Kamis, Oktober 01, 2009

MENENGOK PURA DI LERENG GUNUNG LAWU KARANGANYAR DAN SEKITARNYA

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara ? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya VII (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya ? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, tetapi kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi tetapi mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat. Hindu di Indonesia yang sekarang bukan lagi dominasi penduduk Bali sudah bisa dilihat dengan jelas, dimana-mana di Indonesia kita sudah bisa melihat tersebarnya umat Hindu ini, tentunya kuantitas bukan menjadi ukuran. Di Jawa khususnya Jawa Tengah umat Hindu asli suku Jawa cukup banyak jumlahnya. Mengutip nasihat orang tua tentang pengertian ”Jawa ” yang dikaitkan dengan ”Bali Jowone” bisa dijadikan rujukan, bahwa Jawa yang berasal dari Arjawan (jujur) menjadi idaman kita semua sehingga harapan ”Bali Jowone (Kembalinya sifat Jujur) bermakna luas menjadi kembalinya ajaran leluhur ini di bumi Nusantara. Ajaran leluhur dimaksud tentunya Ajaran Hindu. Secara fisik sekarang sudah bisa kita lihat dengan banyak berdiri Pura dimana-mana diluar Bali.

Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, juga disekitar Karanganyar yang merupakan ex Kresidenan Surakarta (Solo, Karanganyar,Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten). Di Karanganyar ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Pura di Karanganyar dan Sragen ini keberadaannya di Desa yang penduduknya umat Hindu dari suku Jawa, Pura serupa ada di Sukoharjo, Klaten, juga Boyolali (Ngenden dan lain-lain). Yang berbeda adalah Pura dilingkungan Surakarta (Solo). Karena Surakarta termasuk kota, maka Pura ini banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) , Jebres Surakarta, Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta, Pura Bhirawa Dharma di Komplek Koppasus Karang Menjangan, Kartasura, dan Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pura di wilayah Karanganyar tempatnya di desa-desa di kaki Gunung Lawu sehingga suasana Pura ini sangat sejuk dan nyaman bagi umat yang berkunjung. Umat Hindu diwilayah ini sebelumnya jumlahnya lebih banyak dari sekarang namun karena situasi tertentu, seperti : kesulitan Pengurusan KTP, Akte Perkawinan, dan juga kurang dukungan maka lama kelamaan jumlahnya semakin menipis, syukur sekarang sudah terbentuk PHDI juga Peradah sehingga kepercayaan diri mereka semakin baik. Secara umum Pura disini ber-ornamen Bali dan Pelinggihnya biasanya berupa Padmasana, karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan orang Bali kedaerah ini banyak mendorong perkembangan Hindu di wilayah ini. Disamping itu sebagai kebutuhan awal, maka sarana sembahyang berupa Pura menjadi hal yang pokok disamping peningkatan Srada. Secara tidak sadar kedatangan orang Bali yang berbaur dengan penduduk setempat, apakah sebagai Guru, Polisi, atau Pegawai seperti sudah ditakdirkan menjadi bagian dari proses bangkitnya Hindu ini. Namun tidak bisa dilepaskan juga adalah keterlibatan tokoh-tokoh umat Jawa sendiri, seperti : Harjanto (Tokoh di Pura Mandira Seta), juga Supanggih, Romo Maming, Sunarto, dan umat Jawa lainnya. Beliau-beliau ini sudah berkiprah ketika Hindu di Jateng ini belum dikenal seperti sekarang. Juga bisa dilihat bagaimana kuatnya srada ke Hinduan sesepuh di Mutihan tetap bertahan di suatu tempat Pemujaan ditengah-tengah umat beragama lainnya. Sekarang dengan kedatangan orang Bali Pura ini dikembangkan dan dikenal dengan Pura Indraprasta. Romo Maming juga sangat besar jasanya, dimana dengan tangan sendiri beliau membangun tempat pemujaan sehingga sering berminggu-minggu berada disuatu tempat. Bangunan yang dihasilkan sudah tentu bukan Padmasana atau Meru, tetapi apakah salah ? rasanya karena didasari ketulusan hati walaupun itu berupa seonggok batu yang disakralisasi (Pratista) tetap merupakan sarana yang baik untuk menghubungkan diri kepada sang pencipta. Bagaimana dengan Candi di Karanganyar yang merupakan peninggalan sejarah ?. Candi Ceto dan Candi Sukuh walaupun Dikelola Dinas Purbakala tetap bisa menjadi tempat Pemujaan umat Hindu. Seperti misalnya Candi Ceto, Candi ini sering dijadikan acara umat Hindu dengan tradisi Jawa berupa Mondosio (Medangsia). Candi Ceto dan Candi Sukuh juga sering dikunjungi umat Hindu dari Bali. Yang agak lain adalah keberadaan Patung Dewi Saraswati hasil kerjasama Pemda Karanganyar dengan Pemda Gianyar Bali. Nuansa Pariwisatanya sangat kental karena Publikasi gencarnya dari Dinas Pariwisata Karanganyar. Patung ini berada diatas sebelah kanan Candi Ceto. Yang menjadi pertanyaan adalah Meru Tumpang Tiga (Susun Tiga) yang tepat berada disebelah Patung tersebut yang merupakan peninggalan asli tidak ikut dipublikasikan atau kenapa bukan peninggalan asli yang dikembangkan. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Tempat ini hakekatnya memang Pura Kawitan karena terdapat Petilasan Trah Pasek juga Pemujaan leluhur Pasek (Sapta Pandita) tetapi tempat ini juga adalah Pura umum, sehingga umat Hindu suku Jawa juga umat Hindu asal Bali yang bersedia, bahkan umat non Hindu banyak yang datang bersembahyang ke Petilasan ini. Tempat ini juga sering dipakai untuk event-event seperti : Pemilihan Pengurus PHDI Karanganyar, Peradah Karanganyar, dan Tirta Yatra Mahasiswa Hindu Jogja sekitarnya dari berbagai Soroh (clan). Bagaimana dengan Kabupaten Sragen ?. Umat Hindu asal suku Jawa cukup banyak disini. Yang menjadi sentranya adalah Pura Jagadpati Masaran. Tokoh disini adalah Ketut Ardana , seorang Polisi yang mertuanya tokoh Hindu asal suku Jawa disana. Semangat juang umat Hindu disini pantas dijadikan contoh. Dengan kepiawaian dan keberanian Ketut Ardana juga perjuangan gigih tokoh dan umat lainnya dari suku Jawa, telah menggugah umat Hindu lainnya untuk terlibat, melalui sumbangan dana atau bantuan lainnya. Sekarang sudah berdiri Pura yang cukup megah untuk ukuran Pura di pedesaan, walau belum sesuai harapan karena saat ini masih sedang membangun sarana fisik lainnya dan perlu dukungan para dermawan. Event-event penting juga sering dilakukan di Pura ini seperti : Lokasaba Peradah, bahkan saat Ngenteg Linggih Pura Jagadpati, sempat mengundang PHDI Pusat : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Adi Suripto. Kedepan Pura Jadadpati bisa menjadi motor pengembangan umat Hindu di Sragen dan sekitarnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Pura di Kec. Sumberlawang, seperti Pura Jowongso. Pura ini sudah semakin sepi umat kalau tidak mau dikatakan ditinggalkan umat, karena banyak umatnya yang sudah beralih dari Agama Hindu, sehingga sangat diperlukan keterlibatan umat Hindu yang peduli atau Lembaganya. Umat Hindu di wilayah ini juga di Karanganyar dan sekitarnya memang membutuhkan tempat sembahyang (Pura) tetapi disamping itu mereka juga perlu didorong peningkatan Srada, sehingga umat Hindu secara pribadi atau lembaga digugah untuk mau terjun ke kantong-kantong Hindu ini. Bagi yang punya dana sumbangkan untuk pembangunan fisik, bagi yang punya buku-buku Hindu salurkanlah, bagi yang punya kemampuan pengetahuan Hindu lakukan Jnana Punia.

