Kamis, Oktober 01, 2009

SAMPRADAYA BOLEH BERDARMA WACANA

Hindu dan Budaya Hindu ibarat kembang (Budaya) dan wanginya (Hindu), pada kembang mawar ada wangi, pada kembang Melati ada wangi. Siapapun akan sepakat, bahwa kembang dan wanginya seperti contoh diatas merupakan suatu kesatuan. Ilustrasi diatas akan menjadi berbeda ketika kita berhadapan dengan situasi nyata, seperti di Bali beberapa fihak hanya ingin wangi dari satu kembang saja dan tidak perlu lagi wangi dari kembang lain, inilah yang menarik untuk disimak lebih jauh. Permasalahan umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali ini ramai membicarakan kembang dan wanginya bahkan sudah pada perdebatan walaupun perdebatan itu perlu untuk membuka wacana dan mencari titik temu asalkan jangan sampai menutup diri, eksklusif, buta, atau bahkan ribut sampai mengeluarkan larangan-larangan tanpa alasan jelas yang bisa diterima akal sehat. Jika kita mundur pada sejak Hindu masuk ke Nusantara, terntunya penyebar Hindu dari India seperti Bangsa Saka telah membawa tata-cara India ke Nusantara seperti : cara berbusana, bentuk persembahan kepada Sang Pencipta, dll. yang merupakan budaya, bersamaan dengan membawa ajaran Weda. Sementara itu nenek moyang Nusantara tentu juga sudah punya budaya sendiri, tetapi apa yang bisa kita lihat sekarang, apakah umat Hindu di Nusantara ini dalam ritual sehari-hari sama seperti di India atau apakah cara berbusana wanitanya memakai Sari juga prianya dengan tata-cara sehari-hari seperti di India , tidak bukan? Apa sebabnya ? itu karena leluhur Nusantara dan juga para Rsi penyebar Hindu sangat bijak. Hindu diterima di Nusantara tetapi budaya Hindu beradaptasi tanpa saling mengalahkan dengan budaya nenek moyang Nusantara, karena budaya itu identik dengan keindahan dan berproses tidak dalam satu hari tetapi bertahun-tahun bahkan beratus-ratus tahun sampai menjadi yang kita lihat sekarang di Nusantara. Buktinya ajaran Weda yang kita terima sama dengan saudara kita di India tetapi dibungkus oleh budaya masing-masing seperti di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Ini yang perlu direnungkan. Jadi leluhur kita menerima wangi kembang itu tanpa membedakan kembangnya, sehingga warna-warni budaya di Nusantara ini menjadi sangat indah dengan tetap sarinya adalah Hindu.

