Selasa, September 13, 2011

CANDI CETO belum CETO


”Bali Jowone” demikian kata sakral yang masih ada didalam hati nurani umat Jawa, mungkinkah ini yang mengakibatkan kenapa orang-bali akhir akhir ini mulai banyak yang tirtayatra ke Jawa karena mereka mengartikan ’kembali ke Jawa”? Tentunya tidak, karena orang Bali memang mengetahui melalui prasasti, babad, atau sejarah, bahwa leluhur sebagian besar orang bali adalah dari Jawa, disamping itu arti yang benar akan ”Bali Jowone” adalah agar kembalinya sifat arjawan karena Jawa berasal dari kata arjawan yang berarti jujur. Kalimat ini seperti ingin menegaskan, bahwa dijaman dimana manusia dengan berbagai sifat dan tingkah lakunya, akhirnya manusia yang utama adalah yang memiliki kejujuran atau lebih luas lagi adalah manusia yang mengandalkan hati nuraninya dalam kehidupan. Dijaman yang penuh dengan keserakahan, egoisme, materialistis, sebagai cermin jaman kali (Kali Yuga), kita perlu memperoleh pencerahan agar menjadi terang benderang batinnya, maka semoga tirtayatra ini memberikan manfaat. Tirtayatra orang Bali ke Jawa terutama adalah melakukan persembahyangan ke Candi atau petilasan baik stana Hyang Widhi (Dewa Pratistha) maupun stana orang-orang suci (Atma Pratistha), salah satu Candi yang paling menjadi sasaran kunjungan tirtayatra adalah Candi Ceto yang berada dilereng Gunung Lawu di wilayah Karanganyar (Ex Kresidenan Surakarta)-Jawa tengah.


Candi Ceto merupakan salah satu tempat pemujaan Hyang Widhi yang mempunyai talian erat dengan satu candi lainnya didaerah Karanganyar yaitu Candi Sukuh. Candi Sukuh diyakini sebagai tempat pemujaan Durga sedangkan Candi Ceto tempat pemujaan Siwa karena pada puncak candi ada sebuah altar besar persegi empat yang berwujud ”Lingga”. Sekarang ini ada keyakinan sebagian umat, sebelum ke Candi Ceto & Sukuh, maka akan tangkil dulu ke Pura Pemacekan (Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan-Karangpandan) yang dimaknai sebagai Mrajan sesuai dengan konsep umat Hindu Bali, bahwa ada Mrajan ada Pura sehingga bagi yang tidak sempat ke Ceto cukup ngayat (memuja) dari Pura Pemacekan. Prasarana Pura pemacekan kebetulan cukup mendukung juga bagi umat yang ingin beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke candi Ceto karena ada Kamar mandi dan Balai banjar yang dapat menampung ratusan umat. Sebagian umat ada yang mengartikan Pura Pemacekan adalah Dalem Solo (Dalam pengertian spiritual), dimana sejak dulu orang tua kita menyebut kata itu dalam pemujaan. Sudah disadari juga oleh Pewaris tahta Keraton Surakarta Hadiningrat (Paku Bhuwono XII) bahwa ada ikatan Pura Pemacekan dengan Keraton Surakarta Hadiningrat (Dalem Solo dalam pengertian kerajaan/pemerintahan). Kembali kepada Candi Ceto, bahwa Ceto sendiri dalam bahasa jawa berati terang/jelas/cerah, sehingga Ceto diyakini sebagai tempat memperoleh pencerahan. Di era Majapahit (khususnya pada Abad XIV-XV) Candi Ceto juga menjadi penting karena dikaitkan dengan ”Raja Brawijaya V” (Raja Majapahit Hindu terakhir) yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Lawu, sehingga disalah satu pelataran Candi Ceto ada Patung Raja Majapahit tersebut. Candi Ceto saat ini perlu mendapat perhatian, baik bagi umat pengunjung/tirtayatra, bagi pemerintah daerah, juga bagi para tokoh Hindu yang menyadari, bahwa Candi Ceto ini adalah peninggalan Hindu. Candi Ceto secara pengelolaan masih berada ditangan pemerintah artinya aktifitas di candi tersebut masih diperlukan perijinan ke pemerintah daerah walaupun terkait dengan persembahyangan hal ini sudah tidak masalah karena tidak ada larangan umat Hindu untuk bersembahyang apalagi Pemda Karanganyar memang menjadikan Karanganyar sebagai daerah kunjungan wisata religius. Hal ini juga berarti, bahwa dana (karcis & Punia) secara prosedur masuk ke Pemerintah daerah. Disekitar Ceto atau di wilayah Ngargoyoso, Jenawi, dan lainnya sebenarnya banyak umat Hindu etnis Jawa yang tinggal didesa-desa serta memiliki Pura yang jumlahnya belasan, jika Ceto (dan juga Sukuh) diserahkan pengelolaan ritual (spiritualnya) kepada umat Hindu terdekat tentunya setiap hari raya Hindu seperti Purnama-Tilem dan hari suci lainnya Pemangku yang ditunjuk bisa melakukan Puja Stawa sehingga ke-sakralan Candi Ceto bisa semakin baik. Ceto sendiri punya Piodalan atau hari rayanya yaitu pada ”Anggarkasih Medangsie” yang disebut Ritual Mondosio. Pada perayaan tersebut bisa digalakkan oleh PHDI Karanganyar agar semua Pinandita seluruh Pura yang ada disekitar karanganyar melakukan pemujaan bersama dan umat seluruhnya bisa disatukan dalam persembahyangan dengan tradisi Jawanya sehingga secara psychologis akan meningkatkan kepercayaan diri bagi umat Hindu agar tidak semakin merosot jumlahnya. Perayaan disaat itu dengan skala besar sebenarnya ada namun dilaksanakan oleh orang bali dengan tradisi balinya sementara umat yang melakukan ritual Mondosio menjalankan secara sendiri-sendiri. Penulis pernah menyampaikan agar Bali sifatnya mendukung saja, karena dimanapun orang Bali berada dan membangun Pura atau melakukan ritual itu sudah biasa, namun jika kita bisa mengangkat hindu sekitar Karanganyar dengan tradisi Jawanya terlihat seperti jaman Majapahit bangkit kembali, maka ini akan membawa gaung kemana-mana, dibandingkan orang bali melaksanakan ritual dengan tradisi bali dan mengundang pejabat tinggi, tidak membawa dampak spiritual bagi pengembangan Hindu dengan tradisi Jawanya kecuali hanya seremoni saja. Sekali lagi perlu ditekankan disini, orang bali yang datang ke candi Ceto sifatnya ”tirta yatra” saja, jangan membawa ritual ke Jawa apalagi dengan besar-besaran yang sesungguhnya tidak mendidik umat Hindu Jawa yang sedang mencari bentuk. Di kantong Hindu ini sebenarnya perlu mendapat perhatian para tokoh dan masyarakat yang peduli agar Hindu dengan kesejatian mereka (Hindu Jawa) bisa hidup kembali. Umat Hindu ini yang beralih ke agama lain karena alasan Akta Perkawinan dan KTP ini sudah semakin berkurang, namun satu hal yang jarang diketahui, adalah mereka tidak menyukai jika di Pura yang ada iurannya, ini bukan berarti mereka tidak mau ber-dana punia karena terbukti jika ada kegiatan kerja-bakti di Pura misalnya, mereka rela mengeluarkan tenaga, makanan, dll yang jumlah rupiahnya melebihi dari jumlah iuran tersebut, artinya mereka merindukan ”spiritualnya” bukan materialnya, karena dijaman leluhur dulu tattwa sangat menonjol di jawa yang sekarang masih ada dalam bentuk pesan-pesan, nasehat, atau etika-etika yang diterapkan dalam keluarga Jawa, yang juga banyak dipopulerkan oleh Presiden Suharto, seperti : Ojo dumeh, ojo gumunan, ing madyo mangun karso, tradisi sungkem (pada sewanam/ pada=kaki), dan lain-lain.


