PIODALAN PURA PEMACEKAN dan LAHIRNYA ”REOG SINGO PASEK”
DI KARANGPANDAN-KARANGANYAR-JAWA TENGAH
Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 4 September 2009. Piodalan ini adalah yang kelima kalinya sejak Pura ini memiliki Pengempon dibawah struktur MGPSSR Pusat periode Februari 2005-Februari 2010, artinya ini Piodalan terakhir bagi Pengempon pertama ini. Tanggung jawab bebantenan kali ini oleh MGPSSR Kab.Buleleng dengan komandannya Nengah Gelgel dan Agung Wiradnyana (Mang Jung). Pengempon di Jawa (Karanganyar&Solo) menjadi Panitia dan mempersiapkan bebantenan sederhana, seperti : Pejati, dan Banten Penganyaran (harian). Seperti biasa Panitia terdiri dari umat Hindu pratisentana Pasek, non Pasek, umat Hindu suku Jawa dan yang paling penting melibatkan umat disekitar Pura yang berbeda agama, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu. Sehubungan dengan telah dibangunnya Beji (Taman) yang telah di Plaspas pada Jumat Legi, 3 April 2009 di puput oleh Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda yang merupakan penglingsir Pura setelah Nabe beliau Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran Lebar (meninggal), maka prosesi sedikit ada perubahan. Diawali dengan ”Mendak Tirta ke Candi Ceto” sore hari 2 September 2009 sekitar jam 16 oleh Pemangku Pura, acara ini dulu dilakukan sehari sebelum puncak piodalan. Pada pagi hari 3 September 2009 Panitia dari Singaraja sudah hadir 30 orang dengan 7 mobil, juga rombongan Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda karena sore harinya sekitar jam 16 dilakukan persembahyangan di Beji dipimpin beliau. Persembahyangan Beji yang baru pertama kali ini, berjalan dengan lancar, pada malam harinya sekitar jam 19 seperti biasa warga Pasekan sekitar melakukan persembahan sesaji Jawa berkolaborasi dengan pemangku Pura dan Pengempon. Puncak acara Piodalan pada 4 September 2009, dimulai sekitar pukul 07 dengan Puja dipimpin oleh empat Sulinggih dari Singaraja dan satu Bhawati putra kandung Pandita Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran (Almarhum). Pandita tersebut, yaitu : Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra-Griya Baleagung, Ida Pandita Mpu Dwija Witaraga Saniyasa-Griya Kekeran, Ida Pandita Mpu Dharma Wijaya Kusuma, Griya Petak, dan Ida Pandita Mpu Kerta Wijaya Saniyasa, Griya Tinggarsari-Busungbiu. Prosesi dengan Banten yang sederhana diaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita Mpu. Ditengah prosesi piodalan dipersembahkan Tari Rejang Dewa oleh empat anak putri Pengempon serta persembahan ibu-ibu panitia dari Singaraja. Setelah Puja Piodalan selesai, dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya dan Kramaning sembah, terakhir Nunas Wangsuhpada (Tirta). Sebelum bubar disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Ketut Landra dan Ketua Pengempon-Nyoman Nasa, Ketua MGPSSR Kab.Buleleng Nengah Gelgel, dan darmawacana oleh Ketua PHDI Buleleng Wilasa yang oleh pembawa acara umat Hindu Jawa Sugito, dipanggil Bopo Wiloso telah menimbulkan gelak tawa dari pendengar. Acara berjalan dengan lancar dan umat tahun ini juga membludak meliputi : umat Hindu suku Bali dari Karanganyar/Solo sekitar dan umat Hindu Jawa sekitar seperti : Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Masaran (Sragen), dan umat dari Bali (hampir seluruh kabupaten) mencapai total lebih dari 300 orang, maka dilakukan persembahyangan sesi kedua. Mengingat perkembangan umat yang semakin banyak, maka kedepan perlu diatur lebih baik seperti mengurangi/meniadakan sambutan-sambutan. Sekitar pukul 12 acara Piodalan selesai dan umat kembali keasal masing-masing. Pada malam hari hadir Bupati Buleleng - Bagiada, istri, dan rombongan, bersembahyang dan sempat beramah-tamah dengan Pengempon, Panitia Singaraja, dan umat lainnya. Piodalan ini seperti biasa berlangsung (Nyejer) tiga hari dan Persembahyangan terakhir berupa ”Nyineb” dilakukan pada 7 September 2009 pagi sekitar jam 07 dipuput oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Wasistha Nandha -Griya Ahmad Yani Denpasar dan Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti-Griya Tukadmungga Singaraja.
REOG ”SINGO PASEK”
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu. Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu kanuragan mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu kanuragan antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya .
Singo Pasek bukan Reog Ponorogo tetapi ”Kelompok Reog warga Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec.Karangpandan, Kab.Karanganyar”. Diawali oleh keinginan yang sudah sangat lama dari Ketua RW 15 Keprabon-Purwanto, Ketua RT 06 Pasekan-Tuji, sesepuh umat Mbah Wiryo (yang merawat Petilasan sejak tahun 1959) untuk memiliki sebuah kesenian Reog, dan mungkin karena kedekatan mereka dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan umat setempat kepada Kyayi I gusti Ageng Pemacekan) dan atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka setelah melalui renungan yang dalam di Petilasan dan rembug warga, akhirnya pada 17 Agustus 2008 (setahun lalu) lahir ”Reog Singo Pasek’ yang beranggotakan warga Keprabon sekitar 70 orang, untuk pertama kali tampil pada Perayaan Kemerdekaan RI itu dengan perangkat menyewa. Nama Singo Pasek disamping karena berada di Dukuh Pasekan juga karena yang mereka hormati adalah Eyah Putro Rsi Pitu trah Pasek. Reog Singo Pasek ini seperti memperlihatkan kepada kita, bahwa pancaran Aura Eyang yang distanakan sudah mulai terlihat lewat keberadaan Reog Singo Pasek ini. Awal berdiri tentu tidak mudah, karena saat ini yang dimiliki oleh para anggota Reog ini hanya modal semangat dan keyakinan saja, masalah dana belum siap. Untuk memenuhi Kelompok Seni Reog yang ideal maka perlu Gamelan dan perangkat lainnya, dimana untuk gamelan saja membutuhkan dana sekitar Rp. 3 juta, sedangkan untuk lengkapnya perlu dana Rp. 17 juta, namun untuk awal gamelan saja sudah cukup demikian disampaikan oleh Ketua RT 06 Pasekan, perlengkapan lainnya bisa dengan menyewa dulu. Mereka berharap pada Piodalan tahun depan sudah bisa mengisi kegiatan Piodalan Pura Pemacekan. Untuk itu perlu sekali bantuan dari para umat yang simpati terhadap kesenian Reog ini , untuk ikut membantu agar bisa terwujud cita-cita para tokoh di Pasekan/Keprabon ini dengan bantuan dana atau langsung menyumbangkan peralatan yang diperlukan. Semoga lewat Reog ini, bisa menjadi ”Pemersatu” umat setempat dengan umat penyungsung/Pengempon Petilasan dan sekaligus sebagai bentuk bhakti kita pada Bhatara Kawitan atau kepada Eyang Putro Rsi Pitu.
Dilaporkan oleh,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 09-09-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)