Jika dibaca pustaka-pustaka kuna, maka istilah yang ada untuk tempat suci dikenal dengan sebutan ”Parhyangan”, namun sekarang ini sering disebut dengan Kahyangan atau Pura. Pura atau Kahyangan ini secara garis besarnya dapat dibagi 2 (dua), yaitu : Pura atau Kahyangan Khusus, yaitu Pura untuk kelompok keturunan /warga. Pura ini juga disebut ”Sangkaning Dadi (Mula Penjelmaan) sehingga lebih dikenal sekarang dengan Pura Kawitan. Yang kedua Pura atau Kahyangan Umum yaitu tempat suci untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Hyang Widhi atau perwujudannya. Dibali Pura atau Kahyangan yang tersebar di delapan penjuru angin disebut dengan ”Kahyangan Jagat” yaitu perwujudan (personifikasi) dari kemahakuasaan Hyang Widhi yang disebut Asta Aiswarya, sehingga Pulau Bali dilambangkan dengan Padma Astadala yaitu Tunjung/teratai berdaun delapan helai. Pura Kahyangan Jagat ini adalah : Pura Lempuyang luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur/Ulundanu, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Pengelengan/Bukit Mangu, dan Pura Besakih yang berfungsi Tengah dan Timur Laut.
Bagaimana dengan di Jawa ? di Jawa kita tidak atau belum menemukan Pura atau Kahyangan yang secara keberadaannya di delapan penjuru seperti di Bali, namun masyarakat (umumnya orang Bali) sering menyebut Pura-Pura besar di Jawa sebagai Kahyangan Jagat. Seperti seorang Pemangku yang diwawancarai sebuah stasiun TV pada acara di Candi Ceto pada Juli 2007 lalu menyebut Candi Ceto adalah Kahyangan Jagat entah apa alasannya. Untuk Candi Ceto sendiri ada sebutan yang berbeda-beda, seperti ada yang menyebut ”Dalem Solo” itupun tanpa ada dasar yang jelas. Bersyukurlah di Bali karena leluhur terdahulu sangat arif dengan pengertian Kahyangan Jagat dan dibuktikan keberadaannya didelapan penjuru angin. Jika demikian, maka kita kembalikan saja definisi Kahyangan di Jawa ini kepada para Pengempon/Pengampu Kahyangan ini yaitu masyarakat Jawa yang tinggal disekitar Kahyangan tersebut. Bagi orang Jawa Kahyangan ini mereka sebut dengan ”Candi” contohnya Candi Ceto. Mereka juga sudah punya perayaan sendiri untuk Candi Ceto sesuai dengan tradisi mereka. Saudara kita dari Bali sering memberikan contoh yang kurang bijaksana kepada saudara-saudara kita umat Hindu etnis Jawa, karena kita sering terlalu mendominasi suatu perayaan atau persembahyangan dengan sarana upacara seperti di Bali dengan biaya sangat besar, ironis sekali jika dilihat dimana umat Hindu Jawa justru banyak yang hidupnya sangat sederhana secara materiil. Lalu apa sebenarnya tujuan kita melakukan suatu persembahyangan yang begitu megah ke Jawa ??. Ketika seorang kawan dikantor bertanya ”Apa ada sembahyangan Hindu?, maka dengan diplomatis saya jawab tidak, itu hanya beberapa umat Hindu yang mau bersembahyang”. Jawaban itu saya berikan karena saya tidak pernah bangga ketika orang Bali yang mengadakan persembahyangan di Jawa melakukan upakara yang begitu megahnya dengan biaya sangat besar seperti yang biasa dilakukan di Bali, sehingga tidak ingin kawan saya melihat Hindu itu adalah seperti di Bali padahal ini di Jawa. Contoh seperti itu bisa dilihat di Semeru,dan Gunung Salak. Jika kita (orang Bali) sadar, bahwa kita di Jawa, maka biarlah umat Jawa yang menjadi utamanya (Pemucuk/Pemokok), dan biarlah mereka melakukan tradisi pemujaan Hindu seperti yang biasa dilakukan leluhur mereka di Jawa. Jika di umat Jawa ada Sulinggih (Brahmana) biarlah mereka yang menjadi Wiku Utama, bukan Pedanda-Pedanda. Kita umat Bali cukup mendorong atau jadi penggerak. Silahkan kalau punya hubungan di-birokrasi, jaringan informasi, personil, juga dana, difungsikan dengan baik dan arahkan itu semuanya untuk kemajuan Hindu. Sebagai ”penggerak” tentunya tidak perlu terlihat dipermukaan, karena jika hanya memerlukan ”publikasi” atau muncul di media-media, maka itu namanya mencari popularitas, dan inilah kebanggaan semu yang tidak memberikan dampak rohani berupa kebahagiaan, tetapi akan selalu menuntut pemuasan-pemuasan yang tidak akan habis-habisnya sampai kita capek, itulah hakekat mengejar ”kebanggaan yang semu”. Jika kita sepakat, bahwa Kahyangan di Jawa atau daerah lain diluar Bali diprioritaskan kepada umat setempat, maka : di Candi Ceto diutamakan kepada umat Jawa khususnya yang di Karanganyar sebagai Pengampu, Pura Semeru kepada umat Jawa di Lumajang, Gunung Salak kepada umat Hindu Sunda, di Kalimantan (Jika ada Kahyangan Jagat) diutamakan kepada Umat Hindu Dayak, di Toba (Sumatra utara) kepada umat Hindu Batak, dan seterusnya, juga ketika di India tentu akan diatur oleh umat India bukan dari Bali bawa banten ber-truk-truk.
Kembali kepada Kahyangan Jagat, maka sesuai dengan definisinya disana distanakan ”Hyang” atau Personifikasi Hyang Widhi dalam wujud Dewa-Dewa atau Bhatara (Bhater/Pelindung), sehingga umumnya disana tempat menghubungkan diri yang penuh ketenangan/keheningan, jauh dari keinginan duniawi atau hingar bingar apalagi politis, itulah sebabnya Kahyangan yang oleh orang-orang tertentu disebut Kahyangan Jagat, selalu tempatnya di ketinggian dengan nuansa tenang dan damai. Kahyangan atau Candi peninggalan leluhur di Jawa dibuat dengan pertimbangan tertentu terutama niskala dan mengandung makna pilosofis, sehingga tidak perlu lagi ditambahkan Pelinggih Baru sesuai keinginan kita yang akan mengurangi bahkan menghilangkan makna yang diwariskan oleh para pendahulu. Jadi lakukan kewajiban untuk memelihara Kahyangan baik di Bali, Jawa, atau daerah lain semata-mata untuk bhakti, seperti disebutkan dalam ”Bhagawad Gita Bab III, Sloka (bait) II : ”Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.”
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-07-2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)