Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 12 September 2011. Untuk tahun ini Panitia Piodalan adalah Pengempon, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya membentuk Panitia Piodalan, namun dalam aplikasinya tetap melibatkan umat secara umum diluar pengempon. Penanggung jawab upakara adalah MGPSSR Kabupaten Klungkung.
Pelaksanaan Piodalan :
Diawali dengan Plaspas Pasraman pada pagi 10 September 2011 dipimpin oleh Pandita Mpu Jaya Wasistha Nanda dan Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Pasraman Sulinggih yang diplaspas, pondasinya dipasang pertama kali pada 29 Juli 2010, berlantai dua dan baru selesai dilantai atas dengan tertatih-tatih untuk bisa difungsikan pada Piodalan 2011, sementara lantai dasar yang dikhususkan bagi Pemangku dan Sarati Banten pengiring Pandita saat ini tinggal finishing, semoga kedepan atas anugrah Hyang Widhi ada punia umat yang bisa mewujudkan kesempurnaan Pasraman. Prosesi piodalan yang dimulai dengan Mepiuning pada 04 September 2011, lalu 10 September 2011(sore)
Nuwur Tirta di Candi Ceto, dan 11 September 2011 (sore) persembahyangan di Beji (Taman) dipimpin Pandita Mpu Acharya Nanda, akhirnya Puncak piodalan pada pagi hari 12 September 2011 dengan Nyejer 3 hari. ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 7 (Tujuh) Pandita, prosesi dengan Banten yang sederhana tetapi lengkap dihaturkan dengan baik. Tahun ini umat yang datang semakin banyak bahkan sejak 2 tahun lalu persembahyangan sudah 2 session, sekarang ini sudah 3-4 session sebagai pertanda kesadaran umat untuk bakti semakin meningkat. Prosesi piodalan diakhiri dengan Nyineb pada 15 September 2011 (Pagi) dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu, dari Gria : Braban-Denpasar, Mpu Putra kayumas-Denpasar, Penarungan-Singaraja, dan Tukad Mungga Singaraja.
PENATARAN PINANDITA & GURU AGAMA HINDU UMAT JAWA, SERTA PENTAS REOG SINGO PASEK:
Reog Singo Pasek, milik Warga Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Karangpandan, Karanganyar, ikut memeriahkan Piodalan, dengan pentas pada saat penyucian Ide Bhatara dan pada puncak piodalan. Tampil : Dadak Merak (barongan), jatilan (anak kecil menunggang kuda), Bujang anom yang lucu, dan Warok yang gagah. Reog yang pentas pertama pada 17 Agustus 2008 dimana tanggal itu dianggap sebagai kelahirannya, saat ini masih belum lengkap sarananya. Sarana reog merupakan inisiatif warga dengan memungut iuran anggota, namun terbesar merupakan sumbangan dari umat warih Bhatara Kawitan khususnya dari Bali. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada warga setempat walaupun Reog tersebut sudah di prayascita waktu Piodalan Purnama ketiga tahun 2010 (saat persembahyangan Beji). Kehadiran Reog Singo Pasek sempat mengagetkan umat yang hadir sehingga penonton sangat antusias, kotak dana punia (saweran) diedarkan untuk menambah kas Paguyuban Reog. Secara rohani Reog ini timbul karena kedekatan warga dengan Eyang di Petilasan dan secara organisasi umat dari Bali masuk dalam ke-pengurusan, sehingga ada ikatan Skale-Niskale. Kedepan ada harapan agar ”Reog Singo Pasek” bisa tampil di Bali walau dana tentu besar karena peralatan dan pemain yang cukup banyak.
Kehadiran Mpu Wijaya Nanda yang banyak mencetak buku upakara dan ageman ke-pemangkuan, Mpu Acharya Nanda yang adalah pen-darmawacana, juga Mpu Prema Ananda yang waktu walaka bernama Putu Setia yang kita kenal, serta Pandita lainnya dimanfaatkan oleh Pengempon bekerja-sama dengan PHDI Karanganyar dengan moderator Wk1PHDI Bid Tata Agama – Jero Mangku Made Murti Suandana untuk menambah wawasan umat Hindu khususnya umat Jawa serta guru agama Hindu yang banyak tersebar dilereng gunung Lawu serta Solo kota. Kali ini acara dikemas berbentuk Penataran singkat (sekitar 3 jam) yang sifatnya sebagai permulaan dengan harapan kedepan akan dimaksimalkan bila perlu rutin, apalagi kepada penulis, narasumber menyampaikan berkenan untuk kembali melakukan darmawacana, darmatula, atau sarasehan untuk membantu peningkatan wawasan umat. Hadir di Petilasan 20 orang lebih Pinandita & guru agama Hindu berbaur dengan umat hindu dari Bali mendengar darmawacana dari pandita serta tanya-jawab. Materi menurut pengamatan penulis masih bersifat motivasi agar meningkat sradha dan bhakti umat Hindu ini. Penulis menyampaikan satu wacana, terkait dengan eksistensi Pinandita umat Hindu Jawa yang perlu mendapat perhatian. Seperti diketahui, seorang Pinandita atau wasi adalah orang yang dipercaya oleh umat untuk