PERPADUAN BUDAYA JAWA dan BALI DI PASEKAN
Dalam rangka peringatan Suro Januari 2007 ini, RW V Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 25 Januari 2007. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW V Dusun Keprabon, cuma kali ini dirasakan lebih meriah. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Menurut KRT Parjono Jarwo Dwijonagoro, Ketua Pametri Budaya Kuno Kab.Karanganyar, yang dihormati sebagai Sesepuh Dusun Keprabon, juga Pimpinan ”Padepokan Cemani”, Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, dengan filosofi Durgo Mendak – Kolo Sedo, yang pada intinya kita menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro yang diadakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan secara rutin ini, memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Pasek menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya tidak menghalangi atau menghambat umat yang menjalankan bakti ini. (Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, namun yang melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto sampai tiga tahunan. Akhirnya dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan, pada tahun 1973 menemukan Petilasan ini di Dukuh Pasekan. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Berikutnya banyak kemudian yang terlibat seperti : Ledang, Merta Suteja, Ketut Nedeng, semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Nabe Pemuteran, yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Fase 2000-2002 pembangunan : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat). Mbah Wiryo mantan RT Dukuh Pasekan adalah yang sejak 1959 mengurus Petilasan Eyang Putro Rsi Pitu, walaupun tanah sekitar Petilasan dimiliki oleh Tarjo Almarhum, sehingga pada Wilujeng Suro ini beliau yang dipercaya warga memimpin persembahan.
Jalannya Prosesi Wilujeng Suro
Prosesi berjalan dengan tradisi masing-masing dimana di luar Petilasan atau di Bale Banjar, warga yang merayakan Wilujeng Suro melakukan prosesi dengan tradisi Jawa. Kidung Jawa dilantunkan dengan sangat merdu oleh KRT Suripto Diningrat yang juga Sekretaris Pametri Budaya Kuno. Warga RW 05 Dusun keprabon yang berjumlah sekitar 70 orang mengikuti lantunan kidung Pujian memuja kebesaran Hyang Maha Kuasa. Dihadapan mereka berderet Sesaji Jawa berujud ”Bubur Rampe Sajangkepe” dimana disamping wujud persembahan kepada Sang Pencipta juga ada yang bermakna Tolak Bala dalam istilah sekarang yang tidak beda dengan ”Caru” yang berarti manis/harmonis sebagaimana makna Caru agar terjadi keseimbangan atau keharmonisan manusia, alam, dan Sang Pencipta (Tri Hita Karana). Di Utama Mandala Pengempon dalam hal ini Jero Mangku Made Murti dan Jero Mangku Nyoman Sukadana juga melakukan ”Puja Stawa” sekaligus nguningang (memberitahukan) kepada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, bahwa warga RW 05 akan melaksanakan Puja Bhakti kehadapan beliau. Sekitar Pukul 19 wib Iring-iringan warga datang dengan membawa Sesaji Jawa diiringi dengan kidung Jawa dengan heningnya. Sesaji tersebut sebelum dimasukkan ke area Petilasan diperciki terlebih dahulu Tirta Pensucian yang dimohon oleh kedua Jero Mangku. Acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo salah seorang Tetua Dukuh Pasekan dan diikuti oleh Jero Mangku Made Murti untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Perpaduan Budaya Jawa dan Bali sangat terasa pada prosesi ini, bahkan bagi semeton Bali yang menyadari, bahwa leluhur kita juga dari Jawa, maka seperti bertemunya satu keluarga besar yang sempat terpisah oleh dua budaya yang berbeda selama ratusan tahun. Selesai prosesi di Petilasan, maka warga kembali ketempat semula di Balai Banjar, namun sebelumnya dilakukan penanaman Kepala Kambing di depan kanan Gapura (Jabaan) yang bermakna mohon keselamatan masyarakat. Acara selanjutnya adalah ”Sarasehan” dilakukan di Bale Banjar sambil menikmati Kue-kue dan Teh. Diawali dengan sambutan Ketua RW V Purwanto dilanjutkan Bayan/Kepala Dusun Keprabon Suroso. Berikutnya sejenis Darmawacana oleh KRT Parjono Jarwo Dwijonagoro yang juga adalah mantan anggota Dewan. Hadir juga Ketua Pengempon Nyoman Nasa, Bendahara Ketut Ardana, dan anggota pengempon lainnya, berbaur dalam nuansa kekeluargaan yang sangat baik. Pada sessi Darmawacana, banyak pesan-pesan moral dan juga makna-makna yang terkandung dalam budaya Jawa yang adiluhung disampaikan dengan sangat baiknya oleh beliau. Salah satu yang relevan adalah Tindakan Mpu Bradah (Terkecil dari Panca Tirta, yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bradah) ketika memisahkan Daha dan Kediri dengan melaksanakan ”Habiprayan Rebut Utomo’ (Halal-Bihalal bagi umat Islam), melalui menghadirkan dua putra Airlangga dan para petinggi lainnya, untuk sama-sama merebut keutamaan dengan saling memilih yang terbaik sehingga masing-masing menguasai Daha dan Kediri. (Seperti diketahui Mpu Bradah ditolak oleh kakaknya Mpu Kuturan ketika beliau hadir di Pasraman Mpu Kuturan di Padangbae Klungkung, ketika ingin menjadikan salah satu Putra Airlangga menjadi Raja di Bali. Mpu Kuturan menolak karena sudah memilih Anak Wungsu/ adik Airlangga menjadi Raja di Bali sekitar Abad XI menggantikan Ayahndanya Raja Udayana Warmadewa & Gunapriya Darmapatni). Makna Habiprayan ini sangat disadari oleh peserta Wilujeng Suro yang hadir pada kamis malam itu. Karena Wilujeng Suro ini dihadiri oleh berbagai kalangan usia, maka Wilujeng yang seharusnya diisi dengan Topo, Broto, kemudian ditutup sekitar pukul 23.00. Dengan wajah bahagia kami lalu berpisah dengan pengalaman berharga yang tidak akan kami lupakan selamanya, bahkan kami sepakat dengan para sesepuh tersebut untuk melanjutkan komunikasi batin dan perpaduan dua budaya ini pada kesempatan lainnya. Kami juga menyadari skenario ini adalah Bhatara Kawitan seperti yang kami rasakan sebelum acara dilaksanakan, Karena pada hakekatnya berada pada koridor Agama kita akan terkotak, tetapi berbicara masalah hati nurani adalah tanpa batas, karena sesungguhnya semua manusia itu adalah satu keluarga besar (Vasudewa Kutumbakan).
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
27-01-2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)