SEBUTAN JERO APAKAH SUATU PENGHORMATAN
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, maka Bali juga kaya akan bahasa dan etika pergaulan serta penghormatan kepada fihak lain. Banyak cara dilakukan untuk menunjukkan bentuk penghormatan kepada orang lain, melalui senyuman, salam, dan bentuk bahasa tubuh (body language), serta berbahasa.
Ada salah satu bahasa atau sebutan yang umum kita dengar pada masyarakat Hindu di Bali juga yang dirantauan. yaitu sebutan ”Jero”. Kita biasa melihat jika seorang sudah menjadi Pemangku/Pinandita (Eka Jati), maka didepan namanya selalu dipanggil Jero, sehingga dipanggil ”Jero Mangku”. Mentri kita Jero Wacik juga ada kata Jero didepannya. Adalagi kebiasaan jika ada orang Tri Wangsa (menurut tradisi yang masih hidup di masyarakat), lalu mengambil istri yang bukan Tri Wangsa (Jaba=Luar/luar Puri), maka ada kebiasaan (walaupun tidak selalu) wanita ini akan dipanggil Jero didepan namanya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah makna sebutan ”Jero” ini bagi wanita tersebut ? suatu penghormatankah ? Untuk menjawab hal ini, maka perlu dilihat dari kedua sisi, yaitu sisi yang menyapa dan sisi yang disapa. Ketika kita memanggil seorang Pinandita dengan Jero dalam suasana yang sopan santun, hormat, dan menghargai, maka itulah jawabannya, sedangkan bagi sang Pinandita jika dia merasa dihormati dengan panggilan itu atau biasa saja, maka itu juga jawabannya. Mentri kita ”Jero Wacik” tentu punya arti sendiri atas namanya itu, dan pasti senang dengan nama itu. Dalam contoh lainnya, seorang wanita bukan Tri Wangsa (Tri Wangsa = strata masyarakat yang diciptakan penjajah pada abad XVI) yang dipanggil Jero karena menikah dengan Tri Wangsa, maka penghormatan atau tidak hanya mereka berdua (suami istri) yang tahu, termasuk juga yang memanggilnya, baik itu keluarga atau masyarakat lainnya. Ada pemikiran yang moderat, bahwa atas perkawinan seperti ini, sebaiknya nama si wanita tidak perlu ditambahkan sebutan Jero karena orang-tuanya sudah memberikan nama sejak lahir dan si wanita ini tidak melakukan sesuatu yang luar biasa sehingga perlu diberi tambahan nama, seperti jika dia mendapat gelar Insinyur atau dokror misalnya, dimana gelar itu diperoleh karena usahanya. Di daerah lain, seperti kebiasaan orang Batak, jika wanita kawin dengan pria yang berbeda Marga, maka wanita itu akan mengikuti marga sang suami, ini adalah murni karena wanita ikut marga suami. Jika dibandingkan dengan Jero bagi wanita seperti kebiasaan di Bali, apakah ada bedanya ? tentu ada karena Jero bukan identitas Marga.
Apakah arti sebuah nama ? kalimat itu mungkin benar bagi orang-orang tertentu, tetapi bagi orang kebanyakan termasuk di bali, maka nama itu sangat penting. Jaman dulu orang tua di Bali selalu mengawali nama anaknya dengan ”Su’ karena Su artinya baik (lawannya Dur=tidak baik/jahat). Akhiran namapun diatur agar hurupnya bukan ”Ti” untuk wanita karena bernada keras, maka biasanya akhirannya ”Ni”, seperti Sukreni, Suastini, dan Na untuk laki-laki, seperti Sukirna, Suparna, dll. Ada penelitian yang menyatakan, bahwa gelombang suara yang diterima oleh seseorang ketika dipanggil namanya akan berpengaruh secara psychologis kepada orang tersebut, jadi orang-tua kita dulu sudah maju pemikirannya. Dewasa ini ada perubahan gaya pemberian nama dengan mengambil tokoh panutam, pesan orang tua pada nama, kadang gabungan nama orang tua, juga ada nama ala negeri lain (Eropah,Arab,India,dll) ya itulah perkembangan atau dinamisasi, cermin bahwa sesuatu itu tidak kekal Demikian juga dengan kebiasaan di Bali seharusnya juga melihat perkembangan jaman, tetapi yang lebih penting dari itu ”Hargailah orang lain ketika kita menyebut namanya, karena nama itu sangat berarti bagi pemiliknya”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-07-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)