradisi Jawa Hindu dapat dilakukan umat Hindu Jawa lainnya diberbagai tempat.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-03-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)