Satu hal lagi yang perlu diketahui oleh umat Hindu dari bali yang ber-tirtayatra ke Candi Ceto adalah, jangan tergoda oleh hal lain yang mengalihkan dari makna tirtayatra, tetapi agar teleng, tumus, lurus, menuju kepada Sang Pencipta guna memperoleh pencerahan dan menjadi Ceto. Ujian itu akan dihadapi ketika umat ini hampir sampai ke area tertinggi di Ceto, karena disana ada yang menawarkan benda seperti : tongkat, gnitri, dan lain-lain yang disebut sudah di Pasupati dimana harganya tentu tidak wajar. Penulis berpikir mungkin ini adalah karena bijaksana Hyang Widhi, maka umat ini perlu diuji ketulusan hatinya atau tingkat bhaktinya, jika datang ke Ceto dan setelah hampir mencapai pencerahan lalu tergoda oleh hal yang bersifat wisesa/kanuragan, maka ini artinya umat ini sudah berpaling dari jalur rohani. Berbelanja bukan tidak boleh, namun jadikan itu hanya souvenir saja dan tidak perlu sampai membayar ratusan ribu karena sudah di pasupati, jangan lupa hanya Hyang Widhi yang punya kekuatan itu dan mintalah kepada Beliau di Ceto. Penulis ketika ke Bali (di Batur Kintamani) membeli gnitri hanya 10 ribu saja karena memang Gnitri hanya salah satu alat sembahyang (Japa) bukan membeli ka-wisesan. Kepada penjual souvenir tersebut para tokoh umat bukan tidak mengingatkan namun sekali lagi ini adalah godaan buat umat yang ber-tirtayatra. Akhirnya mari kita jadikan Candi Ceto peninggalan leluhur sebagai tempat suci tempat dimana umat memperoleh pencerahan dari Dewa Siwa, jangan berpaling kepada hal-hal yang bukan rohani, bantu umat mengangkat kembali Hindu dengan tradisi Jawanya, dan umat Hindu dari Bali ber-tirtayatralah dengan baik jangan membawa tradisi bali secara berlebihan ke Ceto tetapi bantulah ekonomi, pembangunan Pura dan pemahaman ajaran Hindu lewat buku-buku serta darma wacana, semoga dengan demikian Candi Ceto benar-benar Ceto.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-08-2011.

2 komentar:

  1. http://solojurnalis.blogspot.com/2013/02/photo-story-prosesi-ritual-tirtayatra.html
    mohon koreksinya. terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. http://solojurnalis.blogspot.com/2013/02/photo-story-prosesi-ritual-tirtayatra.html

      Hapus

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)