Senin, November 02, 2009

MARI REBUT BHATARA KAWITAN


Seorang kawan menyampaikan pendapat agar kita berhati-hati jangan sampai disebut merebut Kawitan entah apa maksudnya. Sesepuh kami (Almarhum) juga pernah berceritra langsung pada penulis adanya tudingan merebut Pura Kawitan hanya karena semakin banyak umat yang bersembahyang ke Pura Kawitan tersebut, bahkan ada Media Umat juga dengan terang-terangan menjadikan kulit sampul majalahnya dengan judul serupa itu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengajak kita berpikir lagi akan arti ”Merebut Pura Kawitan” ini.

Kita memang harus merebut Bhatara Kawitan dengan jalan mendekatkan diri, rajin mengunjungi Parahyangan beliau, dan taat meniru sesana yang baik dari beliau pada saat menjadi manusia, karena dengan cara ini kita telah melakukan bhakti yang diharuskan oleh ajaran Agama. Bila perlu kita juga merebut Kawitan orang lain kalau kita yakini itu perlu dilakukan, karena semakin banyak kita bhakti semakin tebal aura spiritual yang bisa kita miliki. Kita juga perlu mendorong atau membantu pembangunan Parahyangan Bhatara Kawitan agar semakin banyak orang yang mendapat tempat untuk merebut Bhatara Kawitan. Apakah tindakan ini menyimpang ? atau ini adalah Leluhur Sentris sehingga pada saat meninggal akan masuk kealam leluhur seperti yang tersurat pada ajaran agama, tidak bisa dipastikan, karena tidak ada yang tahu pada saat seseorang bhakti pada leluhur bisa juga pada saat itu dia memuja Hyang Widhi. Puja Mantram yang dilantunkan baik oleh umat secara pribadi atau jika dipimpin Pinandita atau Sulinggih di Pura Kawitan juga ada mantram memuja Hyang Whidi . Bukankah juga ada keyakinan, bahwa beliau yang sudah meninggal setelah dilakukan Pitra Yadnya maka sudah menjadi Dewa Hyang yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi dan di-linggihang di Kemulan. Jadi tidak ada yang keliru pada tindakan-tindakan seperti ini. Wacana yang terjadi seperti pada pembukaan tulisan ini, menurut pengamatan penulis hanya bersifat Skala, politis, Superior, dan tidak ingin warga lain menjadi besar, padahal dengan banyaknya umat yang mulai bhakti pada leluhurnya baik dengan membuat Parahyangan atau hanya tempat pemujaan keluarga justru harus disyukuri karena berarti semakin banyak umat yang menuju kejalan yang benar, atau bisa saja mereka baru sadar, bahwa selama ini bhakti pada leluhurnya ternyata kurang baik sehingga tidak bisa merebut Bhatara Kawitan. Jika saya punya kekuasaan atas Parahyangan Bhatara Kawitan, maka atas wacana yang berkembang ini saya akan serahkan Parahyangan tersebut kepada mereka. Dengan cara itu, maka mereka akan perlu merawat Parahyangan tersebut, untuk merawatnya lalu dibuatlah proposal kemana-mana untuk memperoleh sumbangan, setelah Parahyangan berdiri megah maka segera bekerja-sama atau didatangkan pejabat pemerintah, stasiun TV, wiraswasta dengan iklan-iklannya, dan terpampanglah dengan jelas Parahyangan sekalian dengan foto-foto pengurusnya atau pengemponnya. Setiap Piodalan di puput Sulinggih yang diinginkan lengkap dengan sarana persembahyangan/ bebantenan yang mewah (utama) sehingga pantas diliput oleh Stasiun TV tingkat nasional. Jika perlu diundang Umat Hindu dari Manca Negara seperti India, Malaysia, dll. Benar-benar terpublikasi Parahyangan Bhatara Kawitan ini. Pertanyaannya adalah, Apakah Bhatara Kawitan menghendaki hal ini, dan apa sebenarnya yang diperoleh dengan tindakan seperti ini ? yang diperoleh adalah ”kepuasaan duniawi, berujud kemasyuran yang semu”, jadi yang diperoleh hanyalah wujud fisik dari Bhatara Kawitan, padahal penulis meyakini, bahwa Bhatara Kawitan tidak perlu kemasyuran seperti itu, yang memerlukan itu sebenarnya manusianya. Maka melalui tulisan ini penulis mengajak mari berhenti mengikuti kekuatan pikiran tapi ikuti hati nurani karena disana letak kebenaran yang hakiki, jangan mempermasalahkan orang yang berbakti atau bersembahyang, tetapi permasalahkan umat yang belum bhakti apalagi yang berpindah keyakinannya, mari kita bantu umat Hindu non Suku Bali yang saat ini perlu pembinaan melalui darmawacana, darmatula, atau memberikan buku-buku Hindu, jangan jadikan media umat menjadi media menyerang umat lain tetapi meluruskan, jangan jadikan lembaga pendidikan Hindu untuk kebutuhan usaha/busines semata tetapi jadikan ladang Jnana Punia bagi personal yang ada didalamnya, jadikan media seminar-seminar sebagai media pencerahan bukan sebagai ladang usaha seperti konsultan suasta umumnya, jadikan station TV atau Radio sebagai media penyampaian ajaran Weda yang adiluhung bukan sebagai sarana mempertahankan prestise yang semu, jadikan apapun yang kita ingin lakukan semata-mata untuk kebaikan sesama baik itu umat Hindu maupun umat manusia pada umumnya, maka dengan cara demikian Bhatara Kawitan akan selalu bersama kita dan kita boleh bangga, karena ”Kita sudah merebut Bhatara Kawitan”.

Sebagai akhir kata, penulis mengajak kita untuk sama-sama merebut Bhatara Kawitan dengan berani dan bangga mengakui beliau walaupun hanya sebatas ucapan atau tulisan namanya, pelajari kehidupan beliau dalam membina kesejahtraan umat, dan jadikan itu bagian dari prilaku kita sehari-hari jika kita mampu, maka ibarat seorang anak yang ingin merebut hati orang tuanya, seorang pemuda kepada pemudinya, seorang karyawan pada majikannya, maka ”Kita akan memperolehnya”.






Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
03-05-2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)