AJARAN CATUR WARNA DAN APLIKASINYA DI BALI
Catur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna“ dan „karma“ dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Sumber-sumber ajaran Catur Warna diantaranya :
Mantra Yajur Weda XXX.11. dinyatakan :
Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatria dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya, dan Sudra dari kaki Brahman. Jadi semua warna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Mantra Yajur Weda XVIII.48.. dinyatakan :
Untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat warna ini akan mulia kalau sudah mentaati swadarmanya masing-masing.
Bhagawadgita IV.13 dan XVIII.41
Varna seseorang didadasarkan pada guna dan karmanya.Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan Varna seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya.Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan.
Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55.
Hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dwijati (Pandita) Sudra tidak diperkenankan menjadi Dwijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan.
Yajur Weda XXV.2
Varna seseorang tidak dilihat dari keturunannya, misalnya ke-Brahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya .
Kitab Mahabharata XII.CCCXII.108
Ke Dwijatian seseorang tidak ditentukan oleh ke-wangsaannya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaannya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
Jika digali lebih jauh kitab suci agama Hindu yang menjadi pegangan bagi umat, maka akan banyak ditemui penjelasan-penjelasan tentang Catur Warna ini yang intinya sama, bahwa “Warna seseorang disesuaikan dengan Profesinya”.
Selanjutnya bagaimana Aplikasi ajaran Catur Warna ini di Bali yang merupakan basis bagi perkembangan agama Hindu di Nusantara, apakah sudah dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam kitab suci? Untuk mengetahui hal itu mari kita mundur dahulu ke-beberapa ratus tahun yang lalu pada saat masa leuhur-leluhur orang Bali hidup dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat.
Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :
1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)
Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).
2. Mpu Ghana
Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. ( Mengenai Danghyang Nirartha akan dijelaskan kemudian yang sangat terkait dengan aplikasi Ajaran Catur Warna di Bali.).
3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha
Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll, yang pada masa Danghyang Nirartha dan sesudahnya terjadi kekeliruan dengan menganggap itu adalah tempat Pemujaan Danghyang Nirartha oleh keturunannya. Kesalahan serupa ini banyak terjadi pada Pura-Pura lainnya.
4. Mpu Gnijaya
Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :
a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali setelah Majapahit menguasai Bali sebelum dynasty Dalem.
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Preteka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal“.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan“. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka“.
Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada.
Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu. Sri Airlangga diundang ke Daha Jawa Timur oleh pamannya Sri Kameswara pada usia muda (16 tahun) yang tujuannya untuk menjadi raja di Daha. Tetapi saat diadakan suatu perayaan ada pemberontakan Sri Wurawuri sehingga Sri Airlangga mengungsi kehutan. Singkatnya akhirnya Sri Airlangga berhasil menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) dan beliau berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.
Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Bali dikalahkan oleh Majapahit . Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Siapakah Sri Kresna Kepakisan ?. Beliau adalah putra Mpu Soma Kepakisan yang juga keturunan dari Mpu Bharadah.
Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (tahun 1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :
1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja), yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).
Kembali kepada „Danghyang Nirartha“ putra Mpu Smaranatha, pada tahun 1489 beliau ke Bali, pada saat itu di Majapahit sudah mulai masuk agama baru (Islam). Apakah Danghyang Nirartha pernah mempelajari agama Islam tidak jelas, tetapi di Lombok Danghyang Nirartha mengajarkan „Islam Kala Tiga (Waktu Tiga). Danghyang Nirartha beristri 6 orang tiga diantaranya di Jawa dan tiga lagi sewaktu beliau ke Bali. Istri pertama dari Kediri Jawa Timur yang keturunannya dikenal dengan „Kemenuh“, Di Pasuruan beliau kawin lagi dan keturunannya dikenal dengan „Manuaba“. Yang ketiga adalah di Blambangan, dari perkawinannya menurunkan „Kaniten“. Setelah di Bali yaitu ketika beliau singgah di Gadingwangi, dimana yang menjadi Bendesa adalah „Pasek Bendesa Mas“ (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel), beliau mengawini Ni Luh Nyoman Manik Mas putri Pasek Bendesa Mas, sehingga keturunannya dikenal dengan „Mas“. Danghyang Nirartha juga mengawini Panjeroan (abdi) Ni Luh Nyoman Manik Mas dan keturunannya dikenal dengan „Petapan/Antapan“. Istri yang keenam Danghyang Nirarta adalah Ni Berit (sahayanya) ketika beliau di Bali Barat baru tiba dari Jawa, dari sini keturunannya dikenal dengan „Temesi/Bindu“. Selanjutnya karena kemampuannya, maka Danghyang Nirartha diangkat oleh Dalem Sri Waturenggong menjadi Purohita/Bahagawanta kerajaan Gelgel mewakili aliran „Siwa“. Dalem juga ingin mengangkat Danghyang Angsoka (kakak Danghyang Nirartha) menjadi Purohita, tetapi tidak terjadi karena tua dan juga sudah ada adiknya Danghyang Nirartha, maka diganti putranya „Danghyang Astapaka“ mewakili „Budha Mahayana“. Danghyang Astapaka berasrama di Budakeling. Sejak itu kedudukan Para Mpu (keturunan Mpu Gnijaya) yang mewakili „Siwa Budha“ dan Rsi Bujangga yang mewakili „Waisnawa“, digantikan oleh mereka berdua. Bahkan dalam bidang kemasyrakatan, Danghyang Nirartha dengan restu Dalem Waturenggong membenahi struktur pelapisan masyarakat Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistim warna lalu disusun berdasarkan Wangsa. Danghyang Astapaka dan Danghyang Nirartha serta keluarga menduduki pos sebagai „Brahmana Wangsa“, „Ksatrya Wangsa“ diisi oleh keluarga Dalem. Para Arya (I Gusti) mengisi „Wesya Wangsa“. Ketiga ini juga disebut „Tri Wangsa“. Selanjutnya diluar itu menjadi “Sudra Wangsa”. Sudra ini juga disebut Jaba. Secara turun temurun keluarga Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mengambil porsi Brahmana dan jika di Pudgala jati/Dwi Jati bergelar “Pedanda”. Penyimpangan system Warna menjadi Wangsa (Jaman Portugis menjadi Kasta) ini berjalan ratusan tahun dan membawa dampak tidak baik pada kehidupan masyarakat karena wangsa yang seharusnya menjadi pengikat keluarga menjadi kelompok-kelompok (soroh) dimana ada yang merasa lebih tinggi dari soroh lainnya. Usaha pelurusan ini sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1920 di Singaraja (Bali) muncul Organisasi “Surya Kanta” yang anti feodalisme dengan system Wangsa/Kasta bahkan menerbitkan Majalah/Surat kabar. Kemudian mendapat jawaban dari kelompok status quo (mempertahankan Kasta) dengan terbitnya “Bali Adnyana”. Kedua penerbitan tersebut gulung tikar dan juga hilang karena semangat kebangsaan dengan berdirinya Budi Utomo (1928). Pada jaman Kemerdekaan (1945) hal ini juga tenggelam karena bangsa sedang menikmati kemerdekaannya, termasuk juga pada jaman Suharto (Orde Baru) yang sangat mementingkan stabilitas nasional. Pada jaman Reformasi hal ini bangkit kembali dengan disuarakannya dimana-mana termasuk di koran/Majalah. Belakangan ini ada 2 PHDI Bali, yaitu : PHDI Campuan dan PHDI Besakih. Apakah munculnya dua PHDI Bali ini merupakan bentuk pertentangan system feodalisme di Bali ? kita lihat sama-sama.
Dari semua hal-hal diatas, maka ada beberapa materi penting yang ingin penulis sampaikan, sbb :
1. Leluhur kita Panca Tirta datang ke Bali untuk memperbaiki masyarakat Bali pada masa pemerintahan Gunaprya Darmapatni/Udayana Warmadewa. Hal ini berhasil dilakukan dengan terjadinya perbaikan prikehidupan masyarakat. Strata masyarakat menganut Catur Warna yang merupakan ajaran Weda.
2. Pada jaman Mpu Kuturan banyak dibangun Pura di Bali yang banyak terjadi kesalahan pemahaman sehingga dianggap didirikan oleh Danghyang Nirarta , seperti misalnya : Pura Uluwatu yang didirikan Mpu Kuturan untuk memuja Baruna, diangggap didirikan Danghyang Nirartha. Untuk keperluan meluruskan sejarah pembangunan Pura-Pura di Bali, maka Gubernur Bali menunjuk Jro Mangku Gde Ktut Subandi menjadi “Ketua Penelitian Pura-Pura di Bali”. Hal ini diceritrakan almarhum kepada penulis ketika beliau ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karanganyar beberapa bulan sebelum meninggal..
3. Pada masa Pemerintahan “Dalem Waturenggong” dengan Purohita Kerajaan Gelgel “Danghyang Nirartha” dan Danghyang Astapaka” terjadi perubahan strata masyarakat dari system Warna menjadi Wangsa/ Kasta. Hal ini berlanjut ratusan tahun sejak abad ke-15. Pelurusan baik dengan munculnya Surya Kanta atau bentuk lainnya dijaman moderen ini terus berlangsung.
4. Masyarakat khususnya di Bali harus ikut meluruskan kesalahan masa lalu dengan menjalankan dan mempublikasikan “Catur Warna” yang bersumber dari Weda sebagai pelurusan kesalahan system Warna/Kasta. Untuk itu telah keluar Bhisama Parisadha Hindu Dharma Pusat tahun 2002, oleh : Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) dan Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka (Wakil Dharma Adhyaksa).
5. Masyarakat tidak perlu mengambil posisi bertentangan untuk meluruskan kesalahan ini seperti : Surya Kanta vs Bali Adnyana atau yang lain, tetapi tetap menyadari, bahwa kita bersaudara dan tujuan pelurusan ini adalah untuk membawa kebaikan nama Hindu dimata masyarakat dan dunia
6. Orang tua kita terutama di Bali yang masih larut dalam kesalahan ini tidak perlu ditentang, tetapi diberi pengertian dengan cara bijaksana dan penuh rasa hormat, yang lebih penting lagi adalah mulailah dari diri kita sendiri.
7. Pada akhirnya perlu saya sampaikan, bahwa “Perjalanan masih panjang” dan masalah pemurnian aplikasi ajaran weda di masyarakat bukan hanya masalah Penyimpangan Catur Warna, tetapi masih banyak hali lain, untuk itu jalankan swadharma masing-masing sesuai dengan Warna masing-masing.
Penulis :
Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo-Jateng 57771 31-10-2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)