Pura di wilayah Surakarta adalah Pura masa depan, kenapa demikian ? Pura disini yang sering menjadi tempat persembahyangan kebanyakan umat Hindu dari Bali, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya. Pura tersebut adalah Pura Bhuana Agung Saraswati, Pura Indraprasta dan Pura Bhirawa Dharma. Pura ini di ampu (di-empon) oleh tiga Banjar , yaitu Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat, jumlah umatnya hanya sekitar 75 KK, sangat jauh bedanya dengan Pura Tirta Bhuana di Bekasi misalnya yang di-ampu oleh belasan Tempek. Umat di Surakarta harus pandai-pandai mengatur diri sehingga sepertinya umat terpecah padahal tidak, itu hanya agar masing-masing Pura yang ada tetap hidup dalam artian ada umat bersembahyang. Mungkin beberapa generasi lagi baru bisa sepadan antara jumlah umat dengan Pura yang ada. Yang lain adalah Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan Pura ini adalah berkat perjuangan Harjanto almarhum. Tempat ini lebih banyak dijadikan tempat berlatih Yoga (Raja Yoga) disamping untuk bersembahyang, sekarang ini sudah ada tempat berlatih lain didaerah Bekonang Sukoharjo yang banyak diikuti umat dari Manca Negara.

Menyatukan umat walau dalam satu payung Agama Hindu, tetapi karena berasal dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Bali), maka tentu akan ada interaksi yang perlu dijalani dengan kearifan. Seperti Pura dengan ornamen Bali dengan Pelinggih yang biasa dipergunakan di Bali (Padmasana dan Meru) jangan menjadi hambatan, kedepan boleh saja kita gali sama-sama peninggalan leluhur mengenai bentuk bangunan yang bernuansa Hindu dengan local genius (kearifan lokal/setempat). Juga jangan terus berada pada tataran Banten (Upakara) dengan dikotomi ”Banten Jawa dan Banten Bali” masuklah ke tataran Tattwa, karena banten itu intinya adalah wujud bhakti kita pada Hyang Widhi jadi saripatinya adalah „Ketulusan“ bukan bentuk fisiknya. Jika menoleh kebelakang bukankah leluhur orang Bali yang berasal dari Jawa membawa agama Hindu ke Bali tentunya dengan sarana persembahyangan berupa Banten ? selanjutnya banten ini berkembang sesuai dengan seni budayanya orang Bali, maka setelah dibawa kembali ke Jawa sudah tidak dikenal lagi oleh umat Jawa. Walaupun demikian perlu digugah umat Hindu asal Jawa yang menekuni seni budaya agar menggali persembahyangan seperti : Mondosio, Dukutan, termasuk sarana seperti tempe bosok dan rokok klintingan dan lainnya untuk didokumentaskan, lalu dicarikan dasar Wedanya (tattwa) kepada Sulinggih, sehingga menjadi jelas dan benar apa yang kita lakukan. Akhirnya melalui tulisan ini semoga umat Hindu atau umat pada umumnya yang peduli bersedia datang melakukan Tirta Yatra ke Karanganyar dan sekitarnya dengan tulus iklas tanpa pamrih dan tanpa motif-motif tertentu, seperti disebutkan dalam ”Sarasamuccaya Sloka 279 : sada daridrairapi hi sakyam praptum naradhipa, tirthabhigamanam pun-yam yajnerapi visisyate (artinya : Sebab keutamaan Tirtayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya; Tirthayatra dapat dilakukan oleh si miskin)


Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
14-04-2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)