menjadi penghubung, komunikator atau penyampai pesan umat kepada Sang Pencipta sehingga disamping perlu menjaga kesucian, faham ajaran agama dengan baik, intinya mampu menjalankan ageman atau sesana ke-Pemangkuan dengan baik. Terkait dengan itu maka ada dua hal yaitu : Puja Mantra dan Upakara akan menjadi bagian aktifitasnya dan akan selalu bersentuhan. Ageman ke-Pemangkuan yang dibawakan oleh Pinandita dari Bali sepertinya sudah menyatu dengan Upakara Hindu tradisi bali, sehingga bagi Pinandita umat Jawa akan kesulitan aplikasinya di Jawa karena Jawa sendiri punya upakara warisan dari leluhur. Untuk itu penulis sampaikan agar ada pemisahan yang jelas antara ”Puja Mantra” dan ”Upakara/Banten”. Puja Mantra adalah mutlak karena bersumber dari Weda dan disusun dengan urut-urutan yang baik (pakem) seperti : Diawali mensucikan diri Pinandita, Ngarga tirta, nedunang/menghadirkan Ide Bhatara, ngaturang/mempersembahkan upakara, ngaturan Segehan/caru untuk alam bawah, dan ksamawamam, jadi ini perlu dipelajari oleh Pinandita umat Hindu Jawa, jika didalam puja mantra ada doa yang diucapkan dalam bahasa bali (sehe), maka silahkan diganti dengan bahasa Jawa (dungo/doa) jadi bisa local genius tanpa keluar dari tatanan/pakemnya. Mpu Wijaya Nanda sangat visioner, beliau telah membuat satu Ageman Pinandita yang sudah dicopykan kepada penulis untuk di-setting menjadi kebutuhan Pinandita Jawa, boleh dikurangi, disesuaikan situasi (misal : Sehe), asal tetap sesuai dengan urutannya, untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dengan PHDI Karanganyar. Berikutnya adalah ”Upakara” yang menyatu dengan Puja Mantra, namun bisa dipisahkan/disesuaikan dengan prinsif local genius. Upakara ini bisa diganti dengan upakara Jawa atau dikombinasi dengan mengikuti urutan Puja mantra yang pakem tadi. Seperti yang disampaikan Mpu Wijaya Nanda pada penulis, jika fase pembersihan (pareresik) belum bisa atau belum mau memakai : Byakaon, Durmenggala, Prayascita, dapat memakai Tirta yang sudah dilakukan Puja Mantra pembersihan, kemudian banten untuk persembahan kalau orang bali biasanya dengan : Suci, Pejati, dll, umat jawa dapat mempersembahkan : tumpeng dengan dikelilingi hasil bumi, jajan pasar, bubur rampe sejangkape, dll. Lalu segehan bisa dipakai : cok bakal, dll. Yang sifatnya persembahan kepada alam bawah karena atas-bawah ini sama pentingnya, kata Mpu Acharya Nanda alam bawah menurut Hindu tidak identik dengan Jin atau Setan di agama lain, tapi atas-bawah merupakan keseimbangan. Jika modifikasi Puja Mantra & Upakara dengan konsep local genius ini bisa diterapkan, maka kedepan akan muncul kepercayaan diri Pinandita umat Jawa sebagai garda sradha & bhakti sehingga dapat memberikan pencerahan kepada umat Hindu secara umum. Disamping Ageman Pinandita, maka Rsi Yadnya juga perlu dikuatkan. Rsi yadnya bagi umat Hindu Bali masih kalah dengan Pitra Yadnya juga Dewa yadnya, dan ini terjadi juga terhadap Pinandita umat Hindu Jawa yang secara umum masih belum stabil ekonomi rmh tangganya namun tetap dituntut melakukan kewajiban dengan baik, maka daripada melakukan upacara besar-besaran di Jawa sebaiknya Rsi yadnya kepada Pinandita ini ditingkatkan. Profil Pinandita Jawa adalah : Mereka orang-orang sederhana, masih bekerja serabutan (ada yang nyambi bertani atau tukang), sehingga belum bisa fokus secara utuh kepada pelayanan umat. Dibandingkan di Bali, seorang Pinandita disebuah Pura atau Mrajan sudah dihandle ekonomi rm tangganya oleh warga walau memang belum semuanya sehingga Pinandita di bali juga perlu membuat ”Paguyuban Pemangku” yang terkait masalah konsumsi dan simpan pinjam. Paguyuban atau Sanggraha Pinandita di Jawa sudah ada namun belum menjawab permasalahan secara menyeluruh, jika Pinandita umat Jawa sudah teratasi ekonomi rm tangganya sehingga mampu menjadi wasi yang mumpuni, maka kedepan tidak menutup kemungkinan lahir ”Pandita” sehingga tugas pembinaan umat di Jawa sudah bisa berjalan lebih baik. Seiring dengan tujuan peningkatan pemahaman umat ini, maka tawaran Mpu Prema kepada umat di Jawa dalam hal ini kepada Ketua PHDI Karanganyar untuk mengajukan permintaan buku-buku, perlu segera ditindak lanjuti.
Akhirnya, astungkara karena Piodalan telah berhasil dengan baik, pada kesempatan ini ucapan terima-kasih kepada semua umat, Pinandita, dan Sulinggih yang terlibat karena memang demikianlah bhakti itu, : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.
Dilaporkan oleh,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)