Kamis, Oktober 01, 2009

APLIKASI KONSEP MPU KUTURAN DI JAMAN MILLENIUM

Mpu Kuturan, seorang arsitek Desa Adat/Pakraman, capabilitas beliau sebagai seorang rohaniawan juga ahli tata masyarakat, karena Mpu Kuturan adalah juga Raja dari Girah (Nateng Girah). Beliau sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana Warmadewa pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Masalah Bali waktu itu bukan perebutan kursi partai atau tuntutan turun tahta/lengser Raja Udayana, tetapi adalah enam sekte yang ada waktu itu saling menganggap paling baik, sehingga menimbulkan konflik horizontal. Melalui pertemuan tiga paham, Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari oarng Bali Mula, di Samuan Tiga Gianyar, seluruh peserta bisa diadopsi dan bisa disatukan sehingga Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pada abad XIV atau tahun 1350 Masehi, ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai bawahan Majapahit sekaligus berakhirnya era Warmadewa, maka perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa umumnya keluarga Pasek yang masih ada hubungan saudara dengan Kresna Kepakisan, suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Setelah Majapahit runtuh pada abad XV karena masuknya agama islam di Majapahit, dan berakhir pula era ”Dalem”, ini telah memunculkan kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat di Bali. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, namun tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun kemudian adat ini menjadi komoditas kekuasaan karena sering dimasukkan adat-adat yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu, seperti kasus-kasus, kesekepang, asu-pundung, anglakahi karanghulu, kawin dengan keris, dll. Sampai akhirnya masuk ke fase penjajahan abad XVI, desa Pakraman secara praktek tetap dipertahankan, hal positif penjajah banyak melarang adat yang tidak sesuai, seperti ”Pati Gni”, walaupun banyak hal negatif seperti sistim Kasta yang diwarisi sampai sekarang.

Apa relevansinya dengan Bali jaman sekarang, apakah di Bali terjadi konflik sekte seperti abad XI ? Persisnya memang tidak, tetapi Bali sekarang sedang dihadapkan pada permasalahan yang bisa membuat Gubernur repot, jika dulu Raja Udayana. Konflik-konflik tersebut, seperti : masalah adat, lemahnya solidaritas sesama orang Bali, pemahaman akan ajaran sampradaya sehingga tidak perlu melarang, lemahnya dominasi ekonomi orang bali, lemahnya kepemimpinan di sektor swasta dan pemerintah, kedatangan para pendatang dari luar bali yang umumnya sektor informal seperti : tukang bakso, dan banyak permasalahan lainnya yang menyebabkan orang bali bisa menjadi tamu dinegeri sendiri.

Jika coba dirangkum, maka permasalahan Bali ini dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu : Vertikal, meliputi pemahaman akan bhakti dan sarana bhakti berupa Pelinggih-Pelinggih. Sisi horizontal, meliputi hubungan sosial masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan antara masyarakat dengan lembaga pemerintah/adat/agama. Pelinggih Kemulan Rong Tiga yang diciptakan Mpu Kuturan punya nilai strategis sehingga bisa mempersatukan umat waktu itu dan mempunyai nilai spiritual karena pengejawantahan dari aksara suci Aum, yaitu : Ang (Brahma/Pencipta), Ung (Wisnu/Pemelihara), Mang (Siwa/Pemralina/Pengembali), jadi Kemulan Rong Tiga ini punya dasar Tattwa. Hasil karya Mpu Kuturan lainnya adalah Meru yang berasal dari Mahameru, dimana tumpangnya selalu ganjil (1-11) yang merupakan simbul Aksara Suci, seperti Meru Tumpang Tiga simbul Tri Aksara atau Tri Purusa (Siwa,Sadasiwa,Parasiwa). Lama kelamaan Meru itu menjadi dua macam, yaitu sebagai Dewa Pratistha (Stana Dewa) dan Atma Pratistha (Stana Roh Suci/Leluhur) perbedaannya hanya pada sikut (ukurannya) sesuai Astha kosala-Kosali. Seperti halnya Meru, maka Kemulan Rong Tiga ini mulai bergeser bahkan kabur penggunaannya, seperti ada umat yang menikah saat meminang tidak mau bersembahyang di Kemulang Rong Tiga fihak perempuan, padahal disana pemujaan Tri Murti. Pada era Danghyang Nirarta /Pedanda Sakti Wawu Rauh pada abad XV muncul Pelinggih baru berupa ”Padmasana”, maka sarana pemujaan umat semakin bertambah . Entah bagaimana dan sejak kapan prosesnya, fakta yang bisa dilihat sekarang adalah disetiap Sanggah, Panti, Mrajan atau Mrajan Agung, banyak sekali dijumpai pelinggih-pelinggih yang sering tidak dimengerti oleh umat pemuja. Untuk aplikasi konsep Mpu Kuturan ini tentu tidak mungkin kita membongkar Pura-Pura yang sudah ada, tetapi bisa dimulai dari keluarga kecil, karena setiap tahun muncul generasi keluarga baru yang perlu mandiri dan punya Pelinggih sendiri, maka disinilah dimulai hanya memiliki satu Pelinggih saja, yaitu ”Kemulan Rong Tiga”, sehingga umat akan lebih fokus, upakara lebih sedikit sehingga kesempatan untuk masuk ke tataran tattwa bisa lebih banyak, juga dana bisa lebih irit sehingga bisa untuk keperluan lain, seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan melakukan Dana Punia, yang terlihat bagi orang Bali semua ini menempati urutan dibawah keperluan Yadnya atau pembuatan Pelinggih. Yang pertama dilakukan adalah ”Linggihang di Hati”, jadi puja terus Hyang Widhi sampai Melinggih di hati. Dalam keadaan keuangan yang belum mencukupi, belum sreg atau belum mampu tanpa ”Niyasa” (Simbol/Wujud fisik/Pelinggih) buat Pelinggih secara sederhana saja seperti ”Plangkiran”, dikemudian hari kalau kebutuhan sandang-pangan, pendidikan, kesehatan dipenuhi, maka buatkan Pelinggih yang lebih baik sebagai wujud bhakti kita pada Hyang Widhi. Sebagai perbandingan bangunan-bangunan Pemujaan di Jawa, seperti: Candi Prambanan, hanya ada tiga Candi Utama, yaitu Candi Brahma, Wisnu, dan Siwa, juga Candi Ceto dengan Lingganya, di pedesaan Jawa hanya ada Tiga buah batu sebagai pemujaan Tri Murti seperti Kemulan Rong Tiga di Bali, sehingga Bali sangat bijaksana jika mempelajari kembali konsep Mpu Kuturan.

