DARMAWACANA SEBUAH KESEMPATAN
Ketika Bangsa Indonesia butuh kemerdekaan, maka lahir Sukarno Sang Proklamator, yang kebetulan Ibunya Nyoman Rai Srimben adalah orang Bali dari keluarga Pasek Tatar Baleagung Buleleng. Ketika umat Hindu suku Bali mulai sadar perlunya bhakti pada leluhur khususnya yang belum kenal ”Wit /asal-usulnya” sebagai wujud bhakti pada Ibu-Bapak, maka lahir seorang Ketut Soebandi yang meluruskan benang kusut keleluhuran ini, dan banyak contoh lainnya yang membuktikan kepada kita, akan kasih sayang Hyang Widhi kepada umat manusia seperti dipertegas dalam ajaran Awatara. Ini juga memperjelas, bahwa sesungguhnya setiap manusia yang lahir ini mempunyai peran masing-masing sesuai dengan bakat (guna) dan aktifitas/perbuatannya (karma), artinya setiap orang punya ”kesempatan” untuk melakukan sesuatu yang baik.
Darmawacana, adalah satu kesempatan yang diberikan kepada kita untuk melakukan hal yang baik yaitu mewacanakan kebenaran/kebaikan. Darmawacana ini disamping berbicara dihadapan umum seperti yang kita kenal, juga meliputi : Men-Dalang, Kidung/Pengawi, dan menulis. Khusus mengenai berbicara dihadapan publik (cq. Darmawacana), maka ada sesuatu yang perlu kita lihat lebih jauh. Kita mengenal banyak pen-darmawacana di lingkungan umat Hindu atau di umat beragama lain, di umat Islam kita mengenal Zainudin MZ, AA Gym, yang ceramah agamanya begitu ditunggu-tunggu masyarakat. Dilingkungan umat Hindu kita mengenal Pedanda Gunung, Pandita Mpu Dwija Kerta (Seririt), Bhagawan Dwija, Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, dan di Jawa (Surabaya) ada Nyoman Putra, yang juga sangat disukai masyarakat, walaupun perbedaan AA Gym dan Pendarma Wacana kita skalanya lebih luas artinya ceramah AA Gym bisa dinikmati oleh umat lain (non muslim) sementara kita belum setingkat itu hanya terbatas dilingkungan umat Hindu, bahkan lokal /daerah, walau kita tetap harus bersyukur punya Pendarma Wacana yang disenangi masyarakat sehingga dapat memberi arahan yang benar kepada umat Hindu khususnya. Yang menjadi pertanyaan kenapa begitu banyaknya pen-darmawacana namun hanya sedikit sekali yang bisa mengena dihati masyarakat atau menjadi idola ? Apakah beliau-beliau yang dikanal masyarakat ini memang sangat mampu dibidangnya ? Jawabannya tentu Ya, tetapi apakah yang lainnya tidak punya kemampuan?. Pedanda Gunung misalnya banyak dinanti-nanti darma-wacana beliau di Bali TV atau diundang disuatu acara, walau banyak yang menilai materinya biasa saja artinya orang lain juga materinya sama bahkan lebih baik tetapi toh Pedanda Gunung lebih disukai masyarakat. Pendapat lain mungkin karena beliau pintar menyelingi dengan lelucon seperti dilakukan oleh AA Gym dan Zainudin MZ, tetapi orang lain juga banyak yang lucu, lalu apa bedanya ? Hal yang sama juga bisa diamati pada Bhagawan Dwija, dan idola masyarakat lainnya. Atas fenomena adanya ”perbedaan” ini, tentu ada hal yang menarik sekaligus menjadi pertanyaan kita, kenapa ada perbedaan ini ?. Tanpa bermaksud Ajewere atau mendahului kehendak Hyang Widhi, maka ada sesuatu yang lain yang dimiliki oleh orang-orang tersebut dan merupakan ”Anugrah” Hyang Widhi, ini yang disebut dengan ”Karisma”. atau ”Pamor”, orang jawa mengatakan memperoleh ”Pulung”. Orang-orang yang punya karisma ini lebih mempunyai magnet dibandingkan yang lainnya ketika berbicara dihadapan publik, tetapi sekali lagi ini adalah Anugrah yang tentunya Hyang Widhi punya maksud lain atas anugrah ini. Ini juga menandakan orang yang punya karisma ini punya kesempatan yang lebih besar untuk melakukan sesuatu kebaikan kepada umat manusia dibandingkan yang lain dan kesempatan ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Jika baik membawa anugrah ini, maka sepanjang jaman akan dikenal dan harum namanya walau orangnya telah tiada, tetapi sebagai imbangannya godaan ketenaran juga sangat kuat ibarat pohon yang semakin tinggi akan semakin kencang tertimpa angin. Godaan-godaan bisa membuat gagal mengemban anugrah ini, seperti jika tergoda oleh wanita, harta, atau memanfaatkan ketenaran untuk kepentingan golongan/kelompok/clan/soroh, maka waktu akan membuktikan, bahwa cepat sekali karisma atau pamor itu akan menyusut bahkan tidak berkilau lagi. Contoh nyata akan hal ini bisa kita lihat bersama, maka hati-hatilah mengemban anugrah ini. Bagaimana dengan ”Penulis” ? Banyak penulis yang berkarya dengan tulisannya namun sedikit yang dikenal oleh masyarakat, inipun terkait dengan anugrah dan kesempatan disamping kemampuan penulis tersebut. Menulis adalah suatu kesempatan, jadi ini juga agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Penulis disamping menyampaikan pesan-pesan kebenaran juga bertugas ”meluruskan” sesuatu yang belum lurus sehingga perlu keberanian dan kejujuran untuk melakukan hal ini. Dampaknya bisa mendapat perlawanan atau debat khususnya dari fihak yang diluruskan. Semangat yang perlu ada adalah ”jadikan kejujuran, kasih sayang, dan keberanian” sebagai pegangan. Penulis juga bisa tergoda/terjerumus, yaitu ketika memanfaatkan tulisan untuk menyerang fihak lain, bukan yang sifatnya meluruskan apalagi menyampaikan kebenaran dan kedamaiaan. Pada situasi seperti ini, maka nafsu atau pembalasan akan menunggangi dan kalimat yang keluar kepermukaan menjadi kasar, tidak sopan, bahkan menyakitkan.
Ketika Yudistira (Darmawangsa) diberi kesempatan oleh Hyang Widhi untuk memilih salah satu dari ke-empat adiknya yang meninggal didekat telaga untuk hidup, maka Yudistira memilih Nakula si-kembar yang beda ibu, tujuannya agar ada ”keadilan” . Karena kebijaksanaan Yudistira, akhirnya keempat adiknya hidup kembali. Semoga dengan bercermin pada kisah Pandawa ini, kita yang diberi anugrah oleh Hyang Widhi, dapat menggunakan dengan baik ”kesempatan dan anugrah” ini.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
16-05-2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)