Ketika dijaman yang moderen ini ada saudara kita dari India ingin memberikan wangi kembang ini pada kita kenapa menjadi timbul permasalahan, sangat berbeda ketika para Rsi menyebarkan ajaran Weda dulu ke Nusantara, kenapa bisa begitu apakah ada permasalahan dalam berkomunikasi dengan masyarakat ? Faktanya dimasyarakat ada perbedaan pendapat antara Hindu dan Budayanya karena kita lebih melihat kembang daripada wanginya itu sampai ada tokoh desa Pakraman yang melarang sampradaya berdarma wacana. Melarang Sampradaya ber-darma wacana selama itu bukan kekhawatiran yang buta, maka bisa dimengerti, karena tokoh desa Pakaraman tentu lebih mengerti keadaan masyarakat Bali yang sangat kuat dengan budayanya sehingga dikhawatirkan akan terjadi hal yang tidak diinginkan, tetapi melarang tanpa memberi solusi juga tidak benar karena Darma wacana itu diperlukan oleh umat Hindu terutama masyarakat Bali secara umum yang kuat bungkusan budayanya sehingga perlu pemahaman Weda lebih baik agar bisa membedakan Hindu dan Budaya Hindu. Sampradaya atau Garis Perguruan tentunya juga merasa perlu untuk memberi pencerahan kepada umat Hindu ini tetapi tentu harus lebih bijaksana, sekali lagi jangan fokus pada kembang tetapi fokuslah pada wanginya, artinya sesuaikan diri dengan budaya lokal (Local Genius) jika ingin tujuan tercapai yaitu berupa peningkatan pemahaman umat khususnya di Bali akan Weda. Karena tujuannya adalah pencerahan bukan penyebaran budaya, maka tidak ada salahnya jika seorang Pandit, Baba, atau Maharaj menggunakan pakaian seperti halnya pakaian Pendita di Bali jika akan berdarma wacana atau boleh dicoba dengan memakai Jas dan dasi jika itu berhadapan dengan masyarakat menengah keatas, tetapi ketika berada di lingkungan sendiri (Ashram) silahkan kembali kepada tradisi yang dipakai di India. Mohan.MS juga memakai pakaian putih-putih dan destar ala Bali ketika berhubungan dengan masyarakat.(Note : mengenai pakaian ini, bagi Pandita di Bali ada ketentuan ”Amari Wesa” artinya berganti atribut, pakaian, dll. misalnya tidak lagi menggunakan gelar-gelar ketika walaka, berbusana dan hiasan yang patut sebagaimana ketentuan bagi Pandita, atas hal ini jika di India ada ketentuan in, maka perlu dimaklumi) Ada juga Pemangku yang mengenal ajaran Sampradaya melakukan penyesuaian Prosesi Agnihotra tanpa menghilangkan seremonial Agnihotra itu sendiri tetapi juga sesuai dengan proses Puja Stawa yang biasa dibawakan oleh Pemangku di Bali, seperti : Diawali pembersihan diri, Ngarga Tirta, ada caru juga, dan di fase Puja Hyang Widhi disamping kepada Dewa-Dewi juga fokus kepada Dewa Agni yang menjadi inti Agnihotra ini, terakhir juga ada Nunas Tirta sehingga secara umum orang Bali tidak merasakan sesuatu yang prontal tetapi memperoleh suatu Upacara Agnihotra yang agung sesuai petunjuk Weda tanpa mereka merasa kehilangan sesuatu (budaya). Hal ini seharusnya dilakukan oleh fihak-fihak yang ingin memajukan Hindu tanpa harus memaksakan suatu budaya, biarlah budaya itu berproses sendiri seiring dengan waktu. Seperti yang terjadi di Jawa ketika umat Hindu Jawa yang ratusan tahun jauh dari agama leluhurnya dan dikenalkan kembali oleh orang Bali dengan Hindu plus budaya Bali berupa sesaji/banten ala Bali, sehingga kita sekarang melihat sesuatu yang biasa jika umat Hindu etnis Jawa bersembahyang ada Canang (banten Bali) juga ada banten Jawa seperti : Cok Bakal, Tumpengan, bubur rampe sajangkape, juga prosesi Pitra Yadnya (Ngaben) yang di Jawa Timur disebut ”Entas-Entas” di Jawa tengah disebut ”Entas Pitulus”, dilaksankan dengan perpaduan Budaya Jawa dan Bali. Terkait dengan Sampradaya, umat Hindu Jawa ini juga lebih luwes sehingga bisa menerima Agnihotra seperti halnya mereka menerima tata cara di Bali tetapi tetap memegang budaya Jawa warisan leluhurnya, sehingga Sesaji Jawa tetap ada pada Agnihotra tersebut, mungkin karena umat Hindu etnis Jawa lebih memahami antara Wangi dan kembang dan tidak masalah dengan beraneka kembang yang penting mendapatkan wanginya. Jadi mari lepaskan kepentingan sesaat , ego, prestise yang semu, kekawatiran yang buta, karena dihadapan kita umat Hindu khususnya di Bali perlu memperoleh bimbingan untuk terlepas dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran Weda, dan biarkan kita memperoleh Wangi kembang dari kembang apapun juga. Om Grim Wausat Ksama Sampurna ya Namah



Ditulis oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
09-04-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)