Sisi horizontal seperti hubungan Sosial masyarakat, jaman Mpu Kuturan hanya ada kelompok masyarakat Bali Mula dan Bali Dataran (keturunan dari Jawa), Bali sekarang banyak terdapat kelompok wangsa (soroh/clan}, disamping kelompok pendatang. Kelompok wangsa ini pada dasarnya baik yaitu mempersatukan keluarga sehingga bisa lebih baik komunikasinya secara horizontal juga secara vertical (Bhatara Kawitan). Celakanya adalah ketika yang satu menganggap lebih tinggi dari yang lain. Pola Clan yang salah bisa menyebabkan masyarakat Bali kurang ada ikatan emosional yang sama sehingga terkesan kurang bersatu. Warisan sosial masyarakat jaman dulu berupa pelapisan strata masyarakat yang memunculkan adanya Ratu dan Parekan juga akan membatasi munculnya jiwa kewirausahaan (entrepreneur) dan kepemimpinan (Leadership) pada masyarakat yang bermental abdi ini. Jadi kepuasan segelintir masyarakat membawa dampak mental yang kurang baik pada banyak masyarakat. Sisi horizontal lainnya adalah perubahan masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri, seperti industri Pariwisata. Bali yang dominan sektor industri pariwisata justru tidak banyak menikmati hasil dari industri Pariwisata ini khususnya dilevel pemimpin atau pengusaha (wiraswasta) kebanyakan hanya tenaga menengah kebawah. Masalah kemampuan sumber daya manusia bisa jadi alasannya, tetapi dengan kesadaran kemakmuran bagi masyarakat Bali, maka prioritas pendidikan ketrampilan dan kesempatan kepada masyarakat Bali harus diupayakan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. Jadi .. disadari atau tidak permasalahan Bali ini menjadi salah satu faktor kurang menguntungkan. Kalau antara sesama orang Bali ada dikotomi, ada kotak-kotak, ada lapis-lapis, maka persatuan itu tidak akan diperoleh. Mungkin saja kelemahan ini sudah dibaca oleh orang luar yang ingin berkiprah di Bali sesuai keinginannya, yang mungkin tidak menguntungkan, kasus Bom Bali telah terjadi, maka masalah ini bukan isapan jempol belaka .

Itulah fenomena yang bisa dilihat di bali sekarang ini, bagaimana dengan orang Bali yang merantau apakah ada perubahan sikap mentalnya ? Hubungan sosial sesama orang Bali diluar Bali relatif lebih baik, lebih moderat, walaupun masih ada segelintir orang yang membawa peninggalan hub sosial berlapis ke luar Bali, tetapi itu tidak ada manfaatnya. Keakraban ini mungkin karena merasa senasib sesama perantau, ini adalah hal yang umum secara psychologis. Umumnya mereka menikmati hidup diluar Bali dan sesekali ke Bali menengok keluarga, tidak ubahnya seperti wisata. Ada sebuah keluarga yang tidak bersedia pindah ke Bali ketika ditawari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar dengan keadaannya sekarang, alasannya dia tidak kuat dengan kehidupan adat di Bali. Diluar Bali dia cukup menyiapkan Canang dan buah lalu ke Pura bersama keluarga sudah cukup mantap bersembahyang. Sehari-hari dengan Gayatri Mantram kadang dilanjutkan dengan ”Japa” memegang Gnitri, terasa sangat baik komunikasi dengan Sang Pencipta, yang mana tidak bisa dia dapatkan jika menjadi masyarakat Bali. Pada hari-hari tertentu belajar mekidung baik Bali atau kidung setempat dan anak-anak mereka belajar menari dan agama Hindu di Pura, jadi suasana yang sederhana, akrab, tanpa menghilangkan kadar ke-Hinduan. Terhadap permasalahan Bali ini, secara umum orang Bali di rantau bukannya tidak peduli dengan keadaan di Bali, tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk merubah cara-cara di Bali yang kurang pas dijaman sekarang ini karena sudah mendarah-daging dimasyarakat, jadi mereka berpendapat biarlah Bali seperti itu diluar Bali kita beda. Apalagi diluar Bali akan berinteraksi dengan etnis lainnya seperti : Jawa, Dayak kaharingan, Batak, Bugis, dll yang pasti juga punya adat dan tata-cara sendiri dalam berkomunikasi kepada sang Pencipta, sehingga perlu format yang lain dalam ber-sosial masyarakat tidak seperti di Bali murni. Masalah diluar Bali lebih kepada ”kearifan untuk ber-interkasi dengan etnis lainnya dalam satu payung agama Hindu”.

Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam

Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha

Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-